Satu bulan kemudian ...."Yang, ada apa dengan ayah. Akhir-akhir ini lebih sering menyendiri dan sepertinya enggan membahas lagi tentang pilkada." Irwan bicara setelah berbaring di samping sang istri."Sejak tahu apa yang terjadi dengan Puspa, ayah memang berubah. Dia terpukul sekali dengan peristiwa itu," jawab Indah."Tapi Puspa sudah bahagia dengan suaminya. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.""Apa Mas kira, begitu mudahnya seorang ayah melupakan kehormatan putrinya yang telah dinodai? Kamu juga seorang ayah, Mas. Kamu kadang juga nggak terima kalau anak kita menangis gara-gara dicubit sama keponakanmu sendiri. Atau mainan miliknya dirampas paksa."Padahal itu hanya sekedar cubitan dan sekedar mainan. Kalau Puspa ini yang dirampas kehormatannya. Mas, nggak tahu betapa sayangnya ayah sama Puspa. Waktu kecil dulu, Puspa ini sering sakit-sakitan, makanya mendapatkan perhatian lebih.""Kenapa Puspa nggak dipaksa saja ngasih tahu siapa pelakunya?" Indah bergerak miring menghadap
PERNIKAHAN- Dibayar KontanMungkinkah dia hamil? Hal yang sempat dipikirkan beberapa hari yang lalu. Sebab tidak kunjung haid. Tapi diabaikan karena dokter bilang kalau habis melahirkan atau keguguran, biasanya tidak langsung haid untuk bulan berikutnya."Bener, Nduk. Kamu hamil?" tanya Bu Lurah mengulang sambil mendekat pada Puspa yang masih memegang galah."Aku belum tahu, Bu." Puspa sendiri tampak bingung. Karena dia baru ingat kalau belum haid lagi pasca keguguran. "Loh kok nggak tahu. Kamu haid apa nggak? Dokter bilang kalau kamu disarankan jangan hamil dulu minimal empat bulan pasca keguguran."Puspa menaruh galahnya dan duduk di bangku kayu dekat emperan dapur belakang. "Kalau habis minum pil KB kepalaku pusing, Bu. Mual juga. Makanya jarang aku minum. Lagian kalau minum pil itu, aku ingat bagaimana wanita jahat itu memaksaku untuk minum pil yang entah aku nggak tahu namanya.""Jadi kamu nggak teratur minum pilnya?""Nggak.""Bisa jadi kamu hamil. Sejak kecil kamu kan nggak s
"Dari mana to kalian berdua ini?" tanya Pak Lurah yang baru pulang dari balai desa. Laki-laki itu keheranan melihat istri dan anaknya. Kenapa pula Bu Lurah yang nyetir, bukan Puspa."Dari Bidan Yanti, Yah. Ayah, bakalan punya cucu lagi." Wajah Bu Lurah berbinar-binar menyampaikan kabar itu. Pak Lurah yang akhir-akhir ini jarang sekali tersenyum, mendadak terharu sekaligus bahagia. Senyum terukir di bibirnya yang dinaungi kumis tebal. Kemudian mendekati Puspa dan merangkulnya ke dalam. Mereka duduk di kursi ruang makan.Si mbok yang bantu-bantu di rumah Pak Lurah, turut bahagia mendengar kehamilan Puspa. Wanita itu segera menyiapkan buah seadanya dan cobek untuk membuat rujak yang tadi diinginkan anak majikannya.Dialah saksi tumbuh kembang anak-anak Pak Fathir. Sebab sudah bekerja pada keluarga itu semenjak Indah Dan Puspa masih kecil. Pak Lurah memiliki sawah dan kebun yang luas, selalu membutuhkan orang untuk membantu istrinya memasak. Tapi kalau sore, si mbok pulang ke rumahnya. K
"Lagi ada di kamar. Barusan di antar ibu periksa ke Bidan Yanti."Netra Bram langsung menyipit. Ada apa dengan istrinya. "Puspa kenapa, Yah?" Mendadak khawatir. Perasaan waktu di antar tadi pagi, istrinya sehat-sehat saja. Kenapa di antar periksa ke bidan. Warga desa kalau sakit ringan biasanya periksa dan minta obat ke bidan desa. Jadi tidak hanya untuk masalah perempuan saja, seperti periksa kehamilan atau penggunaan kontrasepsi. Bapak-bapak yang sakit, biasanya juga periksa ke sana."Alhamdulillah, Puspa hamil, Nak Bram," jawab Bu Lurah. Wanita itu cerita bagaimana ia mengajak Puspa untuk periksa ke dokter Yanti.Dari menyipit, Bram langsung terbeliak. Tentu ini menjadi kabar yang mengejutkan sekaligus membahagiakan. Istrinya hamil? Bukankah Puspa minum pil kontrasepsi. Kenapa bisa hamil? Apa ini tidak terlalu beresiko."Alhamdulillah." Bram sangat bahagia."Bidan Yanti nyaranin, supaya segera memeriksakan Puspa ke dokter kandungan.""Iya, Bu. Sore ini saya ajak periksa.""Coba ka
PERNIKAHAN - Penyesalan "Begini yang dirasakan Puspa setahun lalu," ucap Dikri lirih. Seolah bicara pada dirinya sendiri."Mungkin ini yang harus kita bayar, Ma," lanjutnya."Kamu bilang apa?" Suara Bu Maksum meninggi. Tersulut oleh ucapan putranya. "Kamu yang bikin ulah, kan? Kami sebagai orang tua hanya berusaha melindungimu. Karena kamu mau maju ke pilcaleg, kamu sudah tunangan. Apa jadinya kalau mereka tahu perbuatanmu. Nama baik kita akan tercoreng. Kamu gagal nyaleg, semua jadi pertaruhan. Pertunanganmu juga batal dan kamu tahu apa yang akan mereka lakukan terhadapmu? Orang tua Maya nggak mungkin terima begitu saja. Setelah pesta pertunangan kalian di gelar begitu megah, seenaknya kamu meninggalkan anaknya. Nyawamu bisa jadi taruhannya."Bisa-bisanya kamu meniduri gadis itu. Kurang apa Maya, Dik. Kami sebagai orang tua berusaha memberikan yang terbaik buat kamu." Bu Maksum murka dengan tatapan menyala penuh kemarahan.Dikri diam. Percuma bicara kalau mamanya sudah berkobar-kob
Namun juga percuma. Nomer lelaki itu sudah tidak bisa dihubungi."Apa dua orang itu teman kuliah pacarmu yang jahanam?"Denik menggeleng. "Siapa mereka?""Aku pun nggak tahu. Baru malam itu aku melihatnya."Dikri menarik napas dalam-dalam. Rumit . Denik pun tidak tahu siapa dua pria itu. "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"Gadis berambut blonde menceritakan kalau sejak sore dia memang ke rumah pacarnya. Sebab cowoknya bilang kalau sedang sakit. Di rumah itu tidak ada orang. Awalnya sang pacar merayu mengajak Denik untuk melakukan perbuatan terlarang, tapi Denik tidak mau. Ujungnya dia malah dipaksa. Kemudian datang dua temannya disaat cowok itu tengah beraksi. Alkohol yang mendominasi membuat mereka melakukan perbuatan terkutuk itu bergantian.Dada Dikri serasa tercabik-cabik. Bisa membayangkan bagaimana paniknya Denik. Pasti lebih histeris daripada Puspa yang hanya digagahi olehnya sendiri.Sanggupkah Dikri mengaku pada sang adik, kalau kakaknya pernah sebejat itu? "Den, mas harus ba
"Tiga hari yang lalu, Denik datang ke rumah malam-malam dalam keadaan kacau balau. Ternyata dia diperkosa oleh pacar dan dua teman pacarnya."Mereka terkejut bukan main. Bu Lurah saling pandang dengan Pak Lurah, sedangkan Puspa bersipandang dengan suaminya. Tubuh wanita hamil itu gemetar. Bram langsung menggenggam tangannya."Nasib keluarga Om Maksum sama seperti yang kita alami. Tapi lebih parahan mereka," lanjut Indah Pak Lurah langsung membuang muka. Memang sepantasnya begitu. Apa yang ditanam, itulah yang dituai. Ibaratnya menanam satu biji kedelai, maka akan panen segenggam kedelai. Namun lelaki itu menahan diri untuk tidak bicara apapun. Dia ingat kalau Puspa sedang hamil muda. Jangan sampai membuat putrinya kembali tertekan. "Mereka merasakan apa yang kami rasakan," ucap Bu Lurah lirih."Iya, Bu. Tante Ira shock banget. Dikri yang tampaknya sangat terpukul," jawab Indah.Tangan Puspa terasa dingin digenggaman sang suami. Bram menyadari ketidaknyamanan itu. Dilihatnya jam tang
PERNIKAHAN- Puncak Kemarahan BramVanya melamun di kamarnya. Benarkah Puspa hamil? Perkataan Sony pagi itu mengusik jiwanya. Seminggu ini ia kerap memperhatikan apapun yang dilakukan oleh Puspa. Sering mencuri pandang area perut yang terlihat masih rata. Apa karena Puspa memakai gamis longgar sehingga perutnya tidak kentara. Ia merasa terombang-ambing oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Dia tidak menginginkan anggota keluarga baru. Apalagi bayi itu dilahirkan oleh Puspa.Selain muntah-muntah dan perut membuncit, apalagi tanda-tanda orang hamil? Entahlah, Vanya tidak paham. Namun kenapa papanya tidak memberitahunya dan Sony kalau memang benar mau punya adik.Sungguh ia tidak terima. Vanya merasa papanya telah melupakan dan mengkhianati mama mereka. Apalagi kalau benar Puspa hamil. Vanya merasa terancam, seolah-olah kehadiran calon adik barunya akan menggeser posisinya dalam keluarga. Simbol perubahan yang akan mengubah segalanya. Takut kehilangan perhatian yang selama ini ia terima