“Paracetamol, ibuprofen, antibiotik, anestesi, ah, aku membutuhkan semua itu,” gumam Su Yin ketika denyut luka dalam dadanya semakin terasa. Ru Yi tahu wanita yang ia selamatkan tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum menemukan obat-obatan yang dibutuhkan. Namun, ia juga bukan tabib yang mendapat mandat dari Kementrian Kesehatan untuk menyembuhkan orang. “Aiiiyah, cucuku, tidak bisakah kau menolongnya?” Guanin juga gusar. Sesekali ia sentuh dahi Su Yin dan wanita itu demam tinggi. “Bisa, Nek, tapi obat-obatannya tidak ada. Banyak yang harus dibeli untuk menyembuhkan luka dalamnya.” “Perlu uang banyak tidak?” tanya Guaning. “Hmm, aku akan membeli sulfur untuk membiusnya dulu, lalu aku akan ke kota untuk mencari jarum dan benang sutra guna menjahit lukanya.” “Tidak ditolong kasihab, ditolong juga aku …” Walau dengan rasa ragu, akhirnya Guaning membuka kotak penyimpanan uang satu-satunya. “Jangan, Nek, itu, kan harta berharga simpanan Nenek.” Ru Yi tak mau neneknya berkorban untuk s
Ru Yi membuat Su Yin tertidur dengan obat bius yang ia beli di apotek pusat kota. Perlahan-lahan mata sang permaisuri tertutup dan tak ada pergerakan sama sekali. Setelah itu Ru Yi baru berani mengambil tindakan tertentu. Gadis yang usianya lebih tua daripada permaisuri mulai menjahit luka di bagian dada. Kemudian lanjut memberikan salep dan menutup jahitan dengan menggunakan kasa bersih. Setelahnya Su Yin dibiarkan tertidur tanpa adanya infus. Sebab di zaman Dinasti Tang cairan infus belum ditemukan. Siang hari ketika matahari sudah sudah tinggi, Su Yin pun siuman. Ia merasa sudah membaik dari hari-hari biasanya. Baju lapis luarnya terjatuh ketika ia mencoba duduk. “Eh, ini ada benang jahit, berarti ada jarumnya juga?” Sang permaisuri meraba dadanya yang ditutup kasa, ia lihat jahitannya cukup rapi. “Berarti medis Dinasti Tang cukup baik, tapi kenapa saat di istana aku tidak mendapat perawatan yang cukup.” Su Yin memandang tangannya yang ada bekas luka besar. Oleh Ru Yi luka itu d
Rombongan Suku Bintang dari Pegunungan Utara meninggalkan Chang An ketika sudah puas jalan-jalan. Mereka melewati lagi wilayah tempat perburuan beberapa hari yang lalu. “Berhenti!” ucap Yun Zi tiba-tiba saja. “Istriku, kenapa? Apa masih ada benda yang ingin kau beli?” Ba Luo menarik tali kekang kudanya. “Kita ke sana!” tunjuk Yun Zi. “Ke mana? Untuk apa?” Yun Zi tak menjawab pertanyaan suaminya. Anak ketua suku itu terus melajukan kudanya hingga sampai di depan rumah Guaning. “Di sini tidak ada apa-apa, istriku?” “Ada, tempat ini ditutup kabut sihir. Karena itu pencarian Permaisuri Yin tidak juga ketemu sampai sekarang.” Yun Zi menutup mata dan menyatukan dua tangan di dada. Beberapa saat lamanya ia membaca mantra dan terhapus sudah sihir yang menutupi rumah Guaning.Yun Zi dan Ba Luo mengetuk perlahan pintu rumah itu sebab hari masih pagi. Guaning menyambut tamu dan bertanya siapa dan ada perlu apa. “Dari beberapa hari yang lalu ada saja orang aneh yang lewat.” Guaning memand
Menteri Urusan Kesejahteraan Rakyat meminta izin untuk menghadap Pangeran Kedua. Desas-desus tentang hilangnya permaisuri semakin beredar kencang. Lelaki itu tak bisa tinggal diam, sebab selain kasihan saat dulu A Yin dihukum mati, sang menteri juga masih punya hubungan kerabat jauh dengan orang tau A Yin dulunya. “Katakan, aku tak punya banyak waktu.” Li Wei berencana turun tangan sendiri mencari A Yin. Sudah terlalu lama menunggu. Bahkan pasukan elite diturunkan tapi tetap tak ada hasil. “Hamba akan memerintahkan pasukan pribadi hamba untuk mencari Permaisuri,” jawab Menteri Du Sui. “Jadi, kau sudah tahu?” “Seluruh istana sudah tahu, Pangeran.” “Berarti Kaisar sudah tahu?” “Tentu, menurut perhitungan hamba demikian.” “Kira-kira langkah apa yang akan diambil ayahku andaikata istriku tidak juga ditemukan? Kau sudah lama mendampingi Kaisar, tentu tahu tabiatnya bagaimana?” Li Wei melipat tangannya di bagian belakang. Ia berjalan mendekati Menteri Du beberapa langkah. “Dalam ha
12 pasukan elite bersama Xu Chan terus mencari di mana keberadaan permaisuri. Awalnya mereka masih mencari di sekitar tanah rumah Guaning. Namun, akibat tertutup sihir dan Su Yin tidak keluar rumah maka dari itu mereka memutuskan untuk mencari di tempat lain. Xu Chan agak tidak terima, tapi ia tak bisa berbuat lain karena tak memiliki kemampuan menunggang kuda atau mencari jejak. Tetapi firasatnya mengatakan bahwa tuannya tak terlalu jauh dari rumah di pinggir sungai itu. “Cepat naik,” ucap salah satu pasukan elite pada Xu Chan. “Eh, aku akan kembali ke istana, kalian pergi saja dulu,” jawab pelayan polos itu penuh kebohongan. Ketika melihat para pasukan sudah jauh dengan kuda yang berlari kencang, Xu Chan pun kembali ke tempat awal mula mereka mencari sang permaisuri. “Nyonya, aku yakin kau tak jauh dari sana, aku yakin sekali.” Xu Chan berjalan dengan langkah cepat. Di depan sana ada jembatan kayu yang beberapa hari lalu masih bagus. Namun, ulah orang-orang Menteri Huang yang
“Xu Chan!” pedang Su Yin jatuh dari tangannya. Beberapa anak panah tepat mengenai tubuh pelayannya. Gadis polos itu sok berani dan mendorong sang permaisuri hingga diri sendiri pun jadi sasaran anak panah. Jelas saja darah membanjiri baju tipis seorang pelayan dan karena tak tahan luka yang begitu dalam bibir Xu Chan memuntahkan darah. “Bodoh! Kenapa kau harus mati demi aku.” Su Yin menegakkan tubuh Xu Chan dalam pangkuannya. Tangan pelayan itu berlumuran darah dan dipegang oleh sang permaisuri. “Jangan banyak bicara, darahmu semakin banyak mengalir. Ru Yi mana, Ru Yiii, Ru Yiii.” Saking gugupnya Su Yin lupa bahwa diri sendiri adalah dokter. Tetapi ia tak bawa perlengkapan medis sama sekali. “Nyonya,” ucap Xu Chan terbata-bata. “Lari, pergi!” Darah muncrat lagi dari bibir pelayan tersebut.“Ayo kita lari sama-sama.” Sekuat tenaga polisi wanita itu mengangkat tubuh Xu Chan, tapi yang diangkat ternyata tak sanggup untuk berbuat apa-apa lagi. Ditambah orang Menteri Huang kini semak
Shen Du yakin bahwa Su Yin akan bertahan sekuat tenaga demi kehidupannya. Jujur ia merasa sedikit bersalah dengan gegernya berita sang permaisuri menghilang. Ditambah Gui Mama datang beberapa kali dan meminta kepastian apakah Permaisuri Yin benar-benar telah tewas. “Aku tidak tahu pasti, jadi lebih baik aku cari tahu. Hanya saja jika permasuri benar tewas, engkau pasti bisa merasuki tubuh aslimu,” ucap Shen Du di depan arwah A Yin yang asli. Lelaki yang pada hari itu menggunakan pakaian serba hitam dan ikat kepala putih, kemudian bersila di depan altar dan patung dewa. Ia merapatkan kedua tangan dan membaca mantera. Tak lama setelah itu arwahnya keluar dan terbang meninggalkan istana menuju satu tempat di mana Su Yin sedang tergeletak dan diperiksa oleh tabib. Memanfaatkan keadaan, Shen Du memasuki tubuh tabib itu tanpa mengganggu arwah sang pemilik. “Bagaimana, apa istriku baik-baik saja?” tanya Pangeran Kedua. “Selain luka goresan pedang di tangan dan kaki, selebihnya Permaisu
Su Yin menghidupkan dupa dan mendoakan Xu Chan dengan tulus. Setelah itu ia tancapkan tiga buah dupa itu di depan papan nama sang pelayan yang begitu setia padanya. Tidak luput juga beberapa makanana sebagai sesajian, ada bakpao kacang hijau yang sangat disukai Xu Chan. “Bahkan di masa depan kau juga mati mengenaskan, mengapa kau selalu mengulang kesalahan yang sama?” Su Yin menatap papan nama di depannya. Li Wei dan beberapa pengawal mendampingi sang permaisuri agar tidak kecolongan lagi. “Sudah cukup lama kau berdoa, tubuhmu belum terlalu pulih dan udara sangat dingin, ayo kita kembali ke kamar.” Pangeran Kedua memberikan mantel untuk Permaisuri Yin. “Iya, huuuft.” Su Yin sedikit menggigil. Sebelum meninggalkan kuburan ia menoleh sekali lagi dan Xu Chan tak akan pernah bertemu lagi dengannya di masa lalu. Mereka berdua masuk ke kamar. Su Yin duduk diam tanpa tahu harus berkata apa dan melakukan apa. Walau sejujurya ia takut Li Wei akan macam-macam dengannya. Benar dia belum sia
“Aku tidak butuh uang, tapi aku butuh tubuhmu.” Dugur muncul tiba-tiba saja dari belakang. Su Yin menoleh dan ia terkejut lalu sontak mundur beberapa langkah. “Besar sekali, ini orang atau raksasa?” gumam Su Yin dengan bibir mengeluarkan asap. “Bagaimana?” Dugur mengulurkan tangan dan berusaha membantu Su Yin berdiri, tapi permaisuri dengan mata jernih itu menolaknya. “Setelah kau membunuh Li Wei kau boleh membunuhku kalau memang itu yang membuatmu puas. Aku tidak akan menjual tubuhku dengan siapapun.” “Sombong. Di desaku banyak wanita yang mendamba untuk tidur dan punya anak dariku.” “Desamu berisi wanita-wanita tidak waras.” Su Yin berdiri dan ia meraih belati giok di pingganngnya. Dengan cepat ia melompat dan memotong tali temali yang menjerat pangeran kedua. Dugur melihatnya sambil tersenyum. Tali terpotong dan Su Yin mendekati suaminya. “Kita pergi dari sini, ayo.” Su Yin menarik Li Wei tapi lelaki itu diam mematung. “Sayang, kau kenapa?” Permaisuri keheranan. “Ha ha ha,
Su Yin berlatih pedang bersama An Mama di teras istana bulan. Polisi wanita itu melakukan kegiatan ekstra agar tubuhnya tak membeku diterjang cuaca dingin dari pegunungan. Kali ini ia dibimbing langsung oleh sang guru yang merupakan pelatih para pangeran. Dari pagi sampai beranjak siang hari Permaisuri Yin tidak menghentikan latihannya. Hingga kini ia menggunakan dua pedang di tangannya dan melakukan gerakan cepat melompat serta berguling di lantai. “Cukup, Nyonya, istitrahatkan tubuhmu.” An Mama memegang bahu Su Yin yang hampir menghantam tiang. “Ah, iya, aku juga sudah sangat lelah.” Permaisuri Yin memberikan pedangnya pada salah satu pasukan elite yang berlatih. Setelah selesai ia masuk ke dalam kamar sendirian dan di sana telah tersedia makanan yang dibawa para pelayan. Li Wei belum juga kembali sejak tiga hari yang lalu. Su Yin hanya mendapat kabar kalau pangeran baik-baik saja dan sedang menyusuri pegunungan untuk mencari tempat persembunyian Dugur. “Andai ini terjadi di k
Dugur dan Tugur merupakan saudara kandung. Di mana Tugur adalah kakak pertama. Mereka memiliki adik perempuan yang tak kalah bengis dan sadis sama seperti serigala. Ketiga saudara itu merupakan abdi setia dari Raja dari desa bebatuan bernama Bae Yung yang usianya telah menembus 200 tahun. Kali ini tiga saudara itu berbagi tugas. Yigur—bungsu perempuan melatih armada angkatan laut agar lebih kuat. Tugur menguasai kota Chang An dari dalam dan Dugur akan menghancurkan suku bintang yang diketahui menjalin perjanjian damai dengan Chang An. Dugur sudah lama tiba di Pegunungan Utara dan membuat rumah di dekat gunung. Ia tahan dingin karena tubuhnya berdarah panas seperti serigala. Selama ini lelaki dengan tubuh tambun dan kekar itu menunggu saat yang tepat dan ketika Li Wei datang, maka waktu itu telah tiba. Hanya saja Dugur salah perhitungan. Disangkanya Pangeran Kedua datang sendiri dan tak membawa sekutu yang hebat. Nyatanya sang pangeran datang bersama pasukan terbaik yang tidak dib
Su Yin membuka mata sambil menghembuskan napas dengan kuat. Di depannya sudah ada Li Wei yang duduk dan menatapnya begitu intens. “Bukannya tadi aku …” Su Yin mengingat kejadian yang belum lama berlalu. “Kau tidur di dekat kolam sambil memegang gelang. Kenapa tidur di sana, kita diberikan ranjang?” tanya Pangeran Kedua sambil membantu permaisuri duduk. “Aku tidak tidur.” “Dan?” “Ada yang masuk ke dalam kamarku, ada darah menetes di lantai mungkin masih ada jejaknya, dan tadi ak—” “Tidak ada jejak darah di lantai sama sekali, mungkin kau kelelahan.” “Kau mulai tidak percaya denganku.” Permaisuri balas menatap pangeran lebih dalam. “Kalau tahu di luar banyak kejadian aneh, tahu begini kau tidak akan kubawa.” “Kau pikir kalau di istana aku aman? Kau pikir selir agung tidak akan mencoba membunuhku, belum menteri lain yang tiba-tiba tidak suka denganku.” “Besok, kau bersama setengah pasukan elite akan aku kirim kembali ke istana.” “Aku tidak mau!” “Ini perintah!” Li Wei mengera
“Sayang, ayolah, jangan marah lagi. Aku kemarin hanya bercanda.” Li Wei membujuk permaisuri yang masih cemberut dan merengut sejak tadi malam. Saat mandi, saat makan, saat pakai baju sama saja bentuk wajahnya ditekuk terus. “Aku tak percaya denganmu, lihat tari perut saja bisa lupa diri apalagi kalau perempuan buka baju di depanmu.” Su Yin masih menghindari Li Wei. Dua orang itu sedang jalan santai di sepanjang pemukiman suku bintang. An Mama mengikuti dari belakang sambil memantau keamanan. “Kalau mau dari dulu sudah aku lakukan, untuk apa sembunyi-sembunyi darimu.” Pangeran Kedua menyentuh bahu permaisuri, tapi ditepis lagi. “Kenapa aku jadi cemburuan begini, ya? Gawat. Nanti saat kembali ke masa depan bisa-bisa aku labil dan mengganggu tugasku,” guman Su Yin ketika berjalan tak tentu arah. “Sayang, kau mau ke mana?” “Ke sana.” Usai menjawab, dokter forensik itu berlari tanpa arah yang jelas. Li Wei menyusul dengan cepat. “Mereka berdua seperti anak kecil saja. Apa tidak paha
“Hei, duduk, kau bikin malu saja.” Li Wei menarik tangan istrinya yang bersorak-sorak bergembira melihat pertunjukan lelaki kekar di depannya. “Lepas, jarang-jarang aku melihat seperti ini.” Su Yin tak mau dilarang. Kapan lagi bisa melihat pemandangan indah seperti sekarang. “Memang lelaki saja yang butuh banyak perempuan cantik,” gumamnya sambil suit suiiit. Semakin meriah pesta dengan ketukan gendang dan tarian pedang dari para lelaki. “Waaah, perutnya ada kotak-kotak delapan, eight pack, langka, sisiwiiiwiiiit.” Tingkah Su Yin membuat Li Wei memejamkan mata dan Ana Mama menahan senyuman sesaat. Ya, memang perempuan juga butuh hiburan tapi jangan terlalu terang-terangan juga memuji di depan suaminya. “Perut kotak-kotak begitu aku juga punya, perlu aku bukan baju di sini?”“Jangan, bikin malu saja nanti,” sahut permaisuri. “Heeh, kau yang bikin malu dari tadi. Lihat perempuan lain duduk manis, kau seperti cacing kepanasan.” “Pangeran, biarkan Permaisuri bahagia. Mungkin dia beta
“Ayo turun, kita sudah sampai.” Li Wei melompat dari kuda terlebih dahulu lalu menyambut turun Su Yin dari kereta. Mereka semua termasuk para pelayan menggunakan mantel bulu tebal karena udara di Pegunungan Utara sangat dingin daripada biasanya. “Waaah, tanpa salju saja aku sudah hampir membeku.” Sang permaisuri memeluk dirinya sendiri. Asap dari bibirnya keluar dan gigi nyaris gemeratakan. “Tenang saja nanti aku peluk kau sepanjang hari agar tak kendinginan.” Pangeran Kedua mengedipkan sebelah matanya. “Gayamu, baru buka baju saja sudah beku kulit duluan.” Hampir Su Yin tak tahan dingin kalau tak menggunakan mantel tebal sebanyak dua lapis. Tak lama kemudian para penjaga yang berasal dari Suku Bintang datang meyambut rombongan Pangeran Kedua. Mereka mempersilakan Li Wei dan Su Yin untuk bertemu dengan kepala suku. Yun Chi adalah nama ketua suku sekaligus ayah dari Yun Zi. “Kami memeri hormat pada Pangeran Kedua sekaligus Permaisuri Yin selaku utusan dari Chang An.” Yun Chi mem
Selir Agung sedang minum teh di pagi hari yang cerah. Secerah senyumnya dibalut gincu merah merekah. Lalu Gui Mama datang mendekat dan berbisik padanya. “Hamba sudah mengirim orang untuk membunuh Pangeran Kedua di perjalanan.” Kata demi kata menyeramkan terucap dengan senyuman gigi emas Gui Mama. “Bagus, penghambat takhta putraku harus segera dibasmi. Yang berani melawanku akan mati.” Ming Hua menghabiskan teh dan menikmati sarapan yang lezat di atas meja. Setelah itu ia pun berjalan mengelilingi taman yang indah, kemudian lanjut mengunjungi istana naga emas. Begitu terus yang Selir Agung lakukan dalam satu minggu terakhir. Hingga pada suatu hari ia melihat putra dan menantunya tak saling bertegur sapa di meja makan. “Kalian baik-baik saja?” tanya Selir Agung. Baik Putra Mahkota dan permaisurinya mengangguk saja. Kejadian malam tadi benar-benar mengguncang kesadaran dan kesabaran keduanya. “Aneh sekali, biasanya Bai Jing sangat murah senyum,” gumam Ming Hua sambil memindahkan ma
Putra Mahkota pergi ke kuil yang berada dalam naungan Departemen Sihir dan Perbintangan. Ia sedang galau luar biasa. Istrinya diam seribu bahasa dan ibunya pun akhir-akhir ini senang menyendiri. Tak ada yang tahu apa isi wanita. Ditambah Li Zu Min masih terbeban dengan permintaan Li Wei. “Sepertinya Pangeran punya banyak sekali beban hidup.” Shen Du menyalakan dupa dan memberikan pada Putra Mahkota. “Aku merasa kesialan menerpaku bertubi-tubi, meski tidak ada yang bicara terang-terangan di depanku, tapi aku tahu mereka bilang kalau ini karma ibu.” Li Zu Min melakukan persembahayangan dengan sungguh-sungguh kali ini. “Tenangkan hatimu, Pangeran, sebisa mungkin kita harus mencegah terjadinya peristiwa bulan purnama berdarah.” “Itu juga yang mengganggu isi hatiku. Belum ada keanehan yang aku temui sejak beberapa hari yang lalu. Semua pelayan terlihat biasa-biasa saja di depanku, tapi …” “Tapi apa, Pangeran.” “Salah satu pelayan ibuku menghilang dan tidak ada jejaknya sama sekali.