Beranda / Historical / PERMAISURI YIN / 5. Pangeran Kedua

Share

5. Pangeran Kedua

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-07 15:58:39

“Pangeran, sudahlah, sudah cukup kau terluka parah,” ucap Fu Rong, pengawal pribadi pangeran kedua. Ia telah bersama sejak dulu dan bersedia mengorbankan nyawa demi tuannya.

“Tidak, belum, sedikit lagi kita berhasil!” Pangeran kedua mengangkat pedangnya.

Entah sudah berapa hari yang ia lalui dalam jebakan musuh. Entah sudah berapa banyak darah pengawalnya yang tumpah. Namun, sang pangeran tak menyerah.

“Fu Rong, berapa amunisi yang kita punya?” tanya pangeran kedua. Lelaki yang baru menikah tapi dipisahkan oleh istrinya dengan cara tidak adil.

“Tak banyak, Pangeran, hanya ada lima pengawal pribadi dan hanya tersisa 70 pengawal umum saja.”

“Musuh diperkirakan ada berapa?”

“Sekitar 400 orang, Pangeran.”

“Kalau begitu kita harus berperang dengan cerdas. Kita harus menang, agar kita bisa pulang.” Namun, baru saja mengucapkan kalimat demikian sang pangeran tiba-tiba roboh. Luka di punggung akibat tertancap panah belum sempat diobati.

***

Di bawah langit kelabu yang selalu mengintai perbatasan kota Chang An, Pangeran Kedua, Li Wei, berdiri tegak di atas bukit kecil. Lelaki dengan luka di bagian pungung itu memandang ke arah medan perang yang tak kunjung usai.

Sudah hampir setahun sejak ia memimpin pasukan kekaisaran melawan suku pemberontak yang tak kenal lelah. Setiap hari adalah perjuangan, setiap malam adalah mimpi buruk yang penuh dengan darah dan jeritan.

“Li A Yin.” Pangeran Li Wei menyebut nama istrinya.

Apakah itu rindu atau cinta, ia tak tahu, sebab A Yin wanita yang ia kenal pertama dengan sangat begitu dekat tanpa batasan sama sekali walau sehelai kain.

“Agh.” Lelaki itu memejamkan mata kemudian mengusap luka di lengannya.

Salah satu dari banyak luka yang telah ia terima selama pertempuran. Tubuhnya penuh dengan bekas luka. Namun semangatnya tetap membara. Ia tahu bahwa kemenangan adalah satu-satunya jalan untuk membawa kedamaian kembali ke tanah airnya.

Berbagai strategi telah dicoba. Dari serangan mendadak di malam hari hingga pengepungan yang panjang. Namun suku pemberontak selalu menemukan cara untuk bertahan.

Mereka adalah pejuang yang tangguh. Dipimpin oleh seorang jenderal yang cerdik dan bengis, yang tampaknya selalu selangkah lebih maju dari Li Wei. Atau mungkin ada yang sengaja membocorkan strategi perang?

“Fu Rong,” panggil Li Wei pada pengawal setianya.

“Siap, Pangeran.”

“Apakah ada surat dari istriku?” Sang pangeran menadahkan tangan di atas benteng. Untuk menampung air yang turun dari genting.

“Tidak ada, Pangeran, tapi yang hamba tahu, di istana juga sedang tidak baik-baik saja. Menurut kabar, Permaisuri A Yin sedang menjalin kerja sama politik dengan salah satu menteri.”

Pangeran Li Wei menoleh melihat pengawalnya. Sebab yang ia tahu A Yin termasuk perempuan yang tak mau terjerat urusan politik dengan kubu manapun.

“Apakah istriku sanggup?”

“Soal itu hamba belum menerima kabar, Pangeran.”

“Fu Rong.” Li Wei menarik napas berat. “Kita jalankan serangan terakhir, apa pun hasilnya. Hidup atau mati. Tapi lebih baik mati daripada hidup menjadi budak. Tapi jika aku mati A Yin akan jadi budak. Kita usahakan memperoleh kemenangan di serangan terakhir ini.” Li Wei meminum semangkuk arak sebagai tanda ia siap berperang.

“Baik, Pangeran.” Fu Rong yang setia sejak kecil akan selalu menemani ke manapun tuannya pergi.

***

Pangeran Li Wei mempertaruhkan hidup dan mati dalam menghadapi serangan terakhir. Ia merelakan gelar pangeran kedua di genggaman tangannya. Sebab jelas kata kaisar, jika perang tak dimenangkan maka Li Wei lebih baik mati atau jadi budak saja.

Tekanan ini membuat Li Wei semakin bertekad untuk menang. Meskipun itu berarti harus mengorbankan segalanya.

Di malam yang gelap dan penuh ketegangan, Li Wei memimpin pasukannya dalam serangan terakhir. Dengan Fu Rong di sisinya yang membawa panah dengan kobaran api sebagai tanda siap menyerang.

Pasukan di bawah kepemimpinan sang pangeran menghadapi musuh dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Setiap langkah mereka adalah tarian antara hidup dan mati. Setiap ayunan pedang adalah pertaruhan nasib.

Di tengah kekacauan, Li Wei menemukan kekuatan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Dengan tekad yang membara dan sekelebat senyuman A Yin saat keduanya sah sebagai suami istri, ia berhasil memimpin pasukannya menuju kemenangan yang gemilang.

“Matilah kau!” Pedang Li Wei menebas leher sang jenderal dari suku pemberontak.

Suku itu kalah dan memilih mundur. Begitu juga dengan sang pangeran yang mengalami luka dalam cukup parah hingga tak sadarkan diri lagi.

“Bawa pangeran ke barak, sekarang!” Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Fu Rong dan para pengawal menempuh jarak bermil-mil agar pemimpin mereka selamat.

***

“Aku di mana?” tanya pangeran kedua ketika membuka mata.

Rambut panjangnya tidak diikat dan bibirnya kering serta pecah-pecah. Mata jernih sang pangeran seperti melihat A Yin di depan mata.

“A Yin, kau di sini.” Li Wei bangkit dan mencoba menggapai istrinya. Tujuh hari tak sadarkan diri ia bermimpi buruk kalau sang permaisuri akan segera dihukum mati.

“Pangeran, kau sudah sadar. Dia bukan permaisuri, dia hanya pelayan biasa.” Fu Rong datang tepat waktu.

“Oh, kupikir …” Li Wei duduk kembali setelah lelah berdiri.

“Pangeran, sebaiknya lekas beristirahat. Hamba akan panggilan tabib untuk memeriksamu. Tenang saja perbatasan sudah aman dan suku pemberontak sudah mundur semuanya.”

Fu Rong berbalik setelah pangeran duduk tenang. Namun, sebuah surat jatuh dari pinggangnya. Li Wei bangkit perlahan dan mengambil serta membaca surat itu.

“Apa ini?” Terlihat jelas gurat kemarahan di wajah Li Wei.

Surat itu berisikan kabar buruk bahwa Permaisuri Li A Yin akan segera dieksekui mati karena terbukti membunuh menteri keamana dalam istana.

“Memukul nyamuk saja A Yin tidak berani, apalagi membunuh orang.” Pangeran berdiri semampunya. Ia meraih baju resmi dan sesegera mungkin berkuda menuju istana.

“Pangeran, kau mau ke mana?” Fu Rong baru saja datang membawa tabib.

“Menyelamatkan istriku.” Li Wei membuang surat itu hingga sang pengawal pun terkejut.

“Maafkan hamba, Pangeran, tapi kau sedang terluka, sedangkan perjalanan ke Chang An memerlukan waktu kurang lebih satu minggu jika kita berkuda tanpa lelah. Menurut ham—”

“Kau ingin kau membiarkan istriku mati karena kesalahan yang tak mungkin ia lakukan!” Suara sang pangeran menggelagar.

Semua yang ada di sana termasuk Fu Rong berlutut karena takut dihukum mati. Pembawaan serta keberanian Li Wei sudah hampir mirip dengan sang kaisar terdahulu.

“Maafkan hamba, Pangeran.”

“Aku akan pergi menemui A Yin. Siapkan pasukan kecil untuk berangkat denganku. Jika ada yang memberontak penggal saja kepalanya.” Pangeran kedua dengan wajah pucat nekat pergi.

Li Wei abaikan luka dalamnya demi menyelamatkan A Yin. Bahkan jika ada yang berani melukai permaisuri akan ia penggal dengan pedangnya sendiri.

Bersambung …

Bab terkait

  • PERMAISURI YIN   6. Dimensi yang Membingungkan

    Su Yin yang kini terperangkap dalam tubuh Permaisuri Li A Yin merasa bimbang dengan apa yang ada di depan matanya. Semua serba tradisional dan ketinggalan zaman. Bahkan cermin di depannya saja tidak mampu memantulkan bayangan wajah dengan sempurna seperti di masa depan. Tidak ada lampu, yang ada hanya lilin di setiap sudut kamar. “Permaisuri,” panggil pelayan setia A Yin. “Iya, kenapa, ada yang bisa aku bantu?” Terbiasa hidup sebagai polisi membuat Su Yin harus tanggap dengan panggilan. “Permaisuri, jangan terlalu sopan, hamba ini hanya seorang budak.” “Budak?” Su Yin mengedipkan mata cepat. “Kenapa aku bisa ada di masa kerajaan? Lalu kasus pembunuhan yang aku periksa bagaimana? Officer Jimmi juga bagaimana?”“Permaisuri, apakah ada yang mengusik hatimu?” “Ada banyak dan aku ingin bertanya, tapi sebelumya aku ingin tahu siapa namamu?” “Ah, hamba tidak punya nama, Permaisuri. Biasanya Selir Agung akan memanggil hamba kera busuk saja.” “Kenapa begitu?” tanya Su Yin keheranan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • PERMAISURI YIN   7. Menerima Keadaan

    “Kurang ajar, lelaki hidung belang. Habis ambil perawan dia kabur, bededah busuk, aku cincang baru tahu!” Permaisuri berdiri lagi dengan wajah penuh amarah. Jauh sekali perbedaan antara A Yin dan Su Yin walau wajah dan tubuh sama persis. “Permaisuri, tenangkan dirimu. Jangan memaki pangeran kedua. Beliau itu pangeran yang berpengaruh setelah putra makhkota. Ditambah lagi pangeran adalah suamimu, jadi hormatlah dengan beliau.” Xu Chan mengingatkan sambil menelan ludah. Entah kali keberapa sudah ia melihat tuannya marah-marah sejak bangkit dari kubur. “Peduli apa aku, walau dia kaisar sekalipun. Gubernur saja pernah aku penjarakan.” Su Yin duduk dan menarik napas panjang. Sore yang terasa berangin dan menerbangkan anak rambut di wajahnya. “Permaisuri, hamba belum selesai bicara. Setelah melewati malam pertama, Pangeran Kedua mendapat panggilan perang mendadak dari perbatasan karena itu beliau pergi meninggalkan kita semua di sini.” “Panggilan perang?” gumam Su Yin perlahan. Ia masi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • PERMAISURI YIN   8. Konspirasi Dalam Istana

    Selir Agung Ming duduk di dalam kamarnya. Kepala wanita bengis itu terasa pusing hingga pelayan datang membuka semua perhiasan mewah dan mulai memijit kepalanya. “Bagaimana mungkin,” ucap Ming Hua sambil menarik napas. “Katakan padaku bagaimana caranya orang mati bisa hidup lagi.” Mata wanita itu masih memejam. “Hamba tidak tahu, Selir Agung.” “Sudah jelas sekali dia bersimbah darah dan tubuhnya dingin serta kaku. Aku sendiri yang memegangnya. Saat peti mati akan ditutup lalu A Yin tiba-tiba saja bangun. Ini sungguh di luar rencana.” “Selir Agung, apakah butuh tabib?” tanya pelayannya yang bernama Cu Li. “Tidak, siapkan air hangat, aku ingin menyegarkan tubuhku. Tambahkan bunga mawar di dalamnya. Aku harus menemukan keanehan yang terjadi siang ini.” Atas perintah Ming Hua, pelayan setianya undur diri. Wanita itu membuka bola matanya, lalu tiba-tiba saja ia kaget. Wujud Li A Yin baru saja ada di depan mata dengan wajah pucat dan bibir bersimbah darah. “Apa ini, kenapa jadi seram

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • PERMAISURI YIN   9. Rencana Licik

    Utusan berpakaian hitam itu memegang perutnya yang kena tendang Su Yin. Ia merupakan salah satu pengawal Menteri Huang dan cukup terkejut dengan ketangkasan sang permaisuri yang dikenal sebagai wanita lemah tak berdaya. “Aku harus pergi dari sini. Aku hanya mengujinya saja bukan cari mati.” Pengawal itu mulai ketakutan. “Siapa yang mengutusmu untuk membunuhku. Apakah kau tak tahu kalau aku ini istri pangeran kedua?” Su Yin memanfaatkan kedudukannya. Ia bergerak ke kiri ketika melihat langkah utusan itu ingin melarikan diri dari kamarnya. “Tidak menjawab? Jangan khawatir, aku selalu punya cara untuk membuat penjahat mengaktu.” Su Yin mengambil salah satu guci dan melempar ke arah utusan itu. Lelaki tersebut menghindar dan hampir kepalanya kena. Suara pecahan guci membuat seluruh penghuni istana naga perak bangun dari tidurnya. Mereka berlarian ke kamar sang tuan takut terjadi sesuatu sebab istana itu tidak ada pengawal lelaki yang mumpuni. Namun, ketika para pelayan sampai di depa

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • PERMAISURI YIN   10. Su Yin VS Kejaksaan

    Su Yin bangun di pagi hari menuju siang. Tubuhnya yang lelah sebab perjalanan waktu membuatnya harus beristirahat lebih banyak. Bangun-bangun sudah ada tiga pelayan setianya yang membawakan air cuci muka, kain bersih dan sisir. Padahal ia bisa melakukan itu sendirian. “Astaga, aku merasa seperti Cinderella saja.” Su Yin menguap sangat besar. Biasanya ketika bangun pagi ia akan sikat gigi, cuci muka, minum kopi dan makan roti. Sekarang? Jangankan roti, gula saja susah untuk didapat. “Permaisuri, seorang istri pangeran tidak boleh menguap terlalu besar. Tidak enak untuk dipandang.” Xu Chan mengingatkan tuannya yang amnesia.“Selain menguap, kentut pun tidak boleh? Terus sendawa dan terbawa ahahahahahaha, boleh tidak?” Su Yin merasa aturan istana semakin tidak masuk akal. “Tidak boleh terlalu kuat, Permaisuri, ada aturan yang harus kita jalankan.” “Terserah, aku tak mau ikut aturan yang keterlaluan seperti itu.” Su Yin mencuci muka dan mengeringkan wajah pakai kain bersih yang diba

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-03
  • PERMAISURI YIN   11. Cinta Pangeran

    Shen Du sedang meditasi tingkat tinggi dalam ruangan khusus yang hanya ada diri sendiri, dupa, lilin aroma bunga dan tentu saja arwah penasaran Li A Yin. “Sedikit lagi,” ucapnya ketika memasuki dimensi di mana pertukaran A Yin dan Su Yin terjadi. Lalu tiba-tiba saja ia batuk dan bibirnya mengeluarkan darah. Hal yang Shen Du lakukan sangat berbahaya dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan spiritual tingkat tinggi. “Akhirnya aku mengerti juga, darimana dia berasal.” Shen Du menahan nyeri di dadanya. Ia mengalami luka dalam karena melakukan perjalanan berbahaya. Arwah Li A Yin memandang Shen Du dengan lurus. Seolah-olah ada yang ingin disampaikan dan ia pun ingin pergi dari ruang spritual. Namun, arwah permaisuri terkurung di sana karena energi spritualnya terlalu besar. “Permaisuri, engkau ingin kembali ke tubuhmu, bukan?” tanya Shen Du. Hanya ia saja yang bisa melihat Li A Yin. Arwah permaisuri mengangguk. “Sayangnya, tubuhmu sudah ada yang mengisi, ini sangat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • PERMAISURI YIN   12. Alibi

    Su Yin memberi peringatan pada para petugas yang menawan pelayannya. Jangankan batu, pisau pun akan ia lemparkan kalau berani menyakiti orang-orangnya. “Katakan apa mau kalian?” tanya Su Yin dengan suara lantang. Sebuah keributan hampir siang hari yang berhasil menarik perhatian orang lewat. Beberapa dayang dari luar berkerumun di depan istana naga perak. “Permaisuri Yin harus ikut kami ke kantor kejaksaan dan kepolisian untuk diperiksa,” jawab petugas yang membawa lencana khusus. “Hmm, di masa lalu kejaksaan dan kepolisian ternyata menjadi satu instansi,” gumam Su Yin perlahan. “Permaisuri harus ikut sekarang, terkait kasus pembunuhan Menteri Zhang.” “Tidak, jangan bawa tuanku. Sebagai gantinya hukum mati aku saja.” Xu Chan berlutut di depan petugas. “Jangan ikut campur, Xu Chan.” Ucapan Su Yin membuat para pelayan terdiam. Mereka belum terbiasa dengan perubahan sang tuan yang tiba-tiba saja. “Aku ikut kalian, dengan syarat jangan menyentuh Istana Naga Perak dan para pelayan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • PERMAISURI YIN   13. Mayat Berbicara

    “Hakim Chao Da,” panggil Menteri Zhang perlahan pada rekannya. “Iya, Menteri Zhang, ada apa?” “Beri kesempatan pada Permaisuri Yin untuk membela diri seperti apa yang dia inginkan.” “Tapi ini berbahaya, Menteri, bagaimana kalau ternyata dia bisa melakukannya.” “Maka permainan kita akan semakin tajam. Aku masih ingin tahu sampai sejauh mana orang yang bangkit dari kematian bertahan. Lakukan saja, dapat tidak dapat bukti kita sudah terlibat sangat jauh.” Usai mengucapkan kalimat itu Menteri Zhang tak berbicara lagi. Hakim Chao Da merasa apa yang ia lakukan sekarang bertentangan dengan akalnya. Petugas koroner di kantor jaksa semuanya laki-laki, tidak ada yang perempuan. Lalu Permaisuri A Yin bisa apa? “Dan setelah melihat mayat Menteri Huang, kau ingin melakukan apa, Permaisuri? Melihat saja, boleh, akan aku kabulkan,” tanya Chao Da sambil mengelus janggutnya yang memutih. “Baik, aku ingin melihatnya saja.”“Mayat bukan untuk dipermainkan, Permaisuri.”“Benar, terkadang mayat bis

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20

Bab terbaru

  • PERMAISURI YIN   72. Istana Bulan

    “Ayo turun, kita sudah sampai.” Li Wei melompat dari kuda terlebih dahulu lalu menyambut turun Su Yin dari kereta. Mereka semua termasuk para pelayan menggunakan mantel bulu tebal karena udara di Pegunungan Utara sangat dingin daripada biasanya. “Waaah, tanpa salju saja aku sudah hampir membeku.” Sang permaisuri memeluk dirinya sendiri. Asap dari bibirnya keluar dan gigi nyaris gemeratakan. “Tenang saja nanti aku peluk kau sepanjang hari agar tak kendinginan.” Pangeran Kedua mengedipkan sebelah matanya. “Gayamu, baru buka baju saja sudah beku kulit duluan.” Hampir Su Yin tak tahan dingin kalau tak menggunakan mantel tebal sebanyak dua lapis. Tak lama kemudian para penjaga yang berasal dari Suku Bintang datang meyambut rombongan Pangeran Kedua. Mereka mempersilakan Li Wei dan Su Yin untuk bertemu dengan kepala suku. Yun Chi adalah nama ketua suku sekaligus ayah dari Yun Zi. “Kami memeri hormat pada Pangeran Kedua sekaligus Permaisuri Yin selaku utusan dari Chang An.” Yun Chi mem

  • PERMAISURI YIN   71. Kekacauan

    Selir Agung sedang minum teh di pagi hari yang cerah. Secerah senyumnya dibalut gincu merah merekah. Lalu Gui Mama datang mendekat dan berbisik padanya. “Hamba sudah mengirim orang untuk membunuh Pangeran Kedua di perjalanan.” Kata demi kata menyeramkan terucap dengan senyuman gigi emas Gui Mama. “Bagus, penghambat takhta putraku harus segera dibasmi. Yang berani melawanku akan mati.” Ming Hua menghabiskan teh dan menikmati sarapan yang lezat di atas meja. Setelah itu ia pun berjalan mengelilingi taman yang indah, kemudian lanjut mengunjungi istana naga emas. Begitu terus yang Selir Agung lakukan dalam satu minggu terakhir. Hingga pada suatu hari ia melihat putra dan menantunya tak saling bertegur sapa di meja makan. “Kalian baik-baik saja?” tanya Selir Agung. Baik Putra Mahkota dan permaisurinya mengangguk saja. Kejadian malam tadi benar-benar mengguncang kesadaran dan kesabaran keduanya. “Aneh sekali, biasanya Bai Jing sangat murah senyum,” gumam Ming Hua sambil memindahkan ma

  • PERMAISURI YIN   70. Ilmu Hitam

    Putra Mahkota pergi ke kuil yang berada dalam naungan Departemen Sihir dan Perbintangan. Ia sedang galau luar biasa. Istrinya diam seribu bahasa dan ibunya pun akhir-akhir ini senang menyendiri. Tak ada yang tahu apa isi wanita. Ditambah Li Zu Min masih terbeban dengan permintaan Li Wei. “Sepertinya Pangeran punya banyak sekali beban hidup.” Shen Du menyalakan dupa dan memberikan pada Putra Mahkota. “Aku merasa kesialan menerpaku bertubi-tubi, meski tidak ada yang bicara terang-terangan di depanku, tapi aku tahu mereka bilang kalau ini karma ibu.” Li Zu Min melakukan persembahayangan dengan sungguh-sungguh kali ini. “Tenangkan hatimu, Pangeran, sebisa mungkin kita harus mencegah terjadinya peristiwa bulan purnama berdarah.” “Itu juga yang mengganggu isi hatiku. Belum ada keanehan yang aku temui sejak beberapa hari yang lalu. Semua pelayan terlihat biasa-biasa saja di depanku, tapi …” “Tapi apa, Pangeran.” “Salah satu pelayan ibuku menghilang dan tidak ada jejaknya sama sekali.

  • PERMAISURI YIN   69. Bencana

    Gadis yang merintih memohon pertolongan itu terlihat kesakitan bahkan mulai menjerit. An Lee menyimpan pedang dan memapahnya ke salah satu api unggun. Wajah gadis tak dikenal itu sangat pucat sekali bahkan seperti orang tidak punya darah. Tang Ri datang mendekati ibunya yang terlihat kepayahan mengurus seorang gadis. “Bawakan ibu air hangat. Sepertinya dia tidak terluka, mungkin belum makan beberapa hari,” ucap An Lee dan putranya lekas mencari air hangat. Diberinya minum gadis itu dan wajahnya seketika memerah. “Siapa dia, Bu?” tanya Tang Ri. Sang guru hanya menggeleng. “Bencana, bencana!” ucap gadis itu tanpa sebab. “Bencanaaaaa!” jeritannya cukup kencang dan membangunkan Su Yin yang baru saja terlelap dan Li Wei pun tersentak. “Tenangkan dirimu, di sini banyak orang. Kalau ada yang menyakitimu katakan padaku.” An Lee meremas tangan gadis itu agar berkata jujur padanya. “Bencana, di mana-mana ada bencana, darah, bulan akan berdarah tak lama lagi. Kalian akan mati semua.” “Ken

  • PERMAISURI YIN   68. Sang Guru

    Iring-iringan kereta terus berjalan menuju pegunungan utara yang dingin. Kini mereka melewati jalanan di antara tebing tinggi di sisi kiri dan kanan. Saking tingginya, ukuran manusia kecil sekali kalau dilihat dari atas. “Aku perlu memakai mobil berjam-jam kalau pergi ke tempat ini, dan sekarang aku benar-benar pergi pakai kereta.” Su Yin menyibak tirai. Terkadang, kalau ia kelelahan dirinya akan tidur di dalam kereta yang dibuat cukup besar demi kenyamanan para tuan. Angin yang bertiup cukup dingin di antara tebing yang menjulang. Su Yin merapatkan mantel dan asap berembus dari bibirnya. Kotak pemberian dari Ru Yi tergeser. Sang permaisuri meraih dan melihat isinya. Di sana ada beberapa cream wajah dengan aroma bunga yang alami. Lalu ada benang sutra untuk menjahit luka, kasa, beberapa bubuk obat, salep, juga jarum jahit. “Kotak P3K zaman dulu, terima kasih kawan.” Su Yin menutup lagi kotak itu. Kereta berhenti dan sang permaisuri turun, ia disambut oleh Pangeran yang terlihat k

  • PERMAISURI YIN   67. Bahagia

    Iring-iringan kereta Pangeran Kedua melewati desa di mana padi sedang kuning-kuningnya tumbuh. Pangeran yang berada di dalam kereta membuka jendela begitu juga dengan Su Yin demi menikmati pemandangan indah. “Waaah, di kota besar lahan ini sudah berubah menjadi jalan raya, mall, pertokoan dan apartement. Aku benar-benar beruntung bisa melihat Cina yang agung di zaman dulu,” ucap Su Yin sambil melihat beberapa petani menjaga sawah. “Tang yang agung dan tenang, jangan sampai diganggu oleh musuh dari mana saja. Rakyat sudah hidup tenteram dan mereka tidak perlu tahu tentang boroknya dalam istana. Biarkan mereka makmur sebagai petani, pedagang atau apa saja.” Begitu isi kepala Li Wei. Rombongan terus melewai persawahan dan perkebunan, kali ini kebun semangka. Merasa senang, Su Yin keluar dari kereta dan memilih jalan kaki sambil menikmati udara segar. Pemandangan di luar istana membuatnya lebih bahagia. Siang hari tiba, iring-iringan itu istirahat di tepi sungai dan para pelayan memas

  • PERMAISURI YIN   66. Gagal Lagi

    Bagian 65 Putra Mahkota duduk di meja kerjanya. Ia baru saja memeriksa seluruh istana sampai bagian sudut ditemani Shen Du demi mencari apa yang bisa dicurigai. Namun, hasilnya kosong. Mata sipit sang pangeran pertama melihat surat dari adiknay yang belum dibuka. Sudah tiga hari Li Wei pergi dan ia baru mengingatnya. Segera saja lelaki dengan hidung bengkok itu membukanya. Surat yang cukup panjang dan membuatnya menahan napas sejenak. Surat itu diletakkan oleh Zu Min. Li Wei bermaksud baik padanya, ia tahu itu. Namun, permintaan sang adik mengapa sangat berat?“Dari sekian banyak orang, mengapa kau memintaku mencurigai ibuku sendiri? Sejahat-jahatnya Ibu, beliau tetap ibuku dan ketika aku diangkat menjadi Kaisar, Ibu akan menjadi Ibu Suri.” Surat itu dibakar oleh Zu Min dan ia anggap lupa dengan isinya. Meski surat sudah jadi abu, Putra Mahkota tetap saja terbawa pikiran. Ia bahkan memikirkan hal itu ketika makan bersama Bai Jing. “Fujin (suamiku), apakah makanannya tidak enak?

  • PERMAISURI YIN   65. Opium

    Ming Hua memijit kepalanya yang terasa pusing. Kemudian ia memanggil Gui Mama dan meminta benda yang ia perintahkan untuk dibeli, walau dengan harga yang mahal. “Tapi, Nyonya, ini tak baik bagi kesehatan.” Ragu-ragu pelayan dengan gigi emas itu memberikannya. “Sekali saja, aku tidak bisa tidur nyenyak belakangan ini.” Selir Agung mengambil cerutu panjang dan mengisap opium. Pertama kali ia batuk dan lama-lama terbiasa. Guna opium sebenarnya untuk pengobatan dan mengurangi sakit perut hebat. Tetapi terkadang pemakaiannya sering disalah gunakan untuk merasa terbang ke langit ketujuh. Ming Hua merasa tenang sekali walau pandangannya mengabur. Ia pun tertidur dan opium jatuh ke lantai. Teler karena pertama kali menggunakan opium. Gui Mama membersihkan jejak penggunaan benda itu dan mengasapi ruangan agar wangi bunga seperti biasa. Tiba-tiba saja tanpa pemberitahuan sebelumnya, Kaisar datang ke istana bunga perak. Para pelayan memberi hormat. Gui Mama sudah mencoba membangunkan Selir

  • PERMAISURI YIN   64. Ekspedisi ke Utara

    Pelayan dan para penjaga sudah bersiap untuk berangkat. Namun, ada seseorang yang terlihat berlari menuju kereta iring-iringan pangeran. Su Yin mengenal gadis itu. Ru Yi datang membawa beberapa barang yang dibungkus menggunakan kain. “Pemaisuri, andai boleh, aku akan memilih ikut sebagai tabib dalam perjalanan kali ini,” ucap Ru Yi sambil mengatur napas. “Tidak usah, lanjutkan saja belajarmu, aku baik-baik saja, aku juga dokter, tapi ini apa?” tanya Su Yin sambil menimbang-nimbang. “Ada cream siang, cream malam, cream anti matahari dan cream awet muda, hi hi hi.” Ru Yi tersenyum kecil. Begitu yang ia pelajari dari buku yang dituliskan oleh Permaisuri Yin. “Oh, jadi dokter kecantikan rupanya.” Su Yin melirik Ru Yi dari ujung rambut sampai kaki. Gadis itu mengenakan baju tabib yang dari kualitas kain yang bagus dan membuatnya terlihat cantik. “Kau di sini tidak ada niat menikah?” Tiba-tiba aja pertanyaan sang permaisuri ke sana. “Ehm, malu, Permaisuri, umur hamba sudah 24 tahun. S

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status