"Ohh! Jadi kau mau melawan ya! Hiahhh! Wesh!" seru si remaja itu, seraya ayunkan kakinya menyepak ke arah wajah anak perempuan itu. "Ahh! Mbak Ranti!" seru sang adik, yang melihat hal itu. Sementara sang kakak hanya bisa menutupi wajahnya dengan dua tangannya saja. Draph, draph, ... draph. Daghk!Sebuah tumit kaki lain terayun dan berbenturan dengan tulang kering kaki si remaja itu. Hingga membuat kaki si remaja itu membalik ke samping dengan tubuh ikut berputar. "Adawhsk!" teriak kesakitan menggeletar dari mulut si remaja liar itu. Dia jatuh terduduk seraya memegangi tulang kering kakinya, yang terasa nyeri dan berdenyut panas.Sementara rekan gerombolannya kini langsung mengepung seorang anak laki sepantaran mereka, yang tampak tengah berjongkok menyapa dua anak yatim piatu itu. "Kamu tak apa-apa?" tanya anak laki yang datang belakangan itu, yang ternyata adalah Jalu adanya.Ya, Jalu tengah berjalan-jalan melihat keramaian kota kadipaten, saat dari kejauhan dia melihat segerombo
Senja menjelang malam, saat Jalu, Ranti dan Jaya bergerak perlahan ke arah kapal besar itu.Mereka mengamati kesibukkan di kapal besar itu. Jalu telah memberitahukan bahwa mereka bisa bersembunyi di gentong kayu kosong, yang banyak terdapat di atas geladak bagian belakang kapal tersebut. Dan saat yang ditunggu-tunggu mereka pun tiba, di saat mereka melihat beberapa ekor kuda yang membawa gerobak berisi peti dan barang-barang yang hendak dinaikkan ke atas kapal itu. Nampak berbondong-bondong para awak kapal turun dari tangga kapal, mereka semua hendak mengambil dan mengangkat muatan dari gerobak itu ke atas kapal. "Ayo cepat!" Seth! desis Jalu, mengajak Ranti dan Jaya bergerak cepat mengikutinya. Akhirnya mereka berhasil naik ke atas kapal besar itu dan langsung menuju ke geladak bagian belakang kapal.Jalu segera menunjuk ke arah deretan tong-tong kayu yang kosong dan tertutup di sana. Tong-tong setinggi pinggang orang dewasa dengan diameter sekitar 2,5 jengkal itu sangat cukup,
Blukh!Akhirnya Jalu jatuh tak sadarkan diri di dalam tong kayu, yang terus timbul tenggelam terhempas ombak membawa serta sosoknya. Fajarpun menyingsing dengan cahaya semburat merah diufuk timur. PRAGKH!Tong kayu yang membawa sosok Jalu pecah menghantam sebuah karang di tepi pantai sebuah pulau. Beruntung tubuh Jalu hanya tergores sedikit saja dari bebatuan karang, dan akhirnya ombak menghempaskannya ke tepi pantai berpasir putih di pulau itu. Kini tubuh Jalu tertelungkup miring dalam kondisi tetap tak sadarkan diri, di atas hamparan pasir putih di tepi pantai itu.Tergeletak pasrah di tengah suara debur ombak dan desiran angin laut, yang mulai berhembus ke darat menyapu sosoknya yang sedang berada dalam alam kegelapan. Ya, pulau kecil yang nampak kosong tak berpenghuni itu adalah sebuah pulau, yang terletak tepat di tengah-tengah tiga tlatah Ramayana, Pallawa dan Klikamuka.Bagaikan sebuah titik pusat di dalam segitiga. Melihat ke sekitar pulau, nampak hamparan padang ilalang,
"Hehehee! Dia calon muridku Cakradewa!" sahut Eyang Pandunatha terkekeh. "Hmm. Baru calon kan Pandunatha, berarti masih ada kesempatan bagiku untuk menjadi gurunya. Hahaha! Rajawali kau bermainlah dulu!" sahut Eyang Cakradewa tergelak, seraya memerintahkan burung Rajawali Putih besar yang mengantarnya, untuk menjauh dari pulau Garuda itu. Kyaakkhh!! Weershh!Pekik lantang sang Rajawali tunggangan Eyang Cakradewa itu, seraya melesat mengangkasa. Ya, sekali lirik saja mata batin Eyang Cakradewa yang baru tiba langsung bisa melihat, bahwa ada suatu aura energi 'luar biasa' yang memancar dari dalam diri Jalu.Disamping itu bentuk tulang dan bakat Jalu juga nampak jelas dimatanya, seketika timbul keinginannya menjadikan Jalu sebagai muridnya. "Hehee. Memang baru calon Cakradewa, tapi calon kuat!" seru Eyang Pandunatha terkekeh. Taph!"Hmm. Lalu darimana bocah itu berasal Pandunatha?" tiba-tiba saja muncul seorang sepuh lagi, yang mendarat di bagian karang menonjol lainnya di tepian pa
Tokk, tokk, tokk!"Mohon maaf ketua! Di markas telah datang Ki Braja Denta bersama putranya Arya menunggu ketua," terdengar ketukan pintu, di sertai pemberitahuan dari seorang anggota sektenya. "Baik! Aku segera kesana. Kirana, mari ikut ayah menemui mereka," ucap Ki Taksaka pada putrinya. "Baik ayah," ucap Kirana, walau dalam hatinya dia sungguh enggan menemui putra ketua sekte Harimau Besi bernama Arya itu.Karena Kirana sungguh tak suka dengan sikap dan prilaku Arya yang sombong serta semena-mena itu. Akhirnya mereka pun menemui Ki Braja Denta dan Arya, yang telah menunggu di ruang depan markas sekte Elang Merah. "Ahh, maafkan kedatanganku jika mengganggu kesibukkanmu Ki Taksaka," ucap Ki Braja Denta seraya berdiri dari duduknya bersama Arya, saat melihat Ki Taksaka datang menemuinya bersama putrinya. "Hahaa! Tak apa Ki Braja Denta, inikah putramu Arya yang gagah itu?" sambut Ki Taksaka tergelak senang. "Benar Ki Taksaka. Hehee! Arya, ayo beri salam pada paman Taksaka," ucap
DEESSHH! Slaphh!Eyang Pandunatha menendang biduknya melesat deras tingggi ke arah tengah laut, lalu sosoknya pun melesat mengikuti arah biduknya melayang. "Ahhk!" Jalu berseru kaget sesaat, lalu pejamkan kedua matanya. Dirinya sangat terkejut dengan kecepatan daya lesat biduk yang dinaikinya itu.Biduk itu melesat cepat melebihi kecepatan anak panah yang di lepaskan dari busurnya. Slaagkh! Eyang Pandunatha melesat di atas biduk itu, lalu ia pun segera jejakkan salah satu kakinya ke badan biduk itu. Pada jarak yang dirasa cukup jauh dan aman dari pulau Garuda, maka ..Byuursh!Biduk itu pun seketika jatuh ke permukaan laut. Namun anehnya biduk itu bagai diam tak bergerak diatas titik jatuhnya itu. Ya, seberapa tinggi dan derasnya gelombang laut saat itu, tetap saja tak mampu membuat biduk itu tenggelam atau pun bergeser dari tempatnya di titik itu. Aneh! "Jalu, kau tenanglah di atas biduk itu. Jangan sekalipun kau keluar dari biduk itu, jika kau tak mau tergulung dan tenggelam ol
"Heii..! Ada biduk dan anak lelaki di dalamnya..! Mari kita tolong dia..!" seru lantang seseorang di sebuah kapal berukuran sedang, yang kebetulan tengah melintas di jalur itu. Kapal itu pun melaju mendekat di tengah gelombang tinggi dan angin kencang yang membadai. "Aneh! Biduk kecil itu bagai tak terpengaruh dengan gelombang tinggi yang menghantamnya! Lihatlah!" seru seorang awak kapal yang heran, melihat betapa biduk itu bagai tak bergeming dari posisinya walau terhantam gelombang tinggi. "Hahh! Kau benar! Namun tetap saja berbahaya bagi anak itu jika dia sampai terlempar keluar dari biduk itu! Cepat kita angkat anak itu ke atas!" perintah sang pemilik kapal itu. "Serahkan saja padaku tuan!" ucap seorang pria berpakaian hitam yang sejak tadi berdiri di dekat sang pemilik kapal itu. "Baik Sena! Angkat anak itu dan bawa ke kapal ini! Biar nanti kita titipkan pada kapal lain di pelabuhan Semanding, jika tujuannya bukan ke tlatah Pallawa!" seru sang pemilik kapal, yang dasarnya ad
"HUPSH..!!!"Ketiga sepuh itu serentak bersiap melontarkan pukulan pamungkas mereka. BYAARSSH!! SCRAZZTHH!Eyang Pandunatha kerahkan power maksimalnya, seketika sekujur tubuhnya diselimuti oleh kobaran api hitam pekat dan panas bukan main.Nampak kedua tapak tangannya yang diselimuti api hitam berkobar meletup-letup, dengan percikkan api hitam bertebaran ke segala arah.Ya, itulah pukulan pamungkas miliknya yang bernama 'Tapak Penghancur Neraka'. Dahsyat! BYAARSSHH!! CLAAPSSHH!!Eyang Shindupalla juga menggebrak dengan terapkan aji pamungkasnya 'Pukulan Matahari dan Rembulan'.Kedua kepalan tangannya nampak diselubungi dua bola energi bercahaya putih menyilaukan di kanan, dan bola cahaya merah membara di kirinya.Sementara sosoknya juga berubah menjadi dua warna, putih menyilaukan di bagian kanannya dan merah membara di bagian kirinya. Ngeri! BYAARSSHHK!! SWAASSHHH!Eyang Cakradewa ledakkan powernya, dan segera terapkan pamungkasnya aji 'Selaksa Badai Semesta'.Nampak di bagian uju
BLAPH..!Seketika kilau cahaya putih cemerlang yang menyilaukan di atas area Padang Khayangan yang tak bertepi itu pun lenyap.Kini hanya ada warna keemasan pekat di area Padang Khayangan itu. Sunyi ... angin pun bagai tak berhembus saking tenangnya.Jalu ambil posisi bersila dengan sikap teratai, perlahan dia pejamkan kedua matanya. Tak lama Jalu pun tenggelam di alam keheningan yang tercipta. Pasrah ... Mandah ... dan Berserah.*** Dan kehebohan pun terjadi di Tlatah Klikamuka.Ya, semua orang di sana ribut dan panik mencari sosok Jalu, yang bagai hilang ditelan bumi. Mereka semua yakin Jalu bisa mengatasi dan melenyapkan Arya. Karena Arya sendiri tak pernah muncul kembali, setelah duelnya melawan Jalu.Selama 7(tujuh) hari lebih seluruh orang di Tlatah Klikamuka mencari keberadaan Jalu. Mereka menyusuri dengan kapal-kapal laut hingga jauh ke laut lepas, namun tetap saja sosok Jalu tak mereka lihat dan temukan.Pada akhirnya mereka semua menyimpulkan, bahwa Jalu telah mati sampyuh
Sosok Eyang Sokatantra ambyar berkeping, terlabrak pukulan inti 'Poros Bumi Langit' milik Eyang Bardasena.Ya, bola emas berpusar milik Eyang Bardasena itu berhasil menerobos titik benturan pukulan dahsyatnya dengan pukulan milik Eyang Sokatantra.Akibatnya, dengan telak sekali bola emas yang berputar dahsyat itu menghantam dada Eyang Sokatantra. Sungguh dahsyat tak tertahankan memang power Eyang Bardasena saat itu. Kendati sesungguhnya power Eyang Sokatantra berada di atas tingkatan Eyang Barnawa dulu.Ya, keajaiban olah Pernafasan Bathara Bayu yang diperdalam Eyang Bardasena di bawah arahan Jalu, memang telah membuat peningkatan pesat pada powernya.Bahkan bisa dikatakan Eyang Bardasena kini telah memasuki ranah awal di tingkat Ksatria Semesta tingkat tak terbatas, ranah yang sama seperti halnya Jalu. Namun tentu saja power dan daya bathin Eyang Bardasena masih berada beberapa tingkat di bawah Jalu."Hukghs..!" sosok Eyang Bardasena terhuyung ke belakang, namun cepat dia kembali teg
Wuunnggtzz..!!! Weerrsskh..!!Dengung membahana suara cakra emas yang memancarkan cahaya cemerlang terdengar. Cakra emas itu berputar menggila bukan main cepatnya.Seluruh badai angin yang berada di sekitar lokasi pertarungan itu, seketika ikut terhisap masuk dan menyatu dengan pusaran badai raksasa cakra tersebut. BADAS..!Sementara badai halilintar emas tak henti menghujani lokasi pertarungan Arya dan Jalu tersebut. Tengah laut, lokasi pertarungan dua tokoh muda tersakti di jamannya itu, seketika bagai berubah menjadi sebuah wilayah yang terkutuk. Mengerikkan..!Dan yang terdahsyat adalah terbentuknya pusaran laut mega raksasa, yang berpusat di bawah sosok Jalu melayang. Pusaran laut raksasa itu mencakup radius yang sangat luas, hingga menelan pusaran raksasa yang berada di bawah sosok Arya! Inilah kegilaan yang super gila..!"Ca-cakra Semesta..?! Ini Gila..!! Keparat kau Jalu..!!" Arya tersentak kaget dan gentar bukan main. Dia seketika teringat ucapan Maha Gurunya sang Penguasa Ke
"HUAAAHHH..HH..!!!"Teriakkan bergemuruh dari pasukkan perang tiga tlatah membahana badai di pantai Parican saat itu. Dan permukaan air laut di pantai Parican yang biasanya berwarna hijau kebiruan itu, kini telah berubah total menjadi merah darah..!Patih Karna bisa mengerti siasat panglima Indrakila, dengan tidak melabuhkan kapal di pelabuhan pantai Parican. Karena rawan untuk dipakai para pasukkan tlatah Bhineka, yang hendak melarikan diri nantinya.Sungguh siasat yang cukup mematikan langkah pihak musuh. Sebuah siasat yang hanya berarti dua pilihan untuk pihak musuh, tetap menyerang dan melawan, atau mati di negeri orang..!Sungguh sebuah kesalahan fatal dari siasat dan pemikiran Panglima Besar pasukkan Bhineka, Arya.Arya tak memperhitungkan, bahwa persatuan dan persahabatan tlatah Pallawa, Klikamuka, serta Ramayana semakin bertambah solid, setelah perang besar yang terjadi 5(lima) tahun yang lalu.Arya benar-benar kurang memperhitungkan hal yang sebenarnya sangat fatal itu.***
"Bedebah kau Bardasena..! Bisakah sopan sedikit saat berbicara denganku! Simpan arakmu brengsek..!" seru marah Eyang Sokatantra.Ya, Eyang Sokatantra sangat keki dan merasa diremehkan oleh sikap Bardasena, yang berbicara dengannya sambil minum arak."Hmm. Sokatantra kita sudah sama sepuh, dan kita sudah sama tahu apa itu arti basa basi dan sikap munafik. Apa bedanya sikapku yang minum arak, dengan kata-kata makian kasarmu itu padaku! Hahahaa!" seru Eyang Bardasena tergelak, membalikkan teguran Eyang Sokatantra dengan sindirannya."Hmm. Baik Bardasena! Kita mulai saja pertarungan kita sekarang!" karuan Eyang Sokatantra bertambah keki, mendengar ucapan Eyang Bardasena yang dengan telak membalikkan teguran dengan sindiran tajamnya.Glk, glk, glk!"Baik Sokatantra! Sebaiknya kita juga bertarung agak ke tengah laut sana! Kasihan jika ada prajurit yang tewas karena pukulan kita yang meleset," ucap tegas Eyang Bardasena, menyambut tantangan Eyang Sokatantra.Slaph..!! Slaphh..!!Dua tokoh se
"MEREKA DI BELAKANG KITA..! BERSIAPLAH..!" seru lantang sang Mahapatih Suryalaga.Dia memimpin pasukkan penjaga di pantai Parican untuk mundur, agar pasukkan musuh terpancing untuk maju mengejar mereka, yang disangka gentar oleh pasukkan musuh.Cepat sekali ke 9 ribu pasukkan yang dipimpin sang patih Suryalaga tersebut membentuk barisan di sisi kiri dan kanan depan pasukkan sang Maharaja, yang telah berbaris di depan perbatasan kotaraja. Hingga Pasukkan Tlatah Klikamuka dan sekutunya kini membentuk formasi huruf 'U'.Srraakh.! Spyaarrsshk..!Sang Maharaja lolos keris pusaka 'Ki Nogo Suryo' dan acungkan keris pusaka itu ke arah langit. Seketika selarik kilatan terang melesat dari keris pusaka itu menembus awan, langit pun nampak semakin terang, walaupun matahari belum lagi menyorotkan sinar terangnya di pagi hari itu."ESA HILANG DUA TERBILANG..! PARA KSATRIA KLIKAMUKA..!! SERAANNGG..!!" seru lantang sang Maharaja, seraya acungkan 'Ki Nogo Suryo' ke arah depan dan membedal maju kudanya
HUUOOONNKKHH...!!!Suara gaung terompet/sangkha bergema membahana dari tepian batas laut di pantai Parican. Suara gaungnya mengoyak kesunyian pagi, dan menembus hingga ke dinding perbatasan kotaraja Klikamuka.Ya, itulah gaung terompet/sangkha dari pihak armada perang Tlatah Bhineka, hal yang menandakan armada pasukkan Bhineka akan bergerak menyerang ke wilayah Klikamuka!"PASUKKAN BHINEKA..! MAJUU..!!" seru lantang panglima besar mereka Arya. Sebuah seruan yang dilambari power tenaga dalamnya, hingga menembus gendang telinga segenap pasukkan kapal armada tlatah Bhineka itu."MAJUU..!!""SERANNGG..!!"Seruan Arya segera di ikuti oleh seruan komando para pimpinan kapal pasukkan armadanya. Serentak seluruh armada kapal perang tlatah Bhineka meluruk maju dengan cepat, melesat menuju tepi pantai Parican untuk mendaratkan 25 ribu lebih pasukkannya.Sementara jauh di belakang armada perang Bhineka itu."ARMADA RAMAYANA..!! KEJAR DAN SERANGG MEREKA..!!" seru lantang sang Patih Karna Ekatama
"Heeii..! Utusan Arya keparat..! Lekas ambil surat dari Tuanmu itu, dan berikan kembali pada junjunganmu si Arya itu!" seru keras sang Maharaja Klikamuka."Ba-baik paduka..!" seru gugup sang utusan yang merasa gentar, karena dia merasa sedang berada di sarang harimau. Segera di ambil dan dilipatnya kembali surat maklumat dari junjungannya, yang kini penuh dengan ludah itu."Katakan pada junjunganmu si Arya itu! Surat maklumatnya hanyalah sampah di mata rakyat Tlatah Klikamuka ini! Cepat keluar..!" seru sang Maharaja Klikamuka murka."Ba-baik Paduka!" dengan menyahut gugup, sang utusan itu segera keluar dari istana Klikamuka. Nampak wajahnya pucat pasi, dia sadar perang tak bisa terhindarkan lagi kini.Sepanjang jalan menuju kembali ke pantai, dia mengamati kekuatan pasukkan dan perlengkapan perang Tlatah Klikamuka itu. Dan hatinya menjadi bergetar ngeri, karena ternyata jumlah pasukkan Tlatah Klikamuka setara dengan jumlah pasukkan kerajaan Bhineka!Hal yang meleset dari perkiraan jun
"Gusti Prabu. Sebagai tlatah sahabat, manalah mungkin kami dari Tlatah Pallawa hanya berdiam diri saja. Sementara dahulu Tlatah Klikamuka juga telah dengan sukarela membantu Tlatah Pallawa, dimasa-masa sulit kami.Jalu juga menghaturkan salam dari Maharaja Wucitra Samaradewa untuk Gusti Prabu Sri Baduga Maladewa disini. Semoga Klikamuka tetap jaya dan makmur," ucap Jalu santun, dia memang dititipi pesan itu oleh sang Maharaja Wucitra Samaradewa sebelum berangkat."Ahh! Sahabatku Maharaja Wucitra Samaradewa! Tlatah Klikamuka tak akan pernah melupakan uluran persahabatan ini!" seru sang Maharaja Sri Baduga Maladewa, dengan suara agak serak terharu."Maaf Gusti Prabu! Jalu hendak melihat langsung posisi pasukkan musuh saat ini. Mohon ijinnya, nanti biarlah Panglima pasukkan musuh yang bernama Arya itu menjadi lawan Jalu saja," ucap Jalu yang menjadi penasaran dengan armada pasukkan tlatah Bhineka. Sekaligus dia ingin melihat, apakah sosok Arya benar-benar berada di tengah pasukkan musuh i