PERNIKAHAN- Menguji Kesabaran [Pokoknya kalau kamu butuh teman curhat, chat saja ke Tante. Nggak usah takut. Segalaknya papamu, dia nggak mungkin tega sama anaknya sendiri.][Makasih, Tan.][ Ya sudah. Segera tidur. Besok kamu sekolah.][Besok sore papa mau ngajakin kami staycation. Males banget tau. Ada perempuan itu.][Kamu mau nginap saja di rumah nenek? Biar besok Tante jemput.][Aku takut papa marah.][Bilang saja kalau kamu ada kegiatan di sekolah.][Aku pikirkan dulu, Tan.][Oke. Udah buruan bobo.][Iya.]Vanya meletakkan ponselnya di atas meja belajar. Kemudian menarik selimut. Sambil menatap langit-langit kamar, ia teringat bagaimana Sony sangat akrab dengan ibu tiri mereka.Ah, Vanya sangat bersyukur Puspa keguguran. Jadi tidak ada adik yang dilahirkan wanita itu. Tapi bagaimana kalau hamil lagi? Vanya menggeram. Sungguh dia tidak menginginkannya. Cinta sang papa pasti akan terbagi. Bohong kalau sama rata. Sedangkan sekarang saja terlihat Puspa begitu diperhatikan oleh pap
Tepukan di pinggulnya membuat Puspa berjingkat kaget. Bram berlari melewatinya. Suara dari sepatunya yang menapak di lantai semen terdengar berat dan teratur. Pantas saja dia memiliki tubuh yang bagus dan sehat. Karena tidak malas berolahraga. Puspa mengulum senyum dan melempar pandang pada langit yang gelap kebiruan. Malu dengan angannya sendiri. Padahal dia sudah merasakan bagaimana tubuh itu mendekapnya tanpa sekat.Puspa menoleh pada sang suami yang berhenti dan berdiri di dekatnya. Bram menariknya pelan dan diajak duduk di bangku semen. Di cakrawala semburat cahaya keemasan mulai kentara. Puspa memperhatikan keringat yang membasahi rambut dan rahang kokohnya Bram. Terlihat begitu keren meski tengah bermandi keringat. Mulai diperhatikan,mulai terlihat segala keistimewaan. Mulai dari sikap dan posturnya. Dia memegang teguh prinsip hidupnya. Setegas itu dan sememahami itu pada pasangannya. Hati Puspa menghangat. Duh, denyar aneh kembali timbul. Apakah bisa dibilang dia sekarang ja
PERNIKAHAN- Teguran "Mas, bagaimana kalau Vanya nggak mau turun?" Puspa yang digandeng sang suami menuruni tangga, tampak khawatir."Kita tinggal saja," jawab Bram dengan wajah tegang. Terlihat dia sangat kecewa atas kelakuan anaknya.Puspa tidak berani berpendapat lagi. Tidak ingin menambah suasana kian keruh."Mana Vanya, Bram?" tanya Bu Dewi. Wanita itu tak kalah cemas."Kita tunggu lima menit, Ma. Kalau dia turun berarti mau ikut, kalau tidak, berarti tidak ikut."Bu Dewi memandang ke dalam. Liburan yang seharusnya menyenangkan, kini sudah diawali dengan ketegangan. Terkadang Bu Dewi kasihan, kadang juga jengkel. Vanya sangat keras kepala. Mak Sri yang menunggui mereka berangkat juga ikutan resah. Kalau Vanya tidak ikut, dia yang akan menjaganya di rumah."Mama, Puspa, Adek, dan Mak Siti masuk mobil dulu aja. Mungkin Vanya tidak akan turun."Bu Dewi, Sony, Mak Siti langsung masuk mobil. Puspa menghampiri suaminya. "Karena ada aku, Vanya nggak mau ikut, Mas.""Tapi kalau kamu me
"Ma, saya ingin mengajak Vanya ngobrol malam ini, di kamar Mama saja." Bram menghampiri mamanya usai mereka makan malam."Iya. Agak malam saja setelah Sony tidur. Tapi pelan-pelan ngomong sama Vanya. Keluarga mamanya sudah kelewatan meracuni pikirannya. Jadi susah diberitahu sekarang."Bram mengangguk.Mereka berkumpul di ruang tamu vila. Sambil menikmati teh hangat buatan Mak Siti. Sony yang menghidupkan suasana dengan candaannya. Sedangkan Vanya yang diam, sesekali tersenyum mendengar adiknya bicara.Puspa mendengarkan dan sesekali ikut menimpali.Jam sembilan malam mereka masuk kamar. "Mas akan ngajak ngobrol Vanya sekarang. Jangan tidur dulu, tunggu mas kembali." Bram mengecup puncak kepala istrinya. Lantas melangkah keluar kamar.Dua kali mengetuk pintu, Vanya membukanya."Papa ingin mengajak Vanya bicara."Vanya mengangguk lantas menutup pintu setelah mereka masuk. Bu Dewi sudah menunggu di atas tempat tidur."Sebelumnya papa minta maaf, kalau keputusan papa menikah lagi membua
Mengambil ponsel di saku celana dan mengetik pesan untuk mantan adik iparnya.[Nggak usah ikut campur lagi tentang Vanya dan Sony. Jangan menghasutnya untuk membenci Puspa. Kalian sudah terlalu dalam ikut campur urusan pribadi saya. Jangan sampai saya hilang respect pada kalian sebagai keluarga.]Selesai mengirim pesan. Bram mematikan ponselnya. Dia tidak ingin membaca balasan Santi malam ini.Sementara di dalam kamar, Vanya menangis di pelukan utinya. "Papamu kalau menuruti kesenangannya sendiri, sudah lama dia nikah lagi, Nduk. Papamu menikah dengan Bunda, itu pun karena ada campur tangan Uti. Ketika Uti bicara ingin mengenalkannya pada Bunda, papamu masih minta waktu untuk memikirkannya. "Sebelum menyetujui perjodohan, papamu juga sholat istikharah. Kamu tahu kan apa sholat istikharah itu?"Vanya mengangguk."Baru dia memutuskan untuk melamar Bunda. Kamu nggak tahu seberapa besar pengorbanan papamu selama ini. Demi kamu, demi Sony. Papamu pria sejati yang memegang teguh komitmenn
PERNIKAHAN- MaafPuspa mengerjab. Pelan ia memindahkan lengan suaminya yang memeluk pinggang. Selimut disibak, lantas beringsut untuk duduk di tepi pembaringan.Diambilnya jam tangan sang suami di nakas. Jarum menunjukkan pukul 06.15. Mereka tertidur lagi setelah salat subuh.Wanita itu turun perlahan supaya tidak mengganggu suaminya yang masih terlelap. Puspa mengintip ke luar dari balik gorden jendela. Suasana redup karena kabut tebal masih menyelimuti permukaan bumi. Membuat segala sesuatu tampak sedikit kabur.Di kejauhan, bayangan pohon dan perbukitan hanya tampak samar. Namun suara alam perlahan terbangun, kicauan burung mulai terdengar, menambah kesan hidup di tengah kesunyian yang syahdu. Seolah-olah sedang terbangun dari tidur malam yang panjang.Puspa kembali ke tempat tidur. Meringkuk lagi membelakangi suaminya. Ada rasa takut dan cemas, apa dia sanggup menjalani ini sampai nanti? Ditengah gempuran kebencian anak tiri dikala dia sedang membangun kepercayaan diri.Hal semal
"Masih terlalu awal, Puspa." Bram menahan lengan istrinya."Sudah hampir setengah tujuh, Mas. Bentar lagi anak-anak bangun. Semoga pagi ini Vanya ada perubahan. Dia bisa mengerti dengan omongan Mas tadi malam.""Semoga saja." Bram seolah tidak yakin.Beberapa saat keduanya terdiam. Bram mengusap jemari Puspa yang lembut. "Kamu menunggu Mas tadi malam?"Mendengar pertanyaan itu, Puspa mengalihkan pandangan ke sudut ruangan. Tersipu karena ketahuan. Entahlah, dia yang dibiarkan sia-sia, justru yang merasa malu. "Mas, bilang kalau aku harus nunggu.""Iya. Maaf, mas memang kalut semalam.""Aku ngerti. Aku mau mandi dulu, Mas." Puspa memaksa turun. Membuka koper dan mengambil baju ganti lalu masuk kamar mandi. Tidak memberi kesempatan Bram untuk membahas hal semalam lebih jauh.Bram menyalakan ponselnya. Ada beberapa pesan balasan dari Santi.[Kenapa sih Mas Bram ngomong seperti itu? Wajar kan kalau aku bantuin jaga Vanya dan Sony. Mereka ponakanku juga loh.][Aku nggak mengaruhi apa-apa.
"Bun, aku beli baju batik ini untuk ngaji." Sony menunjukkan hem bercorak batik yang dipegangnya."Boleh," jawab Puspa lantas memilih ukuran yang pas buat Sony."Uti, ini bagusan yang mana?" Vanya menunjukkan dua baju pada Bu Dewi."Yang di tangan kiri bagus. Iya kan, Puspa?" Bu Dewi minta pendapat sang menantu."Iya. Itu bagus. Kamu ambil itu aja, Kak." Puspa memandang Vanya.Akhirnya gadis itu mengembalikan baju di tangan kanannya. Dada Bu Dewi terasa sejuk. Bagai disirami air es. Tidak sia-sia menasehati Vanya tadi malam dan sehabis salat subuh tadi."Aku beli satu buat Monic ya, Uti."Bu Dewi mengangguk.Usai menelepon Bram kembali mendekat. Setelah cukup memilih pakaian dan membayarnya, mereka langsung ke sebuah restoran untuk makan siang. Puspa penasaran, siapa yang menelepon karena Bram terlihat begitu serius. ***L***Meski baru jam tiga sore, suasana sudah pekat oleh kabut. Redup dan dingin. Bu Dewi, Puspa, Mak Siti, dan anak-anak sudah mandi dan sekarang duduk di balkon sam
"Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat
"Sudah kubilang kalau itu bukan masalah bagiku. Kamu nggak harus berkata panjang lebar, May. Cukup bilang, ya atau tidak. Aku sudah mengerti." Dikri memandang Maya. Sedangkan Maya memandang gerimis di hadapannya. Pemandangan sore ini begitu indah. Wanita itu menoleh pada lelaki di sebelahnya. "Ya," ucapnya pasti.Senyum Dikri merekah,terlihat sangat lega. Kali ini sesuai seperti apa yang ia harapkan. "Aku akan membicarakannya dengan papa dan mama. Sudah pasti dalam waktu dekat ini, aku akan datang untuk melamarmu.""Aku ingin acara yang sederhana saja.""Aku setuju. Bagaimana kalau hari Minggu ini kami ke rumahmu.""Minggu ini?" Maya kaget. Dia pikir tidak akan secepat ini meski pun sudah mengiyakan."Iya.""Dik, aku belum ngabarin Mas Bayu. Belum tentu kalau dadakan gini dia bisa pulang. Dia yang sekarang menjadi waliku setelah papa tiada.""Ya, aku ngerti. Kalau gitu, kutunggu kabar darimu. Tapi nanti aku ingin ketemu mamamu sebentar saja.""Oke." Keduanya saling pandang. Kemudian
"Kita bisa berjuang bersama-sama, May. Jangan lagi menyesali masa lalu. Kita buka lembaran baru.""Dik, kasih aku waktu untuk bicara dengan mamaku.""Apa aku perlu bicara langsung dengan beliau sekarang.""Jangan. Biar aku saja. Besok sepulang kerja kita bisa ketemuan. Aku sudah merasa lebih baik, jadi besok bisa masuk kerja."Dikri mengangguk. "Baiklah. Kalau gitu, aku pamit pulang. Aku mau pamitan sama mamamu." Dikri memandang pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang belakang."Bentar." Maya bangkit dari duduknya dan mencari mamanya di belakang.Bu Anang muncul seraya tersenyum. "Mau balik, Nak Dikri?""Ya, Bu. Terima kasih untuk makan malamnya. Saya ke sini malah ngerepotin.""Nggak ngerepotin. Hati-hati ya! Salam buat Pak Maksum dan Bu Ira.""Iya, Bu." Dikri mencium tangan Bu Anang, kemudian melangkah keluar di antar oleh Maya hingga ke teras. "Besok pagi kujemput. Kuantar ke tempat kerjamu. Biar sorenya kita bisa ketemuan.""Nggak usah. Aku bisa berangkat bareng temanku.""Ok
PERNIKAHAN - Mendadak NikahMaya spontan membeku dan bertambah pucat. Apa dia tidak salah dengar. Namun lelaki di hadapannya ini tampak sangat serius. Maya menghela nafas panjang untuk menghilangkan debaran dalam dada."Dik, kemarin dokter bilang aku hanya kecapekan, sekarang kamu ingin membuatku jantungan? Jangan bercanda, deh!""Aku nggak bercanda, May. Sumpah!"Suhu tubuh Maya yang mulai normal, kini rasanya kembali panas dingin. Sama sekali dia tidak kepikiran lagi bisa kembali bersama Dikri, meski hubungan mereka membaik belakangan ini."Aku serius, May."Maya serasa menggigil. Dia memang mencintai Dikri, tapi sejak putusnya pertunangan mereka dan Maya menikah dengan laki-laki lain, ia berusaha melupakan perasaan itu. Mengubur harapannya. Ada hal-hal yang tidak dipahami oleh Maya tentang Dikri. Di mana lelaki itu tidak begitu peduli dengan hubungan mereka disaat masih terikat pertunangan. Maya pun sebenarnya merasakan hal itu, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengun