Laut utara Jawa. Siang hari. Tembakan peluru dari meriam Kyai Guntur Geni tepat mengenai lambung kapal bajak laut. Kapal bajak laut bergetar, kemudian menahan lajunya untuk mendekati kapal Singaparna. Mereka sama sekali tidak menduga kalau kapal Singaparna dipersenjatai dengan meriam. Terjadi kepanikan di kapal bajak laut, beberapa orang segera menambal lubang yang ditimbulkan serangan meriam itu.“Siapkan peluru lagi!” perintah Bhre Wiraguna.Seorang prajurit segera mengambil peluru bola batu dan memasukkannya ke dalam meriam.“Arahkan ke tiang layar!” perintah Bhre Wiraguna sambil menunjuk ke tiang layar di atas kapal bajak laut.Seorang prajurit mengarahkan meriam dan membidik tiang layar di kapal bajak laut.“Tembak!!” perintah Bhre Wiraguna menggema.Blaarrr!! Suara Kyai Guntur Geni menggelegar di udara. Peluru batu melesat di udara, menuju ke kapal bajak laut tepat mengenai tiang layar kapal bajak laut. Krraakk!!! Tiang layar patah, layarnya jatuh di atas geladak menimpa para ba
Pendopo kadipaten Jatibarang. Siang hari. Tampak ratusan pasukan Jatibarang dibawah pimpinan Suta berbaris dengan rapi dengan senjata lengkap. Tumenggung Jatibarang bersama Sarip, Wariman, dan Lasmini berada di depan pasukan itu. Mereka akan berangkat menuju Cirebon, bergabung dengan pasukan Mataram yang ada di Cirebon untuk berangkat menyerang Batavia.“Bagaimana persiapan pasukan?” tanya Tumenggung Jatibarang pada Suta selaku pimpinan tertinggi pasukan perang Jatibarang.“Semua sudah siap, sejak kita berhasil merebut kembali Jatibarang, pasukan sudah berlatih untuk persiapan perang ke Batavia,” kata Suta sambil melihat ke arah prajurit yang berbaris dengan rapi.“Bagus, sebentar lagi kita akan berangkat ke Cirebon,” kata Jaya Wisesa atau Tumenggung Jatibarang.“Mengapa harus ke Cirebon?” tanya Sarip penasaran.“Jatibarang tidak punya kapal sendiri, jadi kita akan naik kapal milik Cirebon, dan juga menunggu datangnya kapal dari Tegal,” jelas Tumenggung Jatibarang.“Hmm, Tegal, Kyai R
Pasukan Jatibarang bergerak menuju ke pelabuhan Cirebon. Tumenggung Jatibarang memimpin barisan didampingi oleh Sarip dan Lasmini yang sedang berbahagia. Mereka berkuda melintasi jalan di pantai utara pulau Jawa. Selama dua jam melakukan perjalanan dan beberapa kali istirahat, sampailah mereka di Cirebon. Rombongan dari Jatibarang disambut oleh Narapaksa, panglima perang Cirebon.“Selamat datang Kanda Jaya Wisesa,” kata Narapaksa menyambut kedatangan Tumenggung Jatibarang dan rombongan.“Mari kita ke tempat peristirahatan dulu di dekat pelabuhan Muara Jati,” kata Narapaksa.Mereka kemudian menuju ke sebuah bangunan darurat yang disiapkan di dekat pelabuhan Cirebon. Bangunan terbuat dari kayu itu cukup besar dan dapat menampung 50 orang. Beberapa orang pelayan wanita segera menghidangkan makanan dan minuman ketika Tumenggung Jatibarang, Sarip, Lasmini, Suta, dan Wariman sudah duduk di ruangan dalam bangunan itu. Sementara itu ratusan prajurit yang lain dipersilakan istirahat tak jauh d
Atap yang roboh dari bangunan darurat tempat Tumenggung Jatibarang berteduh membuat kepanikan para prajurit Jatibarang. Mereka segera berlari menembus hujan untuk menolong Tumenggung Jatibarang dan rombongannya. Tetapi mereka seperti terhalang oleh angin kencang dan lapisan air hujan yang membentuk tembok air. Mereka berusaha menembus dengan sekuat tenaga, tetapi tidak bisa, air hujan dan angin membuat mereka terpaksa mundur. Mereka masih terus mencoba tetapi air hujan yang sangat lebat seperti membuat tembok yang mengelilingi bangunan darurat sehingga para prajurit tidak dapat mendekat bangunan darurat.Sementara itu tidak tampak ada tanda-tanda gerakan di bangunan darurat yang runtuh. Hanya terdengar suara angin yang menderu dan air yang ditumpahkan dari langit. Braakkk!! Terdengar suara keras dari bangunan darurat diikuti oleh serpihan-serpihan kayu yang terlempar ke udara. Tumenggung Jatibarang muncul dari reruntuhan bangunan darurat itu dengan tangan mengepal ke udara, d
Di tengah laut. Dekat pantai Cirebon. Kapal Singaparna yang ditumpangi Kyai Rangga dan rombongannya menunggu untuk dapat berlabuh. Angin kencang, dibarengi dengan hujan deras dan laut yang bergelombang membuat mereka harus menunggu untuk dapat merapat di dermaga. Layar diturunkan agar angin tidak membawa membawa kapal itu kembali ke tengah laut. Jangkar-jangkar juga diturunkan, untuk menjaga kapal tetap pada posisinya. Sebagian prajurit masuk berlindung ke dalam kabin. Sementara jurumudi tetap berada di posisinya menjaga haluan kapal. Dari tempat yang terlindung dari air hujan, Kyai Rangga, Bhre Wiraguna, Lembu Sora, Arya Tejawungu, dan Martapura menunggu serta melihat keadaan di pelabuhan. “Apakah kalian menyadari ada keanehan pada hujan ini?” tanya Kyai Rangga. “Ya, datangnya tiba-tiba dan sangat deras!” kata Martapura. “Ya, benar,” ujar Bhre Wiraguna. “Coba lihat, hujan yang paling lebat hanya ada di tepi pelabuhan dekat d
Kyai Rangga berlari dan melompat-lompat di atas air dengan cepat. Tak berapa lama sampailah ia di pantai. Kyai Rangga segera menuju ke tempat orang yang mengendalikan air. Di tepi pantai agak jauh dari pelabuhan seorang berpakaian putih-putih tampak duduk bersila. Kedua tangannya membuka, terangkat lurus sejajar dengan bahunya. Kekuatannya menyebabkan air laut terangkat ke angkasa seperti tiang air yang bergerak lurus dan jatuh di bangunan darurat di pelabuhan sebagai air hujan. Seperti yang sudah diduga oleh Kyai Rangga, orang tersebut adalah Bayu Segara dari perguruan Tirto Samudra.Kyai Rangga segera menghampiri Bayu Segara dan melakukan pukulan jarak jauh.“Hentikan!” teriak Kyai Rangga sambil melancarkan pukulan jarak jauh.Pukulan jarak jauh dari Kyai Rangga membuat Bayu Segara terhenyak ke belakang. Air laut yang terangkat ke angkasa mendadak berhenti dan jatuh terhempas ke laut menimbulkan percikan air yang besar. Hujan yang timbul akibat curahan air laut itu juga mendadak ber
Semua yang mengelilingi Bayu Segara menjadi terkejut oleh semburan kubangan air hujan yang bergerak ke atas dengan cepat itu. Beberapa prajurit jatuh terpeleset. Genangan air hujan itu kini bagai tirai tipis yang melindungi tubuh Bayu Segara.“Keparat!” teriak Bhre Wiraguna sambil mencoba menembus tirai air itu untuk menyerang Bayu Segara.Aah! Bhre Wiraguna terpental ke belakang sekitar sepuluh meter saat menabrak tirai air itu. Semua yang melihat menjadi ketakutan dan mundur beberapa langkah.Kyai Rangga segera mengambil ancang-ancang, untuk melakukan pukulan jarak jauh.“Minggir semua!” teriak Kyai Rangga pada orang-orang yang mengeliling Bayu Segara.Orang-orang yang mengelilingi Bayu Segara segera menjauh, mencari tempat yang aman.Kyai Rangga mengeluarkan pukulan jarak jauhnya, menembus tirai air, meninggalkan bekas berbentuk lingkaran dan menghantam Bayu Segara yang berada di tengah tirai air.“Aaa
Kyai Rangga menyatukan kedua telapak tangannya dan menarik nafas panjang. Sebelum gumpalan tanah yang dibuat Lindhu tiba, Kyai Rangga mengarahkan telapak tangannya ke depan. Sebuah cahaya putih melesat dari telapak tangan Kyai Rangga membuat gumpalan tanah itu ambyar di udara, meninggalkan debu di udara. Cahaya putih dari telapak tangan Kyai Rangga terus melaju menghantam Lindhu Purwo, membuatnya terlempar sejauh sepuluh meter.“Aaaagrh!!” teriak Lindhu Purwo yang terlempar dan terjatuh di dekat pantai, hampir tercebur ke air.Kyai Rangga melesat menghampiri Lindhu Purwo dan memberi tendangan yang keras. Lindhu Purwo kembali terlempar sejauh sepuluh meter, kali ini tubuhnya masuk ke dalam laut.Byuur!!! Lindhu Purwo tercebur ke dalam laut, tubuhnya timbul tenggelam terkena ombak laut. Sejurus kemudian Lindhu Purwo sudah tenggelam ke dalam laut. Tetapi tidak sampai satu menit, tiba-tiba air laut naik ke angkasa membawa tubuh Lindhu Purwo yang pingsan dan melemparkannya ke tepi pantai.