“Hakim Chao Da,” panggil Menteri Zhang perlahan pada rekannya. “Iya, Menteri Zhang, ada apa?” “Beri kesempatan pada Permaisuri Yin untuk membela diri seperti apa yang dia inginkan.” “Tapi ini berbahaya, Menteri, bagaimana kalau ternyata dia bisa melakukannya.” “Maka permainan kita akan semakin tajam. Aku masih ingin tahu sampai sejauh mana orang yang bangkit dari kematian bertahan. Lakukan saja, dapat tidak dapat bukti kita sudah terlibat sangat jauh.” Usai mengucapkan kalimat itu Menteri Zhang tak berbicara lagi. Hakim Chao Da merasa apa yang ia lakukan sekarang bertentangan dengan akalnya. Petugas koroner di kantor jaksa semuanya laki-laki, tidak ada yang perempuan. Lalu Permaisuri A Yin bisa apa? “Dan setelah melihat mayat Menteri Huang, kau ingin melakukan apa, Permaisuri? Melihat saja, boleh, akan aku kabulkan,” tanya Chao Da sambil mengelus janggutnya yang memutih. “Baik, aku ingin melihatnya saja.”“Mayat bukan untuk dipermainkan, Permaisuri.”“Benar, terkadang mayat bis
“Lancang, kau berani mengancamku!” Hakim Chao Da duduk di kursinya tanpa berani bangun. Sedangkan anak buahnya mulai menghunuskan pedang ingin melawan Su Yin. “Permintaanku tidak banyak. Hanya itu saja, aku tidak akan kabur aku tidak akan berbohong, aku tidak akan mangkir dari janjiku.” Ditekan lagi pedang itu hingga kulit Chao Da mulai mengeluarkan darah. “Ah, Permaisuri Yin, kita bisa bicarakan ini baik-baik, turunkan pedangmu.” Chao Da ternyata takut mati juga. “Aku beri kau waktu tiga menit, jika tidak ada jawaban aku tebas lehermu.” “Dan kau juga akan mati, Permaisuri.” “Kau pikir aku peduli. Sama-sama mati dengan dalih membunuh pejabat, apa bedanya.” “Iya, iya, baiklah, turunkan pedangmu.” Memerah muka Chao Da mungkin kalau lebih lama Su Yin mengancamnya ia bisa kencing di celana. “Kau kuberi waktu tiga menit.” “Tiga menit, maksudnya?” tanya sang hakim. “Dimulai dari aku menghitung, satu, dua, tiga …” Su Yin terus menghitung dan Chao Da kembali ke tempat di mana Menteri
Pangeran Kedua dirawat oleh dua orang tabib dan beberapa pembantu tabib. Luka di bagian pinggang lelaki itu terasa berdenyut dan menyakitkan sebab memaksakan diri untuk lekas sampai ke istana. Sejak pertama datang, Pangeran Li Wei belum bertemu dengan A Yin. Tubuhnya lemah, letih, juga terus berkeringat. Bahkan secara khusus Kaisar datang bersama Selir Agung melihat jalannya pengobatan Pangeran Kedua. “Tabib, pastikan kau memberi pengobatan terbaik untuk putraku,” ucap Kaisar dengan wajah penuh kekhawatiran. Pangeran Kedua merupakan putra yang amat ia sayangi. Li Wei jauh lebih cakap dan mampu daripada Putra Makhkota yang merupakan putra pertama Kaisar dengan Selir Agung. “Baik, Yang Mulia, akan hamba pertaruhkan reputasi hamba untuk mengobatinya,” jawab sang tabib dengan penuh kepatuhan. Selir Agung memandang Pangeran Li Wei dengan raut wajah penuh kebencian. Ia tak senang, benar-benar tak senang. Harapannya agar sang pangeran mati di medan perang tidak terkabulkan. Ming Hua ju
“Permaisuri, pelan-pelan makannya, nanti tersedak.” Xu Chan meliat Su Yin begitu lahap makan bakpao. Padahal dulu permaisurinya sangat menjaga etika saat makan. Tidak buru-buru, tidak memperlihatkan diri seolah-olah sangat lapar. Tapi yang ini Su Yin, dan polisi itu tak peduli sama sekali. “Kau tahu, kalau aku selamat nanti dari hukuman mati kedua kalinya, kau harus membuatkan aku bakpao seperti ini, isi daging ayam dan kacang merah, bisa?” tanya Su Yin dengan nada semringah. Ia bahkan tak takut mati sama sekali. “Permaisuri,” ucap Xu Chan dengan lirih. “Kenapa,” jawab Su Yin dengan mulut penuh. “Kalau Permaisuri sampai dihukum mati, hamba akan ikut mati.” “Tidak akan, aku adalah polisi dan dokter forensik yang tahu bagaimana membongkar trik kotor para penjahat.” Ucapan Su Yin membuat Xu Chan bingung. “Polisi, dokter forensik, apa itu?” Pelayan tersebut menggaruk kepalanya. Sang permaisuri terbatuk dan Xu Chan lekas memberikannya air. “Is, aku rindu sekali dengan kopi dan minu
“Hei, aku mengenalmu,” ucap Su Yin tiba-tiba saja. Lelaki itu adalah salah satu penjaga penjara yang menjebloskannya ke dalam jeruji. “Ternyata kau salah satu orang yang bertanggung jawab atas tewasnya Menteri Zhang.” Sang permaisuri menarik napas panjang. Tak lama kemudian ia mengikuti langkah lelaki tersebut. Ia terlihat sedang mengintai Permaisuri Li A Yin dan Menteri Zhang yang saling berbincang. “Pembunuhnya tidak hanya satu ternyata.” Mata Su Yin melihat dengan jelas ada seseorang lagi di belakang Menteri Zhang. Jendela di dekat Permaisuri Li A Yin terbuka tiba-tiba saja. Lalu angin masuk dengan cepat hingga menyebabkan perhatian dua bangsawan istana tersebut teralihkan. Su Yin tetap memperhatikan. Pada saat yang tepat, seseorang dengan pakaian hitam juga memukul punggung Menteri Zhang sebanyak dua kali dengan benda tumpul. Permaisuri Li A Yin tidak menyadarinya, sampai datang pemeran utama dari kasus itu dari arah samping dan membuat Li A Yin terkejut dan pedang pun terhunu
Enam jam berkendara dengan jeep sewaan, Li Wei dan tiga temannya sampai juga di desa yang sepi dan penduduknya tak ramah. Mereka tak menyapa sama sekali. Bahkan wajah-wajah penduduk terlihat sendu dan menyedihkan. “Apa karena desa ini jauh dari kota?” Li Wei memutar kemudi sesuai dengan petunjuk dari peta. “Mungkin karena kehidupan di sini masih sangat susah. Lihatlah, mengambil air bersih saja sangat jauh,” jawab teman Li Wei. “Jangan terlalu dipikirkan. Kita pergi ke makam, masuk ke dalam ambil hartanya dan pulang.” “Andai semudah itu, tentu kita sudah kaya sejak lama. Dulu tim kita ada delapan orang, sekarang hanya sisa empat saja.” Li Wei memelankan laju jeepnya. Tak lama lagi mereka akan sampai di bebatuan besar tempat Permaisuri Li A Yin dimakamkan. “Resiko, tanpa pekerjaan dan uang kita juga mati perlahan-lahan. Ayo turun.” Semua mengambil ransel ketika mobil telah diparkir dan ditutup kain hitam. Tidak terlihat gundukan tanah berbentuk bukit sebagai tanda seorang bangsaw
Su Yin bangun di pagi hari dengan tubuh pegal dari kepala sampai kaki. Ia tak pernah dipenjara dan akhirnya tahu bagaimana rasanya jadi tahanan. Setelah ini—mungkin saja—saat ia kembali ke masa depan ia akan baik-baik dengan tahanan. “Ya, tapi, kan, mereka orang jahat, kenapa aku harus baik dengan mereka,” gumamnya sambil merapikan rambut yang berantakan. “Biasanya, di series-series dracin yang aku lihat sekilas. Pelayan akan datang membawakan air cuci muka dan makanan. Apakah di sini sama atau aku memang jadi kucel dan dekil seperti ini.” Su Yin mencium ketiaknya. “Astaga bau sekali, hueeek, aku mau muntah mencium bau badanku sendiri, kecut seperti kimichi.” Merinding bulu roma Su Yin dibuatnya. Tidak ada parfum, sikat gigi, deodorant, sabun, sampo apalagi. Semuanya kembali ke zaman batu dan kayu dengan peralatan ala kadarnya. “Hei, ada makanan untukku tidak?” tanya Su Yin pada penjaga penjara. Sembari ia perhatikan, tersangka yang ia temui kemarin dan ancam sedikit, tidak ada la
Xu Chan menyusul Pangeran Kedua dan pengawalnya ke penjara. Di perjalanan ia melihat beberapa penjaga terluka karena diserang oleh sang pangeran. Gadis polos itu pun mempercepat langkahnya sampai di depan penjara. Di sana Fu Rong berungkali menghantam rantai besi agar ikatannya terputus sedangkan Li Wei masih menahan nyeri di pinggangnya. Pada tebasan terakhir, rantai besi putus juga. Pintu penjara dibuka dan Su Yin menatap Fu Rong dengan serius. Xu Chan segera menghampiri permaisuri. “Terima kasih, Pangeran Kedua karena telah menolongku,” ucap Su Yin dengan tangan gemetar. Fu Rong bingung, Li Wei mengerutkan kening dan Xu Chan menutup mulutnya. “Permaisuri.” Xu Chan mendekat perlahan. “Dia bukan Pangeran Kedua, yang itu orangnya.” Pelayan polos tersebut melirik dengan ekor matanya. Li Wei menggeleng, ternyata benar istrinya lupa ingatan. “Oh, iya, mana aku tahu, ingatanku saja ke mana-mana.” Su Yin malah tersenyum pada Fu Rong. Pengawal itu jadi bingung dan mundur sejenak, lalu
Li Wei berdiri di atas benteng pertahanan. Pangeran Kedua sedang memantau para prajurit yang berlatih. Ia meraih teropong di pingang, lalu melihat ke arah yang jauh sampai ke tepi pantai. Armada angkatan laut yang dipimpin oleh menhan langsung sedang mengisi amunisi. Sebuah anak panah menancap di sebelah Li Wei. Di anak panah itu terikat sebuah surat. Ia membuka dan membacanya dengan perlahan lalu meremas dan membuangnya. “Suku serigala sedang mempersiapkan serangan untuk kita. Kapal mereka mulai berjalan. Sampaikan pesanku pada menhan agar mempercepat persiapan. Sampaikan diam-diam jangan sampai ada yang tahu, mengerti!” perintah Li Wei. “Baik, Pangeran.” Furong melompat dari benteng dan berlari ke kandang kuda lalu segera ke pelabuhan. Tersisa Pangeran Kedua dengan beberapa pasukan elitenya. Lelaki itu mengembuskan napas dalam. Ia boleh mati tapi Permaisuri Yin harus selamat apa pun caranya. Li Wei pergi menemui An Mama secara pribadi. Sang guru yang sedang mengasah pedang berd
Ibu Suri duduk di kamarnya. Ia menatap ke depan dengan kekosongan. Sejak ditinggal Gui Mama tak ada lagi pelayan lain yang cakap dalam bekerja. Termasuk mengurus opium yang telah menjadi candunya. Ming Hua seperti orang gila yang terlihat baik-baik saja. “Pelayaaan!” teriak Ibu Suri. Semua berbaris dengan teratur memenuhi panggilannya. “Tolol. Aku hukum mati kalian semua baru tahu rasa!” “Jangan, Ibu Suri, ampuni kami yang datang terlambat.” Para pelayan bersujud di depan wanita angkuh itu. “Bantu aku berkemas. Aku ingin mengunjungi kaisar. Ada yang harus aku bicarakan.” Tiga orang pelayan wanita datang mendekatinya. “Tunggu, kalian semua keluar, dan kau tetap di sini.” Ming Hua meminta satu orang saja yang menemaninya. “Berikan aku opium.” “Ibu Suri, tapi opiumnya sudah habis sejak tadi malam.” Pelayan itu menjawab dengan takut. “Kurang ajar!” Ming Hua melayangkan tamparan. “Kenapa tidak dibeli lagi.” “Hamba tidak tahu, Ibu Suri, hamba tidak tahu harus mencarinya di mana.”
Tangan Su Yin berlumuran darah. Sudah banyak prajurit yang ia bunuh demi menyelamatkan diri. Namun, jelas polisi wanita itu kalah jumlah. Sekarang ia bersembunyi di departemen sihir dan perbintangan. Satu-satunya tempat yang bisa Su Yin tuju.“Siapa di sana?” Su Yin memegang pedang dengan tangan gemetar. Perkelahian sengit itu membuatnya kehilangan banyak tenaga. Shen Du muncul sambil membawa pedang kayunya. “Kau ternyata. Oh iya aku lupa kau orangnya Ibu Suri. Majulah kalau ingin membunuhku.” “Tidak, Permaisuri Yin. Aku hanya ingin memberitahu, ke depannya nanti jalanmu tidak akan mudah dan umurmu tidak akan panjang.” “Aku bisa menanggung semua derita, ini sudah pilihanku.” Su Yin menarik napas panjang. Ia lelah, haus, juga lapar. Shen Du menyembunyikan pedang kayunya. Lalu ia menoleh ke belakang. Pengawal pribadi kaisar datang dengan dua orang prajurit kepercayaannya. “Bawa Permaisuri Yin pergi dari sini. Lewat danau belakang ada jalan rahasia tempat para pelayan kabur. Jangan
Ibu Suri duduk di singgasananya dengan angkuh. Gui Mama tersenyum melihat tuannya. Mata licik ibu suri memindai seluruh kediaman baru yang lebih besar dan mewah. Ia pun menarik napas dalam-dalam. “Lega sekali tanpa kehadiran Li Wei di istana ini,” ucapnya congkak. “Nyonya, satu pengganggu sudah hilang, hamba yakin perang di selatan akan menewaskan Pangeran Kedua.” “Gui Mama, jangan bicara terlalu kencang, dinding istana juga punya kuping.” Ming Hua memejamkan mata. Ia senang dengan harapan pelayannya tapi ia juga harus berhati-hati. “Maafkah hambamu yang bodoh ini, Nyonya.” “Dimaafkan, karena kau terlalu bahagia melihatku bahagia, sudah sepantasnya pelayan harus begitu, ah ha ha ha.” Ming Hua merasa sebagai penguasa istana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan, Nyonya?” “Apa yang harus dilihat, istana begitu-begitu saja sejak pertama kali aku datang, tidak ada bedanya. Hanya saja sekarang aku lebih bebas sebagai ibu suri, bahkan kaisar tidak akan berani menegurku.” Ibu Suri berdi
“Aku hanya ingin kemenangan untuk Tang, Yang Mulia.” “Aku mengenalmu cukup baik, ada yang kau sembunyikan dariku, katakan.” Perintah Kaisar dengan tegas. “Yang Mulia, izinkan hamba berangkat ke kaisar dan setelahnya akan hamba persembahkan kemenangan untuk Tang.” “Itu saja?” Kaisar tahu adiknya belum mau jujur sepenuhnya. “Juga, jika hamba memperoleh kemenangan izinkan hamba tinggal di selatan dan memerintah daerah itu dengan tradisi dan kebijakan Dinasti Tang.” Jujur juga Li Wei akhirnya. “Jadi kau ingin meninggalkan Chang An.” Kaisar memerintahkan Li Wei bangun dari sujudnya. “Benar.” “Kenapa?” “Terlalu banyak kenangan pahit di sini.” “Pahit?” “Salah satunya kematian ibuku juga istriku sempat mati kemarin. Aku hanya ingin menyelamatkan keluargaku.” “Sekarang aku sudah menjadi kaisar, tidak akan ada orang yang berani menyakitimu.” “Aku khawatir bukan orang lain yang menyakitiku, justru …” “Maksudmu, Ibu Suri?” tebak Kaisar. Li Wei diam saja. “Pergilah, akan aku pertimban
Tubuh Kaisar diawetkan selama beberapa hari sebelum disemayamkan di sebuah kuburan yang luas. Sejak saat itu takhta kosong dan sudah jelas siapa yang akan mendudukinya meski belum dinobatkan secara resmi. Putra Mahkota mengambil alis tugas ayahnya yang mangkat dengan penyakit misterius. Masa berkabung dimulai sejak saat itu dan belum diakhiri hingga sebuah kuburan yang luas dan megah selesai. Satu demi satu perhiasan kesukaan kaisar diletakkan di dalam. Termasuk emas dan perak, juga baju-baju sutra yang dulu pernah dikenakan.Dalam kuburan kuno itu dibangun beberapa perangkap. Apabila ada yang mencuri perhiasan milik Kaisar akan mati dan terkubur di sana. Para selir kaisar yang tidak memiliki anak secara jelas diusir oleh Selir Agung. Permaisuri Utama dan Selir Cun masih tinggal karena telah memiliki anak. Ming Hua mencapai tujuannya untuk menjadi ibu suri. Hari ini tubuh Kaisar yang sudah diberikan pakaian terbaik diletakkan di dalam peti. Satu demi satu putra, putri, selir, pej
Di luar istana para suami menjalankan tugas negara dengan berat. Li Wei sampai membuka pakaian agungnya sebagai pangeran demi membantu pekerja tambang bijih besi membuat senjata tajam. Tubuhnya yang kekar menjadi semakin keras. Ia memukul-mukul besi panas hingga dibentuk menjadi pedang kemudian dicelupkan ke air. Begitu pula dengan Putra Mahkota. Ia turun tangan sendiri merekrut para tentara baru. Termasuk ikut serta membantu para tentara baru berlatih kungfu dasar. Hal demikian berlangsung tidak selama satu atau dua bulan. Dan kini sudah memasuki bulan ketiga para suami jauh dari istrinya demi menunaikan tugas negara. Di dalam istana para istri terus mendoakan kebaikan untuk suaminya termasuk Bai Jing juga Su Yin. Permaisuri Yin bersungguh-sungguh dalam merajut. Ia membuat pola rajutan naga memeluk bulan dengan benang perak yang amat sangat indah. Saking rumitnya rajutan itu, baru bisa selesai pada bulan ketiga dan tak terhitung sudah berapa banyak jarum yang menusuk tangannya.
Aligur mengobati luka di betis Tugur dengan darah segar. Tugur menutup mata karena menahan pedih di kaki. Dengan beberapa kali pengobatan luka itu tertutup sempurna juga. “Wanita itu memang malaikat maut,” ucap Aligur sembari membasuh keringat yang bercucuran. “Seharusnya kita bunuh dulu wanita itu baru bisa menyerang istana dengan mudah,” sahut Tugur. “Tapi wanita itu bukanlah tujuan utama kita, Tuan.” “Aku tahu, tapi dia penghalang yang mematikan.” “Tidak juga!” “Maksudmu?” “Tidak lama lagi dia akan meninggalkan istana, setelah itu Tuan bisa melancarkan aksi. Enam bulan lagi anakmu akan lahir, Tuan. Dia akan menjadi penerus takhta Tang yang agung, anakmu akan jadi raja di generasi berikutnya,” bisik Aligur. “Selama enam bulan itu aku harus tetap bersabar, bukan?” “Benar, Tuan, tapi jika diperbolehkan aku ingin melakukan balas dendam, bukan pada wanita itu tapi untuk orang lain. Untuk memuluskan takhta anakmu nanti, kita harus membuat istana dalam keadaan huru-hara.” “Renca
“Nyonya,” ujar Shen Du sembari menahan batuk akibat kesalahan tadi malam. “Tuan Shen, maafkan kesalahanku tadi malam. Tapi kau tak akan mengerti kalau tak mengalami yang namanya jatuh cinta.” “Cinta membuat orang bodoh, karena itu aku memutuskan menjadi kepala kuil agar tidak harus mengenal yang namanya cinta.” “Kau benar.” Mata Su Yin mencari di mana Li A Yin berada. “Nyonya mencari Permaisuri Li A Yin? Arwahnya sudah pergi ke alam baka dan akan segera bereinkarnasi pada beberapa kehidupan.” “Oh, baguslah kalau begitu. Sekali lagi aku minta maaf atas keributan tadi malam.” Su Yin melangkah pergi tapi ia ditahan oleh Shen Du. “Keputusanmu malam tadi akan berdampak pada dirimu, Nyonya, engkau menolak kembali dan membuat jalinan takdir antara masa lalu serta masa depan jadi kacau. Umurmu tak akan panjang, kau akan merasakan sakit teramat sangat jelang kematianmu.” Shen Du mengingatkan permaisuri. “Aku bisa menanggungnya.” Su Yin berkeras hati. “Apakah ini sepadan? Menjadi istri