Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
April 1628. Senja hari. Seorang penunggang kuda tampak memacu kudanya dengan kecepatan penuh dari arah ibukota Mataram. Dia adalah Kyai Rangga, bupati Tegal. Dia baru saja dipanggil oleh Sultan Agung. Ada tugas penting yang harus dilaksanakan. Sebuah surat tampak terselip dipinggangnya. Surat kepada penguasa Batavia JP. Coen. Besok pagi Kyai Rangga harus sudah berangkat menuju ke Batavia untuk menyampaikan surat itu. Sekarang dia bergegas menuju ke rumahnya untuk menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan.Kyai Rangga terus memaju kudanya sampai memasuki gerbang kadipaten. Beberapa prajurit tampak terkejut melihat kehadiran bupatinya yang tampak tergesa-gesa. Tetapi Kyai Rangga tidak menghiraukan mereka dia terus memaju kudanya menuju kandang kuda. Setelah menyerahkan kuda pada juru rawat kuda, Kyai Rangga menuju dalem kadipaten dan langsung menuju ke taman sari untuk menemui istrinya.“Nyai!!” teriak Kyai Rangga memecah kesunyian taman sari.“Dalem, Kanjeng Tumenggung,” seorang w
Dalem kadipaten Tegal terlihat sunyi dari luar. Lampu-lampu minyak tampak menyala, menerangi dalem kadipaten. Di dalam, beberapa orang berkumpul menghadap Kyai Rangga, Sang Bupati. Mereka adalah Senapati Adijaya, Panglima tertinggi angkatan perang kadipaten Tegal. Bhre Wiraguna, pemimpin pasukan telik sandi, Lembu Sora, pemimpin pasukan panah, dan Arya Tejawungu pemimpin pasukan khusus. Mereka berkumpul untuk membicarakan rencana kepergian Kyai Rangga ke Batavia.“Bagaimana persiapan untuk perjalananku besok pagi?” tanya Kyai Rangga.“Semua sudah siap. Tinggal menunggu titah berangkat. Ada dua puluh orang dari pasukan khusus dan kanda Bhre Wiraguna yang akan menemani perjalanan paduka ke Batavia,” kata Adijaya yang mendapat tugas mempersiapkan pasukan yang akan mengawal Kyai Rangga ke Batavia.“Bagus. Selama kepergianku tampuk pemerintahan Tegal kuserahkan pada Patih Sindurejo. Akan tetapi, seluruh kendali pasukan tetap ada ditangan Senapati Adijaya,” kata Kyai Rangga.“Baik, segala
Matahari mulai terlihat di ufuk timur, ketika Adijaya dan para prajuritnya berhasil sepenuhnya memadamkan api yang membakar gedung pusaka. Sisa asap masih mengepul di udara. Tampak wajah-wajah kelelahan di sekeliling gedung pusaka itu, setelah hampir semalaman mereka merusaha memadamkan api. Adijaya sengaja tidak memberitahu Kyai Rangga tentang kejadian di gedung senjata. Dia tidak ingin mengganggu istirahat Kyai Rangga yang akan menempuh perjalanan jauh. Tetapi sekarang dia tahu ada yang ingin mengganggu atau setidaknya mencegah Kyai Rangga sampai di Batavia. Adjiaya segera memanggil Bhre Wiraguna, Lembu Sora, dan Arya Tejawungu.“Waktu kita terbatas, sebentar lagi matahari terbit, aku tidak ingin Kyai Rangga mendengar satu kata pun tentang kejadian di gedung pusaka. Aku ingin perjalanan Kyai Rangga ke Batavia tidak menemui halangan apapun, untuk itu, kuperintahkan pada kalian untuk mencegah siapapun atau pasukan apapun yang berniat keluar dari ibukota setelah kepergian Kyai Rangga.
Tepi pantai kawasan Sindanglaut. Angin laut bertiup dengan kencang ketika serombongan orang dengan seragam VOC, tampak berjalan sambil membawa peti-peti terkunci. Mereka membawa peti-peti itu ke sebuah gua tak jauh dari pantai. Jumlah rombongan itu adalah 40 orang, dibawah pimpinan Kapten Herman Bondervijnon. Satu per satu anggota rombongan itu memasuki gua. Kapten Herman yang terakhir memasuki gua sambil memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka. Gua di tepi pantai itu cukup besar, walaupun pintu masuk gua tampak kecil. Di bagian dalam bentuk gua itu seperti kubah besar. Beberapa orang memegang obor untuk menerangi gua yang gelap gulita itu. Dengan diterangi cahaya obor mereka terus memasuki perut gua itu. Mereka perjalan dengan pelan dan sangat hati-hati, karena jalan yang tidak rata dan licin. Bunyi gemericik air di seluruh penjuru gua mengiringi langkah kaki mereka.“Kapten, kita pilih ke kiri atau kanan!” tanya Jan Bocnan yang berjalan paling depan saat tiba di sebuah
Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sebuah kapal berbendera VOC baru saja merapat di dermaga. Kapal bernama Drie Coningen itu membawa dua tawanan dari Surabaya. Satu seorang keturunan Belanda bernama Suropati dan kedua seorang bernama Sakera dari Madura. Perawakan Suropati tak ubahnya orang Belanda pada umumnya. Berambut pirang dan berkulit putih, serta bermata biru. Tubuhnya tinggi tegap dan terlihat kokoh. Sedangkan tawanan lainnya, yaitu Sakera, bertubuh besar, hampir seperti raksasa, tingginya melebihi orang-orang Belanda. Kumis melintang menghiasi wajahnya yang nyaris tanpa senyum. Matanya merah, selalu menatap tajam pada orang yang memandangnya. Pasukan VOC mengawal dengan ketat kedua orang tawanan itu. Bahkan kedua tangan mereka dirantai. Kedua orang tersebut akan dipindahkan ke sebuah penjara bawah tanah rahasia di Cirebon. Kedua tawanan itu terlalu berbahaya jika ditempatkan di penjara biasa. Keduanya dijatuhi hukuman penjara dengan alasan berbeda. Suropati sebagai salah satu praju
Bukit Angsa, Tegal, senja menjelang malam. Seorang pengendara kuda tampak memacu kudanya dengan kencang seolah dikejar setan. Pakaiannya tampak compang-camping, beberapa luka gores menghiasi sekujur tubuhnya. Dia adalah Patih Sindurejo. Entah bagaimana caranya dia dapat keluar dari ibukota Tegal, yang pasti saat ini dia sedang memacu kudanya dengan kencang menuju perbukitan. Tujuannya hanya satu, menemui pasukannya yang sudah menunggu di luar kota sesuai yang sudah direncanakan dengan matang. Sambil memacu kudanya, Sindurejo tak henti-hentinya berpikir tentang rencananya yang berantakan. Padahal dia sudah yakin rencananya akan berhasil dengan sempurna. Semua kemungkinan sudah diperhitungkan, semua rintangan yang akan terjadi sudah dipertimbangkan. Tetapi rupanya masih ada yang tidak terpikirkan oleh Sindurejo, sehingga semua rencana jadi berantakan. Sindurejo dapat lolos dari hadangan pasukan yang menjaga ibukota dengan merangkak melewati saluran air, masuk ke dalam rawa
Kyai Rangga memeriksa pasukannya yang terluka atau terbunuh saat pertempuran. 5 orang mengalami luka agak parah, 10 orang luka ringan, 3 orang tewas, dan 2 orang putus tangannya. Kyai Rangga memerintahkan Bhre Wiraguna dan pasukan yang tersisa untuk merawat yang terluka dan menguburkan yang tewas. Kemudian Kyai Rangga menghampiri pendekar berpakaian kulit ular, yang sejak tadi berdiam diri sambil berdiri mematung. “Terimakasih atas bantuan anda, siapakah anda? Dan mengapa membantu kami?” tanya Kyai Rangga. “Orang tuaku memberiku nama Badra, lengkapnya Badra Mandrawata. Aku hanya tidak suka ada pasukan lebih besar yang menyerang pasukan kecil. Lalu anda sendiri siapa dan hendak kemana? Mengapa bisa sampai di gua ini dan siapa yang menyerang anda?” ganti Badra yang mengajukan pertanyaan beruntun. Kyai Rangga menjelaskan dengan singkat siapa dirinya dan kemana tujuannya. Dijelaskan pula tentang pasukan pemberontak pimpinan Sindurejo. Sambil menjelaskan Kyai Rangga memperhatikan sosok
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a