Tepi pantai kawasan Sindanglaut. Angin laut bertiup dengan kencang ketika serombongan orang dengan seragam VOC, tampak berjalan sambil membawa peti-peti terkunci. Mereka membawa peti-peti itu ke sebuah gua tak jauh dari pantai. Jumlah rombongan itu adalah 40 orang, dibawah pimpinan Kapten Herman Bondervijnon. Satu per satu anggota rombongan itu memasuki gua. Kapten Herman yang terakhir memasuki gua sambil memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka. Gua di tepi pantai itu cukup besar, walaupun pintu masuk gua tampak kecil. Di bagian dalam bentuk gua itu seperti kubah besar. Beberapa orang memegang obor untuk menerangi gua yang gelap gulita itu. Dengan diterangi cahaya obor mereka terus memasuki perut gua itu. Mereka perjalan dengan pelan dan sangat hati-hati, karena jalan yang tidak rata dan licin. Bunyi gemericik air di seluruh penjuru gua mengiringi langkah kaki mereka.
“Kapten, kita pilih ke kiri atau kanan!” tanya Jan Bocnan yang berjalan paling depan saat tiba di sebuah persimpangan.
“Pilih sebelah kanan saja!” kata Herman dengan yakin. “Rechts! Rechts!” teriak Herman memberi perintah pada anak buahnya untuk masuk lorong gua sebelah kanan.
Mereka segera berjalan beriringan menuju lorong gua sebelah kanan. Jalan yang mereka lalui semakin lama semakin sempit. Hingga akhirnya hanya ada sebuah lubang sempit di depan mereka.
“Hoe dit? Apakah kita harus lewat lubang ini?” tanya Jan Bocnan.
“Ja! Ini jalan satu-satunya menuju tempat yang aman, cepat masuk! Gaan! Gaan!” perintah Kapten Herman pada pasukannya untuk segera masuk ke dalam lubang sempit itu.
Lubang itu hanya cukup dimasuki satu orang dengan posisi merangkak. Satu per satu masuk ke dalam lubang itu. Jan Bocnan yang pertama kali masuk lubang itu, obor dipegang oleh Otto Vollenhoven yang berdiri di belakang Jan Bocnan. Dengan agak kesulitan, Jan Bocnan merangkak memasuki lubang itu. Setelah Jan Bocnan lenyap masuk ke dalam lubang itu, Otto mengulurkan obornya kepada Jan Bocnan agar Jan bisa melihat dalam kegelapan. Beberapa saat lamanya semua terdiam menunggu isyarat dari Jan untuk masuk ke dalam lubang.
“Wow! Fantastisch! Luar biasa!” teriak Jan.
“Wat is het? Jan! Ada apa?” tanya Kapten Herman penasaran.
“Lihat saja sendiri!” teriak Jan dari balik dinding gua.
Kapten Herman segera memerintahkan pasukannya untuk segera melewati lubang itu, dengan terlebih dahulu memasukkan peti-peti yang mereka bawa.
Setelah melewati lubang kecil itu, terjawablah mengapa Jan berteriak dengan penuh kekaguman. Di belakang jalan sempit itu terdapat sebuah ruangan yang sangat luas dan tinggi. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah danau yang luas, tepinya sama sekali tidak terlihat. Di langit-langit gua yang tinggi terdapat sebuah lubang cahaya yang menerangi seluruh isi gua. Sekarang mereka tidak perlu memakai obor lagi untuk penerangan. Kapten Herman berjalan menuju tepi danau, dia mengeluarkan teropongnya dari saku, dan mulai melihat dengan teropongnya ke ujung danau yang jauh.
“Verdomt! Ujung danau ini tidak kelihatan,“ gerutu Kapten Herman sambil terus melihat ke ujung danau dengan teropongnya.
“Bagaimana selanjutnya?” tanya Jan Bocnan.
Kapten Herman tidak menjawab tetapi dia mengeluarkan sebuah peta dari saku bajunya.
“Menurut peta ini, di ujung danau itu terdapat sebuah daratan, tetapi aku tidak melihat apapun,” kata Kapten Herman sambil menyerahkan peta itu pada Jan Bocnan.
Jan Bocnan melihat peta itu sekilas, kemudian dia memandang danau yang luas di depannya.
“Er is maar een manier!“ gumam Jan Bocnan, hanya ada satu cara.
“Apa itu?” tanya Kapten Herman.
“Kita harus menyeberangi danau ini untuk mencari ujung danau,” kata Jan Bocnan.
Kapten Herman berpikir sejenak, kemudian dia memandang ke sekelilingnya mencari sesuatu.
“Ja! Kita harus menyeberangi danau ini! Sekarang, semuanya cari alat untuk menyeberang, perahu, rakit, atau apapun! Cepat laksanakan! Snel! Cepat!“
Tanpa diperintah dua kali, anak buah Kapten Herman segera bergegas menyebar ke seluruh penjuru gua. Kapten Herman hanya memandangi anak buahnya yang menyebar ke segala arah. Dia berdiri di dekat tumpukan peti-peti yang terkunci. Pandangan Kapten Herman kini beralih ke peti-peti itu. Isi peti-peti itu adalah emas batangan yang berasal dari kapal Roode Leeuw. Emas batangan itu sebenarnya berasal dari New Guinea dan akan dikirim ke Batavia. Kapten Herman selaku kapten kapal ternyata punya pikiran lain. Berbekal sebuah peta tua dari Daeng Mangading, perompak dari Celebes, Kapten Herman mendaratkan kapalnya di Sindanglaut dan mencari gua yang tertera dalam peta. Kapten Herman berencana menyembunyikan emas batangan itu. Emas itu akan diambil setelah dia mendapatkan kapal baru dan akan melarikan diri ke Portugal. Disana dia membelanjakan emas-emas itu dan akan hidup dengan tenang. Kapten Herman berpikir bahwa gaji seumur hidupnya sebagai prajurit VOC tidak akan dapat membuatnya kaya raya. Peti berisi emas yang dibawanya adalah 80 buah peti, jadi masing-masing orang akan mendapatkan dua peti penuh emas batangan. Jika emas itu dijual akan berharga jutaan gulden, cukup untuk hidup mewah sampai tua. Kapten Herman sendiri tidak tahu darimana asal emas batangan itu. Dia hanya diperintahkan mengambil emas-emas itu dari New Guinea dan membawanya ke Batavia untuk diserahkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Kapten Herman telah merencanakan dengan matang pelariannya. Pertama dia mengirim kabar bahwa kapalnya mengalami kerusakan. Kemudian dia mengirimkan permintaan bantuan. Setelah itu dia mendaratkan isi dan awak kapal di Sindanglaut, dan menenggelamkan kapal Roode Leeuw. Mereka mendarat di pantai Sindanglaut dengan sekoci-sekoci penyelamat.
“Kapten! Kapten! Kijken naar deze! Lihat ini!“ teriak Pieter Cornelisz dengan nada gembira.
“Ada apa?” tanya Kapten Herman penasaran sambil berlari ke arah Pieter yang berada di tempat yang agak tersembunyi dan gelap.
Pieter berdiri di sebuah sudut, didekatnya tampak lima buah rakit yang berlumut dan tertumpuk dengan rapi. Kapten Herman segera memeriksa rakit-rakit itu. Tampaknya semua rakit itu masih dapat digunakan.
“Panggil semua rekanmu, dan angkat rakit-rakit ini ke danau! Cepat!“ perintah Kapten Herman dengan penuh semangat.
Beberapa saat kemudian, puluhan anak buah Kapten Herman bergegas mengangkat kelima rakit itu ke danau. Dalam waktu singkat kelima rakit itu sudah berada di atas air danau yang dingin. Jan Bocnan mencoba menaiki rakit itu. Kemudian setelah dirasa rakit itu cukup kuat dan tidak akan tenggelam, Jan Bocnan mengangkat sebuah peti dan menaruhnya di atas rakit.
“Nee! Nee! Biarkan peti itu dulu. Kamu pergi saja dulu ke sana, jika benar-benar ada daratan di ujung sana, kamu dapat membawa peti-peti itu!” Kapten Herman mencegah Jan membawa peti itu.
“Pieter, Tijmen, Frans, Daniel! Temani Jan Bocnan! Jika sudah menemui daratan segera kembali!” perintah Kapten Herman.
Keempat orang yang dipanggil Kapten Herman segera naik ke rakit yang dinaiki Jan Bocna. Kemudian tanpa bersuara mereka segera mendayung rakit menuju ke ujung danau yang tak terlihat. Kapten Herman dan prajurit VOC lainnya menunggu dengan tegang. Kapten Herman berjalan mondar-mandir sambil sesekali melihat dengan teropongnya ke arah Jan Bocnan dan rekan-rekannya yang semakin lama terlihat semakin mengecil dan akhirnya tidak terlihat lagi.
Kesunyian kini menyelimuti gua itu. Kapten Herman dan kawan-kawan yang menunggu di tepi danau tidak berniat berkata sepatah katapun. Mereka menunggu dengan cemas apa yang akan terjadi pada Jan Bocnan dan kawan-kawan. Satu jam telah berlalu, tidak ada tanda-tanda kemunculan Jan Bocnan dan kawan-kawan. Kapten Herman tampak gelisah, teropongnya menyapu seluruh penjuru danau, tetapi tidak ada tanda-tanda kemunculan rakit yang dinaiki Jan Bocnan.
Setelah menunggu selama dua jam, barulah terlihat rakit dari arah danau menuju ke arah Kapten Herman dan anak buahnya.
“Itu mereka!” teriak Otto Vollenhoven kegirangan.
Mereka segera berlarian ke tepi danau tidak sabar menanti kabar yang dibawa Jan Bocnan dan kawan-kawan.
“Apa yang terjadi?”
“Ada apa di sana?”
“Bagaimana keadaan di sana?”
“Mengapa lama sekali?”
Berbagai pertanyaan meluncur ketika Jan Bocnan mendarat di tepi danau. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan kecemasan atau ketakutan, malah menampakkan kegembiraan. Itu artinya Jan menemukan sesuatu yang berarti.
“Ja! Kami menemukan daratan di sana. Gua ini adalah kubah yang melengkung yang sangat luas, sehingga ujung danau tidak kelihatan. Di sana ada celah kecil yang menghubungkan gua ini dengan lembah kecil yang dikelilingi tebing-tebing curam yang sangat tinggi. Di sana banyak tumbuhan dan binatang liar. Kami sudah mengelilingi lembah itu, dan satu-satunya jalan menuju lembah itu adalah melalui gua ini. Jadi tidak mungkin ada orang lain yang mengetahui keberadaan lembah itu!” terang Jan Bocnan dengan penuh semangat, setelah dia turun dari rakit.
“U bent verkeerd, Jan, Kamu salah, sudah banyak yang mengetahui lembah itu. Pembuat peta ini dan rakit-rakit itu menunjukkan bahwa tempat itu sudah pernah dijamah manusia tetapi dilupakan. Tetapi jangan khawatir, kita akan membuat jebakan-jebakan sehingga orang yang masuk akan celaka jika tidak tahu caranya. Sekarang mari kita berangkat ke sana!” kata Kapten Herman mengoreksi keterangan Jan dan memberi perintah pasukannya untuk segera berangkat.
Mereka segera berangkat menuju lembah yang diceritakan Jan Bocnan. Peti-peti terkunci berisi emas batangan dinaikkan ke atas rakit. Mereka segera mendayung rakit-rakit mereka menyeberangi danau menuju lembah tersembunyi. Tanpa mereka sadari seseorang berpakaian kulit ular mendengarkan semua pembicaraan mereka dari suatu celah tersembunyi di langit-langit gua. Seekor monyet kecil tampak bertengger di pundaknya.
“Ayo, Wanara! Mereka tampaknya sudah pergi, ayo kita pergi. Sudah cukup yang kudengar tadi!” kata orang itu yang ternyata buta kedua matanya sambil melompat turun dari persembunyiannya.
Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sebuah kapal berbendera VOC baru saja merapat di dermaga. Kapal bernama Drie Coningen itu membawa dua tawanan dari Surabaya. Satu seorang keturunan Belanda bernama Suropati dan kedua seorang bernama Sakera dari Madura. Perawakan Suropati tak ubahnya orang Belanda pada umumnya. Berambut pirang dan berkulit putih, serta bermata biru. Tubuhnya tinggi tegap dan terlihat kokoh. Sedangkan tawanan lainnya, yaitu Sakera, bertubuh besar, hampir seperti raksasa, tingginya melebihi orang-orang Belanda. Kumis melintang menghiasi wajahnya yang nyaris tanpa senyum. Matanya merah, selalu menatap tajam pada orang yang memandangnya. Pasukan VOC mengawal dengan ketat kedua orang tawanan itu. Bahkan kedua tangan mereka dirantai. Kedua orang tersebut akan dipindahkan ke sebuah penjara bawah tanah rahasia di Cirebon. Kedua tawanan itu terlalu berbahaya jika ditempatkan di penjara biasa. Keduanya dijatuhi hukuman penjara dengan alasan berbeda. Suropati sebagai salah satu praju
Bukit Angsa, Tegal, senja menjelang malam. Seorang pengendara kuda tampak memacu kudanya dengan kencang seolah dikejar setan. Pakaiannya tampak compang-camping, beberapa luka gores menghiasi sekujur tubuhnya. Dia adalah Patih Sindurejo. Entah bagaimana caranya dia dapat keluar dari ibukota Tegal, yang pasti saat ini dia sedang memacu kudanya dengan kencang menuju perbukitan. Tujuannya hanya satu, menemui pasukannya yang sudah menunggu di luar kota sesuai yang sudah direncanakan dengan matang. Sambil memacu kudanya, Sindurejo tak henti-hentinya berpikir tentang rencananya yang berantakan. Padahal dia sudah yakin rencananya akan berhasil dengan sempurna. Semua kemungkinan sudah diperhitungkan, semua rintangan yang akan terjadi sudah dipertimbangkan. Tetapi rupanya masih ada yang tidak terpikirkan oleh Sindurejo, sehingga semua rencana jadi berantakan. Sindurejo dapat lolos dari hadangan pasukan yang menjaga ibukota dengan merangkak melewati saluran air, masuk ke dalam rawa
Kyai Rangga memeriksa pasukannya yang terluka atau terbunuh saat pertempuran. 5 orang mengalami luka agak parah, 10 orang luka ringan, 3 orang tewas, dan 2 orang putus tangannya. Kyai Rangga memerintahkan Bhre Wiraguna dan pasukan yang tersisa untuk merawat yang terluka dan menguburkan yang tewas. Kemudian Kyai Rangga menghampiri pendekar berpakaian kulit ular, yang sejak tadi berdiam diri sambil berdiri mematung. “Terimakasih atas bantuan anda, siapakah anda? Dan mengapa membantu kami?” tanya Kyai Rangga. “Orang tuaku memberiku nama Badra, lengkapnya Badra Mandrawata. Aku hanya tidak suka ada pasukan lebih besar yang menyerang pasukan kecil. Lalu anda sendiri siapa dan hendak kemana? Mengapa bisa sampai di gua ini dan siapa yang menyerang anda?” ganti Badra yang mengajukan pertanyaan beruntun. Kyai Rangga menjelaskan dengan singkat siapa dirinya dan kemana tujuannya. Dijelaskan pula tentang pasukan pemberontak pimpinan Sindurejo. Sambil menjelaskan Kyai Rangga memperhatikan sosok
Sungai Citarum. Senja hari. Sesosok tubuh tak bernyawa terapung terbawa arus sungai. Semasa hidupnya mayat yang terapung itu bernama Sarip, seorang pemuda jagoan dari desa Tambak Oso. Selama ini, Sarip dikenal sebagai seorang pembela rakyat yang pemberani. Dia selalu melawan orang-orang yang menjadi pendukung VOC. Sarip terkenal karena kesaktian dan kekuatannya. Semua jagoan, berandal, perampok, dan pencuri yang mempunyai ilmu kesaktian, kekebalan, dapat dikalahkan oleh Sarip. Pasukan VOC tidak dapat menangkapnya dan tidak dapat melukainya. Sarip kebal terhadap senjata api milik VOC. Tombak, keris, panah, golok, pedang, sabit, dan berbagai senjata tajam lainnya tidak dapat digunakan untuk melukai Sarip yang mempunyai kulit sekeras baja. Sarip mempunyai kesaktian seperti itu karena sejak kecil dia sudah berguru pada seorang pertapa sakti bernama Kyai Tunggul Wulung. Sarip yang sejak berumur lima tahun telah ditinggal mati ayahnya, telah dianggap anak sendiri oleh Kyai Tunggul Wulung. S
Pemakaman anak buah pasukan Kyai Rangga yang tewas sudah selesai beberapa saat yang lalu. Pasukan yang mengalami luka-luka juga sudah mendapat perawatan. Kyai Rangga merasa sudah cukup istirahat dan memutuskan melanjutkan perjalanan.“Wiraguna! Siapkan pasukan kita berangkat sekarang!” perintah Kyai Rangga pada Bhre Wiraguna.“Badra, mari kita bersiap meninggalkan tempat ini,” kata Kyai Rangga kepada Badra yang tampak sudah berada di atas kuda putihnya.Rombongan Kyai Rangga melanjutkan perjalanan. Kyai Rangga dan Badra tampak berkuda beriringan di depan, mereka melaju dengan kecepatan sedang. Perjalanan mereka melintasi pantai menuju ke arah Kadipaten Cirebon. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bersuara sama sekali. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri.Tiga jam kemudian sampailah mereka di kawasan pantai Kadipaten Cirebon. Mereka berkuda melintasi hutan bakau yang cukup lebat. Kuda yang mereka kendarai sudah
Pantai Sindanglaut. Sebuah benda bulat melayang di atas permukaan air yang bergelombang di pantai Sindanglaut. Benda berwarna keperakan itu melayang-layang di atas deburan ombak di karang. Benda yang mirip sebuah piring yang terbang itu kemudian mendarat pantai yang sepi. Dari dalam benda itu muncul kira-kira 100 orang berseragam hitam. Mereka turun dengan berlari-lari kecil sambil kedua belah tangan mereka memegang senjata seperti pentungan besi. Wajah mereka tampak aneh karena tertutup topeng hitam. Pasukan itu berbaris di tepi pantai. Sementara itu keluar dari dalam dengan pakaian berwarna keperakan adalah pemimpin mereka yang mereka sebut Samiri. Tanpa diperintah pasukan itu membentuk barisan dan memberi hormat pada pemimpin mereka, Samiri.Samiri berdiri tegak di hadapan anak buahnya. Samiri mengenakan sebuah topeng berwarna hitam terbuat dari besi. Tak seorang pun anak buahnya pernah melihat wajah asli Samiri. Sejak pertama kali bertemu dengan Samiri mereka telah
Sindurejo merasakan sekujur tubuhnya pegal dan linu. Bahu dan tangan kanannya tampak memar-memar akibat menabrak dinding karang saat dihantam raksasa jelmaan Kyai Rangga. Sindurejo berbaring di bawah sebuah pohon rindang yang membuatnya merasa nyaman. Pasukan Sindurejo juga tampak berisitirahat, ada yang berbaring, duduk, tidur, makan, dan minum. Mereka tampak kelelahan dan kesakitan akibat pertempuran dengan pasukan Kyai Rangga. Mereka berhasil melarikan diri dari amarah Kyai Rangga yang berubah menjadi raksasa ganas. Rasa ngeri masih terbayang di raut wajah mereka, sebab mereka tidak pernah menduga kalau Kyai Rangga bisa berubah menjadi raksasa.Sindurejo berbaring sambil merenungkan kegagalan demi kegagalan yang dialaminya. Rasanya dia sudah merencanakan dengan baik, tetapi tetap saja dia gagal. Sekarang dia harus menghadapi kenyataan, pasukannya kocar-kacir dan terluka. Tubuhnya serasa sakit semua. Jika saja pasukan Kyai Rangga mengejar mereka, pastilah dia dan pasu
Jatibarang. Pagi hari. Suara derap kuda bercampur dengan teriakan membahana di seluruh penjuru hutan membuat Sarip merasa terganggu dan ingin tahu apa yang membuat keributan itu. Sarip segera mencari arah suara itu dengan memanjat sebuah pohon yang ada di dekatnya. Dari kejauhan dilihatnya 5 prajurit VOC yang menaiki kuda sambil salah satunya membawa seorang wanita yang meronta-ronta. Sarip segera turun dari pohon, kemudian berlari menuju ke arah rombongan yang datang itu untuk menghadangnya.“Tolong-tolong!! Lepaskan aku!” teriak wanita yang dipegang erat oleh seorang prajurit VOC di atas seekor kuda itu.“Schreeuwen hardop, niemand gehoord! Teriaklah sekerasmu, tak ada yang mendengar!” kata prajurit VOC sambil menahan tubuh wanita yang meronta-ronta.Wanita yang duduk menyamping di atas kuda itu semakin keras meronta, hingga akhirnya prajurit VOC itu tak kuasa lagi memeganginya. Akibatnya wanita dan prajurit VOC itu terjatuh dari kuda m
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a