Semua yang mengelilingi Bayu Segara menjadi terkejut oleh semburan kubangan air hujan yang bergerak ke atas dengan cepat itu. Beberapa prajurit jatuh terpeleset. Genangan air hujan itu kini bagai tirai tipis yang melindungi tubuh Bayu Segara.“Keparat!” teriak Bhre Wiraguna sambil mencoba menembus tirai air itu untuk menyerang Bayu Segara.Aah! Bhre Wiraguna terpental ke belakang sekitar sepuluh meter saat menabrak tirai air itu. Semua yang melihat menjadi ketakutan dan mundur beberapa langkah.Kyai Rangga segera mengambil ancang-ancang, untuk melakukan pukulan jarak jauh.“Minggir semua!” teriak Kyai Rangga pada orang-orang yang mengeliling Bayu Segara.Orang-orang yang mengelilingi Bayu Segara segera menjauh, mencari tempat yang aman.Kyai Rangga mengeluarkan pukulan jarak jauhnya, menembus tirai air, meninggalkan bekas berbentuk lingkaran dan menghantam Bayu Segara yang berada di tengah tirai air.“Aaa
Kyai Rangga menyatukan kedua telapak tangannya dan menarik nafas panjang. Sebelum gumpalan tanah yang dibuat Lindhu tiba, Kyai Rangga mengarahkan telapak tangannya ke depan. Sebuah cahaya putih melesat dari telapak tangan Kyai Rangga membuat gumpalan tanah itu ambyar di udara, meninggalkan debu di udara. Cahaya putih dari telapak tangan Kyai Rangga terus melaju menghantam Lindhu Purwo, membuatnya terlempar sejauh sepuluh meter.“Aaaagrh!!” teriak Lindhu Purwo yang terlempar dan terjatuh di dekat pantai, hampir tercebur ke air.Kyai Rangga melesat menghampiri Lindhu Purwo dan memberi tendangan yang keras. Lindhu Purwo kembali terlempar sejauh sepuluh meter, kali ini tubuhnya masuk ke dalam laut.Byuur!!! Lindhu Purwo tercebur ke dalam laut, tubuhnya timbul tenggelam terkena ombak laut. Sejurus kemudian Lindhu Purwo sudah tenggelam ke dalam laut. Tetapi tidak sampai satu menit, tiba-tiba air laut naik ke angkasa membawa tubuh Lindhu Purwo yang pingsan dan melemparkannya ke tepi pantai.
Bola api di tangan Agni Wandira berkobar dan berputar-putar di udara di antara kedua telapak tangannya. Agni Wandira menatap tajam pada Kyai Rangga sebelum melontarkan api yang ada di tangannya. Dibarengi dengan sebuah teriakan keras, Agni Wandira melontarkan bola api di tangannya ke arah Kyai Rangga. Bola itu melesat dengan cepat menuju menuju ke arah Kyai Rangga yang diam tidak bergerak sedikitpun.Blaaar!!! Bola api itu menghantam tubuh Kyai Rangga dengan keras dan mengubahnya menjadi serpihan-serpihan api kecil. Kyai Rangga tetap berdiri pada tempatnya tidak kurang suatu apapun. Kyai Rangga mengibas-ngibaskan tanganya untuk membersihkan sisa-sisa bola api yang mengenai tubuhnya.“Wah, luar biasa, ilmu apa itu?” tanya Bhre Wiraguna pada Lembu Sora yang ada di sebelahnya.“Dia pengendali api, bisa mengeluarkan api dan mengendalikannya,” jelas Lembu Sora.“Hmm, hebat, aku juga ingin bisa menguasai ilmu itu,” kata Bhre Wiraguna.“Sepertinya sulit, kamu tidak punya bakat,” ujar Lembu S
Anila mencoba mengendalikan angin yang sudah berubah menjadi tornado api setinggi sepuluh meter. Tetapi gerakan tornado menjadi liar tak terkendali, Anila tidak dapat mengendalikannya lagi. Tornado api itu bergerak liar menuju ke reruntuhan bangunan darurat. Dalam sekejap sisa-sisa bangunan itu ditelan tornado api dan ikut terbakar dan berputar bersama tornado api.“Gawat ayo menyingkir sejauh mungkin!” kata Tumenggung Jatibarang pada semua prajuritnya. “Berlindung-berlindung!” teriak Narapaksa. Bhre Wiraguna dan Lembu Sora yang menyusul Kyai Rangga turun ke pelabuhan menggunakan perahu juga ikut kebingungan menghindari sejauh mungkin tornado api itu. Dengan suara gemuruh yang dahsyat, tornado api itu bergerak menuju ke arah Bayu dan Lindhu yang tengah tergeletak tak berdaya karena telah dilumpuhkan oleh Kyai Rangga. Panas tornado api sudah mencapai Bayu dan Lindhu, keduanya sudah pasrah, siap untuk ditelan tornado api itu. Anila mencob
Kyai Rangga lebih mendekat pada Bayu Segara. Beberapa orang yang ada juga mendekati Bayu Segara. Tumenggung Jatibarang, Sarip, Lasmini, Narapaksa, Bhre Wiraguna, dan Lembu Sora lebih mendekat untuk mendengar lebih jelas keterangan dari Bayu Segara. “Kapan kamu pertama kali bertemu dengannya?” tanya Kyai Rangga. “Satu bulan yang lalu, tepatnya di pantai Sindanglaut,” jawab Bayu. “Apa, pantai Sindanglaut? Mengapa kamu ada di sana? Apa yang kamu kerjakan?” Kyai Rangga keheranan. “Saat itu kami berempat sedang berlatih menggunakan tenaga kami mengendalikan air, api, tanah, dan udara. Tiba-tiba muncul kapal raksasa dari baja, Samiri keluar dari sana dan da
Kyai Rangga memperhatikan Bayu, Anila, Lindhu, dan Agni yang masih saling memandang satu sama lain. Keempatnya masih bingung dan belum bisa mengambil keputusan. Kyai Rangga memberi mereka kesempatan untuk mengambil keputusan. “Aku merasa telah tersesat,” kata Bayu Segara. “Tersesat?” tanya Agni “Ya, untuk apa aku melawan bangsaku sendiri?” tanya Bayu pada dirinya sendiri. “Ya, aku juga merasa yang kulakukan tidak ada gunanya, selain untuk kesenanganku sendiri,” kata Lindhu. “Kita semua hanya mengejar kepuasan dan kesenangan kita sendiri,” kata Anila. “Lalu, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita bergabung dengan Mataram atau bagaimana?” tanya Agni. “Bergabung untuk menyerang Batavia?” tanya Lindhu. “Pilihan kita sekarang hanya dua, melawan mereka atau bergabung dengan mereka,” jawab Agni. “Tidak ada pilihan lainnya?” tanya Lindhu. “Ada juga, tidak bergabung dengan
Pagi hari. Pelabuhan Sunda Kelapa. Batavia. Setelah berlayar selama 2 hari 2 malam, sampailah armada kapal Mataram yang dipimpin Kyai Rangga di Batavia. Mereka hendak mendaratkan perbekalan di pelabuhan. Kyai Rangga memerintahkan ke sepuluh kapal lainnya untuk tetap berada di tengah laut tidak merapat ke pelabuhan. Hanya kapal yang dinaiki Kyai Rangga yang akan bersandar lebih dahulu.Martapura memerintahkan awak kapal untuk menurunkan jangkar. Memasang jembatan menuju ke dermaga. Kyai Rangga bersiap untuk turun, ketika dilihatnya beberapa orang prajurit VOC mendekati kapal.“Ada pasukan VOC, mau apa mereka?” tanya Martapura.“Mungkin akan memeriksa, aku akan turun saja,” kata Kyai Rangga sambil melangkah turun dari kapal.“Apakah perlu pengawalan prajurit?” tanya Martapura.“Tidak perlu, akan kuhadapi sendiri, mereka hanya menjalankan tugas,” kata Kyai Rangga.Para prajurit segera mendatangi Kyai Rangga begitu dia turun dari kapal.“Goedemorgen! Ik ben Willem, wie ben jij? En wat is
Pagi hari. Pelabuhan Sunda Kelapa. Batavia. Kapal Singaparna sudah satu malam berlabuh di pelabuhan itu. Belum ada tanda-tanda prajurit VOC mendekati kapal itu, artinya izin dari Gubernur belum turun. Seekor burung merpati putih mendarat di kandang burung yang ada di kapal. Martapura segera menangkap burung itu dan mengambil surat yang ada di kaki burung itu, lalu membawanya ke Kyai Rangga.“Kanjeng Tumenggung! Ada surat!” teriak Martapura sambil membawa surat yang dibawa burung merpati.Kyai Rangga menerima surat itu, segera membuka dan membacanya. “Hmm, kapal Tumenggung Bahurekso sudah hampir tiba di dekat teluk Batavia, mereka akan mendaratkan pasukan di teluk itu besok,” kata Kyai Rangga memberitahu isi surat itu pada Martapura.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Martapura.“Tidak ada, sementara kita menunggu diizinkan untuk menurunkan semua barang-barang kita,” jawab Kyai Rangga.“Kalau tidak diizinkan?”“Tunggu saja, pasti diizinkan,” kata Kyai Rangga sambil tersenyum.“Meng