Dalem kadipaten Tegal terlihat sunyi dari luar. Lampu-lampu minyak tampak menyala, menerangi dalem kadipaten. Di dalam, beberapa orang berkumpul menghadap Kyai Rangga, Sang Bupati. Mereka adalah Senapati Adijaya, Panglima tertinggi angkatan perang kadipaten Tegal. Bhre Wiraguna, pemimpin pasukan telik sandi, Lembu Sora, pemimpin pasukan panah, dan Arya Tejawungu pemimpin pasukan khusus. Mereka berkumpul untuk membicarakan rencana kepergian Kyai Rangga ke Batavia.
“Bagaimana persiapan untuk perjalananku besok pagi?” tanya Kyai Rangga.
“Semua sudah siap. Tinggal menunggu titah berangkat. Ada dua puluh orang dari pasukan khusus dan kanda Bhre Wiraguna yang akan menemani perjalanan paduka ke Batavia,” kata Adijaya yang mendapat tugas mempersiapkan pasukan yang akan mengawal Kyai Rangga ke Batavia.
“Bagus. Selama kepergianku tampuk pemerintahan Tegal kuserahkan pada Patih Sindurejo. Akan tetapi, seluruh kendali pasukan tetap ada ditangan Senapati Adijaya,” kata Kyai Rangga.
“Baik, segala titah kanjeng adipati akan saya laksanakan sebaik-baiknya,” kata Adijaya.
“Aku hanya berpesan satu hal kepadamu, pasang mata dan telinga baik-baik. Terutama segala gerak-gerik patihku, Sindurejo. Kamu pasti tahu mengapa aku memerintahkan begitu,” kata Kyai Rangga sambil tersenyum.
“Ya, saya tahu. Karena itulah, saya telah mengubah jadwal dan rute keberangkatan Adipati menuju ke Batavia,” kata Adijaya.
“Bagus, kamu memang benar-benar dapat diandalkan. Sekarang aku harus istirahat, pastikan tidak ada satupun yang akan menggangguku!” kata Kyai Rangga mengakhiri pertemuan.
Kyai Rangga segera menuju ke tempat peristirahatannya, sedangkan keempat anak buahnya masing-masing harus melaksanakan tugasnya.
Senapati Adijaya memerintahkan Bhre Wiraguna, Lembu Sora dan Arya Tejawungu untuk menyiapkan segala perbekalan dan perlengkapan yang diperlukan untuk perjalanan esok. Tanpa banyak bicara mereka segera melakukan tugasnya masing-masing.
Sementara itu Bayu Suta sedang menemui Wirayuda, Kanigoro, dan Aryo Pamungkas. Bayu Suta menjelaskan secara ringkas perintah patih Sindurejo kepada mereka. Mendengar perintah Sindurejo itu, tidak tampak keterkejutan di wajah mereka. Rupanya Sindurejo sudah sering memanggil mereka secara mendadak sehingga mereka sudah terbiasa. Maka keempat orang itu segera berangkat menuju kepatihan. Mereka berjalan dengan cepat dan nyaris tanpa suara, seolah takut ada orang yang melihat mereka. Tak berapa lama sampailah mereka di kepatihan. Patih SIndurejo tampak sudah menunggu mereka di pendopo kepatihan.
“Cepat ikuti aku!” kata Sindurejo dengan suara perlahan, begitu Bayu Suta dan kawan-kawan datang.
Sindurejo bergegas menuju gedung pusaka, diikuti oleh keempat anak buahnya. Penjaga gedung pusaka tampak terkejut melihat kehadiran Patih Sindurejo dan anak buahnya. Penjaga itu tampak waspada dan memandang dengan penuh curiga pada rombongan Patih Sindunata, karena tidak dapat melihat dengan jelas di gelapnya malam itu. Tetapi setelah Patih Sindurejo mendekat dan terkena sinar lampu minyak dan obor yang menyala di depan gedung pusaka, penjaga mengurangi sikap waspadanya.
“Oh, kanjeng Patih, kiranya, ada yang perlu saya bantu?” tanya penjaga itu.
“Cepat buka pintunya, aku ingin mengambil beberapa persenjataan untuk persiapan keberangkatan Kanjeng Adipati ke Batavia!” kata Sindurejo dengan tegas.
Sambil memberi penghormatan penjaga segera membuka pintu gedung pusaka yang terbuat dari besi itu. Patih Sindurejo diiringi oleh Bayu Suta, Wirayuda, Kanigoro, dan Aryo Pamungkas masuk ke dalam gedung pusaka dengan cepat seolah takut ada yang melihat mereka. Sindurejo kemudian memberi isyarat pada penjaga untuk menutup pintu. Walau agak heran penjaga menuruti juga perintah Sindurejo itu. Tetapi sebelum penjaga menutup pintu, Sindurejo menghampiri penjaga itu.
“Jika ada yang datang, jangan katakan kalau aku ada di dalam! Mengerti?” kata Sindurejo.
Penjaga itu mengangguk tanda mengerti dan segera menutup pintu.
“Aku ingin kalian membawa senjata terbaik untuk besok pagi. Jadi aku membawa kalian ke gedung pusaka ini. Aku tahu, kalian mempunyai senjata andalan masing-masing, tetapi aku yakin senjata yang ada dalam gedung pusaka ini mempunyai keampuhan yang lebih dari senjata kalian,” kata Sindurejo sambil berjalan menuju ruangan tengah gedung pusaka.
“Tapi, apa yang harus kami lakukan besok pagi dengan senjata pusaka itu?” tanya Kanigoro yang belum mengetahui maksud Sindurejo.
“Apakah Bayu Suta belum menjelaskan padamu?” Sindurejo balik bertanya dengan keheranan dan memandang Bayu Suta untuk meminta jawaban.
“Mohon maaf kanjeng patih, saya sudah jelaskan garis besarnya, tetapi secara terperinci belum saya jelaskan, karena saya sendiri belum tahu,” kata Bayu Suta.
“Hmm, baiklah. Dengarkan kalian semua. Besok pagi seperti yang telah kalian ketahui, Kyai Rangga akan berangkat menuju Batavia untuk menyampaikan surat dari Sultan Agung. Inilah kesempatan bagi kita untuk merebut kekuasaan di Tegal ini. Maka aku memutuskan untuk menghabisi rombongan Kyai Rangga dalam perjalanan menuju Batavia. Dengan demikian Tegal akan jatuh dalam kekuasaanku. Oleh sebab itulah aku membutuhkan kalian untuk tugas yang berbahaya ini. Aku tahu dan percaya atas ketangguhan dan kemampuan kalian. Walau begitu aku perlu memberi kalian senjata yang tepat untuk tugas ini,” jelas Sindurejo.
“Di mana kita akan menghadang rombongan itu?” tanya Wirayuda.
“Di luar Kotagede, tepatnya di daerah perbukitan karanganyar, jadi kalian harus berangkat malam ini juga dan mendahului rombongan Kyai Rangga. Aku sudah siapkan perbekalan dan beberapa kuda yang bagus untuk kalian. Sekarang cepat cari pusaka yang kalian inginkan, dan ingat, tetaplah waspada, sewaktu-waktu ada orang yang masuk kalian harus lekas sembunyi,” perintah Sindurejo.
“Sendiko dawuh,” jawab keempat anak buah Sindurejo hampir bersamaan.
Menit-menit berikutnya, mereka sibuk mencari senjata yang sesuai dengan kemampuan mereka. Banyaknya senjata dalam gedung pusaka ternyata membuat mereka kebingungan. Selama beberapa saat mereka hanya berputar-putar dari satu senjata ke senjata lainnya. Sementara itu Sindurejo tampak gelisah berjalan mondar-mandir sambil sesekali memandang anak buahnya yang kebingungan mencari senjata di tengah temaramnya lampu minyak yang menerangi gedung pusaka itu.
Mendadak, pintu besi gedung pusaka berderit dan terbuka, secara reflek, Sindurejo melakukan salto ke udara, mendarat di tepi ruangan dan merapatkan tubuhnya ke dinding. Bayu Suta, Wiraguna, Kanigoro, dan Aryo Pamungkas melakukan hal yang sama dengan Sindurejo walau agak terlambat.
Senapati Adijaya bersama lima prajurit muncul dari balik pintu besi yang terbuka. Mereka berjalan dengan cepat tanpa memperhatikan kanan kiri dan langsung menuju deretan pedang dan tombak di ujung ruangan.
“Ambil tombak dan pedang yang kalian butuhkan, setelah itu kalian bawa ke depan dalem kadipaten!” perintah Adijaya kepada prajuritnya.
Tanpa banyak bicara lima prajurit itu segera memilih pedang dan tombak yang mereka butuhkan. Sementara itu, Sindurejo dan anak buahnya berada ditempat persembunyian masing-masing sambil menahan napas. Sinar lampu minyak yang hanya menerangi bagian tengah gedung pusaka cukup membantu Sindurejo dan anak buahnya sembunyi di sudut-sudut gelap yang tak terjangkau cahaya lampu. Para prajurit Senapati Adijaya mengumpulkan beberapa tombak dan pedang di tengah ruangan dan mengikatnya jadi satu. Kemudian tanpa memperhatikan sekeliling mereka mengangkat senjata-senjata itu ke luar ruangan. Mendadak, sebelum senapati Adijaya dan para prajuritnya meninggalkan ruangan, Kanigoro yang merasa pegal mendadak hilang keseimbangan dan menjatuhkan sebuah tombak. Kontan saja tombak itu jatuh berdentang menimbulkan suara yang keras dan mengejutkan di dalam ruangan itu.
“He, ada apa!!” teriak senapati Adijaya.
Para prajurit tampak siaga dan segera menghampiri arah jatuhnya tombak.
Dari sudut yang gelap, Sindurejo yang melihat situasi yang tidak menguntungkan itu segera bertindak cepat. Sindurejo mengambil sebuah pisau yang terletak di dekatnya dan melemparkannya ke arah lampu minyak di tengah ruangan. Praaakk!! Terdengar suara pisau beradu dengan lampu minyak. Ruangan di tengah mendadak gelap. Tetapi masih ada tiga lampu minyak lagi yang masih menyala.
“Siapa itu!” bentak Adijaya.
Sindurejo mengambil tiga pisau sekaligus, dengan gerakan yang cepat dan hampir tak terlihat mata, dia melemparkan pisau itu kearah tiga lampu minyak yang masih menyala. Terdengar benturan yang keras saat pisau mengenai tiga buah lampu itu. Mendadak ruangan menjadi gelap gulita.
Adijaya segera berpikir cepat, ditengah kegelapan dia segera berlari menuju pintu masuk, kemudian dengan sekali hentak dia membuka pintu. Cahaya obor dari luar ruangan segera menerobos ke dalam ruangan.
“Penjaga berikan obor itu padaku!” perintah Adijaya pada penjaga gedung pusaka yang tampak kebingungan. Dengan penuh tanda tanya dan masih terkejut penjaga itu segera memberikan obor yang ada di dekat pintu masuk pada Adijaya.
Sambil memegang obor, Adijaya masuk kembali ke gedung senjata. Para prajurit tampak masih siaga di tempatnya dalam keadaan menghunus pedangnya.
“Tampaknya ada penyusup dalam gedung ini. Cepat kalian keluar dan ambil obor, panggil bala bantuan!” perintah Adijaya pada prajuritnya.
Tanpa diperintah dua kali, para prajurit itu segera keluar dari gedung senjata untuk mencari bantuan. Sementara Adijaya berdiri di depan pintu masuk, tangan kirinya memegang obor, sedang tangan kanannya memegang keris panjang. Dengan penuh kewaspadaan, Adijaya memandang ke dalam gedung pusaka, cahaya obornya tidak mampu menerangi seluruh ruangan. Adijaya mencoba menajamkan pendengarannya mencoba mendengarkan setiap tarikan napas yang ada di dalam ruangan itu.
Dalam kesunyian yang mencekam, Sindurejo berpikir keras bagaimana caranya bisa keluar tanpa kekerasan. Tetapi tampaknya tidak ada jalan lain untuk keluar selain dengan kekerasan. Tanpa berpikir panjang lagi Sindurejo dengan satu gerakan cepat melemparkan sebuah pisau ke arah obor yang dibawa Adijaya.
Wush!!! Pisau dari Sindurejo menerjang ke arah Adijaya. Tetapi dengan cekatan Adijaya menghindar dan tetap berusaha menjaga api obor tetap menyala. Sindurejo kembali melempar beberapa pisau, tombak, dan keris ke arah Adijaya. Dengan sigap Adijaya berhasil menghindar dan menangkis semua serangan itu.
Adijaya memperhatikan arah serangan dan segera maju menghampiri tempat persembunyian Sindurejo. Melihat hal itu Bayu Suta segera mengambil tindakan, dia segera menerjang Adijaya. Pertarungan terbuka tak terelakkan lagi. Adijaya berhadapan dengan Bayu Suta. Keris panjang yang dipegang Adijaya beradu dengan pedang yang diayunkan Bayu Suta. Suara dentingan terdengar di ruangan itu. Melihat hal itu, Kanigoro, Wiraguna, dan Aryo Pamungkas segera ikut menyerang Adijaya. Pertarungan menjadi tidak seimbang, Adijaya mati-matian bertahan dari gempuran keempat orang itu. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sindurejo untuk segera keluar dari tempat persembunyiaanya. Saat Adijaya sibuk menghadapi gempuran empat orang, Sindurejo bergegas menuju pintu keluar dan segera melarikan diri dari gedung pusaka.
Beberapa saat kemudian datanglah para prajurit Adijaya, mereka segera mengepung gedung pusaka. Beberapa orang segera bergegas memasuki gedung pusaka untuk membantu Senapati Adijaya. Sementara itu Sindurejo telah sampai di gedung kepatihan. Dia segera memanggil para prajuritnya.
“Saka!! Cepat kumpulkan beberapa pasukan panah, bakarlah gedung pusaka dengan panah api!! Ingat jangan sampai ketahuan!!” perintah Sindurejo pada Saka, pimpinan pasukan panah kepatihan. Tanpa membuang waktu, Saka bergerak cepat mengumpulkan beberapa orang pasukan panah.
Sementara itu pertempuran sengit masih terjadi di gedung pusaka. Senapati Adijaya sudah mendapat bantuan dari prajurit yang mulai berdatangan. Kalau tadi Adijaya terdesak, sekarang dengan bantuan para prajurit dia mulai mendesak lawan-lawannya. Pada saat Adijaya sudah berhasil memojokkan Bayu Suta dan kawan-kawan, mendadak panah-panah api menghujani gedung pusaka. Suasana menjadi kacau, api berkobar dimana-mana. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Bayu Suta dan kawan-kawan, mereka segera berusaha melarikan diri dari pertempuran. Bayu Suta yang pertama berhasil mencapai pintu, dia menyingkirkan para prajurit yang menghadangnya. Adijaya bukannya tidak mengetahui kalau lawan-lawannya berusaha melarikan diri. Tetapi kobaran api dimana-mana membuat Adijaya harus berpikir dua kali.
“He!! Jangan lari!!” teriaknya saat Kanigoro, Wiraguna, dan Aryo Pamungkas melarikan diri. Tetapi hanya itu saja yang dapat dilakukannya. Api telah menyebar kemana-mana, harus segera dipadamkan. Jika tidak, seluruh gedung pusaka akan hangus terbakar. Maka Adijaya segera melupakan musuh-musuhnya dan mulai memusatkan perhatian pada kobaran api yang semakin membesar.
Matahari mulai terlihat di ufuk timur, ketika Adijaya dan para prajuritnya berhasil sepenuhnya memadamkan api yang membakar gedung pusaka. Sisa asap masih mengepul di udara. Tampak wajah-wajah kelelahan di sekeliling gedung pusaka itu, setelah hampir semalaman mereka merusaha memadamkan api. Adijaya sengaja tidak memberitahu Kyai Rangga tentang kejadian di gedung senjata. Dia tidak ingin mengganggu istirahat Kyai Rangga yang akan menempuh perjalanan jauh. Tetapi sekarang dia tahu ada yang ingin mengganggu atau setidaknya mencegah Kyai Rangga sampai di Batavia. Adjiaya segera memanggil Bhre Wiraguna, Lembu Sora, dan Arya Tejawungu.“Waktu kita terbatas, sebentar lagi matahari terbit, aku tidak ingin Kyai Rangga mendengar satu kata pun tentang kejadian di gedung pusaka. Aku ingin perjalanan Kyai Rangga ke Batavia tidak menemui halangan apapun, untuk itu, kuperintahkan pada kalian untuk mencegah siapapun atau pasukan apapun yang berniat keluar dari ibukota setelah kepergian Kyai Rangga.
Tepi pantai kawasan Sindanglaut. Angin laut bertiup dengan kencang ketika serombongan orang dengan seragam VOC, tampak berjalan sambil membawa peti-peti terkunci. Mereka membawa peti-peti itu ke sebuah gua tak jauh dari pantai. Jumlah rombongan itu adalah 40 orang, dibawah pimpinan Kapten Herman Bondervijnon. Satu per satu anggota rombongan itu memasuki gua. Kapten Herman yang terakhir memasuki gua sambil memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka. Gua di tepi pantai itu cukup besar, walaupun pintu masuk gua tampak kecil. Di bagian dalam bentuk gua itu seperti kubah besar. Beberapa orang memegang obor untuk menerangi gua yang gelap gulita itu. Dengan diterangi cahaya obor mereka terus memasuki perut gua itu. Mereka perjalan dengan pelan dan sangat hati-hati, karena jalan yang tidak rata dan licin. Bunyi gemericik air di seluruh penjuru gua mengiringi langkah kaki mereka.“Kapten, kita pilih ke kiri atau kanan!” tanya Jan Bocnan yang berjalan paling depan saat tiba di sebuah
Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sebuah kapal berbendera VOC baru saja merapat di dermaga. Kapal bernama Drie Coningen itu membawa dua tawanan dari Surabaya. Satu seorang keturunan Belanda bernama Suropati dan kedua seorang bernama Sakera dari Madura. Perawakan Suropati tak ubahnya orang Belanda pada umumnya. Berambut pirang dan berkulit putih, serta bermata biru. Tubuhnya tinggi tegap dan terlihat kokoh. Sedangkan tawanan lainnya, yaitu Sakera, bertubuh besar, hampir seperti raksasa, tingginya melebihi orang-orang Belanda. Kumis melintang menghiasi wajahnya yang nyaris tanpa senyum. Matanya merah, selalu menatap tajam pada orang yang memandangnya. Pasukan VOC mengawal dengan ketat kedua orang tawanan itu. Bahkan kedua tangan mereka dirantai. Kedua orang tersebut akan dipindahkan ke sebuah penjara bawah tanah rahasia di Cirebon. Kedua tawanan itu terlalu berbahaya jika ditempatkan di penjara biasa. Keduanya dijatuhi hukuman penjara dengan alasan berbeda. Suropati sebagai salah satu praju
Bukit Angsa, Tegal, senja menjelang malam. Seorang pengendara kuda tampak memacu kudanya dengan kencang seolah dikejar setan. Pakaiannya tampak compang-camping, beberapa luka gores menghiasi sekujur tubuhnya. Dia adalah Patih Sindurejo. Entah bagaimana caranya dia dapat keluar dari ibukota Tegal, yang pasti saat ini dia sedang memacu kudanya dengan kencang menuju perbukitan. Tujuannya hanya satu, menemui pasukannya yang sudah menunggu di luar kota sesuai yang sudah direncanakan dengan matang. Sambil memacu kudanya, Sindurejo tak henti-hentinya berpikir tentang rencananya yang berantakan. Padahal dia sudah yakin rencananya akan berhasil dengan sempurna. Semua kemungkinan sudah diperhitungkan, semua rintangan yang akan terjadi sudah dipertimbangkan. Tetapi rupanya masih ada yang tidak terpikirkan oleh Sindurejo, sehingga semua rencana jadi berantakan. Sindurejo dapat lolos dari hadangan pasukan yang menjaga ibukota dengan merangkak melewati saluran air, masuk ke dalam rawa
Kyai Rangga memeriksa pasukannya yang terluka atau terbunuh saat pertempuran. 5 orang mengalami luka agak parah, 10 orang luka ringan, 3 orang tewas, dan 2 orang putus tangannya. Kyai Rangga memerintahkan Bhre Wiraguna dan pasukan yang tersisa untuk merawat yang terluka dan menguburkan yang tewas. Kemudian Kyai Rangga menghampiri pendekar berpakaian kulit ular, yang sejak tadi berdiam diri sambil berdiri mematung. “Terimakasih atas bantuan anda, siapakah anda? Dan mengapa membantu kami?” tanya Kyai Rangga. “Orang tuaku memberiku nama Badra, lengkapnya Badra Mandrawata. Aku hanya tidak suka ada pasukan lebih besar yang menyerang pasukan kecil. Lalu anda sendiri siapa dan hendak kemana? Mengapa bisa sampai di gua ini dan siapa yang menyerang anda?” ganti Badra yang mengajukan pertanyaan beruntun. Kyai Rangga menjelaskan dengan singkat siapa dirinya dan kemana tujuannya. Dijelaskan pula tentang pasukan pemberontak pimpinan Sindurejo. Sambil menjelaskan Kyai Rangga memperhatikan sosok
Sungai Citarum. Senja hari. Sesosok tubuh tak bernyawa terapung terbawa arus sungai. Semasa hidupnya mayat yang terapung itu bernama Sarip, seorang pemuda jagoan dari desa Tambak Oso. Selama ini, Sarip dikenal sebagai seorang pembela rakyat yang pemberani. Dia selalu melawan orang-orang yang menjadi pendukung VOC. Sarip terkenal karena kesaktian dan kekuatannya. Semua jagoan, berandal, perampok, dan pencuri yang mempunyai ilmu kesaktian, kekebalan, dapat dikalahkan oleh Sarip. Pasukan VOC tidak dapat menangkapnya dan tidak dapat melukainya. Sarip kebal terhadap senjata api milik VOC. Tombak, keris, panah, golok, pedang, sabit, dan berbagai senjata tajam lainnya tidak dapat digunakan untuk melukai Sarip yang mempunyai kulit sekeras baja. Sarip mempunyai kesaktian seperti itu karena sejak kecil dia sudah berguru pada seorang pertapa sakti bernama Kyai Tunggul Wulung. Sarip yang sejak berumur lima tahun telah ditinggal mati ayahnya, telah dianggap anak sendiri oleh Kyai Tunggul Wulung. S
Pemakaman anak buah pasukan Kyai Rangga yang tewas sudah selesai beberapa saat yang lalu. Pasukan yang mengalami luka-luka juga sudah mendapat perawatan. Kyai Rangga merasa sudah cukup istirahat dan memutuskan melanjutkan perjalanan.“Wiraguna! Siapkan pasukan kita berangkat sekarang!” perintah Kyai Rangga pada Bhre Wiraguna.“Badra, mari kita bersiap meninggalkan tempat ini,” kata Kyai Rangga kepada Badra yang tampak sudah berada di atas kuda putihnya.Rombongan Kyai Rangga melanjutkan perjalanan. Kyai Rangga dan Badra tampak berkuda beriringan di depan, mereka melaju dengan kecepatan sedang. Perjalanan mereka melintasi pantai menuju ke arah Kadipaten Cirebon. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bersuara sama sekali. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri.Tiga jam kemudian sampailah mereka di kawasan pantai Kadipaten Cirebon. Mereka berkuda melintasi hutan bakau yang cukup lebat. Kuda yang mereka kendarai sudah
Pantai Sindanglaut. Sebuah benda bulat melayang di atas permukaan air yang bergelombang di pantai Sindanglaut. Benda berwarna keperakan itu melayang-layang di atas deburan ombak di karang. Benda yang mirip sebuah piring yang terbang itu kemudian mendarat pantai yang sepi. Dari dalam benda itu muncul kira-kira 100 orang berseragam hitam. Mereka turun dengan berlari-lari kecil sambil kedua belah tangan mereka memegang senjata seperti pentungan besi. Wajah mereka tampak aneh karena tertutup topeng hitam. Pasukan itu berbaris di tepi pantai. Sementara itu keluar dari dalam dengan pakaian berwarna keperakan adalah pemimpin mereka yang mereka sebut Samiri. Tanpa diperintah pasukan itu membentuk barisan dan memberi hormat pada pemimpin mereka, Samiri.Samiri berdiri tegak di hadapan anak buahnya. Samiri mengenakan sebuah topeng berwarna hitam terbuat dari besi. Tak seorang pun anak buahnya pernah melihat wajah asli Samiri. Sejak pertama kali bertemu dengan Samiri mereka telah
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a