“Kenapa harus pakai baju cantik malam hari begini,” ucap Su Yin usah selesai mandi air hangat. Xu Chan memberinya sutera berwarna biru muda. Namun, yang jadi masalah, pakaian bagian atasnya tipis serta menerawang. Siapa pun lelaki yang melihat sang permaisuri pasti tergoda. Ya memang tujuannya untuk membuat sang pangeran tergoda. “Permaisuri, sekarang Pangeran sudah datang, jadi tampillah lebih cantik setiap hari di depannya. Agar kalau beliau misalnya mengambil selir, tetap engkau yang paling dicintainya.” “Halah, aku tidak peduli, mau dia punya sejuta selir aku tidak akan cemburu. Aku hanya ingin pulang. Bibiku yang sudah tua dan sebatang kara tinggal sendirian di apartement.” Su Yin menghela napas pendek. Wanita tua itu yang merawatnya sejak kedua orang tua Su Yin meninggal karena kecelakaan. “Sudah cantik, ayo, Permaisuri.” Xu Chan memberikan satu buah mantel yang di bagian lehernya ada hiasan bulu putih halus sekali. “Wah, ini kalau di Shanghai mahal sekali harganya. Hmm hal
Seorang pelayan senior telah kembali dari sebuah kuil usai mendoakan majikannya yang telah mangkat. Inginnya ia ada di sana selamanya, tetapi panggilan dari Selir Agung membuat Gui Mama terpaksa meninggalkan tempat sembahyangnya. Dengan langkah penuh percaya diri meski rambut sudah banyak yang putih wanita tua itu memasuki Istana Bunga Perak—tempat kediaman Ming Hua sejak dinikahi Kaisar. Senyumnya terkembang sempurna dengan garis kerutan di tepi bibir. “Hamba memberi hormat pada Selir Agung.” Gui Mama bersujud dengan penuh rasa khidmat pada tuannya yang baru. “Bangunlah, tidak usah sungkan. Aku yang memanggilmu berarti aku yang membutuhkanmu.” Ming Hua membantu Gui Mama bangkit dan memegang tangannya yang telah keriput. Meski demikian Gui Mama terhitung sebagai salah satu pelayan tingkat tinggi yang bahkan disegani oleh para pejabat, bangsawan dan kaum cendekiawan. Pengalaman membersamai Ibu Suri dari kecil sampai tiada membuat isi kepala Gui Mama tidak seperti hamba sahaya lainn
Empat orang lelaki telah berkumpul di danau bagian belakang istana. Tempat itu indah, ada taman bunga, banyak kupu-kupu datang juga burung berkicauan. Sayang, letaknya cukup jauh hingga enggan dikunjungi para putri. Pangeran Kedua duduk sambil menyibak jubah warna abu-abunya. Ia menatap empat lelaki yang kini wajahnya penuh ketakutan. Begitulah menjadi bawahan, harus selalu siap menanggung kesalahan tuannya. Li Wei memberikan tanda dengan lirikan matanya, Fu Rong sudah mengerti kemudian menyodorkan potongan kain itu. Ia pun bertanya baik-baik terlebih dahulu. “Kami tidak tahu.” Kompak orang itu bertanya. Menurut perhitungan Su Yin pelaku pembunuhan Menteri Zhang ada lebih dari satu orang. Merekalah semua yang terlibat. Malas mendengar omong kosong dan bualan apa pun, Pangeran Kedua menarik pedang di pinggang Fu Rong dan menghunuskan pada salah satu dari keempatnya. Orang itu lalu roboh di lantai dengan darah merembes dari perut. “Buang mayatnya ke dalam danau, tidak akan ada yan
Pada pagi hari ketika matahari bersinar dengan cerah dan Permaisuri Yin ingin mengajar para pelayan, Fu Rong datang dan memintanya agar segera menghadap pangeran. “Astaga, pagi ini aku belum menghadap dan memberi hormat. Pantas saja lelaki itu tantrum, cih!” umpat Su Yin perlahan. “Xu Chan, ganti baju Permaisuri yang lebih indah dengan warna cerah.” Instruksi dari Fu Rong segera dikerjakan para hamba. Su Yin sampai heran kenapa harus ganti baju lagi padahal belum ada satu jam dia pakai gaun halus tipis berlapis-lapis mana tidak bebas untuk bergerak pula. ‘Dia pasti ingin macam-macam denganku,’ ucap polisi wanita di dalam hati. Sambil menunggu gaun terbaik dipilihkan, ia pun merencanakan diri untuk kabur walau rasanya tidak mungkin, sebab tembok istana sangat tinggi dan pengamanannya berlapis-lapis. “Waaah, cantik sekali aku,” ucap sang permaisuri ketika selesai didandani. Perhiasan yang dikenakan di kepalanya jauh lebih banyak. “Ini lisptick zaman dulu tidak ada yang
Kepala Departemen Sihir dan Perbintangan menyalakan asap wewangian dan meletakkan dalam wadah besi berwarna kuning yang bisa digantung. Lalu setelah itu Shen Du berkeliling di seluruh bagian pinggir istana. Guna asap itu untuk menjauhkan istana dari mara bahaya baik dari dalam atau luar. Namun, walau demikian kejahatan tetap saja ada, karena asap tidak bisa mencegah niat jahat manusia. Tak henti-henti Shen Du merapal mantera agar niat jahat siapa pun sirna dan mereka hidup damai saling menerima satu sama lain. Shen Du berharap sekali hidup di bumi seperti di surga yang tak ada lagi rasa benci dan cemburu. “Pergilah, iblis dari setiap sudut hati manusia. Jangan biarkan ada darah yang tumpah lagi di istana,” ucapnya di antara mantra yang dirapal. Seketika gantungan berisikan asap itu jatuh ke tanah. Pertanda mantranya gagal lagi. Dalam waktu sekejap saja awan mendung bergerak menutupi istana dan sekitarnya. “Aku sudah berusaha, aku bukan dewa yang bisa mencegah kematian..” Shen Du
Shen Du sampai di taman bagian belakang istana tepat waktu. Lelaki dengan ilmu spiritual tinggi itu melihat Su Yin tercebur ke danau dan dalam waktu yang sama Permaisuri A Yin juga melakukan hal yang sama. Segera Shen Du menarik pedang kayunya. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Jika Su Yin tutup usia karena meninggal di danau maka A Yin akan memasuki raganya di waktu yang tidak tepat hingga merusak keseimbangan Yin dan Yang, dan membuat tubuh kasar itu menjadi mayat hidup tanpa hati dan perasaan. Demikian pula Li Wei yang ikut menceburkan diri sebab yang ia tahu istrinya tidak bisa berenang sama sekali. Di dalam danau Su Yin menendang sesuatu yang menarik kakinya. Wajah A Yin berubah menjadi hantu menyeramkan karena dikuasai oleh dendam dan Su Yin melihatnya. Kemudian polisi wanita itu tertelan air begitu banyak hingga menyebabkan paru-parunya panas dan ia tak kuat lagi hingga menyerah begitu saja. A Yin menarik kaki Su Yin hingga terus tenggelam ke bawah. Namun, tak l
“Tenanglah di sana, jangan keluar atau Permaisuri akan terbakar panasnya matahari. Untung tadi mendung pekat menutupi langit.” Shen Du mengembalikan arwah Li A Yin ke dalam kuilnya. Permaisuri yang asli mulai tenang dan wajah menyeramkannya telah hilang. Meski demikian raut muka sedihnya terlihat lagi. Li Wei ada di depan matanya dan sulit untuk digapai. “Aku hanya meminta Permaisuri bersabar. Sekarang namamu sudah bersih dari tuduhan pembunuh dan …” Shen Du menjeda ucapannya terlihat Li A Yin menaruh harapan padanya. “Dan aku perkirakan jika tidak ada halangan, akan ada gerhana bulan tiga bulan lagi. Saat itulah Permaisuri memiliki kesempatan untuk kembali ke tubuhmu dengan catatan permaisuri yang sekarang secara suka rela meninggalkan tubuh yang ia pakai sekarang.” Mendengar perkataan demikian, Li A Yin tersenyum bahagia. Tiga bulan lagi tidaklah lama untuk bersabar dan bersatu dengan Li Wei. Satu tahun lebih saja ia tahan dalam kerinduan. “Pokok permasalahannya apakah permaisu
Li Wei berhasil membawa Su Yin selamat sampai ke luar dinding. Mereka kini berada di bagian luar istana. Namun, lebih dekat dengan wilayah umum seperti rumah makan, penginapan, dan pasar. “Jalan ke rumah Hakim Chao Da ke sini. Pegang yang erat.” Pangeran Kedua terus memacu kudanya. Sedangkan Su Yin yang sudah biasa ke mana-mana naik MRT atau bus kota mulai merasakan sakit di punggung serta pinggangnya. Juga ia berkeringat sangat banyak. “Aduh patah pinggangku.” Suara polisi wanita itu tertelan angin. Li Wei menarik tali kekang kuda dan membawa tunggangannya menjauh sedikit dan ia melompat turun. Tangannya terulur membantu Su Yin turun. “Astaga, bagaimana cara orang-orang di masa lalu hidup seperti ini.” Dokter forensik itu melakukan stretching ringan untuk meredakan nyeri, encok, serta pegal linu. “Kau baik-baik saja?” Rasanya dalam sehari itu sudah beberapa kali Li Wei bertanya. “Sedikit. Kita di mana?” “Itu rumah hakim. Lihat prajurit sudah ada di depan. Kita lewat jalan bel
“Ayo turun, kita sudah sampai.” Li Wei melompat dari kuda terlebih dahulu lalu menyambut turun Su Yin dari kereta. Mereka semua termasuk para pelayan menggunakan mantel bulu tebal karena udara di Pegunungan Utara sangat dingin daripada biasanya. “Waaah, tanpa salju saja aku sudah hampir membeku.” Sang permaisuri memeluk dirinya sendiri. Asap dari bibirnya keluar dan gigi nyaris gemeratakan. “Tenang saja nanti aku peluk kau sepanjang hari agar tak kendinginan.” Pangeran Kedua mengedipkan sebelah matanya. “Gayamu, baru buka baju saja sudah beku kulit duluan.” Hampir Su Yin tak tahan dingin kalau tak menggunakan mantel tebal sebanyak dua lapis. Tak lama kemudian para penjaga yang berasal dari Suku Bintang datang meyambut rombongan Pangeran Kedua. Mereka mempersilakan Li Wei dan Su Yin untuk bertemu dengan kepala suku. Yun Chi adalah nama ketua suku sekaligus ayah dari Yun Zi. “Kami memeri hormat pada Pangeran Kedua sekaligus Permaisuri Yin selaku utusan dari Chang An.” Yun Chi mem
Selir Agung sedang minum teh di pagi hari yang cerah. Secerah senyumnya dibalut gincu merah merekah. Lalu Gui Mama datang mendekat dan berbisik padanya. “Hamba sudah mengirim orang untuk membunuh Pangeran Kedua di perjalanan.” Kata demi kata menyeramkan terucap dengan senyuman gigi emas Gui Mama. “Bagus, penghambat takhta putraku harus segera dibasmi. Yang berani melawanku akan mati.” Ming Hua menghabiskan teh dan menikmati sarapan yang lezat di atas meja. Setelah itu ia pun berjalan mengelilingi taman yang indah, kemudian lanjut mengunjungi istana naga emas. Begitu terus yang Selir Agung lakukan dalam satu minggu terakhir. Hingga pada suatu hari ia melihat putra dan menantunya tak saling bertegur sapa di meja makan. “Kalian baik-baik saja?” tanya Selir Agung. Baik Putra Mahkota dan permaisurinya mengangguk saja. Kejadian malam tadi benar-benar mengguncang kesadaran dan kesabaran keduanya. “Aneh sekali, biasanya Bai Jing sangat murah senyum,” gumam Ming Hua sambil memindahkan ma
Putra Mahkota pergi ke kuil yang berada dalam naungan Departemen Sihir dan Perbintangan. Ia sedang galau luar biasa. Istrinya diam seribu bahasa dan ibunya pun akhir-akhir ini senang menyendiri. Tak ada yang tahu apa isi wanita. Ditambah Li Zu Min masih terbeban dengan permintaan Li Wei. “Sepertinya Pangeran punya banyak sekali beban hidup.” Shen Du menyalakan dupa dan memberikan pada Putra Mahkota. “Aku merasa kesialan menerpaku bertubi-tubi, meski tidak ada yang bicara terang-terangan di depanku, tapi aku tahu mereka bilang kalau ini karma ibu.” Li Zu Min melakukan persembahayangan dengan sungguh-sungguh kali ini. “Tenangkan hatimu, Pangeran, sebisa mungkin kita harus mencegah terjadinya peristiwa bulan purnama berdarah.” “Itu juga yang mengganggu isi hatiku. Belum ada keanehan yang aku temui sejak beberapa hari yang lalu. Semua pelayan terlihat biasa-biasa saja di depanku, tapi …” “Tapi apa, Pangeran.” “Salah satu pelayan ibuku menghilang dan tidak ada jejaknya sama sekali.
Gadis yang merintih memohon pertolongan itu terlihat kesakitan bahkan mulai menjerit. An Lee menyimpan pedang dan memapahnya ke salah satu api unggun. Wajah gadis tak dikenal itu sangat pucat sekali bahkan seperti orang tidak punya darah. Tang Ri datang mendekati ibunya yang terlihat kepayahan mengurus seorang gadis. “Bawakan ibu air hangat. Sepertinya dia tidak terluka, mungkin belum makan beberapa hari,” ucap An Lee dan putranya lekas mencari air hangat. Diberinya minum gadis itu dan wajahnya seketika memerah. “Siapa dia, Bu?” tanya Tang Ri. Sang guru hanya menggeleng. “Bencana, bencana!” ucap gadis itu tanpa sebab. “Bencanaaaaa!” jeritannya cukup kencang dan membangunkan Su Yin yang baru saja terlelap dan Li Wei pun tersentak. “Tenangkan dirimu, di sini banyak orang. Kalau ada yang menyakitimu katakan padaku.” An Lee meremas tangan gadis itu agar berkata jujur padanya. “Bencana, di mana-mana ada bencana, darah, bulan akan berdarah tak lama lagi. Kalian akan mati semua.” “Ken
Iring-iringan kereta terus berjalan menuju pegunungan utara yang dingin. Kini mereka melewati jalanan di antara tebing tinggi di sisi kiri dan kanan. Saking tingginya, ukuran manusia kecil sekali kalau dilihat dari atas. “Aku perlu memakai mobil berjam-jam kalau pergi ke tempat ini, dan sekarang aku benar-benar pergi pakai kereta.” Su Yin menyibak tirai. Terkadang, kalau ia kelelahan dirinya akan tidur di dalam kereta yang dibuat cukup besar demi kenyamanan para tuan. Angin yang bertiup cukup dingin di antara tebing yang menjulang. Su Yin merapatkan mantel dan asap berembus dari bibirnya. Kotak pemberian dari Ru Yi tergeser. Sang permaisuri meraih dan melihat isinya. Di sana ada beberapa cream wajah dengan aroma bunga yang alami. Lalu ada benang sutra untuk menjahit luka, kasa, beberapa bubuk obat, salep, juga jarum jahit. “Kotak P3K zaman dulu, terima kasih kawan.” Su Yin menutup lagi kotak itu. Kereta berhenti dan sang permaisuri turun, ia disambut oleh Pangeran yang terlihat k
Iring-iringan kereta Pangeran Kedua melewati desa di mana padi sedang kuning-kuningnya tumbuh. Pangeran yang berada di dalam kereta membuka jendela begitu juga dengan Su Yin demi menikmati pemandangan indah. “Waaah, di kota besar lahan ini sudah berubah menjadi jalan raya, mall, pertokoan dan apartement. Aku benar-benar beruntung bisa melihat Cina yang agung di zaman dulu,” ucap Su Yin sambil melihat beberapa petani menjaga sawah. “Tang yang agung dan tenang, jangan sampai diganggu oleh musuh dari mana saja. Rakyat sudah hidup tenteram dan mereka tidak perlu tahu tentang boroknya dalam istana. Biarkan mereka makmur sebagai petani, pedagang atau apa saja.” Begitu isi kepala Li Wei. Rombongan terus melewai persawahan dan perkebunan, kali ini kebun semangka. Merasa senang, Su Yin keluar dari kereta dan memilih jalan kaki sambil menikmati udara segar. Pemandangan di luar istana membuatnya lebih bahagia. Siang hari tiba, iring-iringan itu istirahat di tepi sungai dan para pelayan memas
Bagian 65 Putra Mahkota duduk di meja kerjanya. Ia baru saja memeriksa seluruh istana sampai bagian sudut ditemani Shen Du demi mencari apa yang bisa dicurigai. Namun, hasilnya kosong. Mata sipit sang pangeran pertama melihat surat dari adiknay yang belum dibuka. Sudah tiga hari Li Wei pergi dan ia baru mengingatnya. Segera saja lelaki dengan hidung bengkok itu membukanya. Surat yang cukup panjang dan membuatnya menahan napas sejenak. Surat itu diletakkan oleh Zu Min. Li Wei bermaksud baik padanya, ia tahu itu. Namun, permintaan sang adik mengapa sangat berat?“Dari sekian banyak orang, mengapa kau memintaku mencurigai ibuku sendiri? Sejahat-jahatnya Ibu, beliau tetap ibuku dan ketika aku diangkat menjadi Kaisar, Ibu akan menjadi Ibu Suri.” Surat itu dibakar oleh Zu Min dan ia anggap lupa dengan isinya. Meski surat sudah jadi abu, Putra Mahkota tetap saja terbawa pikiran. Ia bahkan memikirkan hal itu ketika makan bersama Bai Jing. “Fujin (suamiku), apakah makanannya tidak enak?
Ming Hua memijit kepalanya yang terasa pusing. Kemudian ia memanggil Gui Mama dan meminta benda yang ia perintahkan untuk dibeli, walau dengan harga yang mahal. “Tapi, Nyonya, ini tak baik bagi kesehatan.” Ragu-ragu pelayan dengan gigi emas itu memberikannya. “Sekali saja, aku tidak bisa tidur nyenyak belakangan ini.” Selir Agung mengambil cerutu panjang dan mengisap opium. Pertama kali ia batuk dan lama-lama terbiasa. Guna opium sebenarnya untuk pengobatan dan mengurangi sakit perut hebat. Tetapi terkadang pemakaiannya sering disalah gunakan untuk merasa terbang ke langit ketujuh. Ming Hua merasa tenang sekali walau pandangannya mengabur. Ia pun tertidur dan opium jatuh ke lantai. Teler karena pertama kali menggunakan opium. Gui Mama membersihkan jejak penggunaan benda itu dan mengasapi ruangan agar wangi bunga seperti biasa. Tiba-tiba saja tanpa pemberitahuan sebelumnya, Kaisar datang ke istana bunga perak. Para pelayan memberi hormat. Gui Mama sudah mencoba membangunkan Selir
Pelayan dan para penjaga sudah bersiap untuk berangkat. Namun, ada seseorang yang terlihat berlari menuju kereta iring-iringan pangeran. Su Yin mengenal gadis itu. Ru Yi datang membawa beberapa barang yang dibungkus menggunakan kain. “Pemaisuri, andai boleh, aku akan memilih ikut sebagai tabib dalam perjalanan kali ini,” ucap Ru Yi sambil mengatur napas. “Tidak usah, lanjutkan saja belajarmu, aku baik-baik saja, aku juga dokter, tapi ini apa?” tanya Su Yin sambil menimbang-nimbang. “Ada cream siang, cream malam, cream anti matahari dan cream awet muda, hi hi hi.” Ru Yi tersenyum kecil. Begitu yang ia pelajari dari buku yang dituliskan oleh Permaisuri Yin. “Oh, jadi dokter kecantikan rupanya.” Su Yin melirik Ru Yi dari ujung rambut sampai kaki. Gadis itu mengenakan baju tabib yang dari kualitas kain yang bagus dan membuatnya terlihat cantik. “Kau di sini tidak ada niat menikah?” Tiba-tiba aja pertanyaan sang permaisuri ke sana. “Ehm, malu, Permaisuri, umur hamba sudah 24 tahun. S