Asap kiriman dari Shen Du merasuki kediaman Pangeran Kedua dan langsung mencari keberadaan Su Yin. Tanpa izin, benda tak nyata itu langsung memasuki setiap pori-pori kulit permaisuri hingga gadis itu merasa kesakitan luar biasa dan tak merasakan keindahan apa pun ketika Pangeran Kedua mengecupnya. Kemudian rasa sakit itu kian menjadi. Naluri bertahan hidup Su Yin membuat ia mendorong Li Wei hingga terjatuh. Gadis itu berjalan terhuyung dan menabrak dinding. Awalnya Pangeran Kedua mengira Su Yin terbawa perasaan. Lalu batuk yang cukup kuat hingga diiringi tarikan napas berat membuat lelaki itu tahu bahwa istrinya sedang tidak baik-baik saja.“A Yin, kau kenapa?” Li Wei menghampi Su Yin yang kulitnya seketika memerah. Tangan gadis tiu mengenggenggam lengan atas Pangeran cukup kuat hingga serupa cengkeraman orang ketakutan. “Fu Rong, panggil tabib, sekarang!” jerit Li Wei karena air mata Su Yin turun tanpa diminta. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir Su Yin. Ia hanya duduk da
Kereta terus berjalan menyusuri jalanan di kota Chang An yang padat dengan jumlah penduduk sangat banyak. Su Yin kemudian menyibak tirai. Baik di masa lalu atau masa depan, Cina memang kota yang padat penduduk. Bahkan sepanjang jalan ia tak bisa menghitung jumlah pengemis dan gelandangan saking banyaknya yang berlalu lalang. “Bahkan dunia saja mencatat Cina sebagai negara dengan penduduk terpadat di dunia. Kupikir di masa lalu orangnya sedikit,” gumamnya dari dalam kereta. Ladang perburuan yang dituju akhirnya terlihat di depan mata. Wilayah itu steril dari rakyat jelata dan khusus para bangsawan saja. Su Yin dibantu keluar oleh Fu Rong. “Hmmm, sama saja dengan hutan tempat aku terakhir kali …” Tiba-tiba Su Yin teringat dengan kejadian terakhir sebelum ia pingsan dan bangun di masa lalu. “Kau kenapa? Tidak betah? Bisa kembali ke istana.” Tepukan Li Wei di bahu Su Yin membuat gadis itu tersadar dari lamunannya. “Tidak, aku hanya sedikit terpukau, ternyata indah sekali.” “Kau bel
Pangeran Kedua dan Putra Makhkota sama-sama berkuda dengan kencang. Kemudian dua saudara kandung beda ibu itu turun dari kuda dan mengawasi datangnya binatang buruan. Mereka berkuda di wilayah dengan bendera hijau paling jauh hanya boleh di bendera kuning. Bendera merah artinya mereka melewati wilayah terlarang. “Dia milikku,” ujar Putar Makhkota ketika melihat kelinci yang sangat gemuk. Lelaki itu melesatkan anak panah tetapi meleset. “Ah, sayang sekali. Aku bisa memberikannya untuk Bai Jing nanti.” Buruan itu kabur dari hadapan dua pangeran. “Kau kenapa, tidak membidik kelinci. Sudah bosan dengan binatang buruan?” tanya Putra Makhkota. “Tidak, aku mencari rusa untuk kuberikan pada A Yin.” “Benarkah, memang Adik Yin suka rusa?” “Kelihatannya begitu.” “Kupikir hubungan kalian memburuk sejak selir baru datang ke istanamu.” “Aku sedang memperbaiki hubungan kami. Aku akan ke sana.” Li Wei meninggalkan kawasan bendera hijau dan memasuki yang bendera kuning. “Tunggu, jangan terlal
Bagian 40 Li Wei melakukan pencarian sampai malam hari dengan tambahan beberapa pasukan juga obor yang sangat banyak. Telah dinyatakan Permaisui Li A Yin menghilang ketika suaminya pergi berburu. Fu Rong merasa bersalah karena meninggalkan sang nyonya tanpa pengawal sama sekali. Tadinya Fu Rong mengira mencari bakpao kacang merah hanya sebentar saja. “Pangeran, hamba menemukan ini.” Pengawal pribadi itu memungut satu demi satu barang milik A Yin yang berceceran. Di antaranya cincin giok juga kalung. “Pangeran, hamba menemukan ini.” Datang lagi seorang prajurit membawa robekan baju yang digunakan A Yin pada hari itu, termasuk sepatu yang tinggal sebelah saja. “Cari sampai dapat aku tidak peduli walau sampai pagi!” perintah Li Wei pada pasukannya. Mereka menyusuri hutan jengkal demi jengkal walau ada rasa takut binatang buas menerkam. Bahkan Pangeran Kedua saja turun tangan dan berjalan kaki menyusuri hutan. Di sisi lain Putra Makhkota tetap harus menyambut tamu di hari ulang ta
Su Yin jatuh ke dalam dinginnya arus sungai. Matanya pedih dan darahnya mewarnai air yang jernih. Gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri. Masih ingat ia kata Li Wei tak jauh dari sungai ada air terjun yang begitu deras. Tangan kanan Su Yin berpegangan pada sebuah dahan yang kokoh. Sembari tetap menahan rasa sakit di dada sebelah kiri akibat panah yang masih menancap. Ia berusaha memanjat dahan dan melangkah perlahan. Kemudian melompat ke daratan yang kini berseberangan dengan tempatnya jatuh. “Kenapa? Kenapa aku tidak kembali ke masa depan padahal aku sudah jatuh ke sungai.” Su Yin batuk dan memuntahkan air. Dadanya terasa begitu dingin sekali. Anak panah itu tak bisa sembarangan ia cabut agar darah tak mengalir begitu deras. Ia terus melangkah melawan aliran sungai sambil berkata tolong. Namun, tak ada satu pun yang mendengar suaranya. Lama-kelamaan rasa dingin di bagian dada itu menjalar terus ke kepala dan kakinya. Lalu Su Yin roboh dan tak sadarkan diri. *
Pagi-pagi sekali Su Yin menaiki bus kota untuk segera sampai ke kantor. Kota Shanghai yang notabene penduduknya sekitar 24 juta jiwa sudah sangat sibuk. Gadis itu jadi teringat ketika menaiki kereta dan melihat para pengemis di kota Chang An. Kota yang di masa lalu juga sangat sibuk. Bus berhenti karena lampu merah. Su Yin menoleh ke kiri, kebetulan mobil mewah menurunkan kaca. Artis Mimi Yang sedang merapikan make up. Ada seorang laki-laki di sebelah Mimi. Su Yin coba mengintip tapi tidak terlihat dan keburu lampu sudah berubah jadi hijau.“Apa mungkin nenek sihir itu menikah lagi dengan kaisar dan jadi istrinya?” tanya Su Yin sambil memainkan ponsel.Iseng ia mencari weibo milik Mimi Yang. Biodata dan status artis papan atas itu jelas belum menikah di usia yang sudah kepala empat. Di Shanghai sekarang memang sedang trend melajang sampai tua karena tekanan ekonomi dan persaingan ketat. Sampai di kantor polisi, Su Yin diberi hormat oleh beberapa bawahannya. Ia pun langsung ke ruanga
Su Yin ditangai oleh seorang dokter di klinik terdekat. Anak tadi sudah ia serahkan pada polisi yang ada di area tersebut dan ia pun menunjukkan identitasi diri. Selanjutnya anak lelaki tadi akan diproses sesuai hukum yang berlaku. “Kuat juga kau jadi orang, luka ini tidak terlalu dalam, tapi sangat menyakitkan dan Nona tidak menangis sama sekali,” ucap dokter yang menjahit luka di dada Su Yin. “Menangis tidak mengubah keadaan.” “Setidaknya perasaan kita terluahkan.” “Pekerjaan membuat aku terbiasa menahan perasaan,” balas Su Yin. “Apa tidak sakit kepala karena kau tak bisa mengungkapkan perasaan? Kita perempuan, perasaan kita perlu dirayakan.” Dokter wanita itu tersenyum. “Aku tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu, Dokter, bagiku hanya ada pekerjaan dan hidupku sendiri.” “Keluargamu tahu?” “Hanya tinggal Bibi seorang, dia juga sudah tua, lagi pula lukaku di bagian dalam tidak akan kelihatan.” “Nona, jangan terlalu keras dengan diri sendiri. Berbagi juga tidak ada salah
“Paracetamol, ibuprofen, antibiotik, anestesi, ah, aku membutuhkan semua itu,” gumam Su Yin ketika denyut luka dalam dadanya semakin terasa. Ru Yi tahu wanita yang ia selamatkan tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum menemukan obat-obatan yang dibutuhkan. Namun, ia juga bukan tabib yang mendapat mandat dari Kementrian Kesehatan untuk menyembuhkan orang. “Aiiiyah, cucuku, tidak bisakah kau menolongnya?” Guanin juga gusar. Sesekali ia sentuh dahi Su Yin dan wanita itu demam tinggi. “Bisa, Nek, tapi obat-obatannya tidak ada. Banyak yang harus dibeli untuk menyembuhkan luka dalamnya.” “Perlu uang banyak tidak?” tanya Guaning. “Hmm, aku akan membeli sulfur untuk membiusnya dulu, lalu aku akan ke kota untuk mencari jarum dan benang sutra guna menjahit lukanya.” “Tidak ditolong kasihab, ditolong juga aku …” Walau dengan rasa ragu, akhirnya Guaning membuka kotak penyimpanan uang satu-satunya. “Jangan, Nek, itu, kan harta berharga simpanan Nenek.” Ru Yi tak mau neneknya berkorban untuk s
“Ayo turun, kita sudah sampai.” Li Wei melompat dari kuda terlebih dahulu lalu menyambut turun Su Yin dari kereta. Mereka semua termasuk para pelayan menggunakan mantel bulu tebal karena udara di Pegunungan Utara sangat dingin daripada biasanya. “Waaah, tanpa salju saja aku sudah hampir membeku.” Sang permaisuri memeluk dirinya sendiri. Asap dari bibirnya keluar dan gigi nyaris gemeratakan. “Tenang saja nanti aku peluk kau sepanjang hari agar tak kendinginan.” Pangeran Kedua mengedipkan sebelah matanya. “Gayamu, baru buka baju saja sudah beku kulit duluan.” Hampir Su Yin tak tahan dingin kalau tak menggunakan mantel tebal sebanyak dua lapis. Tak lama kemudian para penjaga yang berasal dari Suku Bintang datang meyambut rombongan Pangeran Kedua. Mereka mempersilakan Li Wei dan Su Yin untuk bertemu dengan kepala suku. Yun Chi adalah nama ketua suku sekaligus ayah dari Yun Zi. “Kami memeri hormat pada Pangeran Kedua sekaligus Permaisuri Yin selaku utusan dari Chang An.” Yun Chi mem
Selir Agung sedang minum teh di pagi hari yang cerah. Secerah senyumnya dibalut gincu merah merekah. Lalu Gui Mama datang mendekat dan berbisik padanya. “Hamba sudah mengirim orang untuk membunuh Pangeran Kedua di perjalanan.” Kata demi kata menyeramkan terucap dengan senyuman gigi emas Gui Mama. “Bagus, penghambat takhta putraku harus segera dibasmi. Yang berani melawanku akan mati.” Ming Hua menghabiskan teh dan menikmati sarapan yang lezat di atas meja. Setelah itu ia pun berjalan mengelilingi taman yang indah, kemudian lanjut mengunjungi istana naga emas. Begitu terus yang Selir Agung lakukan dalam satu minggu terakhir. Hingga pada suatu hari ia melihat putra dan menantunya tak saling bertegur sapa di meja makan. “Kalian baik-baik saja?” tanya Selir Agung. Baik Putra Mahkota dan permaisurinya mengangguk saja. Kejadian malam tadi benar-benar mengguncang kesadaran dan kesabaran keduanya. “Aneh sekali, biasanya Bai Jing sangat murah senyum,” gumam Ming Hua sambil memindahkan ma
Putra Mahkota pergi ke kuil yang berada dalam naungan Departemen Sihir dan Perbintangan. Ia sedang galau luar biasa. Istrinya diam seribu bahasa dan ibunya pun akhir-akhir ini senang menyendiri. Tak ada yang tahu apa isi wanita. Ditambah Li Zu Min masih terbeban dengan permintaan Li Wei. “Sepertinya Pangeran punya banyak sekali beban hidup.” Shen Du menyalakan dupa dan memberikan pada Putra Mahkota. “Aku merasa kesialan menerpaku bertubi-tubi, meski tidak ada yang bicara terang-terangan di depanku, tapi aku tahu mereka bilang kalau ini karma ibu.” Li Zu Min melakukan persembahayangan dengan sungguh-sungguh kali ini. “Tenangkan hatimu, Pangeran, sebisa mungkin kita harus mencegah terjadinya peristiwa bulan purnama berdarah.” “Itu juga yang mengganggu isi hatiku. Belum ada keanehan yang aku temui sejak beberapa hari yang lalu. Semua pelayan terlihat biasa-biasa saja di depanku, tapi …” “Tapi apa, Pangeran.” “Salah satu pelayan ibuku menghilang dan tidak ada jejaknya sama sekali.
Gadis yang merintih memohon pertolongan itu terlihat kesakitan bahkan mulai menjerit. An Lee menyimpan pedang dan memapahnya ke salah satu api unggun. Wajah gadis tak dikenal itu sangat pucat sekali bahkan seperti orang tidak punya darah. Tang Ri datang mendekati ibunya yang terlihat kepayahan mengurus seorang gadis. “Bawakan ibu air hangat. Sepertinya dia tidak terluka, mungkin belum makan beberapa hari,” ucap An Lee dan putranya lekas mencari air hangat. Diberinya minum gadis itu dan wajahnya seketika memerah. “Siapa dia, Bu?” tanya Tang Ri. Sang guru hanya menggeleng. “Bencana, bencana!” ucap gadis itu tanpa sebab. “Bencanaaaaa!” jeritannya cukup kencang dan membangunkan Su Yin yang baru saja terlelap dan Li Wei pun tersentak. “Tenangkan dirimu, di sini banyak orang. Kalau ada yang menyakitimu katakan padaku.” An Lee meremas tangan gadis itu agar berkata jujur padanya. “Bencana, di mana-mana ada bencana, darah, bulan akan berdarah tak lama lagi. Kalian akan mati semua.” “Ken
Iring-iringan kereta terus berjalan menuju pegunungan utara yang dingin. Kini mereka melewati jalanan di antara tebing tinggi di sisi kiri dan kanan. Saking tingginya, ukuran manusia kecil sekali kalau dilihat dari atas. “Aku perlu memakai mobil berjam-jam kalau pergi ke tempat ini, dan sekarang aku benar-benar pergi pakai kereta.” Su Yin menyibak tirai. Terkadang, kalau ia kelelahan dirinya akan tidur di dalam kereta yang dibuat cukup besar demi kenyamanan para tuan. Angin yang bertiup cukup dingin di antara tebing yang menjulang. Su Yin merapatkan mantel dan asap berembus dari bibirnya. Kotak pemberian dari Ru Yi tergeser. Sang permaisuri meraih dan melihat isinya. Di sana ada beberapa cream wajah dengan aroma bunga yang alami. Lalu ada benang sutra untuk menjahit luka, kasa, beberapa bubuk obat, salep, juga jarum jahit. “Kotak P3K zaman dulu, terima kasih kawan.” Su Yin menutup lagi kotak itu. Kereta berhenti dan sang permaisuri turun, ia disambut oleh Pangeran yang terlihat k
Iring-iringan kereta Pangeran Kedua melewati desa di mana padi sedang kuning-kuningnya tumbuh. Pangeran yang berada di dalam kereta membuka jendela begitu juga dengan Su Yin demi menikmati pemandangan indah. “Waaah, di kota besar lahan ini sudah berubah menjadi jalan raya, mall, pertokoan dan apartement. Aku benar-benar beruntung bisa melihat Cina yang agung di zaman dulu,” ucap Su Yin sambil melihat beberapa petani menjaga sawah. “Tang yang agung dan tenang, jangan sampai diganggu oleh musuh dari mana saja. Rakyat sudah hidup tenteram dan mereka tidak perlu tahu tentang boroknya dalam istana. Biarkan mereka makmur sebagai petani, pedagang atau apa saja.” Begitu isi kepala Li Wei. Rombongan terus melewai persawahan dan perkebunan, kali ini kebun semangka. Merasa senang, Su Yin keluar dari kereta dan memilih jalan kaki sambil menikmati udara segar. Pemandangan di luar istana membuatnya lebih bahagia. Siang hari tiba, iring-iringan itu istirahat di tepi sungai dan para pelayan memas
Bagian 65 Putra Mahkota duduk di meja kerjanya. Ia baru saja memeriksa seluruh istana sampai bagian sudut ditemani Shen Du demi mencari apa yang bisa dicurigai. Namun, hasilnya kosong. Mata sipit sang pangeran pertama melihat surat dari adiknay yang belum dibuka. Sudah tiga hari Li Wei pergi dan ia baru mengingatnya. Segera saja lelaki dengan hidung bengkok itu membukanya. Surat yang cukup panjang dan membuatnya menahan napas sejenak. Surat itu diletakkan oleh Zu Min. Li Wei bermaksud baik padanya, ia tahu itu. Namun, permintaan sang adik mengapa sangat berat?“Dari sekian banyak orang, mengapa kau memintaku mencurigai ibuku sendiri? Sejahat-jahatnya Ibu, beliau tetap ibuku dan ketika aku diangkat menjadi Kaisar, Ibu akan menjadi Ibu Suri.” Surat itu dibakar oleh Zu Min dan ia anggap lupa dengan isinya. Meski surat sudah jadi abu, Putra Mahkota tetap saja terbawa pikiran. Ia bahkan memikirkan hal itu ketika makan bersama Bai Jing. “Fujin (suamiku), apakah makanannya tidak enak?
Ming Hua memijit kepalanya yang terasa pusing. Kemudian ia memanggil Gui Mama dan meminta benda yang ia perintahkan untuk dibeli, walau dengan harga yang mahal. “Tapi, Nyonya, ini tak baik bagi kesehatan.” Ragu-ragu pelayan dengan gigi emas itu memberikannya. “Sekali saja, aku tidak bisa tidur nyenyak belakangan ini.” Selir Agung mengambil cerutu panjang dan mengisap opium. Pertama kali ia batuk dan lama-lama terbiasa. Guna opium sebenarnya untuk pengobatan dan mengurangi sakit perut hebat. Tetapi terkadang pemakaiannya sering disalah gunakan untuk merasa terbang ke langit ketujuh. Ming Hua merasa tenang sekali walau pandangannya mengabur. Ia pun tertidur dan opium jatuh ke lantai. Teler karena pertama kali menggunakan opium. Gui Mama membersihkan jejak penggunaan benda itu dan mengasapi ruangan agar wangi bunga seperti biasa. Tiba-tiba saja tanpa pemberitahuan sebelumnya, Kaisar datang ke istana bunga perak. Para pelayan memberi hormat. Gui Mama sudah mencoba membangunkan Selir
Pelayan dan para penjaga sudah bersiap untuk berangkat. Namun, ada seseorang yang terlihat berlari menuju kereta iring-iringan pangeran. Su Yin mengenal gadis itu. Ru Yi datang membawa beberapa barang yang dibungkus menggunakan kain. “Pemaisuri, andai boleh, aku akan memilih ikut sebagai tabib dalam perjalanan kali ini,” ucap Ru Yi sambil mengatur napas. “Tidak usah, lanjutkan saja belajarmu, aku baik-baik saja, aku juga dokter, tapi ini apa?” tanya Su Yin sambil menimbang-nimbang. “Ada cream siang, cream malam, cream anti matahari dan cream awet muda, hi hi hi.” Ru Yi tersenyum kecil. Begitu yang ia pelajari dari buku yang dituliskan oleh Permaisuri Yin. “Oh, jadi dokter kecantikan rupanya.” Su Yin melirik Ru Yi dari ujung rambut sampai kaki. Gadis itu mengenakan baju tabib yang dari kualitas kain yang bagus dan membuatnya terlihat cantik. “Kau di sini tidak ada niat menikah?” Tiba-tiba aja pertanyaan sang permaisuri ke sana. “Ehm, malu, Permaisuri, umur hamba sudah 24 tahun. S