PERNIKAHAN- Dari Hati ke Hati"Sayang, diminum tehnya."Dada Puspa berdesir dan menghangat mendengar lagi panggilan itu untuknya. Sudah dua kali ini Bram memanggilnya Sayang. Bram meletakkan segelas teh panas dan air putih hangat di karpet tempat duduk mereka pagi itu. Tepat di depan jendela kaca."Maaf, aku sampai tak ingat ngambilin air minum." Puspa tak enak hati. Bram keluar kamar ternyata untuk membuatkannya minum."Tidak apa-apa." "Terima kasih, Mas."Bram menjawabnya dengan senyuman. Lalu ikut berlindung di dalam selimut yang dipakai Puspa. Lengan mereka bersentuhan. Puspa beringsut pelan. Padahal yang mereka lakukan semalam lebih dari sekedar duduk berdekatan.Memang emosi Puspa masih belum stabil. Lagi dan lagi ia harus bersabar menghadapinya. Untuk membuat Puspa bicara tentang apa yang ada di pikirannya, apa yang dirasakannya pun, Bram tidak bisa memaksa. Menghadapi hal begini bukan hal baru. Setegas apapun dia, kesabarannya pernah diuji bertahun-tahun lamanya. Dia tetap
"Masih banyak cara untuk membuatnya hancur. Kita sedang memulai untuk memberinya pelajaran," lanjut Bram."Mas, akan menanggung banyak resiko.""Mas sudah memikirkannya." Tatapan Bram menerawang. Di kejauhan, puncak-puncak bukit tersembunyi di balik tirai putih kabut, seolah enggan memperlihatkan dirinya.Bram tahu resikonya. Maka itu bertindak sangat hati-hati. Kalau sampai usahanya ini terbongkar. Dia tidak hanya harus melindungi Puspa, tapi juga kedua anaknya, mamanya, juga bisnisnya. Maksum punya kuasa. Bisa melakukan banyak cara untuk menghancurkannya. "Hentikan saja, Mas. Biarlah mereka berkuasa. Suatu hari pasti akan hancur sendiri. Aku nggak ingin, Mas menanggung resikonya. Gara-gara aku, banyak yang Mas Bram pertaruhkan. Bisnis, uang, dan keselamatan keluarga.""Kita sudah memulai, Puspa. Doakan saja apa yang Mas lakukan bisa memberikan mereka pelajaran."Netra Puspa berkaca-kaca. Bukan tenang, justru membuat Puspa kian cemas. Bram memeluknya. Raga yang awalnya menegang, per
"Astaga. Berani-beraninya kamu baca privasi orang." Dita sewot. "Kamu juga baca chat-ku dengan cowokku?""Sumpah, nggak. Aku hanya baca pesannya Puspa. Maafkan aku, Dit.""Ya ampun. Kamu baca semuanya? Dan sekarang kamu tahu rahasia itu, Ray?" Dita menyesal. Kenapa begitu ceroboh meninggalkan ponselnya. Padahal chat dari Puspa belum sempat dihapus. Puspa pasti marah kalau sampai tahu hal ini. Padahal di antara sekian teman, hanya Dita yang dipercaya mendengar kisahnya."Kenapa Puspa nggak mau ngomong saja sama aku, Dit?" Suara Rayyan bergetar. Dita pun berkaca-kaca."Kenapa justru menjauh dan menikah dengan orang lain?""Ya ... ya karena baginya itu aib, Ray. Kamu mestinya bisa mengira bagaimana perasaan perempuan yang mengalami pelecehan. Ini bukan pelecehan lagi, tapi pemerkosaan. Dia bilang kalau nggak layak buatmu. Makanya dia menjauhimu dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya.""Kenapa kamu nggak langsung memberitahuku seketika itu, Dit? Jadi Puspa nggak sampai nikah sa
PERNIKAHAN - Mangga MudaVanya mendekati Puspa dan melihat ke dalam kamar. Ada Mak Sri di sana. Gadis itu memandang ibu tirinya. Tinggi mereka sama. Memang benar, mereka seperti kakak adik jadinya."Jangan khawatir, aku nggak bakalan masuk, Vanya. Tadi hanya kebetulan, aku keluar kamar dan melihat Mak Sri hendak bersih-bersih," ujar Puspa pada Vanya yang berdiri di depannya. Sejak di semprot Vanya malam itu, Puspa tidak ada keinginan untuk masuk ke sana lagi. Ia hanya berdiri di depan pintu kamar dan melihat ke dalam. Itu pun karena ada Mak Sri.Mak Sri yang sedang bersih-bersih, memperhatikan dua majikannya dengan perasaan cemas.Gadis remaja itu memandang Puspa beberapa saat, lantas kembali masuk kamar tanpa bicara apa-apa. Sekarang tidak lagi menyemprot dengan kata-kata, tapi membisu. Namun mata itu bisa mengungkapkan isi hati pemiliknya. Vanya memang belum benar-benar menerimanya.Puspa menuruni tangga untuk ke dapur mengambil teko air minum yang tadi dicucinya.Sabar, Puspa. Sed
Tapi jujur saja, Puspa penasaran. Siapa orang yang dimaksud Mak Sri mencampuri urusan rumah tangga suaminya dengan Sandra. Sejauh mana dan seperti apa hubungan mereka sebenarnya. Hanya penasaran yang berkecamuk dalam benak.Pintu terbuka. Bram tersenyum ke arahnya."Mas, mau ganti baju?" tanya Puspa."Tidak usah. Mas tadi hanya ngobrol sama Dahlan.""Apa sebaiknya kita biarkan saja mereka, Mas. Banyak yang akan Mas korbankan untuk hal ini. Aku sudah nggak apa-apa. Mas, bisa menerimaku saja, dah sangat bersyukur. Hentikan saja. Besok aku akan ngomong ke ayah sambil nganterin oleh-oleh. Kalau aku yang bicara, ayah pasti mengerti."Bram menangkupkan kedua telapak tangannya di kedua pipi Puspa. Mata mereka bertemu. "Kita sudah memulainya, Puspa. Setidaknya kita juga bisa menyelamatkan warga dari pemimpin yang tak layak. Mereka maju menjadi anggota dewan bukan untuk memajukan bangsa, tapi demi kepentingan mereka sendiri. Kita lanjutkan saja, kamu tidak usah takut."Melihat keseriusan itu,
Satu bulan kemudian ...."Yang, ada apa dengan ayah. Akhir-akhir ini lebih sering menyendiri dan sepertinya enggan membahas lagi tentang pilkada." Irwan bicara setelah berbaring di samping sang istri."Sejak tahu apa yang terjadi dengan Puspa, ayah memang berubah. Dia terpukul sekali dengan peristiwa itu," jawab Indah."Tapi Puspa sudah bahagia dengan suaminya. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.""Apa Mas kira, begitu mudahnya seorang ayah melupakan kehormatan putrinya yang telah dinodai? Kamu juga seorang ayah, Mas. Kamu kadang juga nggak terima kalau anak kita menangis gara-gara dicubit sama keponakanmu sendiri. Atau mainan miliknya dirampas paksa."Padahal itu hanya sekedar cubitan dan sekedar mainan. Kalau Puspa ini yang dirampas kehormatannya. Mas, nggak tahu betapa sayangnya ayah sama Puspa. Waktu kecil dulu, Puspa ini sering sakit-sakitan, makanya mendapatkan perhatian lebih.""Kenapa Puspa nggak dipaksa saja ngasih tahu siapa pelakunya?" Indah bergerak miring menghadap
PERNIKAHAN- Dibayar KontanMungkinkah dia hamil? Hal yang sempat dipikirkan beberapa hari yang lalu. Sebab tidak kunjung haid. Tapi diabaikan karena dokter bilang kalau habis melahirkan atau keguguran, biasanya tidak langsung haid untuk bulan berikutnya."Bener, Nduk. Kamu hamil?" tanya Bu Lurah mengulang sambil mendekat pada Puspa yang masih memegang galah."Aku belum tahu, Bu." Puspa sendiri tampak bingung. Karena dia baru ingat kalau belum haid lagi pasca keguguran. "Loh kok nggak tahu. Kamu haid apa nggak? Dokter bilang kalau kamu disarankan jangan hamil dulu minimal empat bulan pasca keguguran."Puspa menaruh galahnya dan duduk di bangku kayu dekat emperan dapur belakang. "Kalau habis minum pil KB kepalaku pusing, Bu. Mual juga. Makanya jarang aku minum. Lagian kalau minum pil itu, aku ingat bagaimana wanita jahat itu memaksaku untuk minum pil yang entah aku nggak tahu namanya.""Jadi kamu nggak teratur minum pilnya?""Nggak.""Bisa jadi kamu hamil. Sejak kecil kamu kan nggak s
"Dari mana to kalian berdua ini?" tanya Pak Lurah yang baru pulang dari balai desa. Laki-laki itu keheranan melihat istri dan anaknya. Kenapa pula Bu Lurah yang nyetir, bukan Puspa."Dari Bidan Yanti, Yah. Ayah, bakalan punya cucu lagi." Wajah Bu Lurah berbinar-binar menyampaikan kabar itu. Pak Lurah yang akhir-akhir ini jarang sekali tersenyum, mendadak terharu sekaligus bahagia. Senyum terukir di bibirnya yang dinaungi kumis tebal. Kemudian mendekati Puspa dan merangkulnya ke dalam. Mereka duduk di kursi ruang makan.Si mbok yang bantu-bantu di rumah Pak Lurah, turut bahagia mendengar kehamilan Puspa. Wanita itu segera menyiapkan buah seadanya dan cobek untuk membuat rujak yang tadi diinginkan anak majikannya.Dialah saksi tumbuh kembang anak-anak Pak Fathir. Sebab sudah bekerja pada keluarga itu semenjak Indah Dan Puspa masih kecil. Pak Lurah memiliki sawah dan kebun yang luas, selalu membutuhkan orang untuk membantu istrinya memasak. Tapi kalau sore, si mbok pulang ke rumahnya. K
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l
Ponsel Bram di atas meja kecil berdering. Puspa melihat siapa yang menelepon. "Mas, ada telepon dari Bu Harso.""Angkat saja.""Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bukan suara Bu Harso, tapi suaranya Santi."Ada apa, Mbak?""Aku mau bicara sama Mas Bram.""Mas Bram lagi sibuk, Mbak. Ada pesan apa nanti saya sampaikan.""Sebentar saja. Bisa nggak?" Wanita di seberang memaksa."Nggak bisa diganggu Mas Bram-nya, Mbak. Jangan khawatir, nanti pasti saya sampaikan." Puspa jadi geram. Memangnya mau bicara apa. Bram pun sudah memberitahu Santi atau Bu Harso, kalau ada urusan yang mungkin perlu disampaikan ke Vanya dan Sony, bisa bicara langsung pada Puspa. Tapi wanita itu sepertinya tidak percaya padanya."Besok malam, ada acara arisan keluarga di rumah mama. Vanya dan Sony disuruh datang atau biar aku yang jemput mereka.""Oke. Nanti aku kasih tahu ke Mas Bram."Panggilan langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan salam. Bram mendekat sambil mengendong A'im. "Ada apa?""Mbak Sant