Suasana di desa Kendalrejo berubah menjadi mengerikan, ratusan mayat hidup mengepung Kyai Rangga dan rombongannya.“Ayo kita pergi!” perintah Kyai Rangga sambil mencabut pedangnya dan menebas Suro yang ada di depannya.“Argh!” Suro berteriak keras dan jatuh telentang.Kyai Rangga memimpin pasukannya menyerbu ke arah barisan mayat hidup itu untuk membuka jalan. Tebasan pedang dari Kyai Rangga dan pasukannya membuat gerombolan mayat hidup itu jatuh bergelimpangan. Tetapi begitu menyentuh tanah mereka kembali berdiri, walau dengan kepala, tangan dan kaki telah terpisah dari badan.Beberapa mayat hidup memegang dan menarik seorang prajurit Kyai Rangga. Dengan sigap prajurit itu menebas tangan mayat hidup yang memegangnya, hingga terputus dan terlempar ke udara. Tetapi potongan tangan yang terlempar itu ternyata tepat mengenai kepala seorang prajurit Tegal lainnya. Tangan itu tetap bergerak hendak mencekik prajurit itu.“Hi
Tegal. Tengah malam. Adijaya dan rombongannya segera meninggalkan rumah pedagang ikan untuk kembali ke kadipaten Tegal, setelah membersihkan sisa-sisa pertempuran. Mayat-mayat di letakkan ke dalam pedati, jumlahnya puluhan. Membutuhkan lima pedati untuk mengangkut semua mayat-mayat itu. Rombongan itu berangkat dengan cepat menuju kadipaten.Adijaya, Lembu Sora, Bhre Wiraguna, dan Arya Tejawungu berkuda beriringan di depan rombongan, diikuti oleh lima pedati dan di belakang para prajurit Tegal mengawal barisan.“Apakah mayat-mayat itu akan kita bawa ke kadipaten?” tanya Lembu Sora.“Tidak, kita akan bakar mayat-mayat itu di hutan terdekat!” jawab Adijaya.“Mengapa tidak kita buang ke sungai saja?” tanya Lembu Sora lagi.“Itu akan menimbulkan masalah baru. Mayat-mayat itu akan terapung ribuan kilometer, akan menimbulkan kehebohan di penduduk sekitar sungai. Musuh akan segera tahu bahwa pasukan khususnya telah kita bantai,” jawab Adijaya sambil mengendalikan kudanya.“Masalahnya apa kala
Tegal. Hutan tempat pembakaran mayat. Lewat tengah malam. Asap masih mengepul di tempat pembakaran mayat. Bara api masih menyala di beberapa titik. Mayat-mayat yang dibakar sudah jadi abu. Dari dalam tumpukan abu, tampak cairan hijau lengket di atas tanah. Cairan hijau itu menetes dari bekas mayat yang terbakar dan dari kayu yang terbakar. Ketika jatuh di tanah cairan hijau itu bergerak mencari tempat yang rendah. Tetesan-tetesan cairan hijau semakin banyak dan berkumpul menjadi satu, semakin lama semakin banyak dan menjadi sebuah kubangan cairan hijau lengket. Rupanya seluruh pasukan khusus yang telah menjadi mayat itu telah disuntik dengan serum kehidupan. Akibat terbakar, maka serum kehidupan itu mengalir keluar dari mayat-mayat pasukan khusus itu.Cairan hijau itu bergerak-gerak berkumpul menjadi satu kubangan yang besar. Kubangan itu kemudian bergerak ke atas membentuk sesosok tubuh manusia. Lengkap dengan kepala, tubuh, tangan, dan kaki. Cairan itu membentuk sosok hijau berukura
Tegal. Pagi hari. Dua hari setelah Kyai Rangga menghadap Tumenggung Bahurekso. Persiapan besar-besaran sedang dilakukan di kadipaten Tegal. Ratusan sapi ternak dari berbagai daerah dikumpulkan di alun-alun kadipaten Tegal. Alun-alun itu tampak seperti pasar hewan. Suara riuh sapi dan orang-orang bercampur jadi satu. Sapi-sapi itu disiapkan untuk perbekalan penyerangan ke Batavia. Mereka akan dikirim ke sepanjang jalur penyerangan ke Batavia dan ke pelabuhan Sunda Kelapa di Batavia. Sapi-sapi itu bersama puluhan juru masak akan segera berangkat naik kapal.Kyai Rangga sendiri yang memimpin pasukan pembawa perbekalan itu. Mereka akan menuju ke pelabuhan Tegal dan akan menaikkan sapi-sapi itu ke dalam kapal yang sudah siap di pelabuhan Tegal. Kyai Rangga akan didampingi oleh Lembu Sora, Bhre Wiraguna, dan Arya Tejawungu. Sementara itu Adijaya ditugaskan untuk menjaga keamanan di kadipaten Tegal selama Kyai Rangga bertugas.Kyai Rangga sudah menaiki kuda putihnya, siap unt
Pagi hari. Pelabuhan Tegal. Rombongan sapi yang dibawa oleh Kyai Rangga perlahan-lahan memasuki kawasan pelabuhan. Sebuah kapal besar sudah siap untuk mengangkut rombongan sapi-sapi itu. Beberapa awak kapal tampak sibuk menyiapkan jalan bagi sapi-sapi itu untuk naik ke kapal.Pada saat itulah terjadi keributan di bagian belakang.“Harrrgh!!” terdengar suara Goro dari arah belakang.Goro menangkap seekor sapi, memegang leher sapi dengan kuat. Sapi itu meronta-ronta berusaha melepasakan diri dari cengkeraman Goro yang kuat. Goro terus menekan tangannya ke leher sapi itu, dengan sebuah gerakan memuntir, sapi itu tewas seketika dengan lenguhan panjang. Goro segera menarik kepala sapi hingga lepas dari badannya. mencabik-cabiknya dan memakannya dengan lahap. Darah segera segera menetes di sekitarnya. Mulut Goro penuh dengan daging sapi yang baru dibunuhnya.Para prajurit segera bergerak untuk mengepung Goro. Tetapi Goro tidak peduli, dia teru
Kapal yang dinaiki rombongan Kyai Rangga perlahan meninggalkan pelabuhan Tegal berlayar mengarungi lautan menyusuri pulau Jawa. Nakhoda kapal itu adalah seorang pelaut berpengalaman sekaligus prajurit kadipaten Tegal, Tirto Husodo. Dia sudah berpengalaman ikut kerajaan Mataram dalam penaklukan Soerabaia. Kyai Rangga sudah mengetahui betul kemampuan Tirto, sehingga Tirto dipercaya untuk menjadi nakhoda dalam perjalanan menuju Batavia. Sedangkan sebagai kapten kapal adalah Martapura, seorang prajurit Tegal yang juga berpengalaman dalam perang Soerabaia. Kapal yang digunakan untuk membawa perbekalan ini adalah kapal milik kadipaten Tegal sendiri. Kapal yang diberi nama Singaparna itu berwana kecoklatan, terdapat patung singa di bagian depan kapal.Kyai Rangga menghampiri Tirto yang sedang mengemudikan kapal. Di samping Tirto ada Martapura yang sedang mengawasi lautan, memastikan kondisi di depan aman dari perompak atau bajak laut.“Oh, kanjeng Tumenggung,” sapa Martapura saat melihat ked
Laut utara Jawa. Siang hari. Tembakan peluru dari meriam Kyai Guntur Geni tepat mengenai lambung kapal bajak laut. Kapal bajak laut bergetar, kemudian menahan lajunya untuk mendekati kapal Singaparna. Mereka sama sekali tidak menduga kalau kapal Singaparna dipersenjatai dengan meriam. Terjadi kepanikan di kapal bajak laut, beberapa orang segera menambal lubang yang ditimbulkan serangan meriam itu.“Siapkan peluru lagi!” perintah Bhre Wiraguna.Seorang prajurit segera mengambil peluru bola batu dan memasukkannya ke dalam meriam.“Arahkan ke tiang layar!” perintah Bhre Wiraguna sambil menunjuk ke tiang layar di atas kapal bajak laut.Seorang prajurit mengarahkan meriam dan membidik tiang layar di kapal bajak laut.“Tembak!!” perintah Bhre Wiraguna menggema.Blaarrr!! Suara Kyai Guntur Geni menggelegar di udara. Peluru batu melesat di udara, menuju ke kapal bajak laut tepat mengenai tiang layar kapal bajak laut. Krraakk!!! Tiang layar patah, layarnya jatuh di atas geladak menimpa para ba
Pendopo kadipaten Jatibarang. Siang hari. Tampak ratusan pasukan Jatibarang dibawah pimpinan Suta berbaris dengan rapi dengan senjata lengkap. Tumenggung Jatibarang bersama Sarip, Wariman, dan Lasmini berada di depan pasukan itu. Mereka akan berangkat menuju Cirebon, bergabung dengan pasukan Mataram yang ada di Cirebon untuk berangkat menyerang Batavia.“Bagaimana persiapan pasukan?” tanya Tumenggung Jatibarang pada Suta selaku pimpinan tertinggi pasukan perang Jatibarang.“Semua sudah siap, sejak kita berhasil merebut kembali Jatibarang, pasukan sudah berlatih untuk persiapan perang ke Batavia,” kata Suta sambil melihat ke arah prajurit yang berbaris dengan rapi.“Bagus, sebentar lagi kita akan berangkat ke Cirebon,” kata Jaya Wisesa atau Tumenggung Jatibarang.“Mengapa harus ke Cirebon?” tanya Sarip penasaran.“Jatibarang tidak punya kapal sendiri, jadi kita akan naik kapal milik Cirebon, dan juga menunggu datangnya kapal dari Tegal,” jelas Tumenggung Jatibarang.“Hmm, Tegal, Kyai R
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a