Pagi-pagi sekali Su Yin menaiki bus kota untuk segera sampai ke kantor. Kota Shanghai yang notabene penduduknya sekitar 24 juta jiwa sudah sangat sibuk. Gadis itu jadi teringat ketika menaiki kereta dan melihat para pengemis di kota Chang An. Kota yang di masa lalu juga sangat sibuk. Bus berhenti karena lampu merah. Su Yin menoleh ke kiri, kebetulan mobil mewah menurunkan kaca. Artis Mimi Yang sedang merapikan make up. Ada seorang laki-laki di sebelah Mimi. Su Yin coba mengintip tapi tidak terlihat dan keburu lampu sudah berubah jadi hijau.“Apa mungkin nenek sihir itu menikah lagi dengan kaisar dan jadi istrinya?” tanya Su Yin sambil memainkan ponsel.Iseng ia mencari weibo milik Mimi Yang. Biodata dan status artis papan atas itu jelas belum menikah di usia yang sudah kepala empat. Di Shanghai sekarang memang sedang trend melajang sampai tua karena tekanan ekonomi dan persaingan ketat. Sampai di kantor polisi, Su Yin diberi hormat oleh beberapa bawahannya. Ia pun langsung ke ruanga
Su Yin ditangai oleh seorang dokter di klinik terdekat. Anak tadi sudah ia serahkan pada polisi yang ada di area tersebut dan ia pun menunjukkan identitasi diri. Selanjutnya anak lelaki tadi akan diproses sesuai hukum yang berlaku. “Kuat juga kau jadi orang, luka ini tidak terlalu dalam, tapi sangat menyakitkan dan Nona tidak menangis sama sekali,” ucap dokter yang menjahit luka di dada Su Yin. “Menangis tidak mengubah keadaan.” “Setidaknya perasaan kita terluahkan.” “Pekerjaan membuat aku terbiasa menahan perasaan,” balas Su Yin. “Apa tidak sakit kepala karena kau tak bisa mengungkapkan perasaan? Kita perempuan, perasaan kita perlu dirayakan.” Dokter wanita itu tersenyum. “Aku tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu, Dokter, bagiku hanya ada pekerjaan dan hidupku sendiri.” “Keluargamu tahu?” “Hanya tinggal Bibi seorang, dia juga sudah tua, lagi pula lukaku di bagian dalam tidak akan kelihatan.” “Nona, jangan terlalu keras dengan diri sendiri. Berbagi juga tidak ada salah
“Paracetamol, ibuprofen, antibiotik, anestesi, ah, aku membutuhkan semua itu,” gumam Su Yin ketika denyut luka dalam dadanya semakin terasa. Ru Yi tahu wanita yang ia selamatkan tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum menemukan obat-obatan yang dibutuhkan. Namun, ia juga bukan tabib yang mendapat mandat dari Kementrian Kesehatan untuk menyembuhkan orang. “Aiiiyah, cucuku, tidak bisakah kau menolongnya?” Guanin juga gusar. Sesekali ia sentuh dahi Su Yin dan wanita itu demam tinggi. “Bisa, Nek, tapi obat-obatannya tidak ada. Banyak yang harus dibeli untuk menyembuhkan luka dalamnya.” “Perlu uang banyak tidak?” tanya Guaning. “Hmm, aku akan membeli sulfur untuk membiusnya dulu, lalu aku akan ke kota untuk mencari jarum dan benang sutra guna menjahit lukanya.” “Tidak ditolong kasihab, ditolong juga aku …” Walau dengan rasa ragu, akhirnya Guaning membuka kotak penyimpanan uang satu-satunya. “Jangan, Nek, itu, kan harta berharga simpanan Nenek.” Ru Yi tak mau neneknya berkorban untuk s
Ru Yi membuat Su Yin tertidur dengan obat bius yang ia beli di apotek pusat kota. Perlahan-lahan mata sang permaisuri tertutup dan tak ada pergerakan sama sekali. Setelah itu Ru Yi baru berani mengambil tindakan tertentu. Gadis yang usianya lebih tua daripada permaisuri mulai menjahit luka di bagian dada. Kemudian lanjut memberikan salep dan menutup jahitan dengan menggunakan kasa bersih. Setelahnya Su Yin dibiarkan tertidur tanpa adanya infus. Sebab di zaman Dinasti Tang cairan infus belum ditemukan. Siang hari ketika matahari sudah sudah tinggi, Su Yin pun siuman. Ia merasa sudah membaik dari hari-hari biasanya. Baju lapis luarnya terjatuh ketika ia mencoba duduk. “Eh, ini ada benang jahit, berarti ada jarumnya juga?” Sang permaisuri meraba dadanya yang ditutup kasa, ia lihat jahitannya cukup rapi. “Berarti medis Dinasti Tang cukup baik, tapi kenapa saat di istana aku tidak mendapat perawatan yang cukup.” Su Yin memandang tangannya yang ada bekas luka besar. Oleh Ru Yi luka itu d
Rombongan Suku Bintang dari Pegunungan Utara meninggalkan Chang An ketika sudah puas jalan-jalan. Mereka melewati lagi wilayah tempat perburuan beberapa hari yang lalu. “Berhenti!” ucap Yun Zi tiba-tiba saja. “Istriku, kenapa? Apa masih ada benda yang ingin kau beli?” Ba Luo menarik tali kekang kudanya. “Kita ke sana!” tunjuk Yun Zi. “Ke mana? Untuk apa?” Yun Zi tak menjawab pertanyaan suaminya. Anak ketua suku itu terus melajukan kudanya hingga sampai di depan rumah Guaning. “Di sini tidak ada apa-apa, istriku?” “Ada, tempat ini ditutup kabut sihir. Karena itu pencarian Permaisuri Yin tidak juga ketemu sampai sekarang.” Yun Zi menutup mata dan menyatukan dua tangan di dada. Beberapa saat lamanya ia membaca mantra dan terhapus sudah sihir yang menutupi rumah Guaning.Yun Zi dan Ba Luo mengetuk perlahan pintu rumah itu sebab hari masih pagi. Guaning menyambut tamu dan bertanya siapa dan ada perlu apa. “Dari beberapa hari yang lalu ada saja orang aneh yang lewat.” Guaning memand
Menteri Urusan Kesejahteraan Rakyat meminta izin untuk menghadap Pangeran Kedua. Desas-desus tentang hilangnya permaisuri semakin beredar kencang. Lelaki itu tak bisa tinggal diam, sebab selain kasihan saat dulu A Yin dihukum mati, sang menteri juga masih punya hubungan kerabat jauh dengan orang tau A Yin dulunya. “Katakan, aku tak punya banyak waktu.” Li Wei berencana turun tangan sendiri mencari A Yin. Sudah terlalu lama menunggu. Bahkan pasukan elite diturunkan tapi tetap tak ada hasil. “Hamba akan memerintahkan pasukan pribadi hamba untuk mencari Permaisuri,” jawab Menteri Du Sui. “Jadi, kau sudah tahu?” “Seluruh istana sudah tahu, Pangeran.” “Berarti Kaisar sudah tahu?” “Tentu, menurut perhitungan hamba demikian.” “Kira-kira langkah apa yang akan diambil ayahku andaikata istriku tidak juga ditemukan? Kau sudah lama mendampingi Kaisar, tentu tahu tabiatnya bagaimana?” Li Wei melipat tangannya di bagian belakang. Ia berjalan mendekati Menteri Du beberapa langkah. “Dalam ha
12 pasukan elite bersama Xu Chan terus mencari di mana keberadaan permaisuri. Awalnya mereka masih mencari di sekitar tanah rumah Guaning. Namun, akibat tertutup sihir dan Su Yin tidak keluar rumah maka dari itu mereka memutuskan untuk mencari di tempat lain. Xu Chan agak tidak terima, tapi ia tak bisa berbuat lain karena tak memiliki kemampuan menunggang kuda atau mencari jejak. Tetapi firasatnya mengatakan bahwa tuannya tak terlalu jauh dari rumah di pinggir sungai itu. “Cepat naik,” ucap salah satu pasukan elite pada Xu Chan. “Eh, aku akan kembali ke istana, kalian pergi saja dulu,” jawab pelayan polos itu penuh kebohongan. Ketika melihat para pasukan sudah jauh dengan kuda yang berlari kencang, Xu Chan pun kembali ke tempat awal mula mereka mencari sang permaisuri. “Nyonya, aku yakin kau tak jauh dari sana, aku yakin sekali.” Xu Chan berjalan dengan langkah cepat. Di depan sana ada jembatan kayu yang beberapa hari lalu masih bagus. Namun, ulah orang-orang Menteri Huang yang
“Xu Chan!” pedang Su Yin jatuh dari tangannya. Beberapa anak panah tepat mengenai tubuh pelayannya. Gadis polos itu sok berani dan mendorong sang permaisuri hingga diri sendiri pun jadi sasaran anak panah. Jelas saja darah membanjiri baju tipis seorang pelayan dan karena tak tahan luka yang begitu dalam bibir Xu Chan memuntahkan darah. “Bodoh! Kenapa kau harus mati demi aku.” Su Yin menegakkan tubuh Xu Chan dalam pangkuannya. Tangan pelayan itu berlumuran darah dan dipegang oleh sang permaisuri. “Jangan banyak bicara, darahmu semakin banyak mengalir. Ru Yi mana, Ru Yiii, Ru Yiii.” Saking gugupnya Su Yin lupa bahwa diri sendiri adalah dokter. Tetapi ia tak bawa perlengkapan medis sama sekali. “Nyonya,” ucap Xu Chan terbata-bata. “Lari, pergi!” Darah muncrat lagi dari bibir pelayan tersebut.“Ayo kita lari sama-sama.” Sekuat tenaga polisi wanita itu mengangkat tubuh Xu Chan, tapi yang diangkat ternyata tak sanggup untuk berbuat apa-apa lagi. Ditambah orang Menteri Huang kini semak
Su Yin dan An Ama terkejut ketika sampai di kapal perang, beberapa prajurit Tang melawan serigala dengan ragam warna. Ya, pasukan Yi Gur sebagian bisa mengubah wujud, begitu pula dengan pemimpinnya. “Nyonya, hati-hati,” ucap An Mama ketika dua serigala memandang ke arah mereka. “Tebas langsung ke kepala saja, hiaaat!” Sang permaisuri melompat dan melayangkan pedang ke arah serigala hingga lepas. An Mama mendorong dan membuang binatang itu ke laut. Hal yang sama kemudian dilakukan oleh prajurit Tang yang lain. “Kenapa dia ada di sini?” Perhatian Li Wei teralihkan. Pada saat yang sama Yigur menodongkan belati ke lehernya. “Enak saja, hanya aku yang boleh menyakiti suamiku, hiaaat!” Su Yin berlari dan menghalangi belati Yigur dengan pedangnya. “Kita jumpa lagi, kau datang juga.” Yigur tersenyum. “Kenapa kau tidak menuruti kata-kataku!” Li Wei masih sempat bertanya. “Kita bahas hal itu nanti, selesaikan yang di depan dulu.” Su Yin dan Li Wei bekerja sama melawan Yi
Li Wei berdiri di atas benteng pertahanan. Pangeran Kedua sedang memantau para prajurit yang berlatih. Ia meraih teropong di pingang, lalu melihat ke arah yang jauh sampai ke tepi pantai. Armada angkatan laut yang dipimpin oleh menhan langsung sedang mengisi amunisi. Sebuah anak panah menancap di sebelah Li Wei. Di anak panah itu terikat sebuah surat. Ia membuka dan membacanya dengan perlahan lalu meremas dan membuangnya. “Suku serigala sedang mempersiapkan serangan untuk kita. Kapal mereka mulai berjalan. Sampaikan pesanku pada menhan agar mempercepat persiapan. Sampaikan diam-diam jangan sampai ada yang tahu, mengerti!” perintah Li Wei. “Baik, Pangeran.” Furong melompat dari benteng dan berlari ke kandang kuda lalu segera ke pelabuhan. Tersisa Pangeran Kedua dengan beberapa pasukan elitenya. Lelaki itu mengembuskan napas dalam. Ia boleh mati tapi Permaisuri Yin harus selamat apa pun caranya. Li Wei pergi menemui An Mama secara pribadi. Sang guru yang sedang mengasah pedang berd
Ibu Suri duduk di kamarnya. Ia menatap ke depan dengan kekosongan. Sejak ditinggal Gui Mama tak ada lagi pelayan lain yang cakap dalam bekerja. Termasuk mengurus opium yang telah menjadi candunya. Ming Hua seperti orang gila yang terlihat baik-baik saja. “Pelayaaan!” teriak Ibu Suri. Semua berbaris dengan teratur memenuhi panggilannya. “Tolol. Aku hukum mati kalian semua baru tahu rasa!” “Jangan, Ibu Suri, ampuni kami yang datang terlambat.” Para pelayan bersujud di depan wanita angkuh itu. “Bantu aku berkemas. Aku ingin mengunjungi kaisar. Ada yang harus aku bicarakan.” Tiga orang pelayan wanita datang mendekatinya. “Tunggu, kalian semua keluar, dan kau tetap di sini.” Ming Hua meminta satu orang saja yang menemaninya. “Berikan aku opium.” “Ibu Suri, tapi opiumnya sudah habis sejak tadi malam.” Pelayan itu menjawab dengan takut. “Kurang ajar!” Ming Hua melayangkan tamparan. “Kenapa tidak dibeli lagi.” “Hamba tidak tahu, Ibu Suri, hamba tidak tahu harus mencarinya di mana.”
Tangan Su Yin berlumuran darah. Sudah banyak prajurit yang ia bunuh demi menyelamatkan diri. Namun, jelas polisi wanita itu kalah jumlah. Sekarang ia bersembunyi di departemen sihir dan perbintangan. Satu-satunya tempat yang bisa Su Yin tuju.“Siapa di sana?” Su Yin memegang pedang dengan tangan gemetar. Perkelahian sengit itu membuatnya kehilangan banyak tenaga. Shen Du muncul sambil membawa pedang kayunya. “Kau ternyata. Oh iya aku lupa kau orangnya Ibu Suri. Majulah kalau ingin membunuhku.” “Tidak, Permaisuri Yin. Aku hanya ingin memberitahu, ke depannya nanti jalanmu tidak akan mudah dan umurmu tidak akan panjang.” “Aku bisa menanggung semua derita, ini sudah pilihanku.” Su Yin menarik napas panjang. Ia lelah, haus, juga lapar. Shen Du menyembunyikan pedang kayunya. Lalu ia menoleh ke belakang. Pengawal pribadi kaisar datang dengan dua orang prajurit kepercayaannya. “Bawa Permaisuri Yin pergi dari sini. Lewat danau belakang ada jalan rahasia tempat para pelayan kabur. Jangan
Ibu Suri duduk di singgasananya dengan angkuh. Gui Mama tersenyum melihat tuannya. Mata licik ibu suri memindai seluruh kediaman baru yang lebih besar dan mewah. Ia pun menarik napas dalam-dalam. “Lega sekali tanpa kehadiran Li Wei di istana ini,” ucapnya congkak. “Nyonya, satu pengganggu sudah hilang, hamba yakin perang di selatan akan menewaskan Pangeran Kedua.” “Gui Mama, jangan bicara terlalu kencang, dinding istana juga punya kuping.” Ming Hua memejamkan mata. Ia senang dengan harapan pelayannya tapi ia juga harus berhati-hati. “Maafkah hambamu yang bodoh ini, Nyonya.” “Dimaafkan, karena kau terlalu bahagia melihatku bahagia, sudah sepantasnya pelayan harus begitu, ah ha ha ha.” Ming Hua merasa sebagai penguasa istana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan, Nyonya?” “Apa yang harus dilihat, istana begitu-begitu saja sejak pertama kali aku datang, tidak ada bedanya. Hanya saja sekarang aku lebih bebas sebagai ibu suri, bahkan kaisar tidak akan berani menegurku.” Ibu Suri berdi
“Aku hanya ingin kemenangan untuk Tang, Yang Mulia.” “Aku mengenalmu cukup baik, ada yang kau sembunyikan dariku, katakan.” Perintah Kaisar dengan tegas. “Yang Mulia, izinkan hamba berangkat ke kaisar dan setelahnya akan hamba persembahkan kemenangan untuk Tang.” “Itu saja?” Kaisar tahu adiknya belum mau jujur sepenuhnya. “Juga, jika hamba memperoleh kemenangan izinkan hamba tinggal di selatan dan memerintah daerah itu dengan tradisi dan kebijakan Dinasti Tang.” Jujur juga Li Wei akhirnya. “Jadi kau ingin meninggalkan Chang An.” Kaisar memerintahkan Li Wei bangun dari sujudnya. “Benar.” “Kenapa?” “Terlalu banyak kenangan pahit di sini.” “Pahit?” “Salah satunya kematian ibuku juga istriku sempat mati kemarin. Aku hanya ingin menyelamatkan keluargaku.” “Sekarang aku sudah menjadi kaisar, tidak akan ada orang yang berani menyakitimu.” “Aku khawatir bukan orang lain yang menyakitiku, justru …” “Maksudmu, Ibu Suri?” tebak Kaisar. Li Wei diam saja. “Pergilah, akan aku pertimban
Tubuh Kaisar diawetkan selama beberapa hari sebelum disemayamkan di sebuah kuburan yang luas. Sejak saat itu takhta kosong dan sudah jelas siapa yang akan mendudukinya meski belum dinobatkan secara resmi. Putra Mahkota mengambil alis tugas ayahnya yang mangkat dengan penyakit misterius. Masa berkabung dimulai sejak saat itu dan belum diakhiri hingga sebuah kuburan yang luas dan megah selesai. Satu demi satu perhiasan kesukaan kaisar diletakkan di dalam. Termasuk emas dan perak, juga baju-baju sutra yang dulu pernah dikenakan.Dalam kuburan kuno itu dibangun beberapa perangkap. Apabila ada yang mencuri perhiasan milik Kaisar akan mati dan terkubur di sana. Para selir kaisar yang tidak memiliki anak secara jelas diusir oleh Selir Agung. Permaisuri Utama dan Selir Cun masih tinggal karena telah memiliki anak. Ming Hua mencapai tujuannya untuk menjadi ibu suri. Hari ini tubuh Kaisar yang sudah diberikan pakaian terbaik diletakkan di dalam peti. Satu demi satu putra, putri, selir, pej
Di luar istana para suami menjalankan tugas negara dengan berat. Li Wei sampai membuka pakaian agungnya sebagai pangeran demi membantu pekerja tambang bijih besi membuat senjata tajam. Tubuhnya yang kekar menjadi semakin keras. Ia memukul-mukul besi panas hingga dibentuk menjadi pedang kemudian dicelupkan ke air. Begitu pula dengan Putra Mahkota. Ia turun tangan sendiri merekrut para tentara baru. Termasuk ikut serta membantu para tentara baru berlatih kungfu dasar. Hal demikian berlangsung tidak selama satu atau dua bulan. Dan kini sudah memasuki bulan ketiga para suami jauh dari istrinya demi menunaikan tugas negara. Di dalam istana para istri terus mendoakan kebaikan untuk suaminya termasuk Bai Jing juga Su Yin. Permaisuri Yin bersungguh-sungguh dalam merajut. Ia membuat pola rajutan naga memeluk bulan dengan benang perak yang amat sangat indah. Saking rumitnya rajutan itu, baru bisa selesai pada bulan ketiga dan tak terhitung sudah berapa banyak jarum yang menusuk tangannya.
Aligur mengobati luka di betis Tugur dengan darah segar. Tugur menutup mata karena menahan pedih di kaki. Dengan beberapa kali pengobatan luka itu tertutup sempurna juga. “Wanita itu memang malaikat maut,” ucap Aligur sembari membasuh keringat yang bercucuran. “Seharusnya kita bunuh dulu wanita itu baru bisa menyerang istana dengan mudah,” sahut Tugur. “Tapi wanita itu bukanlah tujuan utama kita, Tuan.” “Aku tahu, tapi dia penghalang yang mematikan.” “Tidak juga!” “Maksudmu?” “Tidak lama lagi dia akan meninggalkan istana, setelah itu Tuan bisa melancarkan aksi. Enam bulan lagi anakmu akan lahir, Tuan. Dia akan menjadi penerus takhta Tang yang agung, anakmu akan jadi raja di generasi berikutnya,” bisik Aligur. “Selama enam bulan itu aku harus tetap bersabar, bukan?” “Benar, Tuan, tapi jika diperbolehkan aku ingin melakukan balas dendam, bukan pada wanita itu tapi untuk orang lain. Untuk memuluskan takhta anakmu nanti, kita harus membuat istana dalam keadaan huru-hara.” “Renca