PERNIKAHAN- MaafPuspa mengerjab. Pelan ia memindahkan lengan suaminya yang memeluk pinggang. Selimut disibak, lantas beringsut untuk duduk di tepi pembaringan.Diambilnya jam tangan sang suami di nakas. Jarum menunjukkan pukul 06.15. Mereka tertidur lagi setelah salat subuh.Wanita itu turun perlahan supaya tidak mengganggu suaminya yang masih terlelap. Puspa mengintip ke luar dari balik gorden jendela. Suasana redup karena kabut tebal masih menyelimuti permukaan bumi. Membuat segala sesuatu tampak sedikit kabur.Di kejauhan, bayangan pohon dan perbukitan hanya tampak samar. Namun suara alam perlahan terbangun, kicauan burung mulai terdengar, menambah kesan hidup di tengah kesunyian yang syahdu. Seolah-olah sedang terbangun dari tidur malam yang panjang.Puspa kembali ke tempat tidur. Meringkuk lagi membelakangi suaminya. Ada rasa takut dan cemas, apa dia sanggup menjalani ini sampai nanti? Ditengah gempuran kebencian anak tiri dikala dia sedang membangun kepercayaan diri.Hal semal
"Masih terlalu awal, Puspa." Bram menahan lengan istrinya."Sudah hampir setengah tujuh, Mas. Bentar lagi anak-anak bangun. Semoga pagi ini Vanya ada perubahan. Dia bisa mengerti dengan omongan Mas tadi malam.""Semoga saja." Bram seolah tidak yakin.Beberapa saat keduanya terdiam. Bram mengusap jemari Puspa yang lembut. "Kamu menunggu Mas tadi malam?"Mendengar pertanyaan itu, Puspa mengalihkan pandangan ke sudut ruangan. Tersipu karena ketahuan. Entahlah, dia yang dibiarkan sia-sia, justru yang merasa malu. "Mas, bilang kalau aku harus nunggu.""Iya. Maaf, mas memang kalut semalam.""Aku ngerti. Aku mau mandi dulu, Mas." Puspa memaksa turun. Membuka koper dan mengambil baju ganti lalu masuk kamar mandi. Tidak memberi kesempatan Bram untuk membahas hal semalam lebih jauh.Bram menyalakan ponselnya. Ada beberapa pesan balasan dari Santi.[Kenapa sih Mas Bram ngomong seperti itu? Wajar kan kalau aku bantuin jaga Vanya dan Sony. Mereka ponakanku juga loh.][Aku nggak mengaruhi apa-apa.
"Bun, aku beli baju batik ini untuk ngaji." Sony menunjukkan hem bercorak batik yang dipegangnya."Boleh," jawab Puspa lantas memilih ukuran yang pas buat Sony."Uti, ini bagusan yang mana?" Vanya menunjukkan dua baju pada Bu Dewi."Yang di tangan kiri bagus. Iya kan, Puspa?" Bu Dewi minta pendapat sang menantu."Iya. Itu bagus. Kamu ambil itu aja, Kak." Puspa memandang Vanya.Akhirnya gadis itu mengembalikan baju di tangan kanannya. Dada Bu Dewi terasa sejuk. Bagai disirami air es. Tidak sia-sia menasehati Vanya tadi malam dan sehabis salat subuh tadi."Aku beli satu buat Monic ya, Uti."Bu Dewi mengangguk.Usai menelepon Bram kembali mendekat. Setelah cukup memilih pakaian dan membayarnya, mereka langsung ke sebuah restoran untuk makan siang. Puspa penasaran, siapa yang menelepon karena Bram terlihat begitu serius. ***L***Meski baru jam tiga sore, suasana sudah pekat oleh kabut. Redup dan dingin. Bu Dewi, Puspa, Mak Siti, dan anak-anak sudah mandi dan sekarang duduk di balkon sam
PERNIKAHAN - Tanpa SekatUhuuukk.Suara batuk terdengar sekali lagi dan kali ini sangat keras. Indah sampai kaget dan bersipandang dengan sang ibu. Padahal dia datang tadi ayahnya baik-baik saja. Bahkan masih sempat bermain dengan cucunya. "Pak Lurah sudah diperiksakan ke dokter kan, Bu?" tanya Bu Maksum."Sudah, Bu."Suara benda jatuh, seperti logam yang terjun ke lantai mengagetkan mereka. Membuat Bu Lurah panik. Wanita itu tergesa masuk ke dalam tanpa pamitan pada tamunya. Indah mengikuti. Namun dicegah sama ibunya. "Temani saja tamu kita. Biar ibu yang melihat ayahmu."Indah kembali ke depan, sedangkan Bu Lurah masuk kamar. Pak Lurah berdiri di dekat jendela sambil memegang pipa besi sepanjang depa orang dewasa. Berdiri tegak dengan wajahnya yang merah padam. "Ada apa, Yah?" Bu Lurah memegangi lengan suaminya."Suruh mereka pulang, Bu. Sebelum ayah keluar dan membuat mereka tak bisa berjalan lagi," jawab Pak Lurah sambil mendesis."Sabar, Yah. Kasihan Puspa. Ayah, sudah janji p
"Ibu, yakin mereka baik-baik saja? Mantan iparnya Mas Bram, si Santi itu suka sinis kalau nggak sengaja kami bertemu saat nganterin anak-anak." Naina dan Monica sekolah di tempat yang sama. Salah satu SD favorit di kota mereka."Mungkin dia ada hati sama mantan kakak iparnya, Bu. Tapi Mas Bram menikahi Puspa. Ini dugaanku saja sih. Aku dan dia nggak pernah ada masalah, bersinggungan urusan sekolah pun nggak pernah. Anak-anak juga beda kelas. Nai kelas dua, anaknya Santi kelas empat. "Dulu kalau kebetulan bertemu di depan sekolahan saat nganterin atau jemput anak-anak. Kamu diam karena nggak saling kenal. Eh, beberapa bulan ini, setelah Puspa nikah sama Mas Bram, dia jadi lain saja. Suka mandangin dengan sengaja. Terlihat kepo, Bu.""Biarin saja. Jangan memulai kalau nggak dimulai," jawab Bu Lurah seraya mengajak putri sulungnya masuk ke rumah. Saat itu matahari sudah tergelincir ke barat.***L***Tawangmangu ...."Puspa, terima kasih sudah bersabar untuk tetap berusaha mengambil hat
Puspa kembali berdebar. Bulu kuduknya meremang. Apa yang akan mereka lakukan selama empat hari itu? Ah, Puspa. Kamu bukan anak kecil lagi. Kalian sudah beberapa kali melakukannya, tidakkah kamu paham.Oh, andai dia tidak mengalami kepahitan itu, pasti sangat percaya diri melewati masa-masa pengantin baru yang kata orang sangat indah. Menggebu dan menggelora. Seperti Indah dan Irwan dulu. Tergila-gila satu sama lain. Begitu mesra, tidak bisa menjauh meski hanya sebentar saja.Tapi jika tidak ada peristiwa itu, apa mungkin dia akan menikah dengan Bram. Bukankah ada Rayyan? Yang sampai sekarang mungkin bertanya-tanya, apa yang membuat dirinya meninggalkan cowok itu."Kita ke kamar. Sudah azan Maghrib," ajak Bram setelah mendengar sayup-sayup suara azan. Sore sudah tenggelam berganti senja.Mereka melangkah masuk melewati anak-anak yang sedang menonton TV."Pa, malam ini kita ke mana?" tanya Sony menghentikan langkah sang papa."Adek mau makan apa? Kalau malam wisata kita ya kulineran," j
PERNIKAHAN- Dari Hati ke Hati"Sayang, diminum tehnya."Dada Puspa berdesir dan menghangat mendengar lagi panggilan itu untuknya. Sudah dua kali ini Bram memanggilnya Sayang. Bram meletakkan segelas teh panas dan air putih hangat di karpet tempat duduk mereka pagi itu. Tepat di depan jendela kaca."Maaf, aku sampai tak ingat ngambilin air minum." Puspa tak enak hati. Bram keluar kamar ternyata untuk membuatkannya minum."Tidak apa-apa." "Terima kasih, Mas."Bram menjawabnya dengan senyuman. Lalu ikut berlindung di dalam selimut yang dipakai Puspa. Lengan mereka bersentuhan. Puspa beringsut pelan. Padahal yang mereka lakukan semalam lebih dari sekedar duduk berdekatan.Memang emosi Puspa masih belum stabil. Lagi dan lagi ia harus bersabar menghadapinya. Untuk membuat Puspa bicara tentang apa yang ada di pikirannya, apa yang dirasakannya pun, Bram tidak bisa memaksa. Menghadapi hal begini bukan hal baru. Setegas apapun dia, kesabarannya pernah diuji bertahun-tahun lamanya. Dia tetap
"Masih banyak cara untuk membuatnya hancur. Kita sedang memulai untuk memberinya pelajaran," lanjut Bram."Mas, akan menanggung banyak resiko.""Mas sudah memikirkannya." Tatapan Bram menerawang. Di kejauhan, puncak-puncak bukit tersembunyi di balik tirai putih kabut, seolah enggan memperlihatkan dirinya.Bram tahu resikonya. Maka itu bertindak sangat hati-hati. Kalau sampai usahanya ini terbongkar. Dia tidak hanya harus melindungi Puspa, tapi juga kedua anaknya, mamanya, juga bisnisnya. Maksum punya kuasa. Bisa melakukan banyak cara untuk menghancurkannya. "Hentikan saja, Mas. Biarlah mereka berkuasa. Suatu hari pasti akan hancur sendiri. Aku nggak ingin, Mas menanggung resikonya. Gara-gara aku, banyak yang Mas Bram pertaruhkan. Bisnis, uang, dan keselamatan keluarga.""Kita sudah memulai, Puspa. Doakan saja apa yang Mas lakukan bisa memberikan mereka pelajaran."Netra Puspa berkaca-kaca. Bukan tenang, justru membuat Puspa kian cemas. Bram memeluknya. Raga yang awalnya menegang, per