Ribuan Tahun sebelum Shanghai menjadi kota modernDi masa Dinasti Tang, di sebuah istana cukup megah yang dikenal sebagai Istana Naga Perak, hiduplah seorang permaisuri bernama Li A Yin. Tubuhnya lemah dan sering sakit-sakitan, hingga membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar yang dingin dan sunyi. Sejak dinikahi oleh Pangeran Kedua, hidupnya berubah drastis. Pangeran yang gagah berani harus meninggalkan istana untuk berperang di perbatasan. Meninggalkan wanita bermata sendu itu dalam kesendirian yang mendalam.Hari-hari berlalu dengan lambat di Istana Naga. Li A Yin sering duduk di dekat jendela besar yang menghadap ke taman istana, memandangi bunga-bunga yang bermekaran tanpa bisa menikmati keindahannya. Permaisuri Yin—begitu dirinya kerap dipanggil mudah sesak napas jika kelelahan. Setiap kali angin berhembus, ia merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulang, seolah-olah mengingatkannya pada jarak yang memisahkan dirinya dengan sang suami.Para pelayan istana sel
Di tengah malam yang sunyi, Istana Naga Perak berdiri megah di bawah cahaya bulan. Di dalam salah satu aula tersembunyi, Permaisuri Li A Yin menunggu dengan gelisah. Suara langkah kaki yang lembut terdengar mendekat, dan Menteri Keamanan Istana Zhang, muncul dari balik pintu.“Permaisuri, aku datang seperti yang diperintahkan,” ujar Menteri Zhang dengan suara rendah.Li A Yin mengangguk, matanya penuh dengan kekhawatiran. Wanita berwajah keibuan itu melakukan semuanya dengan hati-hati. “Kita harus mengendap-endap, Menteri Zhang. Tidak ada yang boleh tahu tentang pertemuan ini.”“Baik, aku mengerti, Pemaisuri A Yin. Dan aku membawa apa yang kau minta.” Menteri Zhang menyerahkan silsilah keluarga dari Selir Agung Ming. Sebuah silsiliah yang amat sangat dekat dengan kaisar sejak dulu. “Kalau seperti ini, rasanya sulit untuk melawan Selir Agung Ming.” A Yin cepat sekali berputus asa. “Benar, bahkan terakhir permaisuri utama mencoba melawannya berakhir diasingkan di istana dingin. Sampa
Su Yin terbangun dengan kepala yang berat dan pandangan yang kabur. Apalagi usai menghajar seorang penjaga istana. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami di mana ia berada. Di sekelilingnya, suara riuh rendah orang-orang berbicara dalam bahasa yang terdengar asing namun entah bagaimana akrab. Ia merasakan kain halus menyentuh kulitnya, berbeda dari pakaian modern yang biasa ia kenakan.Ketika pandangannya mulai jelas, Su Yin terkejut melihat dirinya berada di tengah-tengah istana dengan orang-orang yang berpakaian begitu anggun. Orang-orang mengenakan pakaian tradisional Tiongkok, dengan warna-warna cerah dan desain yang rumit. Ia melihat seorang pria dengan jubah kekaisaran menatapnya dengan aneh lalu berjalan dengan wibawa, diikuti oleh para pengawal dan pelayan. Di sampingnya, seorang wanita cantik dengan pakaian yang mewah dan hiasan kepala yang indah, yang Su Yin kenali sebagai Selir Agung Ming.“Kenapa, kenapa aku benci pada wanita itu,” gumam Su Yin perlahan. Kini dok
“Pangeran, sudahlah, sudah cukup kau terluka parah,” ucap Fu Rong, pengawal pribadi pangeran kedua. Ia telah bersama sejak dulu dan bersedia mengorbankan nyawa demi tuannya. “Tidak, belum, sedikit lagi kita berhasil!” Pangeran kedua mengangkat pedangnya. Entah sudah berapa hari yang ia lalui dalam jebakan musuh. Entah sudah berapa banyak darah pengawalnya yang tumpah. Namun, sang pangeran tak menyerah. “Fu Rong, berapa amunisi yang kita punya?” tanya pangeran kedua. Lelaki yang baru menikah tapi dipisahkan oleh istrinya dengan cara tidak adil. “Tak banyak, Pangeran, hanya ada lima pengawal pribadi dan hanya tersisa 70 pengawal umum saja.” “Musuh diperkirakan ada berapa?” “Sekitar 400 orang, Pangeran.” “Kalau begitu kita harus berperang dengan cerdas. Kita harus menang, agar kita bisa pulang.” Namun, baru saja mengucapkan kalimat demikian sang pangeran tiba-tiba roboh. Luka di punggung akibat tertancap panah belum sempat diobati. ***Di bawah langit kelabu yang selalu mengintai
Su Yin yang kini terperangkap dalam tubuh Permaisuri Li A Yin merasa bimbang dengan apa yang ada di depan matanya. Semua serba tradisional dan ketinggalan zaman. Bahkan cermin di depannya saja tidak mampu memantulkan bayangan wajah dengan sempurna seperti di masa depan. Tidak ada lampu, yang ada hanya lilin di setiap sudut kamar. “Permaisuri,” panggil pelayan setia A Yin. “Iya, kenapa, ada yang bisa aku bantu?” Terbiasa hidup sebagai polisi membuat Su Yin harus tanggap dengan panggilan. “Permaisuri, jangan terlalu sopan, hamba ini hanya seorang budak.” “Budak?” Su Yin mengedipkan mata cepat. “Kenapa aku bisa ada di masa kerajaan? Lalu kasus pembunuhan yang aku periksa bagaimana? Officer Jimmi juga bagaimana?”“Permaisuri, apakah ada yang mengusik hatimu?” “Ada banyak dan aku ingin bertanya, tapi sebelumya aku ingin tahu siapa namamu?” “Ah, hamba tidak punya nama, Permaisuri. Biasanya Selir Agung akan memanggil hamba kera busuk saja.” “Kenapa begitu?” tanya Su Yin keheranan.
“Kurang ajar, lelaki hidung belang. Habis ambil perawan dia kabur, bededah busuk, aku cincang baru tahu!” Permaisuri berdiri lagi dengan wajah penuh amarah. Jauh sekali perbedaan antara A Yin dan Su Yin walau wajah dan tubuh sama persis. “Permaisuri, tenangkan dirimu. Jangan memaki pangeran kedua. Beliau itu pangeran yang berpengaruh setelah putra makhkota. Ditambah lagi pangeran adalah suamimu, jadi hormatlah dengan beliau.” Xu Chan mengingatkan sambil menelan ludah. Entah kali keberapa sudah ia melihat tuannya marah-marah sejak bangkit dari kubur. “Peduli apa aku, walau dia kaisar sekalipun. Gubernur saja pernah aku penjarakan.” Su Yin duduk dan menarik napas panjang. Sore yang terasa berangin dan menerbangkan anak rambut di wajahnya. “Permaisuri, hamba belum selesai bicara. Setelah melewati malam pertama, Pangeran Kedua mendapat panggilan perang mendadak dari perbatasan karena itu beliau pergi meninggalkan kita semua di sini.” “Panggilan perang?” gumam Su Yin perlahan. Ia masi
Selir Agung Ming duduk di dalam kamarnya. Kepala wanita bengis itu terasa pusing hingga pelayan datang membuka semua perhiasan mewah dan mulai memijit kepalanya. “Bagaimana mungkin,” ucap Ming Hua sambil menarik napas. “Katakan padaku bagaimana caranya orang mati bisa hidup lagi.” Mata wanita itu masih memejam. “Hamba tidak tahu, Selir Agung.” “Sudah jelas sekali dia bersimbah darah dan tubuhnya dingin serta kaku. Aku sendiri yang memegangnya. Saat peti mati akan ditutup lalu A Yin tiba-tiba saja bangun. Ini sungguh di luar rencana.” “Selir Agung, apakah butuh tabib?” tanya pelayannya yang bernama Cu Li. “Tidak, siapkan air hangat, aku ingin menyegarkan tubuhku. Tambahkan bunga mawar di dalamnya. Aku harus menemukan keanehan yang terjadi siang ini.” Atas perintah Ming Hua, pelayan setianya undur diri. Wanita itu membuka bola matanya, lalu tiba-tiba saja ia kaget. Wujud Li A Yin baru saja ada di depan mata dengan wajah pucat dan bibir bersimbah darah. “Apa ini, kenapa jadi seram
Utusan berpakaian hitam itu memegang perutnya yang kena tendang Su Yin. Ia merupakan salah satu pengawal Menteri Huang dan cukup terkejut dengan ketangkasan sang permaisuri yang dikenal sebagai wanita lemah tak berdaya. “Aku harus pergi dari sini. Aku hanya mengujinya saja bukan cari mati.” Pengawal itu mulai ketakutan. “Siapa yang mengutusmu untuk membunuhku. Apakah kau tak tahu kalau aku ini istri pangeran kedua?” Su Yin memanfaatkan kedudukannya. Ia bergerak ke kiri ketika melihat langkah utusan itu ingin melarikan diri dari kamarnya. “Tidak menjawab? Jangan khawatir, aku selalu punya cara untuk membuat penjahat mengaktu.” Su Yin mengambil salah satu guci dan melempar ke arah utusan itu. Lelaki tersebut menghindar dan hampir kepalanya kena. Suara pecahan guci membuat seluruh penghuni istana naga perak bangun dari tidurnya. Mereka berlarian ke kamar sang tuan takut terjadi sesuatu sebab istana itu tidak ada pengawal lelaki yang mumpuni. Namun, ketika para pelayan sampai di depa
Su Yin dan An Ama terkejut ketika sampai di kapal perang, beberapa prajurit Tang melawan serigala dengan ragam warna. Ya, pasukan Yi Gur sebagian bisa mengubah wujud, begitu pula dengan pemimpinnya. “Nyonya, hati-hati,” ucap An Mama ketika dua serigala memandang ke arah mereka. “Tebas langsung ke kepala saja, hiaaat!” Sang permaisuri melompat dan melayangkan pedang ke arah serigala hingga lepas. An Mama mendorong dan membuang binatang itu ke laut. Hal yang sama kemudian dilakukan oleh prajurit Tang yang lain. “Kenapa dia ada di sini?” Perhatian Li Wei teralihkan. Pada saat yang sama Yigur menodongkan belati ke lehernya. “Enak saja, hanya aku yang boleh menyakiti suamiku, hiaaat!” Su Yin berlari dan menghalangi belati Yigur dengan pedangnya. “Kita jumpa lagi, kau datang juga.” Yigur tersenyum. “Kenapa kau tidak menuruti kata-kataku!” Li Wei masih sempat bertanya. “Kita bahas hal itu nanti, selesaikan yang di depan dulu.” Su Yin dan Li Wei bekerja sama melawan Yi
Li Wei berdiri di atas benteng pertahanan. Pangeran Kedua sedang memantau para prajurit yang berlatih. Ia meraih teropong di pingang, lalu melihat ke arah yang jauh sampai ke tepi pantai. Armada angkatan laut yang dipimpin oleh menhan langsung sedang mengisi amunisi. Sebuah anak panah menancap di sebelah Li Wei. Di anak panah itu terikat sebuah surat. Ia membuka dan membacanya dengan perlahan lalu meremas dan membuangnya. “Suku serigala sedang mempersiapkan serangan untuk kita. Kapal mereka mulai berjalan. Sampaikan pesanku pada menhan agar mempercepat persiapan. Sampaikan diam-diam jangan sampai ada yang tahu, mengerti!” perintah Li Wei. “Baik, Pangeran.” Furong melompat dari benteng dan berlari ke kandang kuda lalu segera ke pelabuhan. Tersisa Pangeran Kedua dengan beberapa pasukan elitenya. Lelaki itu mengembuskan napas dalam. Ia boleh mati tapi Permaisuri Yin harus selamat apa pun caranya. Li Wei pergi menemui An Mama secara pribadi. Sang guru yang sedang mengasah pedang berd
Ibu Suri duduk di kamarnya. Ia menatap ke depan dengan kekosongan. Sejak ditinggal Gui Mama tak ada lagi pelayan lain yang cakap dalam bekerja. Termasuk mengurus opium yang telah menjadi candunya. Ming Hua seperti orang gila yang terlihat baik-baik saja. “Pelayaaan!” teriak Ibu Suri. Semua berbaris dengan teratur memenuhi panggilannya. “Tolol. Aku hukum mati kalian semua baru tahu rasa!” “Jangan, Ibu Suri, ampuni kami yang datang terlambat.” Para pelayan bersujud di depan wanita angkuh itu. “Bantu aku berkemas. Aku ingin mengunjungi kaisar. Ada yang harus aku bicarakan.” Tiga orang pelayan wanita datang mendekatinya. “Tunggu, kalian semua keluar, dan kau tetap di sini.” Ming Hua meminta satu orang saja yang menemaninya. “Berikan aku opium.” “Ibu Suri, tapi opiumnya sudah habis sejak tadi malam.” Pelayan itu menjawab dengan takut. “Kurang ajar!” Ming Hua melayangkan tamparan. “Kenapa tidak dibeli lagi.” “Hamba tidak tahu, Ibu Suri, hamba tidak tahu harus mencarinya di mana.”
Tangan Su Yin berlumuran darah. Sudah banyak prajurit yang ia bunuh demi menyelamatkan diri. Namun, jelas polisi wanita itu kalah jumlah. Sekarang ia bersembunyi di departemen sihir dan perbintangan. Satu-satunya tempat yang bisa Su Yin tuju.“Siapa di sana?” Su Yin memegang pedang dengan tangan gemetar. Perkelahian sengit itu membuatnya kehilangan banyak tenaga. Shen Du muncul sambil membawa pedang kayunya. “Kau ternyata. Oh iya aku lupa kau orangnya Ibu Suri. Majulah kalau ingin membunuhku.” “Tidak, Permaisuri Yin. Aku hanya ingin memberitahu, ke depannya nanti jalanmu tidak akan mudah dan umurmu tidak akan panjang.” “Aku bisa menanggung semua derita, ini sudah pilihanku.” Su Yin menarik napas panjang. Ia lelah, haus, juga lapar. Shen Du menyembunyikan pedang kayunya. Lalu ia menoleh ke belakang. Pengawal pribadi kaisar datang dengan dua orang prajurit kepercayaannya. “Bawa Permaisuri Yin pergi dari sini. Lewat danau belakang ada jalan rahasia tempat para pelayan kabur. Jangan
Ibu Suri duduk di singgasananya dengan angkuh. Gui Mama tersenyum melihat tuannya. Mata licik ibu suri memindai seluruh kediaman baru yang lebih besar dan mewah. Ia pun menarik napas dalam-dalam. “Lega sekali tanpa kehadiran Li Wei di istana ini,” ucapnya congkak. “Nyonya, satu pengganggu sudah hilang, hamba yakin perang di selatan akan menewaskan Pangeran Kedua.” “Gui Mama, jangan bicara terlalu kencang, dinding istana juga punya kuping.” Ming Hua memejamkan mata. Ia senang dengan harapan pelayannya tapi ia juga harus berhati-hati. “Maafkah hambamu yang bodoh ini, Nyonya.” “Dimaafkan, karena kau terlalu bahagia melihatku bahagia, sudah sepantasnya pelayan harus begitu, ah ha ha ha.” Ming Hua merasa sebagai penguasa istana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan, Nyonya?” “Apa yang harus dilihat, istana begitu-begitu saja sejak pertama kali aku datang, tidak ada bedanya. Hanya saja sekarang aku lebih bebas sebagai ibu suri, bahkan kaisar tidak akan berani menegurku.” Ibu Suri berdi
“Aku hanya ingin kemenangan untuk Tang, Yang Mulia.” “Aku mengenalmu cukup baik, ada yang kau sembunyikan dariku, katakan.” Perintah Kaisar dengan tegas. “Yang Mulia, izinkan hamba berangkat ke kaisar dan setelahnya akan hamba persembahkan kemenangan untuk Tang.” “Itu saja?” Kaisar tahu adiknya belum mau jujur sepenuhnya. “Juga, jika hamba memperoleh kemenangan izinkan hamba tinggal di selatan dan memerintah daerah itu dengan tradisi dan kebijakan Dinasti Tang.” Jujur juga Li Wei akhirnya. “Jadi kau ingin meninggalkan Chang An.” Kaisar memerintahkan Li Wei bangun dari sujudnya. “Benar.” “Kenapa?” “Terlalu banyak kenangan pahit di sini.” “Pahit?” “Salah satunya kematian ibuku juga istriku sempat mati kemarin. Aku hanya ingin menyelamatkan keluargaku.” “Sekarang aku sudah menjadi kaisar, tidak akan ada orang yang berani menyakitimu.” “Aku khawatir bukan orang lain yang menyakitiku, justru …” “Maksudmu, Ibu Suri?” tebak Kaisar. Li Wei diam saja. “Pergilah, akan aku pertimban
Tubuh Kaisar diawetkan selama beberapa hari sebelum disemayamkan di sebuah kuburan yang luas. Sejak saat itu takhta kosong dan sudah jelas siapa yang akan mendudukinya meski belum dinobatkan secara resmi. Putra Mahkota mengambil alis tugas ayahnya yang mangkat dengan penyakit misterius. Masa berkabung dimulai sejak saat itu dan belum diakhiri hingga sebuah kuburan yang luas dan megah selesai. Satu demi satu perhiasan kesukaan kaisar diletakkan di dalam. Termasuk emas dan perak, juga baju-baju sutra yang dulu pernah dikenakan.Dalam kuburan kuno itu dibangun beberapa perangkap. Apabila ada yang mencuri perhiasan milik Kaisar akan mati dan terkubur di sana. Para selir kaisar yang tidak memiliki anak secara jelas diusir oleh Selir Agung. Permaisuri Utama dan Selir Cun masih tinggal karena telah memiliki anak. Ming Hua mencapai tujuannya untuk menjadi ibu suri. Hari ini tubuh Kaisar yang sudah diberikan pakaian terbaik diletakkan di dalam peti. Satu demi satu putra, putri, selir, pej
Di luar istana para suami menjalankan tugas negara dengan berat. Li Wei sampai membuka pakaian agungnya sebagai pangeran demi membantu pekerja tambang bijih besi membuat senjata tajam. Tubuhnya yang kekar menjadi semakin keras. Ia memukul-mukul besi panas hingga dibentuk menjadi pedang kemudian dicelupkan ke air. Begitu pula dengan Putra Mahkota. Ia turun tangan sendiri merekrut para tentara baru. Termasuk ikut serta membantu para tentara baru berlatih kungfu dasar. Hal demikian berlangsung tidak selama satu atau dua bulan. Dan kini sudah memasuki bulan ketiga para suami jauh dari istrinya demi menunaikan tugas negara. Di dalam istana para istri terus mendoakan kebaikan untuk suaminya termasuk Bai Jing juga Su Yin. Permaisuri Yin bersungguh-sungguh dalam merajut. Ia membuat pola rajutan naga memeluk bulan dengan benang perak yang amat sangat indah. Saking rumitnya rajutan itu, baru bisa selesai pada bulan ketiga dan tak terhitung sudah berapa banyak jarum yang menusuk tangannya.
Aligur mengobati luka di betis Tugur dengan darah segar. Tugur menutup mata karena menahan pedih di kaki. Dengan beberapa kali pengobatan luka itu tertutup sempurna juga. “Wanita itu memang malaikat maut,” ucap Aligur sembari membasuh keringat yang bercucuran. “Seharusnya kita bunuh dulu wanita itu baru bisa menyerang istana dengan mudah,” sahut Tugur. “Tapi wanita itu bukanlah tujuan utama kita, Tuan.” “Aku tahu, tapi dia penghalang yang mematikan.” “Tidak juga!” “Maksudmu?” “Tidak lama lagi dia akan meninggalkan istana, setelah itu Tuan bisa melancarkan aksi. Enam bulan lagi anakmu akan lahir, Tuan. Dia akan menjadi penerus takhta Tang yang agung, anakmu akan jadi raja di generasi berikutnya,” bisik Aligur. “Selama enam bulan itu aku harus tetap bersabar, bukan?” “Benar, Tuan, tapi jika diperbolehkan aku ingin melakukan balas dendam, bukan pada wanita itu tapi untuk orang lain. Untuk memuluskan takhta anakmu nanti, kita harus membuat istana dalam keadaan huru-hara.” “Renca