Sesungguhnya suasana malam kala itu cukup indah dan hening dihiasi sinaran bulan purnama.
Namun keheningan dan keindahan malam itu terkoyak, oleh sebuah suara teriakkan di markas sekte Rajawali Emas.
"Awas! Ada pencuri masuk ke ruang pusaka!!" teriak seorang anggota sekte kelas menengah, yang kebetulan berjaga di area markas bersama seorang anggota lainnya.
Crash! Crasshk!
“Arrgghssk!” bagai kilat berkelebat cahaya merah dari sebuah pedang, yang langsung menerbangkan dua buah kepala penjaga pintu di ruang pusaka sekte Rajawali Emas.
Dua penjaga ruang pusaka itu pun tewas tanpa kata, seorang di antaranya adalah anggota sekte yang baru berteriak tadi.
Slaphs!
Cepat sekali sosok berpenutup kepala kain itu melesat melewati pagar markas sekte, lalu lenyap di kegelapan hutan yang mengelilingi sekte Rajawali Emas itu.
Puluhan sosok berkelebatan keluar dengan cepat dari dalam markas sekte, mereka langsung menuju ke ruang penyimpanan pusaka dan sebagiannya melesat ke sekitar markas mencari sosok yang mencurigakan.
“Dua penjaga ruang penyimpanan pusaka telah tewas!” teriak seorang anggota sekte yang melesat ke arah penyimpanan ruang pusaka.
Seketika markas sekte Rajawali Emas menjadi gempar. Ki Somanatha selaku putra pertama dari Guru Besar sekte Rajawali Emas, langsung memeriksa ke dalam ruang penyimpanan pusaka sekte Rajawali Emas.
Dan hal yang paling ditakuti oleh sekte Rajawali Emas ternyata benar-benar terjadi.
"Hahh! Kurang ajar! Kitab pusaka Rajawali Langit dan pedang keramat Rajawali Emas telah hilang dari tempatnya!" seru Ki Somanatha terkejut dan murka bukan main mengetahui hal itu.
Ya, dia serasa tak percaya atas kenyataan telah hilangnya dua buah pusaka yang merupakan urat nadi dari sekte Rajawali Emas.
Akhirnya dia mengambil sebuah keputusan 'terpaksa' dalam keadaan darurat itu.
'Hhh! Terpaksa aku harus menghadap dan mengganggu tapa brata ayahanda Bilowo Djati di ruang khususnya', bathin Ki Somanatha, seraya menghela nafasnya.
Ya, di bagian belakang markas sekte Rajawali Emas terdapat sebuah bukit bernama bukit Dewa Pedang. Terdapat pintu batu geser tebal yang tersembunyi di bawahnya, yang tertutupi oleh tanaman rambat lebat.
Dan di sanalah pintu ruang-ruang laku khusus para leluhur sekte Rajawali Emas berada. Ruang laku khusus yang hanya boleh dimasuki oleh para ketua, pendahulu, serta leluhur ketua sekte Rajawali Emas.
Bisa dikatakan, ruang itu adalah ruang akhir bagi para ketua atau tokoh puncak di sekte Rajawali Emas, untuk menyepi dan mensucikan diri hingga akhir hayat mereka.
Daghs!
Ki Somanatha menendang sebuah tombol rahasia, yang terdapat di sebelah kanan bawah sisi pintu batu geser.
Dia melakukan hal itu setelah menyingkirkan tanaman rambat lebat yang menutupi pintu batu geser.
Sebuah tombol rahasia yang tak akan mudah di temukan oleh orang luar bahkan anggota sekte biasa sekalipun.
Grrggh! Grrggh! Blaaghk!
Pintu batu geser pun terbuka dengan suara bergemuruh keras, Ki Somanatha segera masuk ke dalam ruang rahasia dan berjalan cepat menyusuri lorong rahasia itu.
Akhirnya Ki Somanatha hanya bisa mencapai ruang lorong terakhir yang masih terbuka. Karena jika ketua atau leluhur terdahulu telah wafat, maka ketua atau tokoh yang masuk berikutnya harus memukul tombol buka tutup pintu geser di depan ruang khusus itu.
Dan jika ruang khusus itu telah tertutup, maka siapa pun tak akan dapat membuka kembali pintu batu itu untuk selamanya!
Ki Somanatha terhenti di ruang khusus yang pintunya masih terbuka itu. Nampak sosok sang ayahandanya Eyang Bilowo Djati, yang masih berada dalam posisi bersila di dalamnya.
"Ayahanda, maafkan ananda telah lancang mengganggu tapa brata Ayahanda," ucap Ki Somanatha, seraya berlutut di depan sosok Eyang Bilowo Djati yang bersila dengan mata terpejam.
"Hmm. Katakan saja Soma, ada berita penting apakah di markas sekte?" ucap Bilowo Djati bertanya, namun sepasang matanya nampak masih terpejam.
"Ayahanda, maafkan kelalaian ananda dalam menjaga pusaka keramat sekte Rajawali Emas. Malam ini sekte Rajawali Emas telah kedatangan seorang pencuri.
Pencuri itu berhasil mengambil Kitab Rajawali Langit dan Pedang pusaka Rajawali Emas dari ruang penyimpanan pusaka, Ayahanda," ucap Ki Somanatha, dengan nada bergetar penuh penyesalan.
"Ahh! Demi Hyang Agung! Inilah rupanya makna wisik Matahari Tenggelam selama 90 tahun di atas langit markas kita.
Ayahanda telah mendapatkan wisik itu sejak beberapa waktu terakhir ini," seru kaget bergetar Eyang Bilowo Djati, saat mendengar kabar mengejutkan dari putra tertuanya itu.
"Ayahanda, apa yang harus Soma lakukan sekarang?" Ki Somanatha pun bertanya dengan wajah bingung dan panik pada ayahandanya.
"Putraku Soma, ruang penyimpanan pusaka sekte kita memiliki beberapa jebakkan rahasia, yang tak mungkin bisa di tembus dengan mudah oleh pencuri tersakti di kolong jagad sekalipun.
Jika sampai terjadi ada pencuri yang bisa masuk dan keluar dengan selamat dari ruang penyimpanan pusaka, maka artinya hanya ada satu kemungkinan!
Ada pengkhianat di antara kita! Di mana adikmu Raganatha?" seru Eyang Bilowo Djati.
"Ahh! Adik Raganatha sudah beberapa hari ini belum pulang ke markas Ayahanda!" seru Ki Somanatha terkejut.
Ya, dia baru terpikirkan soal kemungkinan adanya pengkhianat di antara tokoh sekte Rajawali Emas.
"Anakku Soma, wisik ayahanda kini sudah berubah menjadi suratan tertulis. Kebesaran sekte Rajawali Emas perlahan akan tenggelam, seiring dengan 'hilangnya' dua pusaka sekte kita.
Dan hanya salah satu dari keturunan terpilih kita, yang akan bisa membangkitkan kembali sekte Rajawali Emas menuju masa puncak keemasan tertingginya di kemudian hari!" seru Eyang Bilowo Djati, seraya terhenti berkata sejenak.
"Somanatha. Ayahanda cuma bisa berpesan, 'Walau apapun yang terjadi, jangan pernah membubarkan atau menutup sekte Rajawali Emas kita'!
Walau anggotanya hanya tinggal keluarga kita saja! Ingat itu Somanatha!" Eyang Bilowo Djati berkata dengan penekanan suara yang tajam dan dalam.
"Baik Ayahanda!"
"Sekarang adalah permintaan ayahanda yang terakhir. Kaupukul hancurlah tombol penutup pintu ruang khusus ayahanda, setelah kau berada di luar ruangan khusus ini, Somanatha!" seru Eyang Bilowo Djati tegas tak terbantahkan.
"Ayahanda..!" seru Ki Somanatha dengan suara sedih bergetar, hal yang menyatakan keberatan hatinya.
Karena dengan memukul hancur tombol pintu ruang khusus ayahandanya itu, berarti Eyang Bilowo Djati sudah memutuskan untuk tak berhubungan lagi dengan dunia luar.
Ya, Eyang Bilowo Djati akan terkurung hingga dia menemui ajalnya di dalam ruangan khusus itu!
"Lakukanlah Soma! Dan ingat, jangan sampai 'Mustika Rajawali Emas' yang berada dalam dirimu, jatuh ke tangan orang yang bukan keturunan langsung darimu!
Keluar dan jadilah tegar putraku!" seru tegas bergetar Eyang Bilowo Djati.
"Ayahanda ...." Ki Somanatha bersimpuh dan mencium wajah, tangan, dan lutut sang ayahandanya itu dengan perasaan pedih, sedih, dan berat hati.
Namun perintah sang ayahanda tetaplah perintah yang harus di patuhinya.
"Selamat jalan Ayahanda..!” Ki Somanatha mengucapkan salam terakhirnya.
Ya, Eyang Bilowo Djati adalah ketua ke 27 dari sekte Rajawali Emas. Dengan tertutupnya pintu ruang khusus itu, maka resmilah kini Ki Somanatha menjadi ketua ke 28 dari sekte Rajawali Emas.
Bruaghk! Grrghh! Blammp!
Ki Somanatha memukul hancur tombol pintu batu ruang khusus itu, dan pintu batu tebal lorong bergeser menutup dengan suara menggetarkan.
Ya, pintu ruang khusus ketua ke 27 Eyang Bilowo Djati telah tertutup rapat untuk selamanya!
***
Sementara itu di markas sekte Elang Merah, yang berlokasi tak begitu jauh dengan sekte Rajawali Emas berada.
Taph!
Mendarat ringan sesosok tubuh berpakaian hitam dengan memakai penutup kain hitam pula, melalui sebuah jendela yang di biarkan terbuka.
"Ahh! Ketua sudah kembali rupanya. Bagaimana dengan keterangan yang kuberikan pada Ketua, sesuaikah?" terdengar seru gembira dari seorang lelaki di dalam ruangan.
"Keterangan yang sangat tepat dan berguna sekali Raganatha!" sahut sosok berpakaian hitam, seraya membuka penutup kepalanya.
"Hehehe! Wah, syukurlah kalau begitu. Karena aku berharap imbalan yang Eyang Prana janjikan di berikan malam ini juga," ucap sosok itu yang ternyata adalah Raganatha!
"Baiklah Raganatha. Terimalah imbalanmu ini!" Eyang Prana Wisesa berseru, seraya kelebatkan cepat pedang merahnya.
Craasshk!Kelebatan cahaya merah secepat kilat menebas leher Raganatha, yang kala itu hanya bisa terpaku dengan mata terbelalak ngeri.Blukh! Gludug, gludugh!Kepala Raganatha seketika terlepas mencelat dari lehernya. Darah muncrat dari batang leher Raganatha, sebelum akhirnya tubuh itu ambruk dengan kepala menggelinding di lantai ruangan.Ya, Raganatha! Pengkhianat sekte Rajawali Emas, yang ternyata adalah adik kandung dari Ki Somanatha telah tewas dengan cara mengenaskan."Hahahaaa! Dengan ini sekte Elang Merah akan menguasai wilayah Larantuka di Tlatah Pallawa ini!Habislah kau Sekte Rajawali Emas! Mampuslah kau Bilowo Djati!" seru keras Eyang Prana Wisesa seraya tergelak puas.Ya, bisanya Eyang Prana Wisesa menjebol ruang penyimpanan pusaka sekte Rajawali Emas, tak lain adalah berkat keterangan si pengkhianat Raganatha.Bahkan Raganatha juga mengatakan pada Prana Wisesa, bahwa sudah setengah tahun lamanya ayahnya Eyang Bilowo Djati berada di ruang khusus laku leluhur sekte Rajawal
"Hahh! Ka-kalian brengsek!" seru marah dan terkejut Jalu bukan main, dia langsung memaki dan mendekati kawanan remaja itu. Dilihatnya dengan marah dan sedih bangkai kelima ekor ayamnya yang telah mati, dengan leher remuk dihantam lesatan 5 buah batu kerikil. Jalu bergegas menghampiri keempat remaja yang nampak masih tergelak mengejeknya, kendati mereka melihat kemarahan di wajah Jalu. "Hahahaa! Kau mau apa ke sini?! Apa mau kami buat lehermu seperti kelima ayammu itu, hahh?!" seru tergelak seorang remaja diantara kawanan itu, seraya mengintimidasi Jalu. Plakkh! Secepat kilat Jalu menampar keras anak yang berkata mengancamnya itu. “Akhssh!” remaja yang bernama Arya itu tertampar telak seraya mengaduh kesakitan. Karena dia merasa terlalu yakin, jika Jalu tak mungkin bernyali menamparnya. "Sialan! Kau berani menamparku anak gembel! Hiahh!” seru marah Arya memaki, tendangan putarnya langsung melesat cepat ke arah kepala Jalu. Daghhk! Gludug, gludukh! Jalu yang memang telah siaga b
"Terimakasih ya. Nama kamu siapa?" Jalu ucapkan rasa terima kasihnya seraya bertanya."Ahh, itu bukan apa-apa. Namaku Kirana, aku tinggal di Desa Karanglesem. Nama kau siapa dan dari desa mana?" sahut Kirana ramah, seraya balik bertanya."Wah! Desa Karanglesem lumayan jauh dari Trowulan Kirana. Namaku Jalu," sentak Jalu kaget, seraya menyebut namanya."Iya Mas Jalu. Kebetulan Ayahanda mengajakku ke sini, karena ada beberapa ketua sekte yang juga ikut datang bersama Ayahku ke desa ini,” sahut ramah Kirana.Kirana langsung memberikan panggilan 'Mas' pada Jalu, karena dia memperkirakan usia Jalu lebih tua darinya.Dan Kirana juga seperti melihat pancaran kharisma yang membuatnya merasa segan dan respek pada diri Jalu."Wah! Rupanya Ayahmu adalah seorang ketua sekte juga ya Kirana. Pantas saja jurusmu tadi sangat hebat!" seru Jalu kagum dan memuji Kirana."Mas Jalu kenapa sampai dikeroyok oleh Arya dan teman-temannya tadi?" tanya Kirana penasaran, tanpa pedulikan pujian dari JaluLalu Jalu
"Bagus Jalu! Tak peduli kalah ataupun menang, kehormatan haruslah tetap kau jaga!Selama kau yakin berada dalam kebenaran, pantang kakimu surut ke belakang! Itu baru anak ayah!" seru Ki Respati memuji putranya.Ya, bagi Ki Respati, sikap ksatria dan martabat seorang pendekar jauh lebih penting tertanam lebih dulu, di dalam dada murid yang juga putranya itu.Karena dengan dasar sikap ksatria yang telah tertanam dengan kuat, maka ilmu setinggi apa pun tak akan membuat mental putranya itu goyah dan tersesat dari jalan kebenaran di kemudian hari.Hal itulah dasar karakter yang selalu dipegang teguh oleh seluruh anggota sekte Rajawali Emas, sejak sekte itu berdiri ratusan tahun silam."Jalu, ada amanat yang harus kau pegang sebagai penerus dari sekte Rajawali Emas ini.Mengingat usia ayah sudah 55 tahun lebih, maka sebaiknya sekarang saja kau pegang amanah itu," ujar Ki Respati dengan nada serius.Ki Respati mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, tampaklah sebuah kain hitam kecil berbent
Karena sesungguhnya sepuh Prana Wisesa, leluhur dari ketua sekte Elang Merah itu telah menggambar denah serta rahasia semua perangkap, yang ada di dalam ruang pusaka sekte Rajawali Emas itu pada secarik kain.Lalu Prana Wisesa mewariskan gambar itu dan menyimpannya di ruang pusaka sekte Elang Merah.Hingga akhirnya sampailah gambar denah rahasia ruang pusaka sekte Rajawali Emas itu pada tangan Ki Taksaka, ketua sekte Elang Merah saat itu.Dan entah telah berapa kali dengan diam-diam Ki Taksaka keluar masuk dalam ruang penyimpanan pusaka sekte Rajawali Emas.Sementara Ki Respati sendiri memang sangat jarang, bahkan hampir tak pernah masuk lagi ke ruang penyimpanan pusaka sektenya itu.Karena memang ruang penyimpanan pusaka itu sudah lama sengaja di kosongkan, dan seluruh pusaka sekte Rajawali Emas yang tersisa telah di pindahkan oleh Ki Respati ke salah satu kamar kosong.Kamar kosong yang berada di dalam markas dan merangkap sebagai kediaman keluarganya.Klaghk! Grrgk! Daambh!Ki Taks
Splaattzh!Belum cukup sampai disitu, dua larik cahaya hitam pekat nampak melesat menembus pusat benturan dan menghajar telak dada Ki Respati.Blaarghk! Krreegh!“Arrghks!” dada kiri dan kanan Ki Respati pun hangus dan melesak seketika, dan dengan diiringi teriakkan kematiannya maka ambruklah sosok Ki Respati ke bumi.Ya, Ki Respati suami Seruni serta ayah dari Jalu dan Larasati! Ketua sekte Rajawali Emas ke 30 telah tewas dengan mengenaskan malam itu!"Mampus kau ketua sekte sampah!" seru puas Ki Taksaka, seraya menghampiri mayat Ki Respati.Dengan seksama dia mendeteksi sekujur tubuh Ki Respati dengan telapak tangannya, yang dilambari ilmu Serap Raga miliknya.'Bedebah! Mustika Rajawali Emas tak ada ditubuhnya!' seru marah dan kecewa bathin Ki Taksaka."Ada apakah Ki Taksaka?!" Ki Mukti Roso berseru heran, saat melihat rekannya itu nampak kecewa, setelah mencari-cari sesuatu pada sosok mayat Ki Respati."Tidak apa-apa Ki Mukti Roso. Aku hanya ingin memastikan kalau dia benar-benar s
“Hei! Apa yang telah kalian lakukan pada putri bedebah itu..?!” seru kaget Ki Taksaka, saat dia melihat tubuh polos Larasati yang tak sadarkan diri di dalam saung.“Ahh! Ki Taksaka, apakah kita tak boleh bersenang-senang dulu sebelum menghabisi gadis itu.Jika kau berminat silahkan saja. Kami bertiga sudah puas menikmatinya, hehe!” seru terkekeh Ki Arga Bayu, dengan senyum penuh kepuasan.“Dasar kalian mata keranjang! Hahahaa!” seru tergelak Ki Mukti Roso memaklumi hasrat bawah ketiga rekannya."Lalu bagaimana baiknya sekarang Ki Taksaka? Kedua anak itu telah tak sadarkan diri kini," tanya Ki Mukti Roso menanti keputusan Ki Taksaka, yang dianggap tetua di antara mereka berlima. "Sebentar! Biar kuperiksa mereka lebih dulu!" seru Ki Taksaka, seraya mendatangi sosok Larasati yang masih tergolek di atas balai saung.Dan kembali Ki Taksaka menerapkan ilmu Serap Raganya, untuk mendeteksi keberadaan energi Mustika Rajawali Emas pada tubuh polos Larasati.'Bedebah! Dimana sebenarnya Ki Res
Braaghhk! Lesatan sosok Ki Tasaka pun terhenti, saat punggungnya menghantam keras batang pohon nangka yang berdiri kokoh di belakang sana. Srrtt! Brughk! Tubuh Ki Taksaka pun langsung merosot dan ambruk terkapar dibawah pohon itu. Blaarrrghks!! Ledakkan menggelegar terdengar, saat empat pukulan ketua sekte menghantam telak sosok Ki Lanangjati. Dan hancur leburlah sudah sosok Ki Lanangjati seketika itu juga, akibat dilabrak 4 pukulan dahsyat yang berlainan sifat dari para ketua sekte yang terarah padanya. Ya, sosok sepuh Ki Lanangjati pun tewas dengan tubuh hancur dan berpencaran cerai berai, hingga tak bisa dikenali lagi! Mengenaskan! Slaph! “Ki Taksaka! Kau tak apa-apa?!" seru Ki Mukti Roso yang melesat lebih dulu menghampiri sosok Ki Taksaka yang terkapar di tanah. Slaph..!! Ketiga rekan ketua sekte lainnyapun segera menyusul melesat ke arah Ki Taksaka. "Akkhsshh! Ahhss ..! A-aku tak apa-apa! Rompi Elang Sutra melindungi tubuhku. Kalian carilah anak
BLAPH..!Seketika kilau cahaya putih cemerlang yang menyilaukan di atas area Padang Khayangan yang tak bertepi itu pun lenyap.Kini hanya ada warna keemasan pekat di area Padang Khayangan itu. Sunyi ... angin pun bagai tak berhembus saking tenangnya.Jalu ambil posisi bersila dengan sikap teratai, perlahan dia pejamkan kedua matanya. Tak lama Jalu pun tenggelam di alam keheningan yang tercipta. Pasrah ... Mandah ... dan Berserah.*** Dan kehebohan pun terjadi di Tlatah Klikamuka.Ya, semua orang di sana ribut dan panik mencari sosok Jalu, yang bagai hilang ditelan bumi. Mereka semua yakin Jalu bisa mengatasi dan melenyapkan Arya. Karena Arya sendiri tak pernah muncul kembali, setelah duelnya melawan Jalu.Selama 7(tujuh) hari lebih seluruh orang di Tlatah Klikamuka mencari keberadaan Jalu. Mereka menyusuri dengan kapal-kapal laut hingga jauh ke laut lepas, namun tetap saja sosok Jalu tak mereka lihat dan temukan.Pada akhirnya mereka semua menyimpulkan, bahwa Jalu telah mati sampyuh
Sosok Eyang Sokatantra ambyar berkeping, terlabrak pukulan inti 'Poros Bumi Langit' milik Eyang Bardasena.Ya, bola emas berpusar milik Eyang Bardasena itu berhasil menerobos titik benturan pukulan dahsyatnya dengan pukulan milik Eyang Sokatantra.Akibatnya, dengan telak sekali bola emas yang berputar dahsyat itu menghantam dada Eyang Sokatantra. Sungguh dahsyat tak tertahankan memang power Eyang Bardasena saat itu. Kendati sesungguhnya power Eyang Sokatantra berada di atas tingkatan Eyang Barnawa dulu.Ya, keajaiban olah Pernafasan Bathara Bayu yang diperdalam Eyang Bardasena di bawah arahan Jalu, memang telah membuat peningkatan pesat pada powernya.Bahkan bisa dikatakan Eyang Bardasena kini telah memasuki ranah awal di tingkat Ksatria Semesta tingkat tak terbatas, ranah yang sama seperti halnya Jalu. Namun tentu saja power dan daya bathin Eyang Bardasena masih berada beberapa tingkat di bawah Jalu."Hukghs..!" sosok Eyang Bardasena terhuyung ke belakang, namun cepat dia kembali teg
Wuunnggtzz..!!! Weerrsskh..!!Dengung membahana suara cakra emas yang memancarkan cahaya cemerlang terdengar. Cakra emas itu berputar menggila bukan main cepatnya.Seluruh badai angin yang berada di sekitar lokasi pertarungan itu, seketika ikut terhisap masuk dan menyatu dengan pusaran badai raksasa cakra tersebut. BADAS..!Sementara badai halilintar emas tak henti menghujani lokasi pertarungan Arya dan Jalu tersebut. Tengah laut, lokasi pertarungan dua tokoh muda tersakti di jamannya itu, seketika bagai berubah menjadi sebuah wilayah yang terkutuk. Mengerikkan..!Dan yang terdahsyat adalah terbentuknya pusaran laut mega raksasa, yang berpusat di bawah sosok Jalu melayang. Pusaran laut raksasa itu mencakup radius yang sangat luas, hingga menelan pusaran raksasa yang berada di bawah sosok Arya! Inilah kegilaan yang super gila..!"Ca-cakra Semesta..?! Ini Gila..!! Keparat kau Jalu..!!" Arya tersentak kaget dan gentar bukan main. Dia seketika teringat ucapan Maha Gurunya sang Penguasa Ke
"HUAAAHHH..HH..!!!"Teriakkan bergemuruh dari pasukkan perang tiga tlatah membahana badai di pantai Parican saat itu. Dan permukaan air laut di pantai Parican yang biasanya berwarna hijau kebiruan itu, kini telah berubah total menjadi merah darah..!Patih Karna bisa mengerti siasat panglima Indrakila, dengan tidak melabuhkan kapal di pelabuhan pantai Parican. Karena rawan untuk dipakai para pasukkan tlatah Bhineka, yang hendak melarikan diri nantinya.Sungguh siasat yang cukup mematikan langkah pihak musuh. Sebuah siasat yang hanya berarti dua pilihan untuk pihak musuh, tetap menyerang dan melawan, atau mati di negeri orang..!Sungguh sebuah kesalahan fatal dari siasat dan pemikiran Panglima Besar pasukkan Bhineka, Arya.Arya tak memperhitungkan, bahwa persatuan dan persahabatan tlatah Pallawa, Klikamuka, serta Ramayana semakin bertambah solid, setelah perang besar yang terjadi 5(lima) tahun yang lalu.Arya benar-benar kurang memperhitungkan hal yang sebenarnya sangat fatal itu.***
"Bedebah kau Bardasena..! Bisakah sopan sedikit saat berbicara denganku! Simpan arakmu brengsek..!" seru marah Eyang Sokatantra.Ya, Eyang Sokatantra sangat keki dan merasa diremehkan oleh sikap Bardasena, yang berbicara dengannya sambil minum arak."Hmm. Sokatantra kita sudah sama sepuh, dan kita sudah sama tahu apa itu arti basa basi dan sikap munafik. Apa bedanya sikapku yang minum arak, dengan kata-kata makian kasarmu itu padaku! Hahahaa!" seru Eyang Bardasena tergelak, membalikkan teguran Eyang Sokatantra dengan sindirannya."Hmm. Baik Bardasena! Kita mulai saja pertarungan kita sekarang!" karuan Eyang Sokatantra bertambah keki, mendengar ucapan Eyang Bardasena yang dengan telak membalikkan teguran dengan sindiran tajamnya.Glk, glk, glk!"Baik Sokatantra! Sebaiknya kita juga bertarung agak ke tengah laut sana! Kasihan jika ada prajurit yang tewas karena pukulan kita yang meleset," ucap tegas Eyang Bardasena, menyambut tantangan Eyang Sokatantra.Slaph..!! Slaphh..!!Dua tokoh se
"MEREKA DI BELAKANG KITA..! BERSIAPLAH..!" seru lantang sang Mahapatih Suryalaga.Dia memimpin pasukkan penjaga di pantai Parican untuk mundur, agar pasukkan musuh terpancing untuk maju mengejar mereka, yang disangka gentar oleh pasukkan musuh.Cepat sekali ke 9 ribu pasukkan yang dipimpin sang patih Suryalaga tersebut membentuk barisan di sisi kiri dan kanan depan pasukkan sang Maharaja, yang telah berbaris di depan perbatasan kotaraja. Hingga Pasukkan Tlatah Klikamuka dan sekutunya kini membentuk formasi huruf 'U'.Srraakh.! Spyaarrsshk..!Sang Maharaja lolos keris pusaka 'Ki Nogo Suryo' dan acungkan keris pusaka itu ke arah langit. Seketika selarik kilatan terang melesat dari keris pusaka itu menembus awan, langit pun nampak semakin terang, walaupun matahari belum lagi menyorotkan sinar terangnya di pagi hari itu."ESA HILANG DUA TERBILANG..! PARA KSATRIA KLIKAMUKA..!! SERAANNGG..!!" seru lantang sang Maharaja, seraya acungkan 'Ki Nogo Suryo' ke arah depan dan membedal maju kudanya
HUUOOONNKKHH...!!!Suara gaung terompet/sangkha bergema membahana dari tepian batas laut di pantai Parican. Suara gaungnya mengoyak kesunyian pagi, dan menembus hingga ke dinding perbatasan kotaraja Klikamuka.Ya, itulah gaung terompet/sangkha dari pihak armada perang Tlatah Bhineka, hal yang menandakan armada pasukkan Bhineka akan bergerak menyerang ke wilayah Klikamuka!"PASUKKAN BHINEKA..! MAJUU..!!" seru lantang panglima besar mereka Arya. Sebuah seruan yang dilambari power tenaga dalamnya, hingga menembus gendang telinga segenap pasukkan kapal armada tlatah Bhineka itu."MAJUU..!!""SERANNGG..!!"Seruan Arya segera di ikuti oleh seruan komando para pimpinan kapal pasukkan armadanya. Serentak seluruh armada kapal perang tlatah Bhineka meluruk maju dengan cepat, melesat menuju tepi pantai Parican untuk mendaratkan 25 ribu lebih pasukkannya.Sementara jauh di belakang armada perang Bhineka itu."ARMADA RAMAYANA..!! KEJAR DAN SERANGG MEREKA..!!" seru lantang sang Patih Karna Ekatama
"Heeii..! Utusan Arya keparat..! Lekas ambil surat dari Tuanmu itu, dan berikan kembali pada junjunganmu si Arya itu!" seru keras sang Maharaja Klikamuka."Ba-baik paduka..!" seru gugup sang utusan yang merasa gentar, karena dia merasa sedang berada di sarang harimau. Segera di ambil dan dilipatnya kembali surat maklumat dari junjungannya, yang kini penuh dengan ludah itu."Katakan pada junjunganmu si Arya itu! Surat maklumatnya hanyalah sampah di mata rakyat Tlatah Klikamuka ini! Cepat keluar..!" seru sang Maharaja Klikamuka murka."Ba-baik Paduka!" dengan menyahut gugup, sang utusan itu segera keluar dari istana Klikamuka. Nampak wajahnya pucat pasi, dia sadar perang tak bisa terhindarkan lagi kini.Sepanjang jalan menuju kembali ke pantai, dia mengamati kekuatan pasukkan dan perlengkapan perang Tlatah Klikamuka itu. Dan hatinya menjadi bergetar ngeri, karena ternyata jumlah pasukkan Tlatah Klikamuka setara dengan jumlah pasukkan kerajaan Bhineka!Hal yang meleset dari perkiraan jun
"Gusti Prabu. Sebagai tlatah sahabat, manalah mungkin kami dari Tlatah Pallawa hanya berdiam diri saja. Sementara dahulu Tlatah Klikamuka juga telah dengan sukarela membantu Tlatah Pallawa, dimasa-masa sulit kami.Jalu juga menghaturkan salam dari Maharaja Wucitra Samaradewa untuk Gusti Prabu Sri Baduga Maladewa disini. Semoga Klikamuka tetap jaya dan makmur," ucap Jalu santun, dia memang dititipi pesan itu oleh sang Maharaja Wucitra Samaradewa sebelum berangkat."Ahh! Sahabatku Maharaja Wucitra Samaradewa! Tlatah Klikamuka tak akan pernah melupakan uluran persahabatan ini!" seru sang Maharaja Sri Baduga Maladewa, dengan suara agak serak terharu."Maaf Gusti Prabu! Jalu hendak melihat langsung posisi pasukkan musuh saat ini. Mohon ijinnya, nanti biarlah Panglima pasukkan musuh yang bernama Arya itu menjadi lawan Jalu saja," ucap Jalu yang menjadi penasaran dengan armada pasukkan tlatah Bhineka. Sekaligus dia ingin melihat, apakah sosok Arya benar-benar berada di tengah pasukkan musuh i