“Permaisuri, pelan-pelan makannya, nanti tersedak.” Xu Chan meliat Su Yin begitu lahap makan bakpao. Padahal dulu permaisurinya sangat menjaga etika saat makan. Tidak buru-buru, tidak memperlihatkan diri seolah-olah sangat lapar. Tapi yang ini Su Yin, dan polisi itu tak peduli sama sekali. “Kau tahu, kalau aku selamat nanti dari hukuman mati kedua kalinya, kau harus membuatkan aku bakpao seperti ini, isi daging ayam dan kacang merah, bisa?” tanya Su Yin dengan nada semringah. Ia bahkan tak takut mati sama sekali. “Permaisuri,” ucap Xu Chan dengan lirih. “Kenapa,” jawab Su Yin dengan mulut penuh. “Kalau Permaisuri sampai dihukum mati, hamba akan ikut mati.” “Tidak akan, aku adalah polisi dan dokter forensik yang tahu bagaimana membongkar trik kotor para penjahat.” Ucapan Su Yin membuat Xu Chan bingung. “Polisi, dokter forensik, apa itu?” Pelayan tersebut menggaruk kepalanya. Sang permaisuri terbatuk dan Xu Chan lekas memberikannya air. “Is, aku rindu sekali dengan kopi dan minu
“Hei, aku mengenalmu,” ucap Su Yin tiba-tiba saja. Lelaki itu adalah salah satu penjaga penjara yang menjebloskannya ke dalam jeruji. “Ternyata kau salah satu orang yang bertanggung jawab atas tewasnya Menteri Zhang.” Sang permaisuri menarik napas panjang. Tak lama kemudian ia mengikuti langkah lelaki tersebut. Ia terlihat sedang mengintai Permaisuri Li A Yin dan Menteri Zhang yang saling berbincang. “Pembunuhnya tidak hanya satu ternyata.” Mata Su Yin melihat dengan jelas ada seseorang lagi di belakang Menteri Zhang. Jendela di dekat Permaisuri Li A Yin terbuka tiba-tiba saja. Lalu angin masuk dengan cepat hingga menyebabkan perhatian dua bangsawan istana tersebut teralihkan. Su Yin tetap memperhatikan. Pada saat yang tepat, seseorang dengan pakaian hitam juga memukul punggung Menteri Zhang sebanyak dua kali dengan benda tumpul. Permaisuri Li A Yin tidak menyadarinya, sampai datang pemeran utama dari kasus itu dari arah samping dan membuat Li A Yin terkejut dan pedang pun terhunu
Enam jam berkendara dengan jeep sewaan, Li Wei dan tiga temannya sampai juga di desa yang sepi dan penduduknya tak ramah. Mereka tak menyapa sama sekali. Bahkan wajah-wajah penduduk terlihat sendu dan menyedihkan. “Apa karena desa ini jauh dari kota?” Li Wei memutar kemudi sesuai dengan petunjuk dari peta. “Mungkin karena kehidupan di sini masih sangat susah. Lihatlah, mengambil air bersih saja sangat jauh,” jawab teman Li Wei. “Jangan terlalu dipikirkan. Kita pergi ke makam, masuk ke dalam ambil hartanya dan pulang.” “Andai semudah itu, tentu kita sudah kaya sejak lama. Dulu tim kita ada delapan orang, sekarang hanya sisa empat saja.” Li Wei memelankan laju jeepnya. Tak lama lagi mereka akan sampai di bebatuan besar tempat Permaisuri Li A Yin dimakamkan. “Resiko, tanpa pekerjaan dan uang kita juga mati perlahan-lahan. Ayo turun.” Semua mengambil ransel ketika mobil telah diparkir dan ditutup kain hitam. Tidak terlihat gundukan tanah berbentuk bukit sebagai tanda seorang bangsaw
Su Yin bangun di pagi hari dengan tubuh pegal dari kepala sampai kaki. Ia tak pernah dipenjara dan akhirnya tahu bagaimana rasanya jadi tahanan. Setelah ini—mungkin saja—saat ia kembali ke masa depan ia akan baik-baik dengan tahanan. “Ya, tapi, kan, mereka orang jahat, kenapa aku harus baik dengan mereka,” gumamnya sambil merapikan rambut yang berantakan. “Biasanya, di series-series dracin yang aku lihat sekilas. Pelayan akan datang membawakan air cuci muka dan makanan. Apakah di sini sama atau aku memang jadi kucel dan dekil seperti ini.” Su Yin mencium ketiaknya. “Astaga bau sekali, hueeek, aku mau muntah mencium bau badanku sendiri, kecut seperti kimichi.” Merinding bulu roma Su Yin dibuatnya. Tidak ada parfum, sikat gigi, deodorant, sabun, sampo apalagi. Semuanya kembali ke zaman batu dan kayu dengan peralatan ala kadarnya. “Hei, ada makanan untukku tidak?” tanya Su Yin pada penjaga penjara. Sembari ia perhatikan, tersangka yang ia temui kemarin dan ancam sedikit, tidak ada la
Xu Chan menyusul Pangeran Kedua dan pengawalnya ke penjara. Di perjalanan ia melihat beberapa penjaga terluka karena diserang oleh sang pangeran. Gadis polos itu pun mempercepat langkahnya sampai di depan penjara. Di sana Fu Rong berungkali menghantam rantai besi agar ikatannya terputus sedangkan Li Wei masih menahan nyeri di pinggangnya. Pada tebasan terakhir, rantai besi putus juga. Pintu penjara dibuka dan Su Yin menatap Fu Rong dengan serius. Xu Chan segera menghampiri permaisuri. “Terima kasih, Pangeran Kedua karena telah menolongku,” ucap Su Yin dengan tangan gemetar. Fu Rong bingung, Li Wei mengerutkan kening dan Xu Chan menutup mulutnya. “Permaisuri.” Xu Chan mendekat perlahan. “Dia bukan Pangeran Kedua, yang itu orangnya.” Pelayan polos tersebut melirik dengan ekor matanya. Li Wei menggeleng, ternyata benar istrinya lupa ingatan. “Oh, iya, mana aku tahu, ingatanku saja ke mana-mana.” Su Yin malah tersenyum pada Fu Rong. Pengawal itu jadi bingung dan mundur sejenak, lalu
Li Wei memeluk istrinya sangat erat hingga dua orang itu jatuh di ranjang yang sama. Tak peduli Pangeran Kedua walau pinggangnya sakit, selagi ada kesempatan bersama dijalani saja walau bahaya menghadang. “Akhirnya kita sedekat ini lagi,” ucap pangeran dengan tersenyum lebar. Ia jadi teringat dengan malam pertama yang sangat berkesan dengan rasa yang lebih manis dari madu. “Kau itu sakit, tapi otakmu mesum.” Dengan santai Su Yin menekan jidat pangeran pakai telunjuknya. “Lepaskan, aku harus melihat lukamu.” Polisi wanita itu memberontak. “Di sini jauh lebih sakit sejak berpisah denganmu.” Semakin mendalam sang pangeran menekan di bagian dadanya dengan tangan Su Yin. “Bocah kalau jatuh cinta memang manis sekali mulutnya,” gumam polisi wanita yang umur aslinya sudah 38 tahun. “Bocah mana? Umurku 20 tahun, kau sudah 17 tahun, kita sudah menjadi calon orang tua, tugasku sekarang membuatmu hamil.” Ucapan Li Wei membuat Su Yin merasa seperti dipecundangi dan dilucuti bajunya habis-hab
“Kenapa harus pakai baju cantik malam hari begini,” ucap Su Yin usah selesai mandi air hangat. Xu Chan memberinya sutera berwarna biru muda. Namun, yang jadi masalah, pakaian bagian atasnya tipis serta menerawang. Siapa pun lelaki yang melihat sang permaisuri pasti tergoda. Ya memang tujuannya untuk membuat sang pangeran tergoda. “Permaisuri, sekarang Pangeran sudah datang, jadi tampillah lebih cantik setiap hari di depannya. Agar kalau beliau misalnya mengambil selir, tetap engkau yang paling dicintainya.” “Halah, aku tidak peduli, mau dia punya sejuta selir aku tidak akan cemburu. Aku hanya ingin pulang. Bibiku yang sudah tua dan sebatang kara tinggal sendirian di apartement.” Su Yin menghela napas pendek. Wanita tua itu yang merawatnya sejak kedua orang tua Su Yin meninggal karena kecelakaan. “Sudah cantik, ayo, Permaisuri.” Xu Chan memberikan satu buah mantel yang di bagian lehernya ada hiasan bulu putih halus sekali. “Wah, ini kalau di Shanghai mahal sekali harganya. Hmm hal
Seorang pelayan senior telah kembali dari sebuah kuil usai mendoakan majikannya yang telah mangkat. Inginnya ia ada di sana selamanya, tetapi panggilan dari Selir Agung membuat Gui Mama terpaksa meninggalkan tempat sembahyangnya. Dengan langkah penuh percaya diri meski rambut sudah banyak yang putih wanita tua itu memasuki Istana Bunga Perak—tempat kediaman Ming Hua sejak dinikahi Kaisar. Senyumnya terkembang sempurna dengan garis kerutan di tepi bibir. “Hamba memberi hormat pada Selir Agung.” Gui Mama bersujud dengan penuh rasa khidmat pada tuannya yang baru. “Bangunlah, tidak usah sungkan. Aku yang memanggilmu berarti aku yang membutuhkanmu.” Ming Hua membantu Gui Mama bangkit dan memegang tangannya yang telah keriput. Meski demikian Gui Mama terhitung sebagai salah satu pelayan tingkat tinggi yang bahkan disegani oleh para pejabat, bangsawan dan kaum cendekiawan. Pengalaman membersamai Ibu Suri dari kecil sampai tiada membuat isi kepala Gui Mama tidak seperti hamba sahaya lainn
“Aku hanya ingin kemenangan untuk Tang, Yang Mulia.” “Aku mengenalmu cukup baik, ada yang kau sembunyikan dariku, katakan.” Perintah Kaisar dengan tegas. “Yang Mulia, izinkan hamba berangkat ke kaisar dan setelahnya akan hamba persembahkan kemenangan untuk Tang.” “Itu saja?” Kaisar tahu adiknya belum mau jujur sepenuhnya. “Juga, jika hamba memperoleh kemenangan izinkan hamba tinggal di selatan dan memerintah daerah itu dengan tradisi dan kebijakan Dinasti Tang.” Jujur juga Li Wei akhirnya. “Jadi kau ingin meninggalkan Chang An.” Kaisar memerintahkan Li Wei bangun dari sujudnya. “Benar.” “Kenapa?” “Terlalu banyak kenangan pahit di sini.” “Pahit?” “Salah satunya kematian ibuku juga istriku sempat mati kemarin. Aku hanya ingin menyelamatkan keluargaku.” “Sekarang aku sudah menjadi kaisar, tidak akan ada orang yang berani menyakitimu.” “Aku khawatir bukan orang lain yang menyakitiku, justru …” “Maksudmu, Ibu Suri?” tebak Kaisar. Li Wei diam saja. “Pergilah, akan aku pertimban
Tubuh Kaisar diawetkan selama beberapa hari sebelum disemayamkan di sebuah kuburan yang luas. Sejak saat itu takhta kosong dan sudah jelas siapa yang akan mendudukinya meski belum dinobatkan secara resmi. Putra Mahkota mengambil alis tugas ayahnya yang mangkat dengan penyakit misterius. Masa berkabung dimulai sejak saat itu dan belum diakhiri hingga sebuah kuburan yang luas dan megah selesai. Satu demi satu perhiasan kesukaan kaisar diletakkan di dalam. Termasuk emas dan perak, juga baju-baju sutra yang dulu pernah dikenakan.Dalam kuburan kuno itu dibangun beberapa perangkap. Apabila ada yang mencuri perhiasan milik Kaisar akan mati dan terkubur di sana. Para selir kaisar yang tidak memiliki anak secara jelas diusir oleh Selir Agung. Permaisuri Utama dan Selir Cun masih tinggal karena telah memiliki anak. Ming Hua mencapai tujuannya untuk menjadi ibu suri. Hari ini tubuh Kaisar yang sudah diberikan pakaian terbaik diletakkan di dalam peti. Satu demi satu putra, putri, selir, pej
Di luar istana para suami menjalankan tugas negara dengan berat. Li Wei sampai membuka pakaian agungnya sebagai pangeran demi membantu pekerja tambang bijih besi membuat senjata tajam. Tubuhnya yang kekar menjadi semakin keras. Ia memukul-mukul besi panas hingga dibentuk menjadi pedang kemudian dicelupkan ke air. Begitu pula dengan Putra Mahkota. Ia turun tangan sendiri merekrut para tentara baru. Termasuk ikut serta membantu para tentara baru berlatih kungfu dasar. Hal demikian berlangsung tidak selama satu atau dua bulan. Dan kini sudah memasuki bulan ketiga para suami jauh dari istrinya demi menunaikan tugas negara. Di dalam istana para istri terus mendoakan kebaikan untuk suaminya termasuk Bai Jing juga Su Yin. Permaisuri Yin bersungguh-sungguh dalam merajut. Ia membuat pola rajutan naga memeluk bulan dengan benang perak yang amat sangat indah. Saking rumitnya rajutan itu, baru bisa selesai pada bulan ketiga dan tak terhitung sudah berapa banyak jarum yang menusuk tangannya.
Aligur mengobati luka di betis Tugur dengan darah segar. Tugur menutup mata karena menahan pedih di kaki. Dengan beberapa kali pengobatan luka itu tertutup sempurna juga. “Wanita itu memang malaikat maut,” ucap Aligur sembari membasuh keringat yang bercucuran. “Seharusnya kita bunuh dulu wanita itu baru bisa menyerang istana dengan mudah,” sahut Tugur. “Tapi wanita itu bukanlah tujuan utama kita, Tuan.” “Aku tahu, tapi dia penghalang yang mematikan.” “Tidak juga!” “Maksudmu?” “Tidak lama lagi dia akan meninggalkan istana, setelah itu Tuan bisa melancarkan aksi. Enam bulan lagi anakmu akan lahir, Tuan. Dia akan menjadi penerus takhta Tang yang agung, anakmu akan jadi raja di generasi berikutnya,” bisik Aligur. “Selama enam bulan itu aku harus tetap bersabar, bukan?” “Benar, Tuan, tapi jika diperbolehkan aku ingin melakukan balas dendam, bukan pada wanita itu tapi untuk orang lain. Untuk memuluskan takhta anakmu nanti, kita harus membuat istana dalam keadaan huru-hara.” “Renca
“Nyonya,” ujar Shen Du sembari menahan batuk akibat kesalahan tadi malam. “Tuan Shen, maafkan kesalahanku tadi malam. Tapi kau tak akan mengerti kalau tak mengalami yang namanya jatuh cinta.” “Cinta membuat orang bodoh, karena itu aku memutuskan menjadi kepala kuil agar tidak harus mengenal yang namanya cinta.” “Kau benar.” Mata Su Yin mencari di mana Li A Yin berada. “Nyonya mencari Permaisuri Li A Yin? Arwahnya sudah pergi ke alam baka dan akan segera bereinkarnasi pada beberapa kehidupan.” “Oh, baguslah kalau begitu. Sekali lagi aku minta maaf atas keributan tadi malam.” Su Yin melangkah pergi tapi ia ditahan oleh Shen Du. “Keputusanmu malam tadi akan berdampak pada dirimu, Nyonya, engkau menolak kembali dan membuat jalinan takdir antara masa lalu serta masa depan jadi kacau. Umurmu tak akan panjang, kau akan merasakan sakit teramat sangat jelang kematianmu.” Shen Du mengingatkan permaisuri. “Aku bisa menanggungnya.” Su Yin berkeras hati. “Apakah ini sepadan? Menjadi istri
Su Yin dan An Mama melihat Li Wei dikejar oleh Tugur dan lelaki lainnya. Dua perempuan itu kemudian melompat dari kuda dan menghunuskan pedang serta menebas siapa saja yang mengganggu keamaan Pangeran Kedua. Li Wei melihat dengan matanya bagaimana Su Yin menikam para lelaki hingga tubuh mereka hangus perlahan. “Suku serigala,” gumam Li Wei. Ia menghunuskan pedang ke belakang ketika seseorang menyergap dirinya. Tugur melompat dan hampir saja kepala Li Wei terkena tebasan kalau tidak ditahan dengan pedang sekuat tenaga. Dua lelaki dengan tubuh tinggi dan tegap itu saling bertarung satu sama lain, kemudian jatuh, berdiri lagi dan berusaha meraih kemenangan. Su Yin mencari peluang untung menyerang Tugur. Ia berguling di tanah kemudian menancapkan belatinya pada betis Tugur. Lelaki dari suku serigala itu menjerit dan memegang kakinya. Aligur yang mengetahui kejadian itu cepat melompat dan melempar Su Yin hingga terpental cukup jauh. Beruntung permaisuri ditangkap oleh An Mama. “Nyony
“Pangeran, menurut hamba ini adalah langkah cari mati, di mana kita hanya berdua saja mencari si pengirim surat,” ujar Fu Rong ketika merasakan dingin di sekujur tubuh. Ia ragu kali ini akan bisa menyelamatkan pangeran jika dalam keadaan bahaya. “Kau takut?” tanya Li Wei. “Bukan takut, Pangeran, hamba bahkan rela mati untukmu, tapi engkau adalah Pangeran, harus dijaga.” “Dalam perang saja aku tidak minta dijaga apalagi sekarang. Sudahlah, berhenti berasumsi lanjutkan saja perjalanan kita.” Li Wei menunggang kuda dengan santai saja. Rasanya ia ingin menoleh ke belakang sekali lagi dan pulang ke istana. Namun, pantang bagi seorang pangeran mencoreng sikap seorang kesatria. Li Wei bukanlah pengecut. Bulan berdarah sebisa mungkin harus dicegah. Dua pria penghuni istana naga perak itu terus berkuda menuju tempat yang sudah dijanjikan. Li Wei dan Fu Rong kemudian turun serta mengikat kudanya. Lalu mereka berjalan kaki sambil menyiagakan pedang. Terus kaki melangkah hingga menjumpai se
Su Yin melangkah bersama para pelayan sambil membawa kebutuhan makanan matang dan baju baru untuk Selir Cun Ning. Sebagai Putri Daerah, kekayaan Su Yin bertambah banyak dan ia menerima banyak hadiah dari sesama bangsawa. Semua hanfu halus dan mahal itu tak akan terpakai olehnya. Jadi ia berikan beberapa untuk Selir Cun. Ketika sampai di depan istana dingin, polisi wanita itu dikejutkan dengan suara teriakan pelayan. Su Yin masuk dan berlari. Di sana ada Gui Mama dan beberapa orang Ming Hua datang menyiksa Cun Ning. Wajah selir itu ditampar beberapa kali sampai kemerahan. “Cukup. Kalian orang-orang tak punya hati.” Su Yin menangkap tangan pelayan yang menampar Cun Ning. Ia dorong hingga pelayan itu jatuh dan pinggangnya sakit. “Permaisuri Yin, engkau berani melawan perintah Selir Agung!” Gui Mama berbicara dengan nada tinggi pada seorang Putri Daerah. “Kau tahu barusan bicara dengan siapa? Pelayan, bawa Selir Cun masuk ke kamar dan panggilkan Ru Yi, sekarang!” Suara Su Yin mening
Su Yin menunggu sampai pelayan datang dan memberi tahu di mana Selir Cun tinggal. Bahkan hari ini Selir Cun tak datang ke ulang tahun kaisar karena sakit. Selir Cun memiliki seorang putra. Itu yang disebut pangeran keenam oleh Li Wei. Keberadaannya jarang diingat kaisar berkat kekejian Ming Hua. “Ayo kita ke sana.” Permaisuri Yin menuju istana yang paling jelek bahkan lebih dingin dari dapur milik Pangeran Kedua. “Oh my god, apa ini?” Dokter forensik itu melirik sampah dedaunan di depan istana. Pelayan mengetuk pintu, yang keluar seorang pangeran kecil. Tak lama kemudian pelayan lain datang membawa air hangat dan memberi hormat pada Permaisuri Yin. “Selir Cun ada?” “Ada, Nyonya ini siapa?” tanya pelayannya Selir Cun. “Lancang kau!” Pelayan Su Yin yang marah. “Sudah, santai, jangan marah-marah.” Su Yin menegur pelayannya. “Aku Permaisuri Yin, istri Pangeran Kedua, bisakah aku bertemu Selir Cun, seseorang menitipkan pesan padanya.” “Nyonya, maafkan hamba, tapi Selir Cun sedang