Su Yin ditangai oleh seorang dokter di klinik terdekat. Anak tadi sudah ia serahkan pada polisi yang ada di area tersebut dan ia pun menunjukkan identitasi diri. Selanjutnya anak lelaki tadi akan diproses sesuai hukum yang berlaku. “Kuat juga kau jadi orang, luka ini tidak terlalu dalam, tapi sangat menyakitkan dan Nona tidak menangis sama sekali,” ucap dokter yang menjahit luka di dada Su Yin. “Menangis tidak mengubah keadaan.” “Setidaknya perasaan kita terluahkan.” “Pekerjaan membuat aku terbiasa menahan perasaan,” balas Su Yin. “Apa tidak sakit kepala karena kau tak bisa mengungkapkan perasaan? Kita perempuan, perasaan kita perlu dirayakan.” Dokter wanita itu tersenyum. “Aku tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu, Dokter, bagiku hanya ada pekerjaan dan hidupku sendiri.” “Keluargamu tahu?” “Hanya tinggal Bibi seorang, dia juga sudah tua, lagi pula lukaku di bagian dalam tidak akan kelihatan.” “Nona, jangan terlalu keras dengan diri sendiri. Berbagi juga tidak ada salah
“Paracetamol, ibuprofen, antibiotik, anestesi, ah, aku membutuhkan semua itu,” gumam Su Yin ketika denyut luka dalam dadanya semakin terasa. Ru Yi tahu wanita yang ia selamatkan tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum menemukan obat-obatan yang dibutuhkan. Namun, ia juga bukan tabib yang mendapat mandat dari Kementrian Kesehatan untuk menyembuhkan orang. “Aiiiyah, cucuku, tidak bisakah kau menolongnya?” Guanin juga gusar. Sesekali ia sentuh dahi Su Yin dan wanita itu demam tinggi. “Bisa, Nek, tapi obat-obatannya tidak ada. Banyak yang harus dibeli untuk menyembuhkan luka dalamnya.” “Perlu uang banyak tidak?” tanya Guaning. “Hmm, aku akan membeli sulfur untuk membiusnya dulu, lalu aku akan ke kota untuk mencari jarum dan benang sutra guna menjahit lukanya.” “Tidak ditolong kasihab, ditolong juga aku …” Walau dengan rasa ragu, akhirnya Guaning membuka kotak penyimpanan uang satu-satunya. “Jangan, Nek, itu, kan harta berharga simpanan Nenek.” Ru Yi tak mau neneknya berkorban untuk s
Ru Yi membuat Su Yin tertidur dengan obat bius yang ia beli di apotek pusat kota. Perlahan-lahan mata sang permaisuri tertutup dan tak ada pergerakan sama sekali. Setelah itu Ru Yi baru berani mengambil tindakan tertentu. Gadis yang usianya lebih tua daripada permaisuri mulai menjahit luka di bagian dada. Kemudian lanjut memberikan salep dan menutup jahitan dengan menggunakan kasa bersih. Setelahnya Su Yin dibiarkan tertidur tanpa adanya infus. Sebab di zaman Dinasti Tang cairan infus belum ditemukan. Siang hari ketika matahari sudah sudah tinggi, Su Yin pun siuman. Ia merasa sudah membaik dari hari-hari biasanya. Baju lapis luarnya terjatuh ketika ia mencoba duduk. “Eh, ini ada benang jahit, berarti ada jarumnya juga?” Sang permaisuri meraba dadanya yang ditutup kasa, ia lihat jahitannya cukup rapi. “Berarti medis Dinasti Tang cukup baik, tapi kenapa saat di istana aku tidak mendapat perawatan yang cukup.” Su Yin memandang tangannya yang ada bekas luka besar. Oleh Ru Yi luka itu d
Rombongan Suku Bintang dari Pegunungan Utara meninggalkan Chang An ketika sudah puas jalan-jalan. Mereka melewati lagi wilayah tempat perburuan beberapa hari yang lalu. “Berhenti!” ucap Yun Zi tiba-tiba saja. “Istriku, kenapa? Apa masih ada benda yang ingin kau beli?” Ba Luo menarik tali kekang kudanya. “Kita ke sana!” tunjuk Yun Zi. “Ke mana? Untuk apa?” Yun Zi tak menjawab pertanyaan suaminya. Anak ketua suku itu terus melajukan kudanya hingga sampai di depan rumah Guaning. “Di sini tidak ada apa-apa, istriku?” “Ada, tempat ini ditutup kabut sihir. Karena itu pencarian Permaisuri Yin tidak juga ketemu sampai sekarang.” Yun Zi menutup mata dan menyatukan dua tangan di dada. Beberapa saat lamanya ia membaca mantra dan terhapus sudah sihir yang menutupi rumah Guaning.Yun Zi dan Ba Luo mengetuk perlahan pintu rumah itu sebab hari masih pagi. Guaning menyambut tamu dan bertanya siapa dan ada perlu apa. “Dari beberapa hari yang lalu ada saja orang aneh yang lewat.” Guaning memand
Menteri Urusan Kesejahteraan Rakyat meminta izin untuk menghadap Pangeran Kedua. Desas-desus tentang hilangnya permaisuri semakin beredar kencang. Lelaki itu tak bisa tinggal diam, sebab selain kasihan saat dulu A Yin dihukum mati, sang menteri juga masih punya hubungan kerabat jauh dengan orang tau A Yin dulunya. “Katakan, aku tak punya banyak waktu.” Li Wei berencana turun tangan sendiri mencari A Yin. Sudah terlalu lama menunggu. Bahkan pasukan elite diturunkan tapi tetap tak ada hasil. “Hamba akan memerintahkan pasukan pribadi hamba untuk mencari Permaisuri,” jawab Menteri Du Sui. “Jadi, kau sudah tahu?” “Seluruh istana sudah tahu, Pangeran.” “Berarti Kaisar sudah tahu?” “Tentu, menurut perhitungan hamba demikian.” “Kira-kira langkah apa yang akan diambil ayahku andaikata istriku tidak juga ditemukan? Kau sudah lama mendampingi Kaisar, tentu tahu tabiatnya bagaimana?” Li Wei melipat tangannya di bagian belakang. Ia berjalan mendekati Menteri Du beberapa langkah. “Dalam ha
Su Yin menatap langit kelabu di atas kota Shanghai yang sibuk. Sebagai seorang dokter forensik yang juga merangkap sebagai polisi, hari-harinya selalu penuh dengan teka-teki yang harus dipecahkan. Sampai di usia yang hampir menginjak kepala empat ia belum juga memikirkan tentang pernikahan. Namun, semua pekerjaan ia tangani denngan baik dan kasus yang satu ini terasa berbeda.Pagi itu, Su Yin menerima panggilan darurat. Seorang gadis muda ditemukan tewas di pinggir kota, tubuhnya tergeletak di antara semak-semak yang jarang dilalui orang. Su Yin segera bergegas ke lokasi kejadian, ditemani oleh rekan kerjanya, Officer Jimmi.Setibanya di tempat kejadian, Su Yin langsung mengenakan sarung tangan lateks dan mulai memeriksa tubuh korban. Gadis itu tampak berusia sekitar dua puluh tahun, dengan rambut hitam panjang yang kusut dan wajah yang pucat. Tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik yang jelas, namun ada sesuatu yang aneh pada posisi tubuhnya.“Jimmi, tolong ambilkan lampu senter,” pin
Ribuan Tahun sebelum Shanghai menjadi kota modernDi masa Dinasti Tang, di sebuah istana cukup megah yang dikenal sebagai Istana Naga Perak, hiduplah seorang permaisuri bernama Li A Yin. Tubuhnya lemah dan sering sakit-sakitan, hingga membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar yang dingin dan sunyi. Sejak dinikahi oleh Pangeran Kedua, hidupnya berubah drastis. Pangeran yang gagah berani harus meninggalkan istana untuk berperang di perbatasan. Meninggalkan wanita bermata sendu itu dalam kesendirian yang mendalam.Hari-hari berlalu dengan lambat di Istana Naga. Li A Yin sering duduk di dekat jendela besar yang menghadap ke taman istana, memandangi bunga-bunga yang bermekaran tanpa bisa menikmati keindahannya. Permaisuri Yin—begitu dirinya kerap dipanggil mudah sesak napas jika kelelahan. Setiap kali angin berhembus, ia merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulang, seolah-olah mengingatkannya pada jarak yang memisahkan dirinya dengan sang suami.Para pelayan istana sel
Di tengah malam yang sunyi, Istana Naga Perak berdiri megah di bawah cahaya bulan. Di dalam salah satu aula tersembunyi, Permaisuri Li A Yin menunggu dengan gelisah. Suara langkah kaki yang lembut terdengar mendekat, dan Menteri Keamanan Istana Zhang, muncul dari balik pintu.“Permaisuri, aku datang seperti yang diperintahkan,” ujar Menteri Zhang dengan suara rendah.Li A Yin mengangguk, matanya penuh dengan kekhawatiran. Wanita berwajah keibuan itu melakukan semuanya dengan hati-hati. “Kita harus mengendap-endap, Menteri Zhang. Tidak ada yang boleh tahu tentang pertemuan ini.”“Baik, aku mengerti, Pemaisuri A Yin. Dan aku membawa apa yang kau minta.” Menteri Zhang menyerahkan silsilah keluarga dari Selir Agung Ming. Sebuah silsiliah yang amat sangat dekat dengan kaisar sejak dulu. “Kalau seperti ini, rasanya sulit untuk melawan Selir Agung Ming.” A Yin cepat sekali berputus asa. “Benar, bahkan terakhir permaisuri utama mencoba melawannya berakhir diasingkan di istana dingin. Sampa
Menteri Urusan Kesejahteraan Rakyat meminta izin untuk menghadap Pangeran Kedua. Desas-desus tentang hilangnya permaisuri semakin beredar kencang. Lelaki itu tak bisa tinggal diam, sebab selain kasihan saat dulu A Yin dihukum mati, sang menteri juga masih punya hubungan kerabat jauh dengan orang tau A Yin dulunya. “Katakan, aku tak punya banyak waktu.” Li Wei berencana turun tangan sendiri mencari A Yin. Sudah terlalu lama menunggu. Bahkan pasukan elite diturunkan tapi tetap tak ada hasil. “Hamba akan memerintahkan pasukan pribadi hamba untuk mencari Permaisuri,” jawab Menteri Du Sui. “Jadi, kau sudah tahu?” “Seluruh istana sudah tahu, Pangeran.” “Berarti Kaisar sudah tahu?” “Tentu, menurut perhitungan hamba demikian.” “Kira-kira langkah apa yang akan diambil ayahku andaikata istriku tidak juga ditemukan? Kau sudah lama mendampingi Kaisar, tentu tahu tabiatnya bagaimana?” Li Wei melipat tangannya di bagian belakang. Ia berjalan mendekati Menteri Du beberapa langkah. “Dalam ha
Rombongan Suku Bintang dari Pegunungan Utara meninggalkan Chang An ketika sudah puas jalan-jalan. Mereka melewati lagi wilayah tempat perburuan beberapa hari yang lalu. “Berhenti!” ucap Yun Zi tiba-tiba saja. “Istriku, kenapa? Apa masih ada benda yang ingin kau beli?” Ba Luo menarik tali kekang kudanya. “Kita ke sana!” tunjuk Yun Zi. “Ke mana? Untuk apa?” Yun Zi tak menjawab pertanyaan suaminya. Anak ketua suku itu terus melajukan kudanya hingga sampai di depan rumah Guaning. “Di sini tidak ada apa-apa, istriku?” “Ada, tempat ini ditutup kabut sihir. Karena itu pencarian Permaisuri Yin tidak juga ketemu sampai sekarang.” Yun Zi menutup mata dan menyatukan dua tangan di dada. Beberapa saat lamanya ia membaca mantra dan terhapus sudah sihir yang menutupi rumah Guaning.Yun Zi dan Ba Luo mengetuk perlahan pintu rumah itu sebab hari masih pagi. Guaning menyambut tamu dan bertanya siapa dan ada perlu apa. “Dari beberapa hari yang lalu ada saja orang aneh yang lewat.” Guaning memand
Ru Yi membuat Su Yin tertidur dengan obat bius yang ia beli di apotek pusat kota. Perlahan-lahan mata sang permaisuri tertutup dan tak ada pergerakan sama sekali. Setelah itu Ru Yi baru berani mengambil tindakan tertentu. Gadis yang usianya lebih tua daripada permaisuri mulai menjahit luka di bagian dada. Kemudian lanjut memberikan salep dan menutup jahitan dengan menggunakan kasa bersih. Setelahnya Su Yin dibiarkan tertidur tanpa adanya infus. Sebab di zaman Dinasti Tang cairan infus belum ditemukan. Siang hari ketika matahari sudah sudah tinggi, Su Yin pun siuman. Ia merasa sudah membaik dari hari-hari biasanya. Baju lapis luarnya terjatuh ketika ia mencoba duduk. “Eh, ini ada benang jahit, berarti ada jarumnya juga?” Sang permaisuri meraba dadanya yang ditutup kasa, ia lihat jahitannya cukup rapi. “Berarti medis Dinasti Tang cukup baik, tapi kenapa saat di istana aku tidak mendapat perawatan yang cukup.” Su Yin memandang tangannya yang ada bekas luka besar. Oleh Ru Yi luka itu d
“Paracetamol, ibuprofen, antibiotik, anestesi, ah, aku membutuhkan semua itu,” gumam Su Yin ketika denyut luka dalam dadanya semakin terasa. Ru Yi tahu wanita yang ia selamatkan tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum menemukan obat-obatan yang dibutuhkan. Namun, ia juga bukan tabib yang mendapat mandat dari Kementrian Kesehatan untuk menyembuhkan orang. “Aiiiyah, cucuku, tidak bisakah kau menolongnya?” Guanin juga gusar. Sesekali ia sentuh dahi Su Yin dan wanita itu demam tinggi. “Bisa, Nek, tapi obat-obatannya tidak ada. Banyak yang harus dibeli untuk menyembuhkan luka dalamnya.” “Perlu uang banyak tidak?” tanya Guaning. “Hmm, aku akan membeli sulfur untuk membiusnya dulu, lalu aku akan ke kota untuk mencari jarum dan benang sutra guna menjahit lukanya.” “Tidak ditolong kasihab, ditolong juga aku …” Walau dengan rasa ragu, akhirnya Guaning membuka kotak penyimpanan uang satu-satunya. “Jangan, Nek, itu, kan harta berharga simpanan Nenek.” Ru Yi tak mau neneknya berkorban untuk s
Su Yin ditangai oleh seorang dokter di klinik terdekat. Anak tadi sudah ia serahkan pada polisi yang ada di area tersebut dan ia pun menunjukkan identitasi diri. Selanjutnya anak lelaki tadi akan diproses sesuai hukum yang berlaku. “Kuat juga kau jadi orang, luka ini tidak terlalu dalam, tapi sangat menyakitkan dan Nona tidak menangis sama sekali,” ucap dokter yang menjahit luka di dada Su Yin. “Menangis tidak mengubah keadaan.” “Setidaknya perasaan kita terluahkan.” “Pekerjaan membuat aku terbiasa menahan perasaan,” balas Su Yin. “Apa tidak sakit kepala karena kau tak bisa mengungkapkan perasaan? Kita perempuan, perasaan kita perlu dirayakan.” Dokter wanita itu tersenyum. “Aku tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu, Dokter, bagiku hanya ada pekerjaan dan hidupku sendiri.” “Keluargamu tahu?” “Hanya tinggal Bibi seorang, dia juga sudah tua, lagi pula lukaku di bagian dalam tidak akan kelihatan.” “Nona, jangan terlalu keras dengan diri sendiri. Berbagi juga tidak ada salah
Pagi-pagi sekali Su Yin menaiki bus kota untuk segera sampai ke kantor. Kota Shanghai yang notabene penduduknya sekitar 24 juta jiwa sudah sangat sibuk. Gadis itu jadi teringat ketika menaiki kereta dan melihat para pengemis di kota Chang An. Kota yang di masa lalu juga sangat sibuk. Bus berhenti karena lampu merah. Su Yin menoleh ke kiri, kebetulan mobil mewah menurunkan kaca. Artis Mimi Yang sedang merapikan make up. Ada seorang laki-laki di sebelah Mimi. Su Yin coba mengintip tapi tidak terlihat dan keburu lampu sudah berubah jadi hijau.“Apa mungkin nenek sihir itu menikah lagi dengan kaisar dan jadi istrinya?” tanya Su Yin sambil memainkan ponsel.Iseng ia mencari weibo milik Mimi Yang. Biodata dan status artis papan atas itu jelas belum menikah di usia yang sudah kepala empat. Di Shanghai sekarang memang sedang trend melajang sampai tua karena tekanan ekonomi dan persaingan ketat. Sampai di kantor polisi, Su Yin diberi hormat oleh beberapa bawahannya. Ia pun langsung ke ruanga
Su Yin jatuh ke dalam dinginnya arus sungai. Matanya pedih dan darahnya mewarnai air yang jernih. Gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri. Masih ingat ia kata Li Wei tak jauh dari sungai ada air terjun yang begitu deras. Tangan kanan Su Yin berpegangan pada sebuah dahan yang kokoh. Sembari tetap menahan rasa sakit di dada sebelah kiri akibat panah yang masih menancap. Ia berusaha memanjat dahan dan melangkah perlahan. Kemudian melompat ke daratan yang kini berseberangan dengan tempatnya jatuh. “Kenapa? Kenapa aku tidak kembali ke masa depan padahal aku sudah jatuh ke sungai.” Su Yin batuk dan memuntahkan air. Dadanya terasa begitu dingin sekali. Anak panah itu tak bisa sembarangan ia cabut agar darah tak mengalir begitu deras. Ia terus melangkah melawan aliran sungai sambil berkata tolong. Namun, tak ada satu pun yang mendengar suaranya. Lama-kelamaan rasa dingin di bagian dada itu menjalar terus ke kepala dan kakinya. Lalu Su Yin roboh dan tak sadarkan diri. *
Bagian 40 Li Wei melakukan pencarian sampai malam hari dengan tambahan beberapa pasukan juga obor yang sangat banyak. Telah dinyatakan Permaisui Li A Yin menghilang ketika suaminya pergi berburu. Fu Rong merasa bersalah karena meninggalkan sang nyonya tanpa pengawal sama sekali. Tadinya Fu Rong mengira mencari bakpao kacang merah hanya sebentar saja. “Pangeran, hamba menemukan ini.” Pengawal pribadi itu memungut satu demi satu barang milik A Yin yang berceceran. Di antaranya cincin giok juga kalung. “Pangeran, hamba menemukan ini.” Datang lagi seorang prajurit membawa robekan baju yang digunakan A Yin pada hari itu, termasuk sepatu yang tinggal sebelah saja. “Cari sampai dapat aku tidak peduli walau sampai pagi!” perintah Li Wei pada pasukannya. Mereka menyusuri hutan jengkal demi jengkal walau ada rasa takut binatang buas menerkam. Bahkan Pangeran Kedua saja turun tangan dan berjalan kaki menyusuri hutan. Di sisi lain Putra Makhkota tetap harus menyambut tamu di hari ulang ta
Pangeran Kedua dan Putra Makhkota sama-sama berkuda dengan kencang. Kemudian dua saudara kandung beda ibu itu turun dari kuda dan mengawasi datangnya binatang buruan. Mereka berkuda di wilayah dengan bendera hijau paling jauh hanya boleh di bendera kuning. Bendera merah artinya mereka melewati wilayah terlarang. “Dia milikku,” ujar Putar Makhkota ketika melihat kelinci yang sangat gemuk. Lelaki itu melesatkan anak panah tetapi meleset. “Ah, sayang sekali. Aku bisa memberikannya untuk Bai Jing nanti.” Buruan itu kabur dari hadapan dua pangeran. “Kau kenapa, tidak membidik kelinci. Sudah bosan dengan binatang buruan?” tanya Putra Makhkota. “Tidak, aku mencari rusa untuk kuberikan pada A Yin.” “Benarkah, memang Adik Yin suka rusa?” “Kelihatannya begitu.” “Kupikir hubungan kalian memburuk sejak selir baru datang ke istanamu.” “Aku sedang memperbaiki hubungan kami. Aku akan ke sana.” Li Wei meninggalkan kawasan bendera hijau dan memasuki yang bendera kuning. “Tunggu, jangan terlal