Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sebuah kapal berbendera VOC baru saja merapat di dermaga. Kapal bernama Drie Coningen itu membawa dua tawanan dari Surabaya. Satu seorang keturunan Belanda bernama Suropati dan kedua seorang bernama Sakera dari Madura. Perawakan Suropati tak ubahnya orang Belanda pada umumnya. Berambut pirang dan berkulit putih, serta bermata biru. Tubuhnya tinggi tegap dan terlihat kokoh. Sedangkan tawanan lainnya, yaitu Sakera, bertubuh besar, hampir seperti raksasa, tingginya melebihi orang-orang Belanda. Kumis melintang menghiasi wajahnya yang nyaris tanpa senyum. Matanya merah, selalu menatap tajam pada orang yang memandangnya. Pasukan VOC mengawal dengan ketat kedua orang tawanan itu. Bahkan kedua tangan mereka dirantai. Kedua orang tersebut akan dipindahkan ke sebuah penjara bawah tanah rahasia di Cirebon. Kedua tawanan itu terlalu berbahaya jika ditempatkan di penjara biasa. Keduanya dijatuhi hukuman penjara dengan alasan berbeda. Suropati sebagai salah satu prajurit VOC dipenjara karena memimpin pemberontakan. Sedangkan Sakera, seorang penjaga perkebunan milik VOC dipenjara karena membunuh beberapa orang prajurit VOC dan beberapa orang pribumi.
Prajurit VOC membawa dua orang tawanan tersebut turun dari kapal. Masing-masing dikawal oleh 10 orang prajurit. Dua orang mengawal di kanan dan kiri, empat orang di depan dan empat orang di belakang. Tampaknya mustahil untuk dapat melarikan diri dari kawalan yang begitu ketat. Kedua orang itu dibawa menuju sebuah gedung yang besar tak jauh dari pelabuhan. Di dalam gedung itu ternyata ada sebuah ruangan bawah tanah yang merupakan sebuah penjara. Kedua tawanan itu segera dimasukkan ke dalam sel yang berhadapan. Sejak dari kapal sampai penjara tidak ada seorangpun yang bersuara, semua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pasukan VOC penuh kewaspadaan menjaga dari segala kemungkinan yang mungkin terjadi. Kedua tawanan tenggelam dalam pikiran masing-masing mencari cara untuk dapat meloloskan diri.
Suropati segera merebahkan dirinya begitu masuk ke dalam sel. Dia ingin istirahat untuk menghimpun tenaga. Sakera juga melakukan hal yang sama, dia merebahkan tubuhnya, tetapi sel yang sempit itu membuatnya tidak dapat meluruskan tubuhnya. Dia hanya dapat berbaring dengan posisi menekuk kakinya, sebenarnya posisi yang tidak nyaman, tetapi tidak ada pilihan lagi. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Suropati dan Sakera sama-sama terbangun saat malam mulai tiba. Kegelapan menyelimuti penjara itu, apalagi penjara itu berada di bawah tanah. Hanya ada dua lampu minyak yang menerangi penjara bawah tanah itu.Tidak satupun penjaga yang berada didekat situ. Semua penjaga berada di atas ruang bawah tanah itu.
“Ssst!! Sakera! Sakera!” panggil Suropati dari selnya.
“Ya! Satu kali saja panggilnya, aku tidak tuli! Ada apa?” kata Sakera.
“Sekarang saatnya kita jalankan rencana kita, seperti yang sudah kita rencanakan di kapal,” kata Suropati dengan setengah berbisik.
“Apa! Aku tidak dengar, yang keras,” kata Sakera dengan keras.
“Huh! Katanya tidak tuli! Ayo sekarang saatnya!” kata Suropati dengan kesal.
“Oh, ya, ya, baik,” kata Sakera sambil bangkit dari tidurnya.
“Adoow, toooolooong, toooloong!!” tiba-tiba Sakera berteriak dengan keras seperti orang ketakutan, sambil tangannya yang besar memukuli kerangkeng.
Sakera terus berteriak-teriak seperti orang ketakutan dan tangannya tak henti memukul besi kerangkeng. Keributan itu tak urung membuat penjaga menjadi penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi. Walaupun sebenarnya teriakan dari tahanan adalah hal biasa bagi para penjaga penjara itu, tetapi teriakan Sakera begitu keras memekikkan telinga dan sangat mengganggu. Maka dua orang penjaga penjara segera turun ke ruang bawah tanah untuk melihat apa yang terjadi. Mereka turun sambil membawa senapan yang sudah siap ditembakkan.
“Wat is er?” tanya seorang penjaga begitu sampai di depan penjara Sakera.
“Toolong!! Ada ular! Ular!” teriak Sakera sambil menunjuk ke sudut sel yang gelap.
Kedua penjaga itu segera masuk ke dalam sel Sakera, satu hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Tetapi penyesalan selalu datang terlambat, tangan kekar Sakera secepat kilat meraih dua kepala penjaga itu dan membenturkannya dengan keras sampai terdengar bunyi yang mengerikan untuk didengar hingga keduanya terkapar di lantai.
“Cepat ambil kunci selnya dan bawa kemari!” teriak Suropati
Sakera mengambil kunci sel di tangan penjaga itu dan melemparkannya ke Suropati. Dengan cekatan Suropati membuka pintu selnya. Setelah itu dia menghampiri seorang penjaga yang tergeletak tak berdaya itu, melucuti pakaiannya dan memakainya. Suropati lalu mengambil kedua senapan penjaga itu, satu diberikannya pada Sakera. Kemudian Suropati memberi isyarat agar Sakera mengikutinya ke atas. Mereka berjalan beriringan dengan senjata siap ditembakkan. Suropati yang lebih dulu muncul di ruang atas, di sana terdapat dua orang penjaga lagi.
“Wat is er?” tanya seorang penjaga begitu melihat Suropati
Dalam keremangan malam yang hanya diterangi lampu minyak sosok Suropati yang berkulit putih tampak seperti prajurit VOC lainnya, sehingga penjaga itu tidak curiga sedikitpun.
“Niets, alleen dit…,” kata Suropati sambil menembak penjaga itu. Penjaga itu langsung roboh tanpa daya. Penjaga lainnya tampak terkejut melihat temannya terkapar, tetapi tak berlangsung lama, sebab tembakan Sakera yang muncul di belakang Suropati membuatnya terkapar juga.
“Bagus, semoga diluar tidak banyak penjaga,” kata Suropati.
“Iye, sebaiknya jangan lewat pintu depan,” kata Sakera.
“Ayo, cepat sebelum mereka datang!” kata Suropati.
Baru beberapa langkah mereka menuju pintu belakang, serombongan pasukan VOC masuk dari pintu depan. Mereka masuk karena mendengar suara tembakan.
“He! Stop!” teriak salah seorang prajurit VOC pada Suropati dan Sakera. Tetapi sudah terlambat, mereka telah keluar dari pintu belakang dan lari menuju ke hutan.
“Achtervolgd!” perintah komandan pasukan.
Suropati dan Sakera terus berlari dengan sekuat tenaga menuju hutan bakau yang ada di dekat markas VOC itu. Sesekali mereka hampir terjatuh karena tersangkut akar bakau, tetapi mereka terus lari tanpa menghiraukan apapun. Hanya satu tujuan mereka, meloloskan diri dari kejaran prajurit VOC.
Gelapnya hutan membuat lari mereka tersendat, tetapi tekad untuk melarikan diri lebih kuat dari kegelapan. Mereka terus larihingga akhirnya sampai di bagian hutan yagn sangat rapat, pohon-pohon berhimpitan satu-sam alain sehingga sulit utuk menembusnya. Keduanya berhenti pada saat yang bersamaan.
“Apakah mereka masih mengejar?” tanya Suropati.
“Tak tao! Tapi tampaknya tak kelihatan lagi!” kata Sakera.
Suropati mencoba melihat dari kegelapan hutan itu, tampak di ujung hutan cahaya-cahaya dari api obor kerlap-kerlip semakin menjauh.
“Tampaknya mereka tidak berani masuk ke dalam hutan!” kata Suropati.
“Pengecut! Dasar mereka itu pengecut! Ha-ha-ha. Lalu, kita akan kemana?” tanya Sakera.
“Kita akan mencari jalan keluar dari hutan ini, baru ktia pikirkan kemana kita akan pergi!” kata Suropati.
Kemudian keduanya segera berjalan dengan perlahan meninggalkan hutan bakau itu. mereka berjalan sambil sesekali kaki mereka terantuk akar bakau yang melintang. Beberapa saat lamanya mereka berjalan, tetapi seolah hutan bakau itu mengurung mereka.
“Rasanya mustahil keluar dari hutan ini pada malam hari?” kata Suropati.
“Lalu bagaimana?” tanya Sakera.
“Sebaiknya kita tunggu sampai matahari terbit?”
“Jadi, kita tidur disini?” tanya Sakera.
“Ya, hanya itu yang ada dipikiranku,” kata Suropati sambil memanjat sebuha pohon bakau di dekatnya dan mencari dahan yang tepat untuk berbaring dan segera membaringkan tubuhnya.
“Selamat malam! Sampai jumpa besok pagi!” kata Suropati sambil memejamkan mata.
Sakera hanya mendengus saja, kemudian dia menirukan Suropati, mencari pohon yang nyaman untuk berbaring, dan mulai tidur.
Bukit Angsa, Tegal, senja menjelang malam. Seorang pengendara kuda tampak memacu kudanya dengan kencang seolah dikejar setan. Pakaiannya tampak compang-camping, beberapa luka gores menghiasi sekujur tubuhnya. Dia adalah Patih Sindurejo. Entah bagaimana caranya dia dapat keluar dari ibukota Tegal, yang pasti saat ini dia sedang memacu kudanya dengan kencang menuju perbukitan. Tujuannya hanya satu, menemui pasukannya yang sudah menunggu di luar kota sesuai yang sudah direncanakan dengan matang. Sambil memacu kudanya, Sindurejo tak henti-hentinya berpikir tentang rencananya yang berantakan. Padahal dia sudah yakin rencananya akan berhasil dengan sempurna. Semua kemungkinan sudah diperhitungkan, semua rintangan yang akan terjadi sudah dipertimbangkan. Tetapi rupanya masih ada yang tidak terpikirkan oleh Sindurejo, sehingga semua rencana jadi berantakan. Sindurejo dapat lolos dari hadangan pasukan yang menjaga ibukota dengan merangkak melewati saluran air, masuk ke dalam rawa
Kyai Rangga memeriksa pasukannya yang terluka atau terbunuh saat pertempuran. 5 orang mengalami luka agak parah, 10 orang luka ringan, 3 orang tewas, dan 2 orang putus tangannya. Kyai Rangga memerintahkan Bhre Wiraguna dan pasukan yang tersisa untuk merawat yang terluka dan menguburkan yang tewas. Kemudian Kyai Rangga menghampiri pendekar berpakaian kulit ular, yang sejak tadi berdiam diri sambil berdiri mematung. “Terimakasih atas bantuan anda, siapakah anda? Dan mengapa membantu kami?” tanya Kyai Rangga. “Orang tuaku memberiku nama Badra, lengkapnya Badra Mandrawata. Aku hanya tidak suka ada pasukan lebih besar yang menyerang pasukan kecil. Lalu anda sendiri siapa dan hendak kemana? Mengapa bisa sampai di gua ini dan siapa yang menyerang anda?” ganti Badra yang mengajukan pertanyaan beruntun. Kyai Rangga menjelaskan dengan singkat siapa dirinya dan kemana tujuannya. Dijelaskan pula tentang pasukan pemberontak pimpinan Sindurejo. Sambil menjelaskan Kyai Rangga memperhatikan sosok
Sungai Citarum. Senja hari. Sesosok tubuh tak bernyawa terapung terbawa arus sungai. Semasa hidupnya mayat yang terapung itu bernama Sarip, seorang pemuda jagoan dari desa Tambak Oso. Selama ini, Sarip dikenal sebagai seorang pembela rakyat yang pemberani. Dia selalu melawan orang-orang yang menjadi pendukung VOC. Sarip terkenal karena kesaktian dan kekuatannya. Semua jagoan, berandal, perampok, dan pencuri yang mempunyai ilmu kesaktian, kekebalan, dapat dikalahkan oleh Sarip. Pasukan VOC tidak dapat menangkapnya dan tidak dapat melukainya. Sarip kebal terhadap senjata api milik VOC. Tombak, keris, panah, golok, pedang, sabit, dan berbagai senjata tajam lainnya tidak dapat digunakan untuk melukai Sarip yang mempunyai kulit sekeras baja. Sarip mempunyai kesaktian seperti itu karena sejak kecil dia sudah berguru pada seorang pertapa sakti bernama Kyai Tunggul Wulung. Sarip yang sejak berumur lima tahun telah ditinggal mati ayahnya, telah dianggap anak sendiri oleh Kyai Tunggul Wulung. S
Pemakaman anak buah pasukan Kyai Rangga yang tewas sudah selesai beberapa saat yang lalu. Pasukan yang mengalami luka-luka juga sudah mendapat perawatan. Kyai Rangga merasa sudah cukup istirahat dan memutuskan melanjutkan perjalanan.“Wiraguna! Siapkan pasukan kita berangkat sekarang!” perintah Kyai Rangga pada Bhre Wiraguna.“Badra, mari kita bersiap meninggalkan tempat ini,” kata Kyai Rangga kepada Badra yang tampak sudah berada di atas kuda putihnya.Rombongan Kyai Rangga melanjutkan perjalanan. Kyai Rangga dan Badra tampak berkuda beriringan di depan, mereka melaju dengan kecepatan sedang. Perjalanan mereka melintasi pantai menuju ke arah Kadipaten Cirebon. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bersuara sama sekali. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri.Tiga jam kemudian sampailah mereka di kawasan pantai Kadipaten Cirebon. Mereka berkuda melintasi hutan bakau yang cukup lebat. Kuda yang mereka kendarai sudah
Pantai Sindanglaut. Sebuah benda bulat melayang di atas permukaan air yang bergelombang di pantai Sindanglaut. Benda berwarna keperakan itu melayang-layang di atas deburan ombak di karang. Benda yang mirip sebuah piring yang terbang itu kemudian mendarat pantai yang sepi. Dari dalam benda itu muncul kira-kira 100 orang berseragam hitam. Mereka turun dengan berlari-lari kecil sambil kedua belah tangan mereka memegang senjata seperti pentungan besi. Wajah mereka tampak aneh karena tertutup topeng hitam. Pasukan itu berbaris di tepi pantai. Sementara itu keluar dari dalam dengan pakaian berwarna keperakan adalah pemimpin mereka yang mereka sebut Samiri. Tanpa diperintah pasukan itu membentuk barisan dan memberi hormat pada pemimpin mereka, Samiri.Samiri berdiri tegak di hadapan anak buahnya. Samiri mengenakan sebuah topeng berwarna hitam terbuat dari besi. Tak seorang pun anak buahnya pernah melihat wajah asli Samiri. Sejak pertama kali bertemu dengan Samiri mereka telah
Sindurejo merasakan sekujur tubuhnya pegal dan linu. Bahu dan tangan kanannya tampak memar-memar akibat menabrak dinding karang saat dihantam raksasa jelmaan Kyai Rangga. Sindurejo berbaring di bawah sebuah pohon rindang yang membuatnya merasa nyaman. Pasukan Sindurejo juga tampak berisitirahat, ada yang berbaring, duduk, tidur, makan, dan minum. Mereka tampak kelelahan dan kesakitan akibat pertempuran dengan pasukan Kyai Rangga. Mereka berhasil melarikan diri dari amarah Kyai Rangga yang berubah menjadi raksasa ganas. Rasa ngeri masih terbayang di raut wajah mereka, sebab mereka tidak pernah menduga kalau Kyai Rangga bisa berubah menjadi raksasa.Sindurejo berbaring sambil merenungkan kegagalan demi kegagalan yang dialaminya. Rasanya dia sudah merencanakan dengan baik, tetapi tetap saja dia gagal. Sekarang dia harus menghadapi kenyataan, pasukannya kocar-kacir dan terluka. Tubuhnya serasa sakit semua. Jika saja pasukan Kyai Rangga mengejar mereka, pastilah dia dan pasu
Jatibarang. Pagi hari. Suara derap kuda bercampur dengan teriakan membahana di seluruh penjuru hutan membuat Sarip merasa terganggu dan ingin tahu apa yang membuat keributan itu. Sarip segera mencari arah suara itu dengan memanjat sebuah pohon yang ada di dekatnya. Dari kejauhan dilihatnya 5 prajurit VOC yang menaiki kuda sambil salah satunya membawa seorang wanita yang meronta-ronta. Sarip segera turun dari pohon, kemudian berlari menuju ke arah rombongan yang datang itu untuk menghadangnya.“Tolong-tolong!! Lepaskan aku!” teriak wanita yang dipegang erat oleh seorang prajurit VOC di atas seekor kuda itu.“Schreeuwen hardop, niemand gehoord! Teriaklah sekerasmu, tak ada yang mendengar!” kata prajurit VOC sambil menahan tubuh wanita yang meronta-ronta.Wanita yang duduk menyamping di atas kuda itu semakin keras meronta, hingga akhirnya prajurit VOC itu tak kuasa lagi memeganginya. Akibatnya wanita dan prajurit VOC itu terjatuh dari kuda m
Siang hari di Kandanghaur, Indramayu. Rombongan Kyai Rangga tampak berkuda dengan pelan di tengah teriknya matahari. Kyai Rangga dan Bhre Wiraguna berada di depan, diiikuti oleh pasukan pengawalnya yang kini tinggal berjumlah 18 orang. Suropati dan Sakera berkuda beriringan di belakang Kyai Rangga. Sedangkan paling belakang sendiri adalah Badra dengan kuda putihnya. Setelah menolong Sarip dan Lasmini, Kyai Rangga dan pasukannya terus melanjutkan perjalanan menuju Bativia, sedangkan Sarip tetap tinggal di Jatibarang untuk membantu Lasmini melakukan perlawanan tehadap Karta Sentana.“Sebaiknya kita mencari tempat istirahat,” usul Bhre Wiraguna.“Ya, kita cari sumber air dan pohon yang besar,” kata Kyai Rangga sambal memandang ke sekeliling.“Kamu merasa ada keanehan di daerah ini?” tanya Suropati pada Sakera.“Aneh, aneh apa, pertanyaanmu aneh, kita ini juga orang-orang aneh…ha.ha,” kata Sakera.
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a