“Kau mau apa, tetap di sana dan jangan mendekat!” Su Yin menghalangi Li Wei yang terus berjalan mendekat ke arahnya. Di luar sana semakin malam suasana terdengar semakin ramai dan memacu adrenalin. “Diam, atau aku bunuh kau!” Reflesk polisi wanita itu memegang pinggang mencari pistol. Namun, tak ada apa pun di sana. Li Wei terus berjalan maju, Su Yin terus berjalan mundur, hingga kedua orang itu terpaku di dinding kayu dan saling menatap sejenak. “Aku hanya ingin tutup pintu, takut ada yang iseng masuk dan mengacaukan istirahat kita.” Li Wei menghela napas kasar. Sebenarnya ingin tapi mau bagaimana lagi Su Yin menolak terus. “Cis! Gayanya seperti orang sudah naik libido.” Benar apa kata Permaisuri tapi Pangeran Kedua masih menahan diri. “Tidurlah, aku tidak akan mengganggumu. Kita harus bangun di pagi buta agar sampai di istana tepat waktu. Tidak ada yang tahu aku pergi. Semoga saja ayahanda tidak mengunjungiku malam ini.” “Benar aku boleh tidur, nanti kau …” “Kalau mau sudah d
Selir Agung mondar-mandir di kediamannya. Hati wanita cantik tapi berhati bengis itu tak tenang. Ming Hua tahu bagaimana Putra Makhkota begitu dekat dengan adik seayahnya. Itu tidak baik menurutnya. “Nyonya, sudahlah. Apa tidak lelah dari tadi mondar-mandir terus.” Gui Mama juga pusing melihat tuannya tak tenang. “Pangeran Kedua semakin kuat, kedudukannya bisa saja menggeser putraku sewaktu-waktu.” Wanita itu bahkan mencopot hiasan kuku panjang di kelingkingnya. “Nyonya, izinkan hamba pergi sebentar dan membawa satu cara untuk menundukkan Pangeran Kedua.” Sebagai senior, Gui Mama sudah sangat hapal trik-trik di dalam istana. “Oh, Gui Mama kau memang diutus dewa untuk menyelamatkanku. Pergilah dan kembali dengan membuatku tersenyum.” Selir Agung duduk dan memperhatikan kepergian Gui Mama. Bahkan ia melewatkan jam makan siang ketika pelayannya itu belum juga kembali. Sampai hari berganti sore dan ia sudah berganti baju baru bahkan senja telah turun baru Gui Mama kembali. Tidak se
Li Wei mengabaikan urusan dengan permaisurinya terlebih dahulu. Soal cemburu, biarlah. Mungkin dari sana A Yin sadar bahwa ia harus mencintai dan berlaku baik dengan suaminya. Ada urusan lain yang jauh lebih penting. “Duduk,” ucap Li Wei pada Chang Mi ketika mereka sampai di kamar. Chang Mi duduk di tepi ranjang milik sang pangeran. Sesuai titah Selir Agung, ia harus merayu, menggoda dan membuat Li Wei penasaran dan mencintainya setengah mati. Hal demikian sudah dipelajari oleh Chang Mi di rumah bordil. Yang ia takutkan hanya ketika dapat perlakuan tak baik dari lelaki yang menginginkan tubuhnya. Chang Mi membuka satu demi satu hiasan kemudian merapikan rambutnya. Lapisan luar hanfu yang cerah juga mulai gadis itu longgarkan ikatannya. Ia menunggu dengan sabar sampai Li Wei mendatanginya. Sedangkan sang pangeran mengaduk air putih di dalam cangkir untuk diberikan pada gadis pemberian Selir Agung. Kemudian lelaki itu membuka tempat penyimpanan barang-barang berbahaya. Salah satu
Dengan langkah penuh percaya diri walau lelah dan berkeringat, Su Yin bergerak terus menuju Istana Naga Emas yang ukurannya jauh lebih besar daripada Istana Naga Perak. “Heeei, kenapa aku tidak minta naik kereta saja, ya. Ini sih jaraknya lebih jauh ari apartmenku ke kantor.” Su Yin menyeka keringatnya. Sinar matahari juga naik semakin tinggi. “Pemaisuri, apa hamba perlu ambilkan tandu agar tidak kelelahan?” tanya Xu Chan. “Masih jauh tidak istananya?” tanya polisi wanita itu. “Tidak terlalu jauh, Nyonya, sebentar lagi juga sampai,” jawab pelayan dengan pipi tembem tersebut. “Ya sudah lanjut jalan kaki saja sampati betisku sebesar betis pemain bola, huuuh, haaah, yang kuat semangaaaat.” Berada di dalam tubuh gadis yang lemah membuat Su Yin harus banyak beradaptasi. Mulai dari olahraga angkat beban air dalam ember kayu yang ia lakukan sebelum mandi, rutin di pagi hari agar tubuh Permaisuri Li A Yin menjadi lebih kokoh. Perubahan itu mulai terasa ketika di malam hari ia tak ha
Permaisuri Yin dipersilakan masuk oleh Putra Makhkota. Polisi wanita itu memberi hormat sesuai yang sudah diajarkan pada pemilik Istana Naga Emas. Belum sempat Su Yin berkata-kata, telah ada pengumuman bahwa Pangeran Kedua menunggu di luar dan ingin bertemu dengan Putra Makhkota. “Oh, aku pikir kalian tadi datang bersama-sama,” ujar Li Zu. “Tidak, dia sedang bersama selir barunya. Jadi aku pergi daripada mereka terganggu.” Su Yin menjelaskan tanpa ada rasa sakit hati. Belum tumbuh cinta di dalam hatinya. “Oh, ya, aku baru tahu kalau Pangeran Kedua punya selir baru. Cepat sekali ternyata.” Bai Jing hanya bisa tersenyum. Suaminya saja sudah beberapa tahun hanya beristrikan dia seorang. Pangeran Kedua masuk, selaku tuan rumah Putra Makhkota dan Bai Jing mempersilakan tamunya duduk di meja bundar dan di hadapan mereka tersaji makanan. Bentuk makanannya memang bagus dan menggugah selera, tapi beberapa kali Su Yin merasakan hambar pada makanan istana. Lidahnya sudah lama beradaptasi d
Baji Jing, Su Yin, dan dua orang pelayan pribadi mereka melihat hasil rajutan sapu tangan buatan Su Yin. Ada kira-kira setengah hari dengan rasa bosan luar biasa dokter forensik itu merajutnya. Namun, hasil yang didapat. “Ini binatang apa, Adik Yin?” tanya Bai Jing sambil menahan tawa. “Tawon kena sengat lebah, Kak,” jawab Su Yin asal-asalan. “Astaga, lucu sekali tapi bisa jadi Adik Li menyukainya.” Bai Jing masih berusaha memuji hasil rajutan tangan Su Yin. “Haduh, hidupku tak hanya untuk membuat bahagia lelaki saja. Banyak yang bisa aku kerjakan.” Su Yin mengeluh. Benar kata orang, di masa lalu perempuan hidup hanya untuk membahagiakan lelaki saja walau hidup dan mentalnya hancur-hancuran tanpa keadilan. “A Yin, jangan begitu. Adik Li sudah jadi suamimu, kewajiban kita sebagai istri untuk berbakti dan mendukung suami. Tanggung jawab mereka di luar sana sangat besar. Menjadi pangeran bukan berarti mereka hidup enak terus dan bisa bermalas-malasan.” “Jadi perempuan bisa bermala
Su Yin memutar kepalanya perlahan ke kiri dan kanan ketika usai membersihkan diri dan berganti baju. Ia tak akan ke mana-mana sebab Pangeran Kedua menginap di area perburuan dan baru kembali besok pagi. “Lama-lama bisa gila aku tinggal di sini. Kerjaan tidak ada, kasta masih berlaku, patriarki mendarah daging sampai ke tulang sumsum, kuat-kuat sekali perempuan yang hidup di zaman dahulu,” gerutu Su Yin di ranjangnya. Ia menguap sangat lebar dan terasa puas sekali. Matanya yang mengantuk ingin sekali terpejam, tetapi Xu Chan memanggilnya karena ada utusan dari istana dalam. “Nyoya, pakai mantelnya karena pakaian dalamnya terlihat tipis,” bisik Xu Chan karena yang datang malam itu dua orang laki-laki. Su Yin memakai mantel sambil berjalan karena penasaran siapa yang datang. Istana dalam yang dimaksud Xu Chan ialah wewenang khusus yang dimiliki oleh Permaisuri Utama. Dua orang lelaki itu menghadap dan memberi hormat ke arah Su Yin. Kemudian mereka memberikan surat perintah yang tela
Asap kiriman dari Shen Du merasuki kediaman Pangeran Kedua dan langsung mencari keberadaan Su Yin. Tanpa izin, benda tak nyata itu langsung memasuki setiap pori-pori kulit permaisuri hingga gadis itu merasa kesakitan luar biasa dan tak merasakan keindahan apa pun ketika Pangeran Kedua mengecupnya. Kemudian rasa sakit itu kian menjadi. Naluri bertahan hidup Su Yin membuat ia mendorong Li Wei hingga terjatuh. Gadis itu berjalan terhuyung dan menabrak dinding. Awalnya Pangeran Kedua mengira Su Yin terbawa perasaan. Lalu batuk yang cukup kuat hingga diiringi tarikan napas berat membuat lelaki itu tahu bahwa istrinya sedang tidak baik-baik saja.“A Yin, kau kenapa?” Li Wei menghampi Su Yin yang kulitnya seketika memerah. Tangan gadis tiu mengenggenggam lengan atas Pangeran cukup kuat hingga serupa cengkeraman orang ketakutan. “Fu Rong, panggil tabib, sekarang!” jerit Li Wei karena air mata Su Yin turun tanpa diminta. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir Su Yin. Ia hanya duduk da
“Aku hanya ingin kemenangan untuk Tang, Yang Mulia.” “Aku mengenalmu cukup baik, ada yang kau sembunyikan dariku, katakan.” Perintah Kaisar dengan tegas. “Yang Mulia, izinkan hamba berangkat ke kaisar dan setelahnya akan hamba persembahkan kemenangan untuk Tang.” “Itu saja?” Kaisar tahu adiknya belum mau jujur sepenuhnya. “Juga, jika hamba memperoleh kemenangan izinkan hamba tinggal di selatan dan memerintah daerah itu dengan tradisi dan kebijakan Dinasti Tang.” Jujur juga Li Wei akhirnya. “Jadi kau ingin meninggalkan Chang An.” Kaisar memerintahkan Li Wei bangun dari sujudnya. “Benar.” “Kenapa?” “Terlalu banyak kenangan pahit di sini.” “Pahit?” “Salah satunya kematian ibuku juga istriku sempat mati kemarin. Aku hanya ingin menyelamatkan keluargaku.” “Sekarang aku sudah menjadi kaisar, tidak akan ada orang yang berani menyakitimu.” “Aku khawatir bukan orang lain yang menyakitiku, justru …” “Maksudmu, Ibu Suri?” tebak Kaisar. Li Wei diam saja. “Pergilah, akan aku pertimban
Tubuh Kaisar diawetkan selama beberapa hari sebelum disemayamkan di sebuah kuburan yang luas. Sejak saat itu takhta kosong dan sudah jelas siapa yang akan mendudukinya meski belum dinobatkan secara resmi. Putra Mahkota mengambil alis tugas ayahnya yang mangkat dengan penyakit misterius. Masa berkabung dimulai sejak saat itu dan belum diakhiri hingga sebuah kuburan yang luas dan megah selesai. Satu demi satu perhiasan kesukaan kaisar diletakkan di dalam. Termasuk emas dan perak, juga baju-baju sutra yang dulu pernah dikenakan.Dalam kuburan kuno itu dibangun beberapa perangkap. Apabila ada yang mencuri perhiasan milik Kaisar akan mati dan terkubur di sana. Para selir kaisar yang tidak memiliki anak secara jelas diusir oleh Selir Agung. Permaisuri Utama dan Selir Cun masih tinggal karena telah memiliki anak. Ming Hua mencapai tujuannya untuk menjadi ibu suri. Hari ini tubuh Kaisar yang sudah diberikan pakaian terbaik diletakkan di dalam peti. Satu demi satu putra, putri, selir, pej
Di luar istana para suami menjalankan tugas negara dengan berat. Li Wei sampai membuka pakaian agungnya sebagai pangeran demi membantu pekerja tambang bijih besi membuat senjata tajam. Tubuhnya yang kekar menjadi semakin keras. Ia memukul-mukul besi panas hingga dibentuk menjadi pedang kemudian dicelupkan ke air. Begitu pula dengan Putra Mahkota. Ia turun tangan sendiri merekrut para tentara baru. Termasuk ikut serta membantu para tentara baru berlatih kungfu dasar. Hal demikian berlangsung tidak selama satu atau dua bulan. Dan kini sudah memasuki bulan ketiga para suami jauh dari istrinya demi menunaikan tugas negara. Di dalam istana para istri terus mendoakan kebaikan untuk suaminya termasuk Bai Jing juga Su Yin. Permaisuri Yin bersungguh-sungguh dalam merajut. Ia membuat pola rajutan naga memeluk bulan dengan benang perak yang amat sangat indah. Saking rumitnya rajutan itu, baru bisa selesai pada bulan ketiga dan tak terhitung sudah berapa banyak jarum yang menusuk tangannya.
Aligur mengobati luka di betis Tugur dengan darah segar. Tugur menutup mata karena menahan pedih di kaki. Dengan beberapa kali pengobatan luka itu tertutup sempurna juga. “Wanita itu memang malaikat maut,” ucap Aligur sembari membasuh keringat yang bercucuran. “Seharusnya kita bunuh dulu wanita itu baru bisa menyerang istana dengan mudah,” sahut Tugur. “Tapi wanita itu bukanlah tujuan utama kita, Tuan.” “Aku tahu, tapi dia penghalang yang mematikan.” “Tidak juga!” “Maksudmu?” “Tidak lama lagi dia akan meninggalkan istana, setelah itu Tuan bisa melancarkan aksi. Enam bulan lagi anakmu akan lahir, Tuan. Dia akan menjadi penerus takhta Tang yang agung, anakmu akan jadi raja di generasi berikutnya,” bisik Aligur. “Selama enam bulan itu aku harus tetap bersabar, bukan?” “Benar, Tuan, tapi jika diperbolehkan aku ingin melakukan balas dendam, bukan pada wanita itu tapi untuk orang lain. Untuk memuluskan takhta anakmu nanti, kita harus membuat istana dalam keadaan huru-hara.” “Renca
“Nyonya,” ujar Shen Du sembari menahan batuk akibat kesalahan tadi malam. “Tuan Shen, maafkan kesalahanku tadi malam. Tapi kau tak akan mengerti kalau tak mengalami yang namanya jatuh cinta.” “Cinta membuat orang bodoh, karena itu aku memutuskan menjadi kepala kuil agar tidak harus mengenal yang namanya cinta.” “Kau benar.” Mata Su Yin mencari di mana Li A Yin berada. “Nyonya mencari Permaisuri Li A Yin? Arwahnya sudah pergi ke alam baka dan akan segera bereinkarnasi pada beberapa kehidupan.” “Oh, baguslah kalau begitu. Sekali lagi aku minta maaf atas keributan tadi malam.” Su Yin melangkah pergi tapi ia ditahan oleh Shen Du. “Keputusanmu malam tadi akan berdampak pada dirimu, Nyonya, engkau menolak kembali dan membuat jalinan takdir antara masa lalu serta masa depan jadi kacau. Umurmu tak akan panjang, kau akan merasakan sakit teramat sangat jelang kematianmu.” Shen Du mengingatkan permaisuri. “Aku bisa menanggungnya.” Su Yin berkeras hati. “Apakah ini sepadan? Menjadi istri
Su Yin dan An Mama melihat Li Wei dikejar oleh Tugur dan lelaki lainnya. Dua perempuan itu kemudian melompat dari kuda dan menghunuskan pedang serta menebas siapa saja yang mengganggu keamaan Pangeran Kedua. Li Wei melihat dengan matanya bagaimana Su Yin menikam para lelaki hingga tubuh mereka hangus perlahan. “Suku serigala,” gumam Li Wei. Ia menghunuskan pedang ke belakang ketika seseorang menyergap dirinya. Tugur melompat dan hampir saja kepala Li Wei terkena tebasan kalau tidak ditahan dengan pedang sekuat tenaga. Dua lelaki dengan tubuh tinggi dan tegap itu saling bertarung satu sama lain, kemudian jatuh, berdiri lagi dan berusaha meraih kemenangan. Su Yin mencari peluang untung menyerang Tugur. Ia berguling di tanah kemudian menancapkan belatinya pada betis Tugur. Lelaki dari suku serigala itu menjerit dan memegang kakinya. Aligur yang mengetahui kejadian itu cepat melompat dan melempar Su Yin hingga terpental cukup jauh. Beruntung permaisuri ditangkap oleh An Mama. “Nyony
“Pangeran, menurut hamba ini adalah langkah cari mati, di mana kita hanya berdua saja mencari si pengirim surat,” ujar Fu Rong ketika merasakan dingin di sekujur tubuh. Ia ragu kali ini akan bisa menyelamatkan pangeran jika dalam keadaan bahaya. “Kau takut?” tanya Li Wei. “Bukan takut, Pangeran, hamba bahkan rela mati untukmu, tapi engkau adalah Pangeran, harus dijaga.” “Dalam perang saja aku tidak minta dijaga apalagi sekarang. Sudahlah, berhenti berasumsi lanjutkan saja perjalanan kita.” Li Wei menunggang kuda dengan santai saja. Rasanya ia ingin menoleh ke belakang sekali lagi dan pulang ke istana. Namun, pantang bagi seorang pangeran mencoreng sikap seorang kesatria. Li Wei bukanlah pengecut. Bulan berdarah sebisa mungkin harus dicegah. Dua pria penghuni istana naga perak itu terus berkuda menuju tempat yang sudah dijanjikan. Li Wei dan Fu Rong kemudian turun serta mengikat kudanya. Lalu mereka berjalan kaki sambil menyiagakan pedang. Terus kaki melangkah hingga menjumpai se
Su Yin melangkah bersama para pelayan sambil membawa kebutuhan makanan matang dan baju baru untuk Selir Cun Ning. Sebagai Putri Daerah, kekayaan Su Yin bertambah banyak dan ia menerima banyak hadiah dari sesama bangsawa. Semua hanfu halus dan mahal itu tak akan terpakai olehnya. Jadi ia berikan beberapa untuk Selir Cun. Ketika sampai di depan istana dingin, polisi wanita itu dikejutkan dengan suara teriakan pelayan. Su Yin masuk dan berlari. Di sana ada Gui Mama dan beberapa orang Ming Hua datang menyiksa Cun Ning. Wajah selir itu ditampar beberapa kali sampai kemerahan. “Cukup. Kalian orang-orang tak punya hati.” Su Yin menangkap tangan pelayan yang menampar Cun Ning. Ia dorong hingga pelayan itu jatuh dan pinggangnya sakit. “Permaisuri Yin, engkau berani melawan perintah Selir Agung!” Gui Mama berbicara dengan nada tinggi pada seorang Putri Daerah. “Kau tahu barusan bicara dengan siapa? Pelayan, bawa Selir Cun masuk ke kamar dan panggilkan Ru Yi, sekarang!” Suara Su Yin mening
Su Yin menunggu sampai pelayan datang dan memberi tahu di mana Selir Cun tinggal. Bahkan hari ini Selir Cun tak datang ke ulang tahun kaisar karena sakit. Selir Cun memiliki seorang putra. Itu yang disebut pangeran keenam oleh Li Wei. Keberadaannya jarang diingat kaisar berkat kekejian Ming Hua. “Ayo kita ke sana.” Permaisuri Yin menuju istana yang paling jelek bahkan lebih dingin dari dapur milik Pangeran Kedua. “Oh my god, apa ini?” Dokter forensik itu melirik sampah dedaunan di depan istana. Pelayan mengetuk pintu, yang keluar seorang pangeran kecil. Tak lama kemudian pelayan lain datang membawa air hangat dan memberi hormat pada Permaisuri Yin. “Selir Cun ada?” “Ada, Nyonya ini siapa?” tanya pelayannya Selir Cun. “Lancang kau!” Pelayan Su Yin yang marah. “Sudah, santai, jangan marah-marah.” Su Yin menegur pelayannya. “Aku Permaisuri Yin, istri Pangeran Kedua, bisakah aku bertemu Selir Cun, seseorang menitipkan pesan padanya.” “Nyonya, maafkan hamba, tapi Selir Cun sedang