Matahari mulai terlihat di ufuk timur, ketika Adijaya dan para prajuritnya berhasil sepenuhnya memadamkan api yang membakar gedung pusaka. Sisa asap masih mengepul di udara. Tampak wajah-wajah kelelahan di sekeliling gedung pusaka itu, setelah hampir semalaman mereka merusaha memadamkan api. Adijaya sengaja tidak memberitahu Kyai Rangga tentang kejadian di gedung senjata. Dia tidak ingin mengganggu istirahat Kyai Rangga yang akan menempuh perjalanan jauh. Tetapi sekarang dia tahu ada yang ingin mengganggu atau setidaknya mencegah Kyai Rangga sampai di Batavia. Adjiaya segera memanggil Bhre Wiraguna, Lembu Sora, dan Arya Tejawungu.
“Waktu kita terbatas, sebentar lagi matahari terbit, aku tidak ingin Kyai Rangga mendengar satu kata pun tentang kejadian di gedung pusaka. Aku ingin perjalanan Kyai Rangga ke Batavia tidak menemui halangan apapun, untuk itu, kuperintahkan pada kalian untuk mencegah siapapun atau pasukan apapun yang berniat keluar dari ibukota setelah kepergian Kyai Rangga. Jika mereka tetap melawan, habisi,” jelas Adijaya pada ketiga orang bawahannya itu.
Tanpa banyak bicara ketiga orang itu segera menjalankan perintah Adijaya. Mereka bergerak dengan cepat, sehingga begitu matahari terbit, semua jalan keluar dari ibukota telah dijaga ketat, bahkan saking ketatnya semutpun tidak akan lolos dari hadangan mereka.
Sementara itu, di Dalem Kadipaten, Kyai Rangga sudah siap-siap berangkat, kuda kesayangan Kyai Rangga yang berbulu putih bersih telah disiapkan. Dua puluh prajurit dari pasukan khusus pimpinan Bhre Wiraguna telah menaiki kuda mereka masing-masing, tinggal menunggu perintah untuk berangkat. Kyai Rangga keluar dari dalem kadipaten diiringi oleh Nyai Satumi.
“Baiklah Nyai, aku berangkat sekarang,” kata Kyai Rangga sambil menaiki kudanya.
Bhre Wiraguna memberi isyarat pada pasukannya untuk segera membentuk barisan disekeliling Kyai Rangga. Kemudian dengan sebuah teriakan yang keras dan hentakan pada kuda masing-masing, berangkatlah rombongan itu meninggalkan kadipaten Tegal, meninggalkan kepulan debu diudara dan diriingi doa dari Nyai Satumi.
Begitu Kyai Rangga meninggalkan ibukota, semua pintu keluar segera ditutup, balok-balok kayu besar dipasang ditengah jalan dijaga oleh prajurit dengan pedang terhunus. Adijaya beserta puluhan prajuritnya berjaga di pintu keluar sebelah timur kadipaten. Tak lama dia berjaga disitu, mendadak muncul serombongan pasukan dipimpin langsung oleh Patih Sindurejo hendak keluar dari ibukota kadipaten. Adijaya segera menghadang rombongan itu.
“Oh, Kanjeng patih rupanya, hendak kemana paduka di pagi yang cerah ini?” sapa Adijaya sesaat setelah rombongan Patih Sindurejo mendekatinya.
“Hmm, eh.. sebagai penguasa sementara kadipaten Tegal, aku memutuskan untuk berpatroli mengelilingi kadipaten, untuk memastikan keadaan aman dan tentram sepeninggal Kanjeng Adipati,” jawab Patih Sindurejo.
“Mohon maaf, kanjeng patih, sebaiknya untuk tugas sepele seperti itu biarlah hamba yang melakukannya. Kanjeng patih sebaiknya mengatur pemerintahan dan tinggal memberi perintah,” kata Adijaya.
“Aku ingin memeriksa sendiri keamanan di kawasan ini, karena merupakan amanah yang diberikan oleh Kanjeng Adipati padaku,” kata Patih Sindurejo mencari alasan.
“Sekali lagi mohon maaf, kanjeng patih, semua tugas pengamanan sudah diberikan pada hamba, dan hamba tidak ingin kanjeng patih berhadapan dengan bahaya. Biarlah hamba dan para prajurit yang akan menghadapinya,” kata Adijaya, tetap dengan penuh kesopanan.
“Jadi, kamu melarangku untuk keluar dari kadipaten?” tanya patih Sindurejo, mulai naik pitam.
“Bukan begitu, hamba hanya ingin menjaga keselamatan kanjeng patih,” kata Adijaya, berusaha untuk tidak terpancing kemarahan patih Sindurejo.
“Aku bisa menjaga keselamatan diriku sendiri!” bentak patih Sindurejo, yang sudah kehilangan kesabarannya.
“Mohon beribu maaf kanjeng patih,” kata Adijaya tetap dengan sikap merendah.
Patih Sindurejo terlihat sangat marah, dia menghela kudanya untuk menerjang Adijaya dan prajuritnya. Tetapi dengan sigap Adijaya mengambil sebuah tombak dari tangan salah seorang prajuritnya dan menghadang laju kuda dengan tombak mengarah ke leher kuda yang melaju. Melihat sikap Adijaya itu, patih Sindurejo segera menarik tali kekang kuda untuk menghentikan lajunya.
“Keparat! Apa maksudmu!” teriak patih Sindurejo.
“Hamba hanya menjalankan perintah!” jawab Adijaya tegas, dengan tombak masih terjulur.
“Prajurit! Serang!” teriak patih Sindurejo pada pasukannya.
Serentak terdengar bunyi pedang dan keris yang terhunus dari kedua pasukan yang berhadapan itu. Pertempuran tak dapat dihindari, dua pasukan itu saling serang. Adijaya dengan tombak terhunus menerjang ke arah patih Sindurejo. Tetapi Patih Sindurejo telah siap, pedangnya dapat menangkis serangan itu, tetapi dia hilang keseimbangan dan hampir terjatuh dari kudanya. Melihat kesempatan itu dengan satu gerakan cepat tombak Adijaya telah menghunjam ke tubuh kuda tunggangan Patih Sindurejo. Tak pelak lagi, kuda itu jatuh berdebam dengan darah mengucur deras. Patih Sindurejo dengan sigap melompat dari punggung kuda sebelum kuda itu jatuh mencium tanah.
Patih Sindurejo berdiri dengan kuda-kuda kokoh, siap menunggu serangan Adijaya. Tetapi Adijaya tidak langsung menyerang dia hanya menunggu. Tak sabar, patih Sindurejo bergerak mendahului menyerang Adijaya. Pedang milik Patih Sindurejo menyambar-nyambar mencarai sasaran. Adijaya hanya menangkis dan berusaha menghindar, dengan sesekali melancarkan serangan yang tak terduga. Patih Sindurejo terus menyerang dengan membabi-buta. Adijaya dengan tenang dan waspada tetap bertahan dari serangan itu.
Sementara itu, di pintu keluar kadipaten yang lain, beberapa pasukan bersenjata yang mencoba keluar dari kadipaten berhasil dihalau oleh pasukan Adijaya yang menjaga dengan ketat. Bahkan beberapa orang ditangkap dan segera diperiksa, tetapi tidak ada yang mengaku siapa yang menyuruh mereka dan tujuan mereka keluar dari kadipaten. Orang-orang itu segera dibawa ke penjara untuk diperiksa lebih lanjut.
Saat Adijaya dan pasukannya disibukkan oleh para penyusup yang hendak keluar dari kadipaten, Kyai Rangga dan rombongannya telah jauh meninggalkan kadipaten Tegal. Mereka memacu kuda dengan kecepatan sedang, agar kuda tidak mudah lelah. Mereka akan berkuda sepanjang pantai utara pulau jawa hingga sampai di Batavia. Dibutuhkan waktu dua hari penuh untuk menempuh jarak sekitar 329 km itu, dengan istirahat beberapa kali dan jika tidak ada halangan di jalan. Saat ini mereka telah memasuki daerah Brebes, mereka tetap memacu kudanya dengan kecepatan sedang.
Pada saat yang sama pintu keluar Kadipaten Tegal, Adijaya mulai berhasil memukul mundur Patih Sindurejo. Kini giliran Adijaya yang melancarkan serangan dengan cepat dan terarah, hasilnya dalam beberapa jurus, tombak Adijaya telah berhasil melukai lengan kanan kanan Patih Sindurejo. Hal itu membuat posisi Patih Sindurejo tidak menguntungkan. Tangan kanannya yang memegang pedang menjadi lemah karena luka di lengannya mengeluarkan darah terus menerus. Menyadari hal itu, Patih Sindurejo segera memutuskan untuk melarikan diri. Dengan suatu gerakan salto ke belakang, Patih Sindurejo menjauhi Adijaya, dan berikutnya dengan langkah cepat dia melarikan diri dari arena pertempuran meninggalkan pasukannya yang masih sengit bertempur. Adijaya sengaja tidak mengejar Patih Sindurejo, tetapi dia memanggil salah seorang prajuritnya dan memerintahkannya untuk membuntuti Patih Sindurejo. Mengetahui pimpinannya telah melarikan diri, pasukan Patih Sindurejo segera menghentikan serangan mereka dan hendak ikut melarikan diri. Tetapi pasukan Adijya dengan sigap berhasil menangkap dan melucuti senjata mereka. Adijaya tampak tersenyum puas dengan hasil kerja pasukannya.
“Bawa mereka ke penjara! Tetap waspada, jangan sampai ada orang yang berhasil keluar sampai besok pagi!” perintah Adijaya kepada pasukannya, kemudian dia meninggalkan tempat itu untuk memeriksa tempat lainnya.
Kyai Rangga dan rombongannya terus memacu kuda mereka melintasi jalanan berdebu di sepanjang kawasan Brebes, sebelum akhirnya mereka sampai di sebuah tepi hutan.
“Apakah kita akan memasuki hutan ini?” tanya Bhre Wiraguna.
“Sebaiknya kita jalan memutar saja lewat daerah persawahan, hutan ini kelihatannya terlalu rindang, kita bisa tersesat di dalamnya,” kata Kyai Rangga.
“Kalau begitu kita harus lewat bukit kecil sebelah timur itu?” tanya Bhre Wiraguna.
“Tampaknya hanya itu jalan yang terdekat,” kata Kyai Rangga.
Mereka segera memutar kudanya untuk diarahkan ke bukit kecil itu. Rombongan itu tetap memacu kudanya diiringi matahari yang bersinar semakin panas.
Tepi pantai kawasan Sindanglaut. Angin laut bertiup dengan kencang ketika serombongan orang dengan seragam VOC, tampak berjalan sambil membawa peti-peti terkunci. Mereka membawa peti-peti itu ke sebuah gua tak jauh dari pantai. Jumlah rombongan itu adalah 40 orang, dibawah pimpinan Kapten Herman Bondervijnon. Satu per satu anggota rombongan itu memasuki gua. Kapten Herman yang terakhir memasuki gua sambil memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka. Gua di tepi pantai itu cukup besar, walaupun pintu masuk gua tampak kecil. Di bagian dalam bentuk gua itu seperti kubah besar. Beberapa orang memegang obor untuk menerangi gua yang gelap gulita itu. Dengan diterangi cahaya obor mereka terus memasuki perut gua itu. Mereka perjalan dengan pelan dan sangat hati-hati, karena jalan yang tidak rata dan licin. Bunyi gemericik air di seluruh penjuru gua mengiringi langkah kaki mereka.“Kapten, kita pilih ke kiri atau kanan!” tanya Jan Bocnan yang berjalan paling depan saat tiba di sebuah
Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sebuah kapal berbendera VOC baru saja merapat di dermaga. Kapal bernama Drie Coningen itu membawa dua tawanan dari Surabaya. Satu seorang keturunan Belanda bernama Suropati dan kedua seorang bernama Sakera dari Madura. Perawakan Suropati tak ubahnya orang Belanda pada umumnya. Berambut pirang dan berkulit putih, serta bermata biru. Tubuhnya tinggi tegap dan terlihat kokoh. Sedangkan tawanan lainnya, yaitu Sakera, bertubuh besar, hampir seperti raksasa, tingginya melebihi orang-orang Belanda. Kumis melintang menghiasi wajahnya yang nyaris tanpa senyum. Matanya merah, selalu menatap tajam pada orang yang memandangnya. Pasukan VOC mengawal dengan ketat kedua orang tawanan itu. Bahkan kedua tangan mereka dirantai. Kedua orang tersebut akan dipindahkan ke sebuah penjara bawah tanah rahasia di Cirebon. Kedua tawanan itu terlalu berbahaya jika ditempatkan di penjara biasa. Keduanya dijatuhi hukuman penjara dengan alasan berbeda. Suropati sebagai salah satu praju
Bukit Angsa, Tegal, senja menjelang malam. Seorang pengendara kuda tampak memacu kudanya dengan kencang seolah dikejar setan. Pakaiannya tampak compang-camping, beberapa luka gores menghiasi sekujur tubuhnya. Dia adalah Patih Sindurejo. Entah bagaimana caranya dia dapat keluar dari ibukota Tegal, yang pasti saat ini dia sedang memacu kudanya dengan kencang menuju perbukitan. Tujuannya hanya satu, menemui pasukannya yang sudah menunggu di luar kota sesuai yang sudah direncanakan dengan matang. Sambil memacu kudanya, Sindurejo tak henti-hentinya berpikir tentang rencananya yang berantakan. Padahal dia sudah yakin rencananya akan berhasil dengan sempurna. Semua kemungkinan sudah diperhitungkan, semua rintangan yang akan terjadi sudah dipertimbangkan. Tetapi rupanya masih ada yang tidak terpikirkan oleh Sindurejo, sehingga semua rencana jadi berantakan. Sindurejo dapat lolos dari hadangan pasukan yang menjaga ibukota dengan merangkak melewati saluran air, masuk ke dalam rawa
Kyai Rangga memeriksa pasukannya yang terluka atau terbunuh saat pertempuran. 5 orang mengalami luka agak parah, 10 orang luka ringan, 3 orang tewas, dan 2 orang putus tangannya. Kyai Rangga memerintahkan Bhre Wiraguna dan pasukan yang tersisa untuk merawat yang terluka dan menguburkan yang tewas. Kemudian Kyai Rangga menghampiri pendekar berpakaian kulit ular, yang sejak tadi berdiam diri sambil berdiri mematung. “Terimakasih atas bantuan anda, siapakah anda? Dan mengapa membantu kami?” tanya Kyai Rangga. “Orang tuaku memberiku nama Badra, lengkapnya Badra Mandrawata. Aku hanya tidak suka ada pasukan lebih besar yang menyerang pasukan kecil. Lalu anda sendiri siapa dan hendak kemana? Mengapa bisa sampai di gua ini dan siapa yang menyerang anda?” ganti Badra yang mengajukan pertanyaan beruntun. Kyai Rangga menjelaskan dengan singkat siapa dirinya dan kemana tujuannya. Dijelaskan pula tentang pasukan pemberontak pimpinan Sindurejo. Sambil menjelaskan Kyai Rangga memperhatikan sosok
Sungai Citarum. Senja hari. Sesosok tubuh tak bernyawa terapung terbawa arus sungai. Semasa hidupnya mayat yang terapung itu bernama Sarip, seorang pemuda jagoan dari desa Tambak Oso. Selama ini, Sarip dikenal sebagai seorang pembela rakyat yang pemberani. Dia selalu melawan orang-orang yang menjadi pendukung VOC. Sarip terkenal karena kesaktian dan kekuatannya. Semua jagoan, berandal, perampok, dan pencuri yang mempunyai ilmu kesaktian, kekebalan, dapat dikalahkan oleh Sarip. Pasukan VOC tidak dapat menangkapnya dan tidak dapat melukainya. Sarip kebal terhadap senjata api milik VOC. Tombak, keris, panah, golok, pedang, sabit, dan berbagai senjata tajam lainnya tidak dapat digunakan untuk melukai Sarip yang mempunyai kulit sekeras baja. Sarip mempunyai kesaktian seperti itu karena sejak kecil dia sudah berguru pada seorang pertapa sakti bernama Kyai Tunggul Wulung. Sarip yang sejak berumur lima tahun telah ditinggal mati ayahnya, telah dianggap anak sendiri oleh Kyai Tunggul Wulung. S
Pemakaman anak buah pasukan Kyai Rangga yang tewas sudah selesai beberapa saat yang lalu. Pasukan yang mengalami luka-luka juga sudah mendapat perawatan. Kyai Rangga merasa sudah cukup istirahat dan memutuskan melanjutkan perjalanan.“Wiraguna! Siapkan pasukan kita berangkat sekarang!” perintah Kyai Rangga pada Bhre Wiraguna.“Badra, mari kita bersiap meninggalkan tempat ini,” kata Kyai Rangga kepada Badra yang tampak sudah berada di atas kuda putihnya.Rombongan Kyai Rangga melanjutkan perjalanan. Kyai Rangga dan Badra tampak berkuda beriringan di depan, mereka melaju dengan kecepatan sedang. Perjalanan mereka melintasi pantai menuju ke arah Kadipaten Cirebon. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bersuara sama sekali. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri.Tiga jam kemudian sampailah mereka di kawasan pantai Kadipaten Cirebon. Mereka berkuda melintasi hutan bakau yang cukup lebat. Kuda yang mereka kendarai sudah
Pantai Sindanglaut. Sebuah benda bulat melayang di atas permukaan air yang bergelombang di pantai Sindanglaut. Benda berwarna keperakan itu melayang-layang di atas deburan ombak di karang. Benda yang mirip sebuah piring yang terbang itu kemudian mendarat pantai yang sepi. Dari dalam benda itu muncul kira-kira 100 orang berseragam hitam. Mereka turun dengan berlari-lari kecil sambil kedua belah tangan mereka memegang senjata seperti pentungan besi. Wajah mereka tampak aneh karena tertutup topeng hitam. Pasukan itu berbaris di tepi pantai. Sementara itu keluar dari dalam dengan pakaian berwarna keperakan adalah pemimpin mereka yang mereka sebut Samiri. Tanpa diperintah pasukan itu membentuk barisan dan memberi hormat pada pemimpin mereka, Samiri.Samiri berdiri tegak di hadapan anak buahnya. Samiri mengenakan sebuah topeng berwarna hitam terbuat dari besi. Tak seorang pun anak buahnya pernah melihat wajah asli Samiri. Sejak pertama kali bertemu dengan Samiri mereka telah
Sindurejo merasakan sekujur tubuhnya pegal dan linu. Bahu dan tangan kanannya tampak memar-memar akibat menabrak dinding karang saat dihantam raksasa jelmaan Kyai Rangga. Sindurejo berbaring di bawah sebuah pohon rindang yang membuatnya merasa nyaman. Pasukan Sindurejo juga tampak berisitirahat, ada yang berbaring, duduk, tidur, makan, dan minum. Mereka tampak kelelahan dan kesakitan akibat pertempuran dengan pasukan Kyai Rangga. Mereka berhasil melarikan diri dari amarah Kyai Rangga yang berubah menjadi raksasa ganas. Rasa ngeri masih terbayang di raut wajah mereka, sebab mereka tidak pernah menduga kalau Kyai Rangga bisa berubah menjadi raksasa.Sindurejo berbaring sambil merenungkan kegagalan demi kegagalan yang dialaminya. Rasanya dia sudah merencanakan dengan baik, tetapi tetap saja dia gagal. Sekarang dia harus menghadapi kenyataan, pasukannya kocar-kacir dan terluka. Tubuhnya serasa sakit semua. Jika saja pasukan Kyai Rangga mengejar mereka, pastilah dia dan pasu
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a