Pagi hari. Pelabuhan Sunda Kelapa. Batavia. Kapal Singaparna sudah satu malam berlabuh di pelabuhan itu. Belum ada tanda-tanda prajurit VOC mendekati kapal itu, artinya izin dari Gubernur belum turun. Seekor burung merpati putih mendarat di kandang burung yang ada di kapal. Martapura segera menangkap burung itu dan mengambil surat yang ada di kaki burung itu, lalu membawanya ke Kyai Rangga.“Kanjeng Tumenggung! Ada surat!” teriak Martapura sambil membawa surat yang dibawa burung merpati.Kyai Rangga menerima surat itu, segera membuka dan membacanya. “Hmm, kapal Tumenggung Bahurekso sudah hampir tiba di dekat teluk Batavia, mereka akan mendaratkan pasukan di teluk itu besok,” kata Kyai Rangga memberitahu isi surat itu pada Martapura.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Martapura.“Tidak ada, sementara kita menunggu diizinkan untuk menurunkan semua barang-barang kita,” jawab Kyai Rangga.“Kalau tidak diizinkan?”“Tunggu saja, pasti diizinkan,” kata Kyai Rangga sambil tersenyum.“Meng
Batavia. Matahari sudah mulai tinggi ketika Sarip dan Lasmini memacu kuda mereka menuju selatan ke arah teluk. Mereka berjalan beriringan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Sementara tanpa mereka sadari dua orang prajurit VOC berkuda mengikuti mereka.Setengah jam kemudian, sampailah mereka di teluk Batavia. Di kejauhan tampak kapal-kapal berbendera Mataram perlahan-lahan mendekat menuju ke teluk itu.“Kanda, itukah kapal-kapal yang akan kita pandu?” tanya Lasmini sambil menunjuk ke laut.“Benar itulah kapal-kapal Mataram, lihat benderanya, bendera merah bergambar bulan sabit dan dua keris merah itu adalah bendera Mataram!” jelas Sarip.“Bagaimana cara kita memandu mereka?” tanya Lasmini.“Aku akan melepas bajuku menaruh pada tongkat dan melambai-lambaikan pada mereka!” kata Sarip sambil akan melepas bajunya, tetapi diurungkannya.“Mengapa tidak jadi melepas baju?” tanya Lasmini.“Ada dua orang prajurit VOC yang memperhatikan kita, harus kita beresi dulu,” kata Sarip berbisik di teli
Teluk Batavia. Menjelang siang. Kapal-kapal Mataram mulai merapat perlahan mengikuti arahan dari Sarip. Kapal pertama sudah merapat, tetapi karena di teluk itu tidak ada dermaga, maka kapal-kapal itu tidak berani dekat dengan pantai. Para prajurit Mataram mulai turun dari kapal, menuju ke pantai. Mereka berjalan melewati air laut setinggi lutut mereka. Berduyun-duyun turun dari kapal seperti rombongan semut yang keluar dari sarangnya. Mereka kemudian naik ke daratan dan langsung mendirikan benteng pertahanan dari bambu di dekat pantai. Semua perlengkapan mereka turunkan dari kapal, juga beberapa perbekalan untuk sehari-hari.Suasana teluk menjadi sangat ramai oleh pasukan Mataram. Kapal yang sudah menurunkan pasukan kembali ke tengah laut, digantikan oleh kapal yang belum menurunkan muatan.Seorang prajurit bernama Pandu mendekati Sarip dan Lasmini.“Kalian dari mana, seperti bukan prajurit Mataram?” tanya Pandu menyelidiki.“Saya Sarip dan ini isteri saya Lasmini, kami ditugaskan ole
Benteng Hollandia. Malam hari. Jan Pieterzon Coen tampak berjalan tergesa-gesa di dampingi oleh Van de Saar yang setia mengikuti kemanapun Gubernur Hindia Belanda itu pergi. Jan Pieterzon Coen tampak marah, dia sedang mencari pimpinan tertinggi prajurit VOC, Kapten Johan.“Waar is Kapitein Johan?” tanya Jan Pieterzon pada beberapa prajurit yang sedang berjaga.Prajurit-prajurit itu tampak ketakutan dan saling memandang satu sama lain, karena tidak mengetahui keberadaan Kapten Johan.“Wat kan ik voor u doen, meneer de gouverneur? Apa yang bisa saya bantu, tuan Gubernur?” mendadak Kapten Johan muncul dari balik pintu.“Ah, kemana saja kamu?” tanya Jan Pieterzon Coen dengan nada jengkel.“Saya sedang mempersiapkan pasukan untuk menghadapi serangan Mataram,” kata Kapten Johan bersikap tenang.“Apa, apa yang kamu persiapkan?!! Aku dengar kapal-kapal Mataram mulai merapat, dan mendaratkan
Malam hari. Di sebuah rumah kecil tak jauh dari Batavia. Jampang, Pitung, dan Rais sedang duduk di ruang tengah beralaskan tikar sambil menikmati kopi. Mereka sedang menunggu Ji’i yang sedang pergi untuk mencari makanan.“Ah, mana Ji’i kok belum dateng juga, laper nih,” kata Jampang mengeluh.“Sebentar lagi juga datang, sabar,” jawab Pitung.“Habiskan aja kopinya,” kata Rais.“Ah, kopi mulu, kembung perut gue,” jawab Jampang.“Aha, itu dia!” kata Pitung saat melihat Ji’i datang dengan tergesa-gesa, ditangannya ada bungkusan makanan.“Lama amat?” kata Jampang.“Ada berita penting,” kata Ji’i dengan serius.“Nanti aje, kita makan dulu,” kata Jampang yang langsung mengambil makanan dari tangan Ji’i.Tindakan Jampang langsung diikuti Pitung dan Rais, keduanya mengambil makanan dari tangan Ji’i dan langsung memakannya.“Berita penting apa,” kata Jampang sambil menguyah makanan.“Pasukan Mataram sudah mendarat di Batavia,” kata Ji’i.“Apa!!” nasi yang dimakan Jampang meloncat keluar.“Ya, b
Malam hari. Pelabuhan Sunda Kelapa. Batavia. Pasukan VOC tidak tampak berjaga-jaga di pantai. Sementara itu benteng darurat untuk perbekalan dijaga dengan ketat oleh para prajurit Mataram. Kyai Rangga sendiri yang memerintahkan untuk menjaga pusat perbekalan itu. Kejadian sebelumnya membuat Kyai Rangga waspada dan tidak ingin kecolongan. Banyak pihak yang ingin menggagalkan serangan Mataram ke Batavia. Tidak hanya dari pihak VOC, ada juga dari para pengkhianat yang ingin memancing di air keruh. Ada juga pasukan asing yang tidak diketahui tujuannya. Kyai Rangga belum dapat menemukan hubungan antara pasukan asing dan VOC, tetapi dia sudah dapat menduga hubungan VOC dengan para pengkhianat seperti Sindurejo. Para pengkhianat seperti Sindurejo hanya memanfaatkan VOC untuk mencapai tujuannya meraih kekuasaan. Saat Kyai Rangga sedang memeriksa keamanan, mendadak terdengar keributan di sebelah selatan. Puluhan prajurit Mataram mengepung sesosok bertubuh hijau yang cukup besar dan kuat, yaitu
Kyai Rangga memegang dengan erat anak panah yang ujungnya sudah merah membara di tangan kanannya. Hulk masih mengamuk, menabrak dan merusak semua yang ada di depannya. Kyai Rangga mengambil napas dalam-dalam, kemudian melemparkan anak panahnya dengan kekuatan penuh ke arah Hulk. Anak panah itu meluncur dengan deras, besi membara di ujung anak panah itu meninggalkan jejak berupa cahaya merah di udara. Anak panah itu terus meluncur dengan deras tak berkurang sedikitpun kecepatannya, dan arahnya tetap lurus menuju ke punggung Hulk yang sedang mengamuk.Jllebbb!! Anak panak itu menembus punggung Hulk terus menuju dadanya.“Haaarg!!” Hulk menjerit kesakitan sambil memegangi dadanya yang tertembus anak panah.Hulk masih berdiri dengan matanya yang merah, memegangi anak panah yang menancap di dadanya, mencoba untuk mencabutnya.“Berikan anak panah lagi,” pinta Kyai Rangga.Seorang prajurit Mataram segera memberikan anak panah. Kyai Rangga sekali lagi membakar ujung anak panah itu sampai memb
Bhre Wiraguna dan Lembu Sora melompat ke arah Kapten Holland secara bersamaan untuk mencegahnya melakukan kerusakan lebih banyak. Lembu Sora menggunakan pedangnya untuk menyerang Kapten Holland, tetapi dapat dengan mudah ditangkis oleh Kapten Holland dengan tamengnya. Terdengar dentingan keras dan percikan bunga api di udara ketika pedang Lembu Sora bertabrakan dengan tameng Kapten Holland. Lembu Sora kembali menyerang, kali ini diarahkan ke kaki Kapten Holland, tetapi gerakan Kapten Holland lebih cepat. Dia mengangkat kakinya dan ganti menyerang Lembu Sora dengan tamengnya. Lembu Sora mundur untuk menghindar, tetapi serangan Kapten Holland lebih cepat sehingga Lembu Sora terbentur tameng Kapten Holland, membuatnya mundur beberapa langkah.Melihat Lembu Sora terkena serangan balik, Bhre Wiraguna segera ikut menyerang dengan pedangnya mengarah lurus ke kepala Kapten Holland. Melihat hal itu, Kapten Holland dengan sigap mengangkat tamengnya, tak ayal lagi terjadi benturan keras antara p
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a