Pagi hari. Pelabuhan Tegal. Rombongan sapi yang dibawa oleh Kyai Rangga perlahan-lahan memasuki kawasan pelabuhan. Sebuah kapal besar sudah siap untuk mengangkut rombongan sapi-sapi itu. Beberapa awak kapal tampak sibuk menyiapkan jalan bagi sapi-sapi itu untuk naik ke kapal.
Pada saat itulah terjadi keributan di bagian belakang.
“Harrrgh!!” terdengar suara Goro dari arah belakang.
Goro menangkap seekor sapi, memegang leher sapi dengan kuat. Sapi itu meronta-ronta berusaha melepasakan diri dari cengkeraman Goro yang kuat. Goro terus menekan tangannya ke leher sapi itu, dengan sebuah gerakan memuntir, sapi itu tewas seketika dengan lenguhan panjang. Goro segera menarik kepala sapi hingga lepas dari badannya. mencabik-cabiknya dan memakannya dengan lahap. Darah segera segera menetes di sekitarnya. Mulut Goro penuh dengan daging sapi yang baru dibunuhnya.
Para prajurit segera bergerak untuk mengepung Goro. Tetapi Goro tidak peduli, dia teru
Kapal yang dinaiki rombongan Kyai Rangga perlahan meninggalkan pelabuhan Tegal berlayar mengarungi lautan menyusuri pulau Jawa. Nakhoda kapal itu adalah seorang pelaut berpengalaman sekaligus prajurit kadipaten Tegal, Tirto Husodo. Dia sudah berpengalaman ikut kerajaan Mataram dalam penaklukan Soerabaia. Kyai Rangga sudah mengetahui betul kemampuan Tirto, sehingga Tirto dipercaya untuk menjadi nakhoda dalam perjalanan menuju Batavia. Sedangkan sebagai kapten kapal adalah Martapura, seorang prajurit Tegal yang juga berpengalaman dalam perang Soerabaia. Kapal yang digunakan untuk membawa perbekalan ini adalah kapal milik kadipaten Tegal sendiri. Kapal yang diberi nama Singaparna itu berwana kecoklatan, terdapat patung singa di bagian depan kapal.Kyai Rangga menghampiri Tirto yang sedang mengemudikan kapal. Di samping Tirto ada Martapura yang sedang mengawasi lautan, memastikan kondisi di depan aman dari perompak atau bajak laut.“Oh, kanjeng Tumenggung,” sapa Martapura saat melihat ked
Laut utara Jawa. Siang hari. Tembakan peluru dari meriam Kyai Guntur Geni tepat mengenai lambung kapal bajak laut. Kapal bajak laut bergetar, kemudian menahan lajunya untuk mendekati kapal Singaparna. Mereka sama sekali tidak menduga kalau kapal Singaparna dipersenjatai dengan meriam. Terjadi kepanikan di kapal bajak laut, beberapa orang segera menambal lubang yang ditimbulkan serangan meriam itu.“Siapkan peluru lagi!” perintah Bhre Wiraguna.Seorang prajurit segera mengambil peluru bola batu dan memasukkannya ke dalam meriam.“Arahkan ke tiang layar!” perintah Bhre Wiraguna sambil menunjuk ke tiang layar di atas kapal bajak laut.Seorang prajurit mengarahkan meriam dan membidik tiang layar di kapal bajak laut.“Tembak!!” perintah Bhre Wiraguna menggema.Blaarrr!! Suara Kyai Guntur Geni menggelegar di udara. Peluru batu melesat di udara, menuju ke kapal bajak laut tepat mengenai tiang layar kapal bajak laut. Krraakk!!! Tiang layar patah, layarnya jatuh di atas geladak menimpa para ba
Pendopo kadipaten Jatibarang. Siang hari. Tampak ratusan pasukan Jatibarang dibawah pimpinan Suta berbaris dengan rapi dengan senjata lengkap. Tumenggung Jatibarang bersama Sarip, Wariman, dan Lasmini berada di depan pasukan itu. Mereka akan berangkat menuju Cirebon, bergabung dengan pasukan Mataram yang ada di Cirebon untuk berangkat menyerang Batavia.“Bagaimana persiapan pasukan?” tanya Tumenggung Jatibarang pada Suta selaku pimpinan tertinggi pasukan perang Jatibarang.“Semua sudah siap, sejak kita berhasil merebut kembali Jatibarang, pasukan sudah berlatih untuk persiapan perang ke Batavia,” kata Suta sambil melihat ke arah prajurit yang berbaris dengan rapi.“Bagus, sebentar lagi kita akan berangkat ke Cirebon,” kata Jaya Wisesa atau Tumenggung Jatibarang.“Mengapa harus ke Cirebon?” tanya Sarip penasaran.“Jatibarang tidak punya kapal sendiri, jadi kita akan naik kapal milik Cirebon, dan juga menunggu datangnya kapal dari Tegal,” jelas Tumenggung Jatibarang.“Hmm, Tegal, Kyai R
Pasukan Jatibarang bergerak menuju ke pelabuhan Cirebon. Tumenggung Jatibarang memimpin barisan didampingi oleh Sarip dan Lasmini yang sedang berbahagia. Mereka berkuda melintasi jalan di pantai utara pulau Jawa. Selama dua jam melakukan perjalanan dan beberapa kali istirahat, sampailah mereka di Cirebon. Rombongan dari Jatibarang disambut oleh Narapaksa, panglima perang Cirebon.“Selamat datang Kanda Jaya Wisesa,” kata Narapaksa menyambut kedatangan Tumenggung Jatibarang dan rombongan.“Mari kita ke tempat peristirahatan dulu di dekat pelabuhan Muara Jati,” kata Narapaksa.Mereka kemudian menuju ke sebuah bangunan darurat yang disiapkan di dekat pelabuhan Cirebon. Bangunan terbuat dari kayu itu cukup besar dan dapat menampung 50 orang. Beberapa orang pelayan wanita segera menghidangkan makanan dan minuman ketika Tumenggung Jatibarang, Sarip, Lasmini, Suta, dan Wariman sudah duduk di ruangan dalam bangunan itu. Sementara itu ratusan prajurit yang lain dipersilakan istirahat tak jauh d
Atap yang roboh dari bangunan darurat tempat Tumenggung Jatibarang berteduh membuat kepanikan para prajurit Jatibarang. Mereka segera berlari menembus hujan untuk menolong Tumenggung Jatibarang dan rombongannya. Tetapi mereka seperti terhalang oleh angin kencang dan lapisan air hujan yang membentuk tembok air. Mereka berusaha menembus dengan sekuat tenaga, tetapi tidak bisa, air hujan dan angin membuat mereka terpaksa mundur. Mereka masih terus mencoba tetapi air hujan yang sangat lebat seperti membuat tembok yang mengelilingi bangunan darurat sehingga para prajurit tidak dapat mendekat bangunan darurat.Sementara itu tidak tampak ada tanda-tanda gerakan di bangunan darurat yang runtuh. Hanya terdengar suara angin yang menderu dan air yang ditumpahkan dari langit. Braakkk!! Terdengar suara keras dari bangunan darurat diikuti oleh serpihan-serpihan kayu yang terlempar ke udara. Tumenggung Jatibarang muncul dari reruntuhan bangunan darurat itu dengan tangan mengepal ke udara, d
Di tengah laut. Dekat pantai Cirebon. Kapal Singaparna yang ditumpangi Kyai Rangga dan rombongannya menunggu untuk dapat berlabuh. Angin kencang, dibarengi dengan hujan deras dan laut yang bergelombang membuat mereka harus menunggu untuk dapat merapat di dermaga. Layar diturunkan agar angin tidak membawa membawa kapal itu kembali ke tengah laut. Jangkar-jangkar juga diturunkan, untuk menjaga kapal tetap pada posisinya. Sebagian prajurit masuk berlindung ke dalam kabin. Sementara jurumudi tetap berada di posisinya menjaga haluan kapal. Dari tempat yang terlindung dari air hujan, Kyai Rangga, Bhre Wiraguna, Lembu Sora, Arya Tejawungu, dan Martapura menunggu serta melihat keadaan di pelabuhan. “Apakah kalian menyadari ada keanehan pada hujan ini?” tanya Kyai Rangga. “Ya, datangnya tiba-tiba dan sangat deras!” kata Martapura. “Ya, benar,” ujar Bhre Wiraguna. “Coba lihat, hujan yang paling lebat hanya ada di tepi pelabuhan dekat d
Kyai Rangga berlari dan melompat-lompat di atas air dengan cepat. Tak berapa lama sampailah ia di pantai. Kyai Rangga segera menuju ke tempat orang yang mengendalikan air. Di tepi pantai agak jauh dari pelabuhan seorang berpakaian putih-putih tampak duduk bersila. Kedua tangannya membuka, terangkat lurus sejajar dengan bahunya. Kekuatannya menyebabkan air laut terangkat ke angkasa seperti tiang air yang bergerak lurus dan jatuh di bangunan darurat di pelabuhan sebagai air hujan. Seperti yang sudah diduga oleh Kyai Rangga, orang tersebut adalah Bayu Segara dari perguruan Tirto Samudra.Kyai Rangga segera menghampiri Bayu Segara dan melakukan pukulan jarak jauh.“Hentikan!” teriak Kyai Rangga sambil melancarkan pukulan jarak jauh.Pukulan jarak jauh dari Kyai Rangga membuat Bayu Segara terhenyak ke belakang. Air laut yang terangkat ke angkasa mendadak berhenti dan jatuh terhempas ke laut menimbulkan percikan air yang besar. Hujan yang timbul akibat curahan air laut itu juga mendadak ber
Semua yang mengelilingi Bayu Segara menjadi terkejut oleh semburan kubangan air hujan yang bergerak ke atas dengan cepat itu. Beberapa prajurit jatuh terpeleset. Genangan air hujan itu kini bagai tirai tipis yang melindungi tubuh Bayu Segara.“Keparat!” teriak Bhre Wiraguna sambil mencoba menembus tirai air itu untuk menyerang Bayu Segara.Aah! Bhre Wiraguna terpental ke belakang sekitar sepuluh meter saat menabrak tirai air itu. Semua yang melihat menjadi ketakutan dan mundur beberapa langkah.Kyai Rangga segera mengambil ancang-ancang, untuk melakukan pukulan jarak jauh.“Minggir semua!” teriak Kyai Rangga pada orang-orang yang mengeliling Bayu Segara.Orang-orang yang mengelilingi Bayu Segara segera menjauh, mencari tempat yang aman.Kyai Rangga mengeluarkan pukulan jarak jauhnya, menembus tirai air, meninggalkan bekas berbentuk lingkaran dan menghantam Bayu Segara yang berada di tengah tirai air.“Aaa
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a