Anila mencoba mengendalikan angin yang sudah berubah menjadi tornado api setinggi sepuluh meter. Tetapi gerakan tornado menjadi liar tak terkendali, Anila tidak dapat mengendalikannya lagi. Tornado api itu bergerak liar menuju ke reruntuhan bangunan darurat. Dalam sekejap sisa-sisa bangunan itu ditelan tornado api dan ikut terbakar dan berputar bersama tornado api.“Gawat ayo menyingkir sejauh mungkin!” kata Tumenggung Jatibarang pada semua prajuritnya. “Berlindung-berlindung!” teriak Narapaksa. Bhre Wiraguna dan Lembu Sora yang menyusul Kyai Rangga turun ke pelabuhan menggunakan perahu juga ikut kebingungan menghindari sejauh mungkin tornado api itu. Dengan suara gemuruh yang dahsyat, tornado api itu bergerak menuju ke arah Bayu dan Lindhu yang tengah tergeletak tak berdaya karena telah dilumpuhkan oleh Kyai Rangga. Panas tornado api sudah mencapai Bayu dan Lindhu, keduanya sudah pasrah, siap untuk ditelan tornado api itu. Anila mencob
Kyai Rangga lebih mendekat pada Bayu Segara. Beberapa orang yang ada juga mendekati Bayu Segara. Tumenggung Jatibarang, Sarip, Lasmini, Narapaksa, Bhre Wiraguna, dan Lembu Sora lebih mendekat untuk mendengar lebih jelas keterangan dari Bayu Segara. “Kapan kamu pertama kali bertemu dengannya?” tanya Kyai Rangga. “Satu bulan yang lalu, tepatnya di pantai Sindanglaut,” jawab Bayu. “Apa, pantai Sindanglaut? Mengapa kamu ada di sana? Apa yang kamu kerjakan?” Kyai Rangga keheranan. “Saat itu kami berempat sedang berlatih menggunakan tenaga kami mengendalikan air, api, tanah, dan udara. Tiba-tiba muncul kapal raksasa dari baja, Samiri keluar dari sana dan da
Kyai Rangga memperhatikan Bayu, Anila, Lindhu, dan Agni yang masih saling memandang satu sama lain. Keempatnya masih bingung dan belum bisa mengambil keputusan. Kyai Rangga memberi mereka kesempatan untuk mengambil keputusan. “Aku merasa telah tersesat,” kata Bayu Segara. “Tersesat?” tanya Agni “Ya, untuk apa aku melawan bangsaku sendiri?” tanya Bayu pada dirinya sendiri. “Ya, aku juga merasa yang kulakukan tidak ada gunanya, selain untuk kesenanganku sendiri,” kata Lindhu. “Kita semua hanya mengejar kepuasan dan kesenangan kita sendiri,” kata Anila. “Lalu, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita bergabung dengan Mataram atau bagaimana?” tanya Agni. “Bergabung untuk menyerang Batavia?” tanya Lindhu. “Pilihan kita sekarang hanya dua, melawan mereka atau bergabung dengan mereka,” jawab Agni. “Tidak ada pilihan lainnya?” tanya Lindhu. “Ada juga, tidak bergabung dengan
Pagi hari. Pelabuhan Sunda Kelapa. Batavia. Setelah berlayar selama 2 hari 2 malam, sampailah armada kapal Mataram yang dipimpin Kyai Rangga di Batavia. Mereka hendak mendaratkan perbekalan di pelabuhan. Kyai Rangga memerintahkan ke sepuluh kapal lainnya untuk tetap berada di tengah laut tidak merapat ke pelabuhan. Hanya kapal yang dinaiki Kyai Rangga yang akan bersandar lebih dahulu.Martapura memerintahkan awak kapal untuk menurunkan jangkar. Memasang jembatan menuju ke dermaga. Kyai Rangga bersiap untuk turun, ketika dilihatnya beberapa orang prajurit VOC mendekati kapal.“Ada pasukan VOC, mau apa mereka?” tanya Martapura.“Mungkin akan memeriksa, aku akan turun saja,” kata Kyai Rangga sambil melangkah turun dari kapal.“Apakah perlu pengawalan prajurit?” tanya Martapura.“Tidak perlu, akan kuhadapi sendiri, mereka hanya menjalankan tugas,” kata Kyai Rangga.Para prajurit segera mendatangi Kyai Rangga begitu dia turun dari kapal.“Goedemorgen! Ik ben Willem, wie ben jij? En wat is
Pagi hari. Pelabuhan Sunda Kelapa. Batavia. Kapal Singaparna sudah satu malam berlabuh di pelabuhan itu. Belum ada tanda-tanda prajurit VOC mendekati kapal itu, artinya izin dari Gubernur belum turun. Seekor burung merpati putih mendarat di kandang burung yang ada di kapal. Martapura segera menangkap burung itu dan mengambil surat yang ada di kaki burung itu, lalu membawanya ke Kyai Rangga.“Kanjeng Tumenggung! Ada surat!” teriak Martapura sambil membawa surat yang dibawa burung merpati.Kyai Rangga menerima surat itu, segera membuka dan membacanya. “Hmm, kapal Tumenggung Bahurekso sudah hampir tiba di dekat teluk Batavia, mereka akan mendaratkan pasukan di teluk itu besok,” kata Kyai Rangga memberitahu isi surat itu pada Martapura.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Martapura.“Tidak ada, sementara kita menunggu diizinkan untuk menurunkan semua barang-barang kita,” jawab Kyai Rangga.“Kalau tidak diizinkan?”“Tunggu saja, pasti diizinkan,” kata Kyai Rangga sambil tersenyum.“Meng
Batavia. Matahari sudah mulai tinggi ketika Sarip dan Lasmini memacu kuda mereka menuju selatan ke arah teluk. Mereka berjalan beriringan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Sementara tanpa mereka sadari dua orang prajurit VOC berkuda mengikuti mereka.Setengah jam kemudian, sampailah mereka di teluk Batavia. Di kejauhan tampak kapal-kapal berbendera Mataram perlahan-lahan mendekat menuju ke teluk itu.“Kanda, itukah kapal-kapal yang akan kita pandu?” tanya Lasmini sambil menunjuk ke laut.“Benar itulah kapal-kapal Mataram, lihat benderanya, bendera merah bergambar bulan sabit dan dua keris merah itu adalah bendera Mataram!” jelas Sarip.“Bagaimana cara kita memandu mereka?” tanya Lasmini.“Aku akan melepas bajuku menaruh pada tongkat dan melambai-lambaikan pada mereka!” kata Sarip sambil akan melepas bajunya, tetapi diurungkannya.“Mengapa tidak jadi melepas baju?” tanya Lasmini.“Ada dua orang prajurit VOC yang memperhatikan kita, harus kita beresi dulu,” kata Sarip berbisik di teli
Teluk Batavia. Menjelang siang. Kapal-kapal Mataram mulai merapat perlahan mengikuti arahan dari Sarip. Kapal pertama sudah merapat, tetapi karena di teluk itu tidak ada dermaga, maka kapal-kapal itu tidak berani dekat dengan pantai. Para prajurit Mataram mulai turun dari kapal, menuju ke pantai. Mereka berjalan melewati air laut setinggi lutut mereka. Berduyun-duyun turun dari kapal seperti rombongan semut yang keluar dari sarangnya. Mereka kemudian naik ke daratan dan langsung mendirikan benteng pertahanan dari bambu di dekat pantai. Semua perlengkapan mereka turunkan dari kapal, juga beberapa perbekalan untuk sehari-hari.Suasana teluk menjadi sangat ramai oleh pasukan Mataram. Kapal yang sudah menurunkan pasukan kembali ke tengah laut, digantikan oleh kapal yang belum menurunkan muatan.Seorang prajurit bernama Pandu mendekati Sarip dan Lasmini.“Kalian dari mana, seperti bukan prajurit Mataram?” tanya Pandu menyelidiki.“Saya Sarip dan ini isteri saya Lasmini, kami ditugaskan ole
Benteng Hollandia. Malam hari. Jan Pieterzon Coen tampak berjalan tergesa-gesa di dampingi oleh Van de Saar yang setia mengikuti kemanapun Gubernur Hindia Belanda itu pergi. Jan Pieterzon Coen tampak marah, dia sedang mencari pimpinan tertinggi prajurit VOC, Kapten Johan.“Waar is Kapitein Johan?” tanya Jan Pieterzon pada beberapa prajurit yang sedang berjaga.Prajurit-prajurit itu tampak ketakutan dan saling memandang satu sama lain, karena tidak mengetahui keberadaan Kapten Johan.“Wat kan ik voor u doen, meneer de gouverneur? Apa yang bisa saya bantu, tuan Gubernur?” mendadak Kapten Johan muncul dari balik pintu.“Ah, kemana saja kamu?” tanya Jan Pieterzon Coen dengan nada jengkel.“Saya sedang mempersiapkan pasukan untuk menghadapi serangan Mataram,” kata Kapten Johan bersikap tenang.“Apa, apa yang kamu persiapkan?!! Aku dengar kapal-kapal Mataram mulai merapat, dan mendaratkan