Bram menghentikan suapannya dan memandang sang mertua. Dia cukup terusik dengan pertanyaan itu. Sebenarnya pertanyaan biasa jika diucapkan oleh orang lain. Namun terasa berbeda jika mertuanya yang bertanya. Mengingat latar belakang hubungan mereka yang kurang baik.Bu Harso tetap dianggap mertua oleh Bram. Karena menurut fiqih muamalah, kendati Sandra sudah meninggal, Bu Harso tetap menjadi mahram mu'abbad atau mahram selamanya yang haram dinikahi karena antara Bram dan Sandra sudah melakukan hubungan suami istri."Puspa membantu administrasi di gudang, Bu. Tapi sekarang masih harus istirahat karena baru saja keguguran." Bu Dewi yang menjawab setelah melihat wajah putranya mulai tegang. Jangan sampai ada perkataan atau justru keributan di depan anak-anak.Jawaban yang membuat Santi, Bu Harso, terutama Vanya kaget. Remaja belia itu tidak tahu sama sekali kalau ibu tirinya keguguran. Yang dia tahu, Puspa sakit biasa. Sedangkan Sony yang asyik bercanda dengan Monica, tidak menyadari perc
"Maaf, kalau perkataan saya menyinggung perasaan Mama Harso dan Santi." Bram menangkupkan kedua tangannya di depan dada."Bu Harso, monggo dicicipi kuenya." Bu Dewi mempersilakan untuk mengurai ketegangan."Iya, Bu Dewi."Jam setengah sembilan malam, mereka pamitan. Santi memeluk Vanya dan Sony bergantian. "Tante sayang kalian dan selalu ada buat kalian," ucap wanita itu pada Vanya. Dan sengaja biar Puspa yang tidak jauh dari mereka bisa mendengarnya.Namun Puspa tetap menampilkan wajah ceria, seolah tidak terpengaruh oleh ucapan wanita cantik itu. Sedangkan Bram tidak mendengar sama sekali karena membukakan pintu mobil untuk mama mertuanya."Bun, makasih kadonya, ya." Sony bergelayut manja di lengan kiri Puspa. "Sama-sama." Puspa mengusap lembut rambut Sony. "Pa, Vanya ke kamar dulu mau belajar," pamit Vanya yang dijawab anggukan kepala papanya.Puspa membantu Sony membawakan kadonya ke kamar. Memastikan anak itu gosok gigi dan ganti baju, baru Puspa masuk ke kamarnya sendiri.***
PERNIKAHAN- Menguji Kesabaran [Pokoknya kalau kamu butuh teman curhat, chat saja ke Tante. Nggak usah takut. Segalaknya papamu, dia nggak mungkin tega sama anaknya sendiri.][Makasih, Tan.][ Ya sudah. Segera tidur. Besok kamu sekolah.][Besok sore papa mau ngajakin kami staycation. Males banget tau. Ada perempuan itu.][Kamu mau nginap saja di rumah nenek? Biar besok Tante jemput.][Aku takut papa marah.][Bilang saja kalau kamu ada kegiatan di sekolah.][Aku pikirkan dulu, Tan.][Oke. Udah buruan bobo.][Iya.]Vanya meletakkan ponselnya di atas meja belajar. Kemudian menarik selimut. Sambil menatap langit-langit kamar, ia teringat bagaimana Sony sangat akrab dengan ibu tiri mereka.Ah, Vanya sangat bersyukur Puspa keguguran. Jadi tidak ada adik yang dilahirkan wanita itu. Tapi bagaimana kalau hamil lagi? Vanya menggeram. Sungguh dia tidak menginginkannya. Cinta sang papa pasti akan terbagi. Bohong kalau sama rata. Sedangkan sekarang saja terlihat Puspa begitu diperhatikan oleh pap
Tepukan di pinggulnya membuat Puspa berjingkat kaget. Bram berlari melewatinya. Suara dari sepatunya yang menapak di lantai semen terdengar berat dan teratur. Pantas saja dia memiliki tubuh yang bagus dan sehat. Karena tidak malas berolahraga. Puspa mengulum senyum dan melempar pandang pada langit yang gelap kebiruan. Malu dengan angannya sendiri. Padahal dia sudah merasakan bagaimana tubuh itu mendekapnya tanpa sekat.Puspa menoleh pada sang suami yang berhenti dan berdiri di dekatnya. Bram menariknya pelan dan diajak duduk di bangku semen. Di cakrawala semburat cahaya keemasan mulai kentara. Puspa memperhatikan keringat yang membasahi rambut dan rahang kokohnya Bram. Terlihat begitu keren meski tengah bermandi keringat. Mulai diperhatikan,mulai terlihat segala keistimewaan. Mulai dari sikap dan posturnya. Dia memegang teguh prinsip hidupnya. Setegas itu dan sememahami itu pada pasangannya. Hati Puspa menghangat. Duh, denyar aneh kembali timbul. Apakah bisa dibilang dia sekarang ja
PERNIKAHAN- Teguran "Mas, bagaimana kalau Vanya nggak mau turun?" Puspa yang digandeng sang suami menuruni tangga, tampak khawatir."Kita tinggal saja," jawab Bram dengan wajah tegang. Terlihat dia sangat kecewa atas kelakuan anaknya.Puspa tidak berani berpendapat lagi. Tidak ingin menambah suasana kian keruh."Mana Vanya, Bram?" tanya Bu Dewi. Wanita itu tak kalah cemas."Kita tunggu lima menit, Ma. Kalau dia turun berarti mau ikut, kalau tidak, berarti tidak ikut."Bu Dewi memandang ke dalam. Liburan yang seharusnya menyenangkan, kini sudah diawali dengan ketegangan. Terkadang Bu Dewi kasihan, kadang juga jengkel. Vanya sangat keras kepala. Mak Sri yang menunggui mereka berangkat juga ikutan resah. Kalau Vanya tidak ikut, dia yang akan menjaganya di rumah."Mama, Puspa, Adek, dan Mak Siti masuk mobil dulu aja. Mungkin Vanya tidak akan turun."Bu Dewi, Sony, Mak Siti langsung masuk mobil. Puspa menghampiri suaminya. "Karena ada aku, Vanya nggak mau ikut, Mas.""Tapi kalau kamu me
"Ma, saya ingin mengajak Vanya ngobrol malam ini, di kamar Mama saja." Bram menghampiri mamanya usai mereka makan malam."Iya. Agak malam saja setelah Sony tidur. Tapi pelan-pelan ngomong sama Vanya. Keluarga mamanya sudah kelewatan meracuni pikirannya. Jadi susah diberitahu sekarang."Bram mengangguk.Mereka berkumpul di ruang tamu vila. Sambil menikmati teh hangat buatan Mak Siti. Sony yang menghidupkan suasana dengan candaannya. Sedangkan Vanya yang diam, sesekali tersenyum mendengar adiknya bicara.Puspa mendengarkan dan sesekali ikut menimpali.Jam sembilan malam mereka masuk kamar. "Mas akan ngajak ngobrol Vanya sekarang. Jangan tidur dulu, tunggu mas kembali." Bram mengecup puncak kepala istrinya. Lantas melangkah keluar kamar.Dua kali mengetuk pintu, Vanya membukanya."Papa ingin mengajak Vanya bicara."Vanya mengangguk lantas menutup pintu setelah mereka masuk. Bu Dewi sudah menunggu di atas tempat tidur."Sebelumnya papa minta maaf, kalau keputusan papa menikah lagi membua
Mengambil ponsel di saku celana dan mengetik pesan untuk mantan adik iparnya.[Nggak usah ikut campur lagi tentang Vanya dan Sony. Jangan menghasutnya untuk membenci Puspa. Kalian sudah terlalu dalam ikut campur urusan pribadi saya. Jangan sampai saya hilang respect pada kalian sebagai keluarga.]Selesai mengirim pesan. Bram mematikan ponselnya. Dia tidak ingin membaca balasan Santi malam ini.Sementara di dalam kamar, Vanya menangis di pelukan utinya. "Papamu kalau menuruti kesenangannya sendiri, sudah lama dia nikah lagi, Nduk. Papamu menikah dengan Bunda, itu pun karena ada campur tangan Uti. Ketika Uti bicara ingin mengenalkannya pada Bunda, papamu masih minta waktu untuk memikirkannya. "Sebelum menyetujui perjodohan, papamu juga sholat istikharah. Kamu tahu kan apa sholat istikharah itu?"Vanya mengangguk."Baru dia memutuskan untuk melamar Bunda. Kamu nggak tahu seberapa besar pengorbanan papamu selama ini. Demi kamu, demi Sony. Papamu pria sejati yang memegang teguh komitmenn
PERNIKAHAN- MaafPuspa mengerjab. Pelan ia memindahkan lengan suaminya yang memeluk pinggang. Selimut disibak, lantas beringsut untuk duduk di tepi pembaringan.Diambilnya jam tangan sang suami di nakas. Jarum menunjukkan pukul 06.15. Mereka tertidur lagi setelah salat subuh.Wanita itu turun perlahan supaya tidak mengganggu suaminya yang masih terlelap. Puspa mengintip ke luar dari balik gorden jendela. Suasana redup karena kabut tebal masih menyelimuti permukaan bumi. Membuat segala sesuatu tampak sedikit kabur.Di kejauhan, bayangan pohon dan perbukitan hanya tampak samar. Namun suara alam perlahan terbangun, kicauan burung mulai terdengar, menambah kesan hidup di tengah kesunyian yang syahdu. Seolah-olah sedang terbangun dari tidur malam yang panjang.Puspa kembali ke tempat tidur. Meringkuk lagi membelakangi suaminya. Ada rasa takut dan cemas, apa dia sanggup menjalani ini sampai nanti? Ditengah gempuran kebencian anak tiri dikala dia sedang membangun kepercayaan diri.Hal semal
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l
Ponsel Bram di atas meja kecil berdering. Puspa melihat siapa yang menelepon. "Mas, ada telepon dari Bu Harso.""Angkat saja.""Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bukan suara Bu Harso, tapi suaranya Santi."Ada apa, Mbak?""Aku mau bicara sama Mas Bram.""Mas Bram lagi sibuk, Mbak. Ada pesan apa nanti saya sampaikan.""Sebentar saja. Bisa nggak?" Wanita di seberang memaksa."Nggak bisa diganggu Mas Bram-nya, Mbak. Jangan khawatir, nanti pasti saya sampaikan." Puspa jadi geram. Memangnya mau bicara apa. Bram pun sudah memberitahu Santi atau Bu Harso, kalau ada urusan yang mungkin perlu disampaikan ke Vanya dan Sony, bisa bicara langsung pada Puspa. Tapi wanita itu sepertinya tidak percaya padanya."Besok malam, ada acara arisan keluarga di rumah mama. Vanya dan Sony disuruh datang atau biar aku yang jemput mereka.""Oke. Nanti aku kasih tahu ke Mas Bram."Panggilan langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan salam. Bram mendekat sambil mengendong A'im. "Ada apa?""Mbak Sant