Share

5. Pangeran Kedua

“Pangeran, sudahlah, sudah cukup kau terluka parah,” ucap Fu Rong, pengawal pribadi pangeran kedua. Ia telah bersama sejak dulu dan bersedia mengorbankan nyawa demi tuannya.

“Tidak, belum, sedikit lagi kita berhasil!” Pangeran kedua mengangkat pedangnya.

Entah sudah berapa hari yang ia lalui dalam jebakan musuh. Entah sudah berapa banyak darah pengawalnya yang tumpah. Namun, sang pangeran tak menyerah.

“Fu Rong, berapa amunisi yang kita punya?” tanya pangeran kedua. Lelaki yang baru menikah tapi dipisahkan oleh istrinya dengan cara tidak adil.

“Tak banyak, Pangeran, hanya ada lima pengawal pribadi dan hanya tersisa 70 pengawal umum saja.”

“Musuh diperkirakan ada berapa?”

“Sekitar 400 orang, Pangeran.”

“Kalau begitu kita harus berperang dengan cerdas. Kita harus menang, agar kita bisa pulang.” Namun, baru saja mengucapkan kalimat demikian sang pangeran tiba-tiba roboh. Luka di punggung akibat tertancap panah belum sempat diobati.

***

Di bawah langit kelabu yang selalu mengintai perbatasan kota Chang An, Pangeran Kedua, Li Wei, berdiri tegak di atas bukit kecil. Lelaki dengan luka di bagian pungung itu memandang ke arah medan perang yang tak kunjung usai.

Sudah hampir setahun sejak ia memimpin pasukan kekaisaran melawan suku pemberontak yang tak kenal lelah. Setiap hari adalah perjuangan, setiap malam adalah mimpi buruk yang penuh dengan darah dan jeritan.

“Li A Yin.” Pangeran Li Wei menyebut nama istrinya.

Apakah itu rindu atau cinta, ia tak tahu, sebab A Yin wanita yang ia kenal pertama dengan sangat begitu dekat tanpa batasan sama sekali walau sehelai kain.

“Agh.” Lelaki itu memejamkan mata kemudian mengusap luka di lengannya.

Salah satu dari banyak luka yang telah ia terima selama pertempuran. Tubuhnya penuh dengan bekas luka. Namun semangatnya tetap membara. Ia tahu bahwa kemenangan adalah satu-satunya jalan untuk membawa kedamaian kembali ke tanah airnya.

Berbagai strategi telah dicoba. Dari serangan mendadak di malam hari hingga pengepungan yang panjang. Namun suku pemberontak selalu menemukan cara untuk bertahan.

Mereka adalah pejuang yang tangguh. Dipimpin oleh seorang jenderal yang cerdik dan bengis, yang tampaknya selalu selangkah lebih maju dari Li Wei. Atau mungkin ada yang sengaja membocorkan strategi perang?

“Fu Rong,” panggil Li Wei pada pengawal setianya.

“Siap, Pangeran.”

“Apakah ada surat dari istriku?” Sang pangeran menadahkan tangan di atas benteng. Untuk menampung air yang turun dari genting.

“Tidak ada, Pangeran, tapi yang hamba tahu, di istana juga sedang tidak baik-baik saja. Menurut kabar, Permaisuri A Yin sedang menjalin kerja sama politik dengan salah satu menteri.”

Pangeran Li Wei menoleh melihat pengawalnya. Sebab yang ia tahu A Yin termasuk perempuan yang tak mau terjerat urusan politik dengan kubu manapun.

“Apakah istriku sanggup?”

“Soal itu hamba belum menerima kabar, Pangeran.”

“Fu Rong.” Li Wei menarik napas berat. “Kita jalankan serangan terakhir, apa pun hasilnya. Hidup atau mati. Tapi lebih baik mati daripada hidup menjadi budak. Tapi jika aku mati A Yin akan jadi budak. Kita usahakan memperoleh kemenangan di serangan terakhir ini.” Li Wei meminum semangkuk arak sebagai tanda ia siap berperang.

“Baik, Pangeran.” Fu Rong yang setia sejak kecil akan selalu menemani ke manapun tuannya pergi.

***

Pangeran Li Wei mempertaruhkan hidup dan mati dalam menghadapi serangan terakhir. Ia merelakan gelar pangeran kedua di genggaman tangannya. Sebab jelas kata kaisar, jika perang tak dimenangkan maka Li Wei lebih baik mati atau jadi budak saja.

Tekanan ini membuat Li Wei semakin bertekad untuk menang. Meskipun itu berarti harus mengorbankan segalanya.

Di malam yang gelap dan penuh ketegangan, Li Wei memimpin pasukannya dalam serangan terakhir. Dengan Fu Rong di sisinya yang membawa panah dengan kobaran api sebagai tanda siap menyerang.

Pasukan di bawah kepemimpinan sang pangeran menghadapi musuh dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Setiap langkah mereka adalah tarian antara hidup dan mati. Setiap ayunan pedang adalah pertaruhan nasib.

Di tengah kekacauan, Li Wei menemukan kekuatan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Dengan tekad yang membara dan sekelebat senyuman A Yin saat keduanya sah sebagai suami istri, ia berhasil memimpin pasukannya menuju kemenangan yang gemilang.

“Matilah kau!” Pedang Li Wei menebas leher sang jenderal dari suku pemberontak.

Suku itu kalah dan memilih mundur. Begitu juga dengan sang pangeran yang mengalami luka dalam cukup parah hingga tak sadarkan diri lagi.

“Bawa pangeran ke barak, sekarang!” Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Fu Rong dan para pengawal menempuh jarak bermil-mil agar pemimpin mereka selamat.

***

“Aku di mana?” tanya pangeran kedua ketika membuka mata.

Rambut panjangnya tidak diikat dan bibirnya kering serta pecah-pecah. Mata jernih sang pangeran seperti melihat A Yin di depan mata.

“A Yin, kau di sini.” Li Wei bangkit dan mencoba menggapai istrinya. Tujuh hari tak sadarkan diri ia bermimpi buruk kalau sang permaisuri akan segera dihukum mati.

“Pangeran, kau sudah sadar. Dia bukan permaisuri, dia hanya pelayan biasa.” Fu Rong datang tepat waktu.

“Oh, kupikir …” Li Wei duduk kembali setelah lelah berdiri.

“Pangeran, sebaiknya lekas beristirahat. Hamba akan panggilan tabib untuk memeriksamu. Tenang saja perbatasan sudah aman dan suku pemberontak sudah mundur semuanya.”

Fu Rong berbalik setelah pangeran duduk tenang. Namun, sebuah surat jatuh dari pinggangnya. Li Wei bangkit perlahan dan mengambil serta membaca surat itu.

“Apa ini?” Terlihat jelas gurat kemarahan di wajah Li Wei.

Surat itu berisikan kabar buruk bahwa Permaisuri Li A Yin akan segera dieksekui mati karena terbukti membunuh menteri keamana dalam istana.

“Memukul nyamuk saja A Yin tidak berani, apalagi membunuh orang.” Pangeran berdiri semampunya. Ia meraih baju resmi dan sesegera mungkin berkuda menuju istana.

“Pangeran, kau mau ke mana?” Fu Rong baru saja datang membawa tabib.

“Menyelamatkan istriku.” Li Wei membuang surat itu hingga sang pengawal pun terkejut.

“Maafkan hamba, Pangeran, tapi kau sedang terluka, sedangkan perjalanan ke Chang An memerlukan waktu kurang lebih satu minggu jika kita berkuda tanpa lelah. Menurut ham—”

“Kau ingin kau membiarkan istriku mati karena kesalahan yang tak mungkin ia lakukan!” Suara sang pangeran menggelagar.

Semua yang ada di sana termasuk Fu Rong berlutut karena takut dihukum mati. Pembawaan serta keberanian Li Wei sudah hampir mirip dengan sang kaisar terdahulu.

“Maafkan hamba, Pangeran.”

“Aku akan pergi menemui A Yin. Siapkan pasukan kecil untuk berangkat denganku. Jika ada yang memberontak penggal saja kepalanya.” Pangeran kedua dengan wajah pucat nekat pergi.

Li Wei abaikan luka dalamnya demi menyelamatkan A Yin. Bahkan jika ada yang berani melukai permaisuri akan ia penggal dengan pedangnya sendiri.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status