Puspa mengangguk. Bram segera bangkit untuk membawakan tasnya Puspa. Pak Lurah dan Bu Lurah membawa barang-barang lainnya, sedangkan Sony menggandeng bundanya.Bram meletakkan semua barang-barang di bagasi, kemudian membuka pintu mobil untuk istri dan anaknya. Setelah itu dia menghampiri dan bicara dengan mertua. "Yah, saya izin membawa Puspa kembali ke rumah. Saya janji akan menjaganya dengan baik."Pak Lurah memandang putrinya yang sudah duduk di dalam mobil. Antara tega dan tidak. Puspa itu anak yang paling dekat dengannya semenjak kecil daripada sang kakak. Indah lebih dekat ke ibunya."Saya titip Puspa, Nak Bram. Kalau sampai dia membuat Nak Bram kecewa, pulangkan saja secara baik-baik pada kami. Sebagaimana Nak Bram mengambilnya secara baik-baik dari kami dulu." Ucapan dengan intonasi tenang dari Pak Lurah, membuat Bram serba salah."Saya paham, Yah. Maafkan saya atas permasalahan kemarin. Saya janji akan menjaga dan melindungi Puspa setelah ini."Pak Lurah menepuk bahu sang men
Namun Dahlan juga heran. Di tahun-tahun sebelumnya, Bram menolak berkecimpung dalam dunia politik. Dia tidak pernah menunjukkan siapa calon yang didukungnya saat pemilihan lurah, bupati, gubernur, presiden, dan para caleg begini. Bram juga menolak tegas saat ada calon yang datang melobinya."Ini butuh info secepatnya, Bos?" tanya Dahlan."Lebih cepat lebih baik.""Oke." Dahlan beranjak keluar dari kantor Bram saat mendengar suara truk memasuki halaman.Bram meraih ponsel untuk menelepon dokter Anggi."Ya, Mas Bram. Pasti udah nggak sabar mau mendengar hasil konsultasi kemarin.""Maaf, kalau saya mengganggu dokter siang-siang begini.""Nggak apa-apa. Tapi hari ini Mbak Puspa sudah boleh pulang, kan?""Alhamdulillah, kami sekarang sudah di rumah, Dok.""Oh, syukurlah. Dua hari lagi jadwal konsultasi untuk Mbak Puspa. Jam delapan pagi ya, Mas Bram.""Iya, Dok. Bagaimana dengan konsultasi kemarin?""Mbak Puspa menceritakan semuanya. Yang jelas istri Anda sangat insecure saat berhadapan de
PERNIKAHAN - Janji Puspa membuka handle pintu kamar, tapi urung keluar saat mendengar suara Vanya dan seorang wanita di dekat tangga. Ketika diintip, Puspa tahu siapa perempuan berbaju ungu yang bersama putri tirinya. Mereka sempat bertemu ketika Santi menghadiri pernikahannya dengan Bram."Makasih banyak, Tan. Cepet banget ya penjahitnya." Vanya membentang seragam baru di tangannya. Mereka juga melangkah duduk di sofa."Memang tante yang nyuruh supaya dikerjain duluan. Hari Senin kan mau kamu pakai. Kamu jadi nginap di rumah nenek, nggak? Sekalian bareng tante saja.""Iya, aku males di rumah. Perempuannya papa sudah pulang." Jawaban Vanya cukup mencubit dada Puspa. Sakit sekali. Perempuan. Itu sebutan Vanya untuknya, tidak ada sopan-sopannya. Diucapkan dengan nada sinis pula."Jadi dia sudah pulang?" Santi bertanya dengan suara berbisik. Namun Puspa masih bisa mendengarnya karena ruang lantai dua cukup hening. Perasaannya yang sedikit tenang, kini terkoyak kembali."Iya. Main kabur
"Papa tidak melarangmu nginap di rumah nenek. Tapi ingat, papa tidak ingin kamu kembali ke rumah ini membawa cerita yang berbeda. Papa belum bisa cerita, Vanya. Tapi kita punya kehidupan sendiri dan privasi di rumah ini, yang orang luar tidak perlu tahu. Sekalipun itu nenek, tante, atau saudara mama yang lain. Kamu paham?""Iya," jawab Vanya pelan."Mama Sandra tidak bakalan bisa tergantikan oleh siapapun sebagai ibu kandung kamu. Tapi kamu juga harus menghormati Bunda. Jika kamu wajib menutupi perihal apapun tentang mama, itu juga yang harus kamu lakukan terhadap bunda. Papa tidak ingin, orang luar tahu apa yang terjadi di rumah ini. Termasuk tentang kepergian bunda beberapa hari kemarin. Kamu tidak mengerti apa yang terjadi dengan permasalahan orang dewasa, Vanya."Satu lagi, kita memang memiliki hubungan keluarga dengan nenek dan Tante Santi. Tapi papa punya kehidupan pribadi yang tidak seharusnya mereka tahu. "Kalau kamu anggap kepergian papa beberapa waktu yang lalu itu karena t
Saat mereka sampai di ruang makan, Sony juga pulang dari bermain. Bocah lelaki itu langsung masuk kamar mandi untuk cuci tangan dan kaki. Kemudian bergabung di meja makan. Puspa senang, ada Sony di antara mereka yang bisa mencairkan suasana.***L***Bulan purnama bulat sempurna menghias langit malam. Cahayanya jatuh pada pucuk-pucuk daun pepohonan rindang dan biasnya menembus menyentuh tanah menampakkan bayang-bayang yang indah, karena diembus angin sepoi-sepoi.Puspa berdiri menikmati malam dari balkon kamar. Sedangkan Bram menerima tamu di lantai bawah.Bagaimana hari esok? Apa dia akan bertahan di sini sebagai istri atau pergi dengan status sebagai mantan. Perkataan Vanya tadi siang masih terngiang di telinga. Jadi sebenarnya Vanya mengharapkan Santi-lah yang akan menjadi pengganti mamanya. Namun justru papa mereka menikahinya. Satu kenyataan yang menambah sesak beban dalam dada."Kalau ada yang mengganjal, tentang apapun itu. Sebaiknya dibahas bersama suami. Mbak Puspa, nggak bisa
PERNIKAHAN- Mulai Nyaman Bram membenahi selimut istrinya yang terlihat sangat tegang. Namun Bram berusaha tetap tenang. Walaupun gelora dalam dada sedang menggelepar-gelepar. Ini salahnya. Dan harus siap menerima konsekuensinya.Dia juga menarik selimut untuk menutupi tubuhnya sendiri. "Puspa, tidak perlu terlalu ke pinggir. Tempat tidur ini lebih dari muat untuk kita berdua. Lanjutkan tidurmu!" ucap Bram sambil berbaring miring menghadap Puspa. Memandang hidung bangirnya.Puspa mengangguk pelan lantas memejam. Di bawah selimut, Bram menautkan jemari mereka. Puspa berjingkat, tapi Bram menahannya. "Tidur dengan tangan seperti ini, tidak akan mengganggumu!"Hening. Hanya suara serangga malam di luar sana yang terdengar. Puspa hanya memejam tapi tidak terlena. Tiap kali jemarinya hendak dilepaskan dari genggaman Bram, lelaki itu menahannya. Jadi sebenarnya mereka sama-sama tidak bisa tidur hingga beberapa jam kemudian. ***L***Saat Puspa terbangun, Bram sudah tidak ada di sebelahnya.
"Nah, makanya itu. Jangan mudah dipengaruhi. Kalau Bunda nantinya punya anak, adik bayi itu menjadi adiknya Sony dan Mbak Vanya. Bohong kalau mereka bilang, kasih sayang kami pada kalian akan berkurang. Tidak akan ada yang berkurang. Papa dan bunda akan menyayangi kalian sama besar. Sony, mengerti kan?""Mengerti, Pa. Sony juga pengen punya adik. Teman-teman Sony banyak yang punya adik. Mereka sering beli jajan dibawa pulang untuk dikasihkan ke adiknya. Tapi Kak Vanya bilang kalau dia nggak mau punya adik lagi. Padahal adik bayi itu kan lucu, kiyut, imut." Bram tersenyum. "Kalau gitu papa mau mandi dulu. Nanti kita sarapan bareng-bareng.""Sony juga mau mandi." Bocah itu pun mengekori papanya menaiki tangga.Dari cerita Sony, memperkuat dugaan Bram kalau keluarga Sandra memang begitu dalam menanamkan kebencian anak-anak pada ibu tiri mereka. Jelas karena kecewa, karena ia menolak menikahi Santi. Dia ingat bagaimana dulu ibunya Sandra mendukung Santi bercerai dari suaminya, disaat pa
Niat Puspa berjilbab kemarin untuk menghilangkan jejak, tapi ternyata keterusan sampai sekarang. Orang pasti selalu punya alasan kenapa berubah. Beruntung kalau perubahan itu bisa menjadikan diri lebih baik lagi. Setahunya, almarhumah Sandra tidak berjilbab. Semua fotonya menampakkan rambut indahnya yang tergerai sebawah bahu. Dia wanita anggun, cantik, dengan tatapannya yang teduh. Tapi sejak awal bersama Bram, lelaki itu memang tidak pernah menceritakan tentang istrinya. Apalagi memuji dan membandingkan antara Sandra dan dirinya. Hanya saja foto wanita itu masih ada di kamarnya anak-anak dan di ruang kerjanya. Di kamar pribadi mereka ada foto pernikahannya yang terbingkai rapi tergantung di dinding. Sementara di ruang santai lantai dua, ada foto dengan formasi keluarga mereka sekarang ini.Bahkan ketika mendapati dirinya tidak lagi virgin, Bram juga tidak menyinggung almarhumah istrinya yang masih perawan. Lelaki itu marah karena dirinya tidak jujur saja saat ditanya. Hanya itu p
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l
Ponsel Bram di atas meja kecil berdering. Puspa melihat siapa yang menelepon. "Mas, ada telepon dari Bu Harso.""Angkat saja.""Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bukan suara Bu Harso, tapi suaranya Santi."Ada apa, Mbak?""Aku mau bicara sama Mas Bram.""Mas Bram lagi sibuk, Mbak. Ada pesan apa nanti saya sampaikan.""Sebentar saja. Bisa nggak?" Wanita di seberang memaksa."Nggak bisa diganggu Mas Bram-nya, Mbak. Jangan khawatir, nanti pasti saya sampaikan." Puspa jadi geram. Memangnya mau bicara apa. Bram pun sudah memberitahu Santi atau Bu Harso, kalau ada urusan yang mungkin perlu disampaikan ke Vanya dan Sony, bisa bicara langsung pada Puspa. Tapi wanita itu sepertinya tidak percaya padanya."Besok malam, ada acara arisan keluarga di rumah mama. Vanya dan Sony disuruh datang atau biar aku yang jemput mereka.""Oke. Nanti aku kasih tahu ke Mas Bram."Panggilan langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan salam. Bram mendekat sambil mengendong A'im. "Ada apa?""Mbak Sant