Share

PASUKAN PEMBERONTAK

Author: Yoyok RB
last update Last Updated: 2022-12-02 19:00:57

Bukit Angsa, Tegal, senja menjelang malam. Seorang pengendara kuda tampak memacu kudanya dengan kencang seolah dikejar setan. Pakaiannya tampak compang-camping, beberapa luka gores menghiasi sekujur tubuhnya. Dia adalah Patih Sindurejo. Entah bagaimana caranya dia dapat keluar dari ibukota Tegal, yang pasti saat ini dia sedang memacu kudanya dengan kencang menuju perbukitan. Tujuannya hanya satu, menemui pasukannya yang sudah menunggu di luar kota sesuai yang sudah direncanakan dengan matang.   Sambil memacu kudanya, Sindurejo tak henti-hentinya berpikir tentang rencananya yang berantakan. Padahal dia sudah yakin rencananya akan berhasil dengan sempurna. Semua kemungkinan sudah diperhitungkan, semua rintangan yang akan terjadi sudah dipertimbangkan. Tetapi rupanya masih ada yang tidak terpikirkan oleh Sindurejo, sehingga semua rencana jadi berantakan. Sindurejo dapat lolos dari hadangan pasukan yang menjaga ibukota dengan merangkak melewati saluran air, masuk ke dalam rawa-rawa, dan menerobos semak berduri, seperti tikus yang lari dari kejaran kucing. Mengingat hal itu kebencian Sindurejo pada Kyai Rangga semakin kuat. Kebencian itu yang membuatnya semakin bergairah dan bertenaga, keinginannya yang besar untuk menghabisi Kyai Rangga memberinya kekuatan tambahan. Setelah semua pasukannya di dalam kota tidak dapat berbuat apa-apa, satu-satunya harapan adalah pasukan yang disiapkan di luar kota. Sindurejo memacu kudanya semakin cepat.

Setelah sekian lama memacu kuda, akhirnya sampailah Sindurejo di tempat pasukannya berkumpul. Dia segera disambut oleh Wirayuda dan Kanigoro, pemimpin pasukan yang ada di luar kota tersebut.

“Apa yang terjadi?” tanya Kanigoro dengan cemas, melihat keadaan patih Sindurejo.

“Panjang ceritanya. Siapkan air hangat dan pakaian yang bersih!” kata Sindurejo.

Kanigoro segera memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan air hangat dan pakaian bersih bagi Sindurejo. Sindurejo dibawa masuk ke dalam markas.

Tak berapa lama kemudian, sambil ditemani minuman hangat, tubuh Sindurejo yang penuh luka dibasuh oleh salah seorang prajurit. Sindurejo menceritakan kegagalan rencananya dan rencana selanjutnya pada Wirayuda dan Kanigoro.

“Tujuan kita tetap, menghabisi Kyai Rangga, tidak ada jalan untuk mundur!” kata Sindurejo

“Tapi, kita sudah kehabisan banyak waktu. Pasukan yang bertugas menguntit rombongan Kyai Rangga tertahan di ibukota. Jadi kita tidak tahu posisi Kyai Rangga sekarang,” lanjut Sindurejo dengan wajah muram. Mendadak semua yang ada di ruangan itu membisu

“Jangan khawatir kanjeng patih,” tiba-tiba Wirayuda berkata memecah kebisuan.

“Apa maksudmu?“ tanya Sindurejo.

“Saya mengenal seorang ahli pelacak jejak yang handal!“

“Apa! Cepat bawa kemari orang itu!“ teriak Sindurejo dengan wajah berbinar.

Tanpa diperintah dua kali, Wirayuda segera bergegas keluar. Satu jam kemudian Wirayuda datang bersama seseorang bertubuh kecil. Orang itu mempunyai wajah bulat, hidung besar, rahangnya maju kedepan, sekilas wajahnya mirip anjing buldog. Kakinya bengkok membentuk huruf o. Sesekali dia menjulur-julurkan lidahnya, sampai air liurnya menetes.

“Inilah, Asuwan, ahli pelajak jejak!“ kata Wirayuda memperkenalkan orang aneh itu.

Asuwan membungkukkan badannya untuk memberi hormat. Sindurejo mengernyitkan keningnya.

“Bagaimana caranya bekerja mencari jejak orang yang mungkin jaraknya sangat jauh?“ tanya Sindurejo, menyangsikan kemampuan Asuwan.

“Saya sendiri tidak tahu. Tapi, yang jelas dia punya bakat alam yang luar biasa. Dia mampu mencari seseorangan dengan menganalisa keberadaan seseorang dari sudut mana saja. Dia punya naluri yang kuat untuk mengendus keberadaan seseorang,“ Wirayuda menjelaskan panjang lebar, tapi Sindurejo tampaknya tetap tidak percaya begitu saja.

“Buktikan saja apa yang kamu katakan!“ kata Sindurejo.

Wirayuda mengangguk, kemudian dia menceritakan tentang orang yang akan dicari yaitu Kyai Rangga kepada Asuwan. Saat Wirayuda menjelaskan, Asuwan sama sekali tidak memandang pada Wirayuda, matanya melirik kesana kemari, sambil lidahnya sesekali terjulur dan meneteskan air liur. Setelah Wirayuda selesai menjelaskan tentang Kyai Rangga dan tujuan perjalanannya, Asuwan memandang tajam sejenak ke arah Wirayuda, kemudian tangannya menunjuk lurus keluar.

“Kita diminta untuk mengikutinya!“ kata Wirayuda.

“Apa dia tidak bisa bicara?“ tanya Sindurejo heran.

“Bisa, tetapi begitulah gayanya,“ kata Wirayuda.

“Baiklah, kalau begitu siapkan pasukan, kita berangkat!“ kata Sindurejo.

“Maaf, kanjeng patih, apa sebaiknya kanjeng patih istirahat dulu?“ saran Kanigoro.

“Istirahatku sudah cukup, nanti di jalan kita bisa istirahat lagi. Jika terlalu lama buruan kita akan semakin menjauh!“ kata Sindurejo.

Maka pasukan pemberontak di bawah pimpinan Sindurejo beriringan mengikuti Asuwan yang berkuda di depan pasukan. Pasukan berjumlah kira-kira dua ratus orang itu berkuda dengan kecepatan sedang menuju ke arah Sindanglaut. Tentu saja kecepatan mereka tergantung Asuwan sang pelacak jejak, yang sepanjang jalan tak henti-hentinya menoleh kanan-kiri sambil mengendus-endus dan sesekali menjulurkan lidahnya.

Sementara itu rombongan Kyai Rangga telah sampai di daerah Sindanglaut. Mereka berkuda sepanjang tepi pantai dengan kecepatan tinggi. Kuda-kuda mereka dipacu agar secepat mungkin berlari. Tetapi, kekuatan kuda ada ada batasnya, lari kuda-kuda itu semakin lama semakin melambat hingga akhirnya berhenti. Tanpa dikomando semua turun dari kuda.

“Tampaknya kita harus istirahat di sini! Kuda-kuda ini butuh makan dan istirahat!“ kata Bhre Wiraguna.

“Ya, itu ada rumput-rumput segar di depan gua besar, mari kita ke sana!“ kata Kyai Rangga memberi perintah.

Maka rombongan itu berjalan menuju gua dengan menuntun kudanya masing-masing. Rombongan berjumlah dua puluh dua orang itu berjalan beriringan menuju gua. Segera setelah sampai di depan gua, mereka istirahat sambil menyantap bekal yang mereka bawa. Kuda-kuda dibiarkan lepas mencari rumput yang tumbuh subur di depan gua. Angin laut yang bertiup membuat mereka merasa nyaman dan segar.

“Serang!“

“Kepung!“

“Serbu!“

Mendadak terdengar teriakan-teriakan riuh, diiringi suara derap kuda dari segala penjuru. Pasukan pemberontak pimpinan Sindurejo menyerang rombongan Kyai Rangga yang sedang istirahat. Pasukan Kyai Rangga segera menghunus senjata mereka.

“Sindurejo, keparat!“ desis Kyai Rangga saat melihat Sindurejo sebagai pemimpin pasukan yang datang menyerang itu.

Puluhan anak panah dan tombak terlontar ke arah pasukan Kyai Rangga, tetapi masih dapat dihindari dan ditangkis. Pasukan pemberontak menerjang ke arah pasukan Kyai Rangga, membuat pasukan Kyai Rangga kelabakan. Jumlah pasukan pemberontak sepuluh kali lipat pasukan Kyai Rangga, sulit bagi pasukan Kyai Rangga mengatasinya.

“Masuk ke gua!“ teriak Kyai Rangga, yang menyadari sulit bagi pasukannya bertahan menghadapi serangan pasukan berkuda itu di daerah terbuka.

Dengan cepat Kyai Rangga dan pasukannya masuk ke dalam gua besar itu. Pasukan Sindurejo segera turun dari kuda dan menyerbu ke dalam gua. Pertempuran yang tidak seimbang segera terjadi. Pasukan Sindurejo menyerang dengan membabi-buta. Pasukan Kyai Rangga cukup kewalahan menghadapi serangan itu. Hanya Kyai Rangga dan Bhre Wiraguna yang dapat membuat kalang kabut para penyerangnya. Hal itu karena kemampuan bela diri dari kedua orang itu di atas rata-rata, dan keduanya kebal senjata tajam. Berkali-kali pedang dan tombak menghujam di tubuh mereka tapi tak satupun yang dapat melukai. Akibatnya, pasukan pemberontak agak takut juga mendekat pada dua orang yang bertarung dengan gagah berani itu. Mereka lebih suka menyerang pasukan Kyai Rangga lainnya.

Beberapa orang pasukan Kyai Rangga sudah terluka, bahkan ada satu yang tertebas tangannya, tetapi mereka adalah prajurit pilihan yang akan terus bertempur sampai titik darah penghabisan. Sindurejo tersenyum puas melihat pasukannya berhasil mendesak pasukan Kyai Rangga. Tetapi, begitu melihat Kyai Rangga dan Bhre Wiraguna berhasil memporak-porandakan pasukan yang menyerang keduanya, Sindurejo menjadi geram.

“Mundur semua!“ teriaknya pada prajurit yang menyerang Kyai Rangga.

Semua penyerang Kyai Rangga segera mundur.

Kyai Rangga menatap Sindurejo dengan tajam. Pembantu setia yang selama ini selalu membantu pemerintahan kadipaten Tegal, kini berdiri dihadapan Kyai Rangga sebagai musuh.

“Sindurejo, apa yang kamu inginkan?” tanya Kyai Rangga.

Sindurejo tidak menjawab, tangan kanannya mengacungkan tombak berlapis emas. Kyai Rangga terkesiap, tombak berlapis emas itu adalah kelemahannya, tetapi Kyai Rangga tetap bersikap tenang.

“Kamu ingin memberikan tombak itu padaku,” kata Kyai Rangga sambil tersenyum sinis.

Sindurejo tampak geram, dia segera mengarahkan tombak itu ke leher Kyai Rangga. Tetapi Kyai Rangga cukup gesit, dia segera menghindar dan ganti menyabetkan pedangnya ke arah Sindurejo. Pertarungan sengit pun terjadi. Keduanya saling menyerang dan menghindar.

Sementara itu Bhre Wiraguna dan pasukan Kyai Rangga lainnya  mati-matian bertahan dari serangan pasukan pemberontak. Mereka mengerahkan seluruh daya dan kemampuan, tetapi karena musuh yang lebih banyak mereka hanya mampu bertahan dan semakin terdesak. Pada saat kritis itu muncullah seorang berpakaian kulit ular dengan seekor kera di pundaknya datang membantu. Gerakkannya sangat cepat dan tak terduga, dan sangat kuat. Dalam sekejap puluhan pasukan pemberontak roboh tak berdaya. Melihat hal itu pasukan Kyai Rangga timbul kembali semangatnya, mereka seolah mendapat kekuatan kedua. Mereka segera melakukan perlawanan dengan sengit. Pertarungan kembali seimbang.

Sindurejo berhasil mendesak Kyai Rangga, tombak bermata emasnya beberapa kali membuat goresan di tubuh Kyai Rangga. Darah tampak mengalir di beberapa bagian tubuh Kyai Rangga. Melihat Kyai Rangga terluka serangan Sindurejo semakin gencar, tetapi Kyai Rangga masih punya andalan yang hanya digunakan pada keadaan genting. Kyai Rangga melakukan salto ke belakang untuk menjauhi Sindurejo, beberapa detik sebelum Sindurejo mendekat lagi, Kyai Rangga mengatupkan kedua tanggannya. Sedetik kemudian sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya, baik oleh Sindurejo maupun semua orang yang ada di gua itu terjadi. Tubuh Kyai Rangga mendadak berubah menjadi besar, dua kali lipat dari semula. Wajahnya berubah mengerikan, giginya bertaring panjang. Sindurejo sangat terkejut melihat hal itu sampai jatuh terjengkang. Raksasa jelmaan Kyai Rangga itu kemudian menghantam  Sindurejo sampai terlempar puluhan meter hingga menabrak dinding gua. Kemudian dengan suara teriakan yang keras dan memekikkan telinga, raksasa itu menerjang pasukan pemberontak dan membuat mereka kocar-kacir. Sindurejo dan pasukannya tunggang langgang melarikan diri, berlomba lari keluar dari gua. Raksasa itu tidak mengejar, dia diam dan mengatupkan tangannya, sedetik kemudian dia sudah kembali berubah jadi Kyai Rangga. Pasukan  Kyai Rangga tampak lega setelah melihat pasukan pemberontak lari tunggang langgang. Orang berpakaian kulit ular yang membantu juga terlihat lega, dia berdiri mematung seolah menunggu apa yang selanjutnya terjadi.

Kyai Rangga dan pasukannnya berjalan menghampiri orang berpakaian kulit ular itu. Mendadak terdengar suara tembakan dari dalam gua. Seorang anak buah Kyai Rangga jatuh tertembak. Dari dalam gua muncul pasukan VOC pimpinan Herman Boenervijnon yang menembaki dengan membabi-buta. Pasukan Kyai Rangga segera berpencar untuk menghindari tembakan. Kyai Rangga yang kebal tembakan segera menerjang ke arah pasukan VOC dengan pedang terhunus. Pedangnya menebas beberapa orang VOC sekaligus tanpa ampun. Bhre Wiraguna yang juga punya kemampuan kebal peluru ikut menerjang pasukan VOC yang masih mengisi kembali senapannya. Pasukan VOC tidak menduga orang yang ditembaki kebal peluru. Akibatnya dalam sekejab belasan pasukan VOC tumbang akibat sabetan pedang Kyai Rangga dan Wiraguna. Pendekar berpakaian kulit ular juga ikut menyerbu pasukan VOC. Dalam sekejab, pasukan VOC banyak yang tewas, bahkan hampir seluruh pasukan VOC tewas akibat amukan Kyai Rangga, Bhre Wiraguna dan pendekar berkulit ular. Hanya tiga orang dari pasukan VOC yang berhasil melarikan diri, mereka kembali masuk ke dalam gua menuju lembah rahasia, tanpa seorangpun yang mengetahuinya

Related chapters

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   PASUKAN ZOMBIE

    Kyai Rangga memeriksa pasukannya yang terluka atau terbunuh saat pertempuran. 5 orang mengalami luka agak parah, 10 orang luka ringan, 3 orang tewas, dan 2 orang putus tangannya. Kyai Rangga memerintahkan Bhre Wiraguna dan pasukan yang tersisa untuk merawat yang terluka dan menguburkan yang tewas. Kemudian Kyai Rangga menghampiri pendekar berpakaian kulit ular, yang sejak tadi berdiam diri sambil berdiri mematung. “Terimakasih atas bantuan anda, siapakah anda? Dan mengapa membantu kami?” tanya Kyai Rangga. “Orang tuaku memberiku nama Badra, lengkapnya Badra Mandrawata. Aku hanya tidak suka ada pasukan lebih besar yang menyerang pasukan kecil. Lalu anda sendiri siapa dan hendak kemana? Mengapa bisa sampai di gua ini dan siapa yang menyerang anda?” ganti Badra yang mengajukan pertanyaan beruntun. Kyai Rangga menjelaskan dengan singkat siapa dirinya dan kemana tujuannya. Dijelaskan pula tentang pasukan pemberontak pimpinan Sindurejo. Sambil menjelaskan Kyai Rangga memperhatikan sosok

    Last Updated : 2022-12-03
  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   DAERAH TAK BERTUAN

    Sungai Citarum. Senja hari. Sesosok tubuh tak bernyawa terapung terbawa arus sungai. Semasa hidupnya mayat yang terapung itu bernama Sarip, seorang pemuda jagoan dari desa Tambak Oso. Selama ini, Sarip dikenal sebagai seorang pembela rakyat yang pemberani. Dia selalu melawan orang-orang yang menjadi pendukung VOC. Sarip terkenal karena kesaktian dan kekuatannya. Semua jagoan, berandal, perampok, dan pencuri yang mempunyai ilmu kesaktian, kekebalan, dapat dikalahkan oleh Sarip. Pasukan VOC tidak dapat menangkapnya dan tidak dapat melukainya. Sarip kebal terhadap senjata api milik VOC. Tombak, keris, panah, golok, pedang, sabit, dan berbagai senjata tajam lainnya tidak dapat digunakan untuk melukai Sarip yang mempunyai kulit sekeras baja. Sarip mempunyai kesaktian seperti itu karena sejak kecil dia sudah berguru pada seorang pertapa sakti bernama Kyai Tunggul Wulung. Sarip yang sejak berumur lima tahun telah ditinggal mati ayahnya, telah dianggap anak sendiri oleh Kyai Tunggul Wulung. S

    Last Updated : 2022-12-04
  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   WILAYAH KEKUASAAN MANUSIA HARIMAU

    Pemakaman anak buah pasukan Kyai Rangga yang tewas sudah selesai beberapa saat yang lalu. Pasukan yang mengalami luka-luka juga sudah mendapat perawatan. Kyai Rangga merasa sudah cukup istirahat dan memutuskan melanjutkan perjalanan.“Wiraguna! Siapkan pasukan kita berangkat sekarang!” perintah Kyai Rangga pada Bhre Wiraguna.“Badra, mari kita bersiap meninggalkan tempat ini,” kata Kyai Rangga kepada Badra yang tampak sudah berada di atas kuda putihnya.Rombongan Kyai Rangga melanjutkan perjalanan. Kyai Rangga dan Badra tampak berkuda beriringan di depan, mereka melaju dengan kecepatan sedang. Perjalanan mereka melintasi pantai menuju ke arah Kadipaten Cirebon. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bersuara sama sekali. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri.Tiga jam kemudian sampailah mereka di kawasan pantai Kadipaten Cirebon. Mereka berkuda melintasi hutan bakau yang cukup lebat. Kuda yang mereka kendarai sudah

    Last Updated : 2022-12-05
  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   PASUKAN ASING

    Pantai Sindanglaut. Sebuah benda bulat melayang di atas permukaan air yang bergelombang di pantai Sindanglaut. Benda berwarna keperakan itu melayang-layang di atas deburan ombak di karang. Benda yang mirip sebuah piring yang terbang itu kemudian mendarat pantai yang sepi. Dari dalam benda itu muncul kira-kira 100 orang berseragam hitam. Mereka turun dengan berlari-lari kecil sambil kedua belah tangan mereka memegang senjata seperti pentungan besi. Wajah mereka tampak aneh karena tertutup topeng hitam. Pasukan itu berbaris di tepi pantai. Sementara itu keluar dari dalam dengan pakaian berwarna keperakan adalah pemimpin mereka yang mereka sebut Samiri. Tanpa diperintah pasukan itu membentuk barisan dan memberi hormat pada pemimpin mereka, Samiri.Samiri berdiri tegak di hadapan anak buahnya. Samiri mengenakan sebuah topeng berwarna hitam terbuat dari besi. Tak seorang pun anak buahnya pernah melihat wajah asli Samiri. Sejak pertama kali bertemu dengan Samiri mereka telah

    Last Updated : 2022-12-06
  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   PERSEKUTUAN RAHASIA

    Sindurejo merasakan sekujur tubuhnya pegal dan linu. Bahu dan tangan kanannya tampak memar-memar akibat menabrak dinding karang saat dihantam raksasa jelmaan Kyai Rangga. Sindurejo berbaring di bawah sebuah pohon rindang yang membuatnya merasa nyaman. Pasukan Sindurejo juga tampak berisitirahat, ada yang berbaring, duduk, tidur, makan, dan minum. Mereka tampak kelelahan dan kesakitan akibat pertempuran dengan pasukan Kyai Rangga. Mereka berhasil melarikan diri dari amarah Kyai Rangga yang berubah menjadi raksasa ganas. Rasa ngeri masih terbayang di raut wajah mereka, sebab mereka tidak pernah menduga kalau Kyai Rangga bisa berubah menjadi raksasa.Sindurejo berbaring sambil merenungkan kegagalan demi kegagalan yang dialaminya. Rasanya dia sudah merencanakan dengan baik, tetapi tetap saja dia gagal. Sekarang dia harus menghadapi kenyataan, pasukannya kocar-kacir dan terluka. Tubuhnya serasa sakit semua. Jika saja pasukan Kyai Rangga mengejar mereka, pastilah dia dan pasu

    Last Updated : 2022-12-07
  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   KEMELUT DI JATIBARANG

    Jatibarang. Pagi hari. Suara derap kuda bercampur dengan teriakan membahana di seluruh penjuru hutan membuat Sarip merasa terganggu dan ingin tahu apa yang membuat keributan itu. Sarip segera mencari arah suara itu dengan memanjat sebuah pohon yang ada di dekatnya. Dari kejauhan dilihatnya 5 prajurit VOC yang menaiki kuda sambil salah satunya membawa seorang wanita yang meronta-ronta. Sarip segera turun dari pohon, kemudian berlari menuju ke arah rombongan yang datang itu untuk menghadangnya.“Tolong-tolong!! Lepaskan aku!” teriak wanita yang dipegang erat oleh seorang prajurit VOC di atas seekor kuda itu.“Schreeuwen hardop, niemand gehoord! Teriaklah sekerasmu, tak ada yang mendengar!” kata prajurit VOC sambil menahan tubuh wanita yang meronta-ronta.Wanita yang duduk menyamping di atas kuda itu semakin keras meronta, hingga akhirnya prajurit VOC itu tak kuasa lagi memeganginya. Akibatnya wanita dan prajurit VOC itu terjatuh dari kuda m

    Last Updated : 2022-12-08
  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   MISTERI DI KANDANGHAUR

    Siang hari di Kandanghaur, Indramayu. Rombongan Kyai Rangga tampak berkuda dengan pelan di tengah teriknya matahari. Kyai Rangga dan Bhre Wiraguna berada di depan, diiikuti oleh pasukan pengawalnya yang kini tinggal berjumlah 18 orang. Suropati dan Sakera berkuda beriringan di belakang Kyai Rangga. Sedangkan paling belakang sendiri adalah Badra dengan kuda putihnya. Setelah menolong Sarip dan Lasmini, Kyai Rangga dan pasukannya terus melanjutkan perjalanan menuju Bativia, sedangkan Sarip tetap tinggal di Jatibarang untuk membantu Lasmini melakukan perlawanan tehadap Karta Sentana.“Sebaiknya kita mencari tempat istirahat,” usul Bhre Wiraguna.“Ya, kita cari sumber air dan pohon yang besar,” kata Kyai Rangga sambal memandang ke sekeliling.“Kamu merasa ada keanehan di daerah ini?” tanya Suropati pada Sakera.“Aneh, aneh apa, pertanyaanmu aneh, kita ini juga orang-orang aneh…ha.ha,” kata Sakera.

    Last Updated : 2022-12-09
  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   PANTAI SAMBOJA

    Senja. Matahari masih terlihat jelas di atas laut pantai Samboja. Tidak ada pasir pantai yang membatasi antara daratan dan lautan, yang ada hanya batu-batu kecil dan kerikil. Tak jauh dari tepi pantai, berjajar gubuk-gubuk bambu yang baru dibangun. Di dalam gubuk itu ratusan penduduk desa Kandanghaur ditampung. Laki-laki, Wanita, tua, muda, anak-anak, semua berada dalam gubuk-gubuk bambu itu. Sementara itu binatang-binatang ternak tampak berkeliaran di sekitarnya. Pasukan VOC bersenjata lengkap tampak berjaga di sekitar gubuk bambu. Pasukan VOC dipimpin oleh Cornelis de Bagijn, seorang Belanda keturunan India.“Tot wanneer wachten we hier? Sampai kapan kita menunggu di sini?” tanya Beenhouwer, seorang pasukan VOC kepada Cornelis.“Weet niet, tidak tahu. Tapi menurut kabar yang kuterima, hari ini dan waktunya sebentar lagi!” jawab Cornelis.“Eigenlijk, op wie wachten we? Sebenarnya, siapa yang kita tunggu?” desak Beenhouwer.

    Last Updated : 2022-12-10

Latest chapter

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   PERPISAHAN

    Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   HARTA KARUN VOC

    Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   JEBAKAN MAUT

    Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   LEMBAH RAHASIA

    Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   PANTAI SINDANGLAUT

    Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   MENUJU SINDANGLAUT

    Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   PULANG

    Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   SERANGAN MAUT

    Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   BANTUAN PENGUASA KEKUATAN ALAM

    Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status