Splaattzh!
Belum cukup sampai disitu, dua larik cahaya hitam pekat nampak melesat menembus pusat benturan dan menghajar telak dada Ki Respati.
Blaarghk! Krreegh!
“Arrghks!” dada kiri dan kanan Ki Respati pun hangus dan melesak seketika, dan dengan diiringi teriakkan kematiannya maka ambruklah sosok Ki Respati ke bumi.
Ya, Ki Respati suami Seruni serta ayah dari Jalu dan Larasati! Ketua sekte Rajawali Emas ke 30 telah tewas dengan mengenaskan malam itu!
"Mampus kau ketua sekte sampah!" seru puas Ki Taksaka, seraya menghampiri mayat Ki Respati.
Dengan seksama dia mendeteksi sekujur tubuh Ki Respati dengan telapak tangannya, yang dilambari ilmu Serap Raga miliknya.
'Bedebah! Mustika Rajawali Emas tak ada ditubuhnya!' seru marah dan kecewa bathin Ki Taksaka.
"Ada apakah Ki Taksaka?!" Ki Mukti Roso berseru heran, saat melihat rekannya itu nampak kecewa, setelah mencari-cari sesuatu pada sosok mayat Ki Respati.
"Tidak apa-apa Ki Mukti Roso. Aku hanya ingin memastikan kalau dia benar-benar sudah tewas!" sahut cepat Ki Taksaka, menutupi maksud sebenarnya.
‘Ahh! Mungkin saja bedebah Ki Respati ini telah mewariskan mustika itu pada kedua anaknya!’ seru bathin Ki Taksaka penuh harapan. Berpikir begitu maka,
"Baiknya kita ikut mengejar keluarga sekte Rajawali Emas yang tersisa Mukti Roso!” Slaph! Ki Taksaka langsung melesat cepat, setelah dia berseru pada Ki Mukti Roso.
Slaph!
Ki Mukti Roso pun sontak ikut melesat menyusul rekannya itu.
Sementara itu Jalu dan Larasati terus melesat membawa lari sang ibu. Mereka berdua seperti telah sepakat untuk bersembunyi, di bukit ruang khusus para leluhur sekte Rajawali Emas. Namun,
Jlebh! Splagh!
Sebuah pisau terbang milik sekte Naga Terbang menancap tepat di punggung sang ibu, dan sebuah pukulan jarak jauh juga menyusul telak menghajar punggungnya.
“Akkhs..!” terdengar jerit kematian Seruni saat itu juga, sosok wanita paruh baya itu pun terpental lepas dari rangkulan kedua putra putrinya.
"Ibuuu..!!" teriak terkejut Jalu dan Larasati berbarengan.
Cepat mereka menghampiri sosok sang ibu yang telah tewas seketika, sebelum dia sempat menyentuh tanah.
Ya, bagi Jalu dan Larasati, kejadian itu memang sungguh terlalu cepat dan tak terduga.
"Ibunda! Jangan tinggalkan Jalu dulu ibu!" seru Jalu bergetar, menahan kepedihan hatinya. Dia sudah membayangkan pastilah sang ayahandanya juga telah tewas, oleh sekelompok orang berpenutup kepala kain hitam itu.
"Ibunda! Sati benar-benar tak berguna melindungi ibu. Tsk, tsk!" terdengar isak kepedihan Larasati, sambil bersimpuh di sisi mayat Nyi Seruni.
Tak dipungkiri Larasati memang gadis remaja yang cantik dan tengah mekar-mekarnya diusianya yang 16 tahun.
"Hahahaaa!!" terdengar tawa bergelak di belakang Jalu dan Larasati, yang masih menangisi kematian ibu mereka.
"Kalian menangis pun percuma! Malam ini riwayat keluarga sekte Rajawali Emas harus tamat hingga ke akar-akarnya! Hahahaa!" seru tergelak Ki Braja Denta.
"Kalian semua bajingan! Hiahh!” Wusshh! Larasati berseru memaki, seraya melesat lepaskan tendangan Rajawali Mengibas Langit ke arah kepala Ki Braja Denta.
Taph! Brughk!
Namun hal yang mudah saja bagi Ki Braja Denta, untuk menangkap kaki Larasati dan langsung membantingnya ke tanah.
“Ahhsk..!” seru kesakitan Larasati, saat tubuhnya terhempas deras ke tanah. Larasati terkapar tanpa daya, tubuhnya serasa sesak dengan kepala pening serasa berputar.
“Hiaah!” Cakar Harimau Besi Ki Braja Denta telah siap terangkat, dia hendak langsung menghabisi nyawa Larasati saat itu juga. Namun,
Taph!
“Tahan dulu Braja Denta! Apakah kau tak melihat sesuatu yang menarik dari anak gadis ini! Hehehee!" seru terkekeh Ki Arga Bayu sang ketua sekte Naga Terbang, seraya menangkap pergelangan tangan Ki Braja Denta.
Ya, rupanya Ki Arga Bayu tertarik melihat kecantikkan Larasati, yang tertimpa sinar remang cahaya rembulan malam itu. Hasrat bawah ketua sekte Naga Terbang itu pun muncul seketika.
"Lepaskan aku! Kalian bangsat pengecut!" teriak Larasati marah sekali.
Namun cengkraman Ki Braja Denta pada kedua kakinya bagaikan capit besi yang membuatnya tak berdaya.
"Apa maksudmu Arga Bayu?! Kita harus habisi mereka semua sampai ke akar-akarnya!" sentak Ki Braja Denta nampak kesal.
"Tentu saja begitu Braja Denta! Namun kita akan menghabisi yang satu ini setelah menikmatinya lebih dulu, hehe!" seru terkekeh Ki Arga Bayu, seraya wajahnya menyeringai penuh nafsu pada Larasati.
Tukh! Tukh!
Secepat kilat sosok Ki Arga Bayu melesat dan menotok tubuh Larasati, hingga gadis remaja itu menjadi lemas tak berdaya.
"Lepaskan Kakakku! Kalian memang manusia binatang! Hiahh!” Weshh!
Jalu berseru memaki marah, sambil layangkan tendangan lompat ke arah lengan Ki Arga Bayu yang hendak membopong kakaknya.
Plakh! Deshh!
Tentu sangat mudah bagi Ki Arga Bayu menepis tendangan Jalu, seraya lesakkan telak sisi tangannya ke arah dada Jalu yang masih dalam keadaan melayang itu.
"Hakhhsh! Hoekss!”
Brughkk!
Sosok Jalu tersentak keras seraya semburkan darah segar dari mulutnya, hingga akhirnya dia terhempas deras ke tanah.
Rasa sesak dan nyeri mendera dadanya, pernafasan Jalu pun tersengal dan terasa berat.
Namun Jalu masih sadar, dia masih bisa mendengar pembicaraan serta suara di sekitarnya.
"Luar biasa juga fisik anak itu! Anak biasa saja pasti sudah tewas, jika terhajar sepertiga tenaga dalamku tadi!" seru Ki Arga Bayu heran, melihat daya tahan tubuh Jalu.
"Biarkan saja bocah itu menikmati rasa sakitnya terlebih dulu sebelum mati Arga Bayu!
Dan sebaiknya cepat kau selesaikan hajatmu! Aku menunggu giliran! Hahaha!" seru Ki Braja Denta seraya terbahak.
Akhirnya Ki Arga Bayu meneruskan niatnya memondong tubuh kencang dan mulus Larasati, menuju ke arah saung kosong yang tak jauh dari dari situ.
Ya, di saung yang biasa dijadikan tempat berteduh atau rehat orang-orang atau para petani itulah, sosok lemas Larasati direbahkan.
"Ahh! Tidakk! Jangan..!" terdengar teriakkan lirih Larasati, yang rebah lemas diatas saung. Sebuah teriakkan putus asa dari gadis yang terancam kehilangan kegadisannya.
"Tenanglah gadis cantik, aku akan mengajakmu merasakan surga terindah! Braja Denta! Lambar Manik! Bersabarlah menunggu giliran kalian! Hahahaa..!" seru Ki Arga Bayu, seraya terbahak dari dalam saung.
Nafas Jalu pun tersengal dipenuhi amarah meluap, namun dia sungguh dalam kondisi tak berdaya saat itu.
Luka dalam di tubuh Jalu benar-benar membuatnya tak mampu beranjak dari posisinya, yang terkapar pasrah menatap langit.
'Biadab kalian semuanya! Nama kalian akan kucatat dalam jiwa dan ingatanku! Ki Braja Denta! Ki Arga Bayu! Ki Lambar Manik!
Selama aku masih hidup, kalian semua tak akan pernah merasa aman! Bedebah kalian semua!' seru bathin Jalu, dalam rasa duka dan murka yang teramat sangat.
Akhirnya Jalu pun jatuh tak sadarkan diri, akibat tekanan mental dan amarah yang begitu menggelegak dalam dirinya.
"Aduhss!" terdengar teriakkan kesakitan Larasati, saat dia merasakan suatu benda asing milik Ki Arga Bayu melesak dan merobek sesuatu di dalam dirinya.
Ya, Larasati hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan perih, dalam ketakberdayaannya menolak 'takdir buruk' yang menimpanya malam itu.
Akhirnya tak lama kemudian sosok Ki Arga Bayu pun tersentak melayang dalam puncak kenikmatannya. Setelah tubuhnya berayun dengan cepatnya di atas tubuh polos Larasati.
Dia pun terkulai sejenak diatas tubuh Larasati, lalu bangkit dengan enggan dan beranjak meninggalkan sosok polos Larasati yang terisak tak berdaya.
Ya, andai tubuh Larasati tak tertotok lemas oleh Ki Arga Bayu, maka sudah pasti dia akan melawan sampai tetes darah terakhirnya.
'Lebih baik aku mati, daripada hidup terhina seperti ini!' demikianlah jerit bathin Larasati.
Dan penderitaan Larasati masih terus berlanjut, saat berturut-turut Ki Braja Denta dan Ki Lambar Manik ikut menikmati tubuhnya, yang tergolek lemas diatas balai bambu di saung kosong itu.
Tak kuat dengan beban mental yang menderanya, Larasati pun terkapar tak sadarkan diri. Sungguh malam itu adalah malam jahanam dalam hidup Larasati!
Taph! Taph!
Hampir bersamaan Ki Taksaka dan Ki Mukti Roso muncul di tempat itu
“Hei! Apa yang telah kalian lakukan pada putri bedebah itu..?!” seru kaget Ki Taksaka, saat dia melihat tubuh polos Larasati yang tak sadarkan diri di dalam saung.“Ahh! Ki Taksaka, apakah kita tak boleh bersenang-senang dulu sebelum menghabisi gadis itu.Jika kau berminat silahkan saja. Kami bertiga sudah puas menikmatinya, hehe!” seru terkekeh Ki Arga Bayu, dengan senyum penuh kepuasan.“Dasar kalian mata keranjang! Hahahaa!” seru tergelak Ki Mukti Roso memaklumi hasrat bawah ketiga rekannya."Lalu bagaimana baiknya sekarang Ki Taksaka? Kedua anak itu telah tak sadarkan diri kini," tanya Ki Mukti Roso menanti keputusan Ki Taksaka, yang dianggap tetua di antara mereka berlima. "Sebentar! Biar kuperiksa mereka lebih dulu!" seru Ki Taksaka, seraya mendatangi sosok Larasati yang masih tergolek di atas balai saung.Dan kembali Ki Taksaka menerapkan ilmu Serap Raganya, untuk mendeteksi keberadaan energi Mustika Rajawali Emas pada tubuh polos Larasati.'Bedebah! Dimana sebenarnya Ki Res
Braaghhk! Lesatan sosok Ki Tasaka pun terhenti, saat punggungnya menghantam keras batang pohon nangka yang berdiri kokoh di belakang sana. Srrtt! Brughk! Tubuh Ki Taksaka pun langsung merosot dan ambruk terkapar dibawah pohon itu. Blaarrrghks!! Ledakkan menggelegar terdengar, saat empat pukulan ketua sekte menghantam telak sosok Ki Lanangjati. Dan hancur leburlah sudah sosok Ki Lanangjati seketika itu juga, akibat dilabrak 4 pukulan dahsyat yang berlainan sifat dari para ketua sekte yang terarah padanya. Ya, sosok sepuh Ki Lanangjati pun tewas dengan tubuh hancur dan berpencaran cerai berai, hingga tak bisa dikenali lagi! Mengenaskan! Slaph! “Ki Taksaka! Kau tak apa-apa?!" seru Ki Mukti Roso yang melesat lebih dulu menghampiri sosok Ki Taksaka yang terkapar di tanah. Slaph..!! Ketiga rekan ketua sekte lainnyapun segera menyusul melesat ke arah Ki Taksaka. "Akkhsshh! Ahhss ..! A-aku tak apa-apa! Rompi Elang Sutra melindungi tubuhku. Kalian carilah anak
Tak memerlukan waktu lama, tibalah sang nenek di sebuah gubuk yang letaknya tersembunyi di tengah hutan Kambangan. Sebuah kawasan hutan lebat yang masih berada di wilayah Larantuka. Taph! Sang nenek menjejak ringan di depan pintu gubuk kediamannya, lalu masuk ke dalam dengan membawa sosok Larasati. Siapakah sang nenek itu sebenarnya? Sang nenek aslinya bernama Nyi Nariti, seorang pendekar wanita yang namanya dulu pernah menggetarkan rimba persilatan Tlatah Pallawa di masa mudanya. Julukan Nyi Nariti pada jamannya adalah Dewi Seribu Bayang. Sesungguhnya di masa sepuhnya itu Nyi Nariti sama sekali sudah tak berminat turun kembali ke dunia ramai. Apalagi berpikir untuk memiliki dan mendidik seorang murid! Tapi sepertinya, kejadian tak terduga malam itu akan merubah pendiriannya. Siapa yang tahu? *** Sementara sebelum menendang Jalu tadi, sesungguhnya Ki Lanangjati telah menekan sebuah titik di belakang kepala Jalu. Hal yang seketika membuat Jalu tersadar. Dan Ki Lanangjati jug
'Selesai! Wadah energi itu akan pecah dan menyatu selaras dengan energi miliknya, pada saat dia memang sudah benar-benar sanggup 'mengendalikan' power 29 leluhur dalam wadah energi itu!' seru sukma Eyang Wongso Segoro. 'Benar Eyang sepuh. Akan sangat berbahaya bagi tubuhnya, jika wadah energi itu 'pecah' sebelum waktunya', sahut sukma Eyang Sanggalangit. "Benar Sanggalangit. Baiklah aku duluan. BLAPH!' sahut sukma Eyang sepuh Wongso Segoro, seraya undur diri lebih dulu kembali ke alam leluhur. Blaph! Blaph! ... Blaph!Akhirnya semua sukma para leluhur pun kembali ke alamnya. Dan lorong di ruang khusus para leluhur sekte Rajawali Ema pun kembali gelap dan sunyi, seolah tak pernah ada sekumpulan cahaya leluhur yang gemerlapan di dalamnya. Tak lama kemudian. "Ahhhssh..! Lhoo?!" Jalu menggeliatkan tubuhnya perlahan, saat kedua matanya terbuka sadarkan diri. Dan seketika dia jadi terperanjat kaget, saat tak lagi merasakan sesak serta nyeri di dadanya.Tubuhnya terasa sangat bugar, ba
"Heii bocah! Mau kemana kau?!" teriak kasar seorang lelaki, seraya bertolak pinggang menghadang di depan jalan setapak yang hendak dilalui Jalu. "Ini paman, saya mau ke desa Karanglesem," sahut Jalu tenang. Dia tak menyangka bahwa yang sedang berdiri di depannya adalah seorang begal. "Berani sekali kau bocah! Tahukah kau kalau menuju ke desa Karanglesem kamu harus bayar uang perjalanan dulu di sini!" bentak sang begal, seraya memasang wajah 'tergarang' yang diyakininya. "Wahh! Saya tidak tahu kalau lewat jalan ini harus bayar paman. Memangnya saya harus bayar berapa paman?" seru Jalu kaget, seraya bertanya pada sang begal yang menurutnya berwajah 'lucu' itu. "Yakin kau punya uang sebesar 100 kepeng bocah?!" seru sang Begal tak percaya, jika seorang bocah seperti Jalu memiliki uang sebesar itu. "Sudahlah Koplok! Biarkan saja bocah itu lewat! Paling-paling dia akan jadi santapan serigala lapar di dalam sana! Hahaaa!" seru seorang kawannya yang duduk di bawah pohon, pada begal yang
"Bedebah kau bocah dekil! Hiahh! Seth! Wukkh!" maki salah satu di antara dua pemuda itu, seraya berseru meloncat keluarkan tendangan terbangnya ke arah dada Jalu. "Awas Dek!" teriak cemas ibu warung. Jalu tak mau ambil resiko menangkis tendangan itu, cepat melompat Jalu gulingkan tubuhnya keluar dari warung makan itu.Jurus pertama 'Rajawali Sambar Mangsa' pada kitab Rajawali Langit pun langsung di terapkan Jalu. Braagh!Sebuah kursi kayu di warung makan itupun hancur berkeping, terlanda tendangan pemuda brangasan yang meleset dari targetnya itu. "Bedebah..!" pemuda itu pun memaki marah pada Jalu yang berhasil menghindari serangannya. "Sudahlah Mas! Tak apa kalian tidak membayar pesanannya! Pergilah saja! Asal jangan ganggu Anak itu!" seru ibu warung yang tak tega, jika harus melihat si Jalu kembali teraniaya gara-gara membela dirinya. "Diam kau! Ini sudah penghinaan atas sekte kami! Bocah dekil itu tak terampuni lagi!" sentak marah pemuda itu. Pemuda itu ambil piring tanah liat
"Ohh! Jadi kau mau melawan ya! Hiahhh! Wesh!" seru si remaja itu, seraya ayunkan kakinya menyepak ke arah wajah anak perempuan itu. "Ahh! Mbak Ranti!" seru sang adik, yang melihat hal itu. Sementara sang kakak hanya bisa menutupi wajahnya dengan dua tangannya saja. Draph, draph, ... draph. Daghk!Sebuah tumit kaki lain terayun dan berbenturan dengan tulang kering kaki si remaja itu. Hingga membuat kaki si remaja itu membalik ke samping dengan tubuh ikut berputar. "Adawhsk!" teriak kesakitan menggeletar dari mulut si remaja liar itu. Dia jatuh terduduk seraya memegangi tulang kering kakinya, yang terasa nyeri dan berdenyut panas.Sementara rekan gerombolannya kini langsung mengepung seorang anak laki sepantaran mereka, yang tampak tengah berjongkok menyapa dua anak yatim piatu itu. "Kamu tak apa-apa?" tanya anak laki yang datang belakangan itu, yang ternyata adalah Jalu adanya.Ya, Jalu tengah berjalan-jalan melihat keramaian kota kadipaten, saat dari kejauhan dia melihat segerombo
Senja menjelang malam, saat Jalu, Ranti dan Jaya bergerak perlahan ke arah kapal besar itu.Mereka mengamati kesibukkan di kapal besar itu. Jalu telah memberitahukan bahwa mereka bisa bersembunyi di gentong kayu kosong, yang banyak terdapat di atas geladak bagian belakang kapal tersebut. Dan saat yang ditunggu-tunggu mereka pun tiba, di saat mereka melihat beberapa ekor kuda yang membawa gerobak berisi peti dan barang-barang yang hendak dinaikkan ke atas kapal itu. Nampak berbondong-bondong para awak kapal turun dari tangga kapal, mereka semua hendak mengambil dan mengangkat muatan dari gerobak itu ke atas kapal. "Ayo cepat!" Seth! desis Jalu, mengajak Ranti dan Jaya bergerak cepat mengikutinya. Akhirnya mereka berhasil naik ke atas kapal besar itu dan langsung menuju ke geladak bagian belakang kapal.Jalu segera menunjuk ke arah deretan tong-tong kayu yang kosong dan tertutup di sana. Tong-tong setinggi pinggang orang dewasa dengan diameter sekitar 2,5 jengkal itu sangat cukup,
"Ayo..! Pasang semua umbul dan panji yang masih belum terpasang..! Sebelum para tamu undangan berdatangan siang nanti!Jangan sampai kita di anggap tak siap merayakan hari berdirinya sekte Rajawali Emas yang keenam ini..!" seru Panji mengingatkan para anggota sekte Rajawali Emas, yang bertugas memasang umbul-umbul serta panji-panji sekte Rajawali Emas di sekitar markas.Umbul serta panji sekte Rajawali Emas itu bahkan dipasang hingga sepanjang pohon-pohon di tepi jalan, yang merupakan akses menuju ke markas sekte Rajawali Emas.Hingga saat tiba waktu menjelang siang. Para tamu undangan dari berbagai sekte, para pendekar non sekte, perwakilan ataupun pihak kerajaan dari tiga tlatah, bahkan hingga para tokoh sepuh dunia persilatan, telah mulai berdatangan memasuki markas sekte Rajawali Emas.Ya, siapa yang tak mengenal dan tak mendengar kebesaran nama serta sepak terjang para anggota sekte Rajawali Emas. Sekte yang menyandang nama harum di dunia persilatan, maupun di hati para penduduk T
BLAPH..!Seketika kilau cahaya putih cemerlang yang menyilaukan di atas area Padang Khayangan yang tak bertepi itu pun lenyap.Kini hanya ada warna keemasan pekat di area Padang Khayangan itu. Sunyi ... angin pun bagai tak berhembus saking tenangnya.Jalu ambil posisi bersila dengan sikap teratai, perlahan dia pejamkan kedua matanya. Tak lama Jalu pun tenggelam di alam keheningan yang tercipta. Pasrah ... Mandah ... dan Berserah.*** Dan kehebohan pun terjadi di Tlatah Klikamuka.Ya, semua orang di sana ribut dan panik mencari sosok Jalu, yang bagai hilang ditelan bumi. Mereka semua yakin Jalu bisa mengatasi dan melenyapkan Arya. Karena Arya sendiri tak pernah muncul kembali, setelah duelnya melawan Jalu.Selama 7(tujuh) hari lebih seluruh orang di Tlatah Klikamuka mencari keberadaan Jalu. Mereka menyusuri dengan kapal-kapal laut hingga jauh ke laut lepas, namun tetap saja sosok Jalu tak mereka lihat dan temukan.Pada akhirnya mereka semua menyimpulkan, bahwa Jalu telah mati sampyuh
Sosok Eyang Sokatantra ambyar berkeping, terlabrak pukulan inti 'Poros Bumi Langit' milik Eyang Bardasena.Ya, bola emas berpusar milik Eyang Bardasena itu berhasil menerobos titik benturan pukulan dahsyatnya dengan pukulan milik Eyang Sokatantra.Akibatnya, dengan telak sekali bola emas yang berputar dahsyat itu menghantam dada Eyang Sokatantra. Sungguh dahsyat tak tertahankan memang power Eyang Bardasena saat itu. Kendati sesungguhnya power Eyang Sokatantra berada di atas tingkatan Eyang Barnawa dulu.Ya, keajaiban olah Pernafasan Bathara Bayu yang diperdalam Eyang Bardasena di bawah arahan Jalu, memang telah membuat peningkatan pesat pada powernya.Bahkan bisa dikatakan Eyang Bardasena kini telah memasuki ranah awal di tingkat Ksatria Semesta tingkat tak terbatas, ranah yang sama seperti halnya Jalu. Namun tentu saja power dan daya bathin Eyang Bardasena masih berada beberapa tingkat di bawah Jalu."Hukghs..!" sosok Eyang Bardasena terhuyung ke belakang, namun cepat dia kembali teg
Wuunnggtzz..!!! Weerrsskh..!!Dengung membahana suara cakra emas yang memancarkan cahaya cemerlang terdengar. Cakra emas itu berputar menggila bukan main cepatnya.Seluruh badai angin yang berada di sekitar lokasi pertarungan itu, seketika ikut terhisap masuk dan menyatu dengan pusaran badai raksasa cakra tersebut. BADAS..!Sementara badai halilintar emas tak henti menghujani lokasi pertarungan Arya dan Jalu tersebut. Tengah laut, lokasi pertarungan dua tokoh muda tersakti di jamannya itu, seketika bagai berubah menjadi sebuah wilayah yang terkutuk. Mengerikkan..!Dan yang terdahsyat adalah terbentuknya pusaran laut mega raksasa, yang berpusat di bawah sosok Jalu melayang. Pusaran laut raksasa itu mencakup radius yang sangat luas, hingga menelan pusaran raksasa yang berada di bawah sosok Arya! Inilah kegilaan yang super gila..!"Ca-cakra Semesta..?! Ini Gila..!! Keparat kau Jalu..!!" Arya tersentak kaget dan gentar bukan main. Dia seketika teringat ucapan Maha Gurunya sang Penguasa Ke
"HUAAAHHH..HH..!!!"Teriakkan bergemuruh dari pasukkan perang tiga tlatah membahana badai di pantai Parican saat itu. Dan permukaan air laut di pantai Parican yang biasanya berwarna hijau kebiruan itu, kini telah berubah total menjadi merah darah..!Patih Karna bisa mengerti siasat panglima Indrakila, dengan tidak melabuhkan kapal di pelabuhan pantai Parican. Karena rawan untuk dipakai para pasukkan tlatah Bhineka, yang hendak melarikan diri nantinya.Sungguh siasat yang cukup mematikan langkah pihak musuh. Sebuah siasat yang hanya berarti dua pilihan untuk pihak musuh, tetap menyerang dan melawan, atau mati di negeri orang..!Sungguh sebuah kesalahan fatal dari siasat dan pemikiran Panglima Besar pasukkan Bhineka, Arya.Arya tak memperhitungkan, bahwa persatuan dan persahabatan tlatah Pallawa, Klikamuka, serta Ramayana semakin bertambah solid, setelah perang besar yang terjadi 5(lima) tahun yang lalu.Arya benar-benar kurang memperhitungkan hal yang sebenarnya sangat fatal itu.***
"Bedebah kau Bardasena..! Bisakah sopan sedikit saat berbicara denganku! Simpan arakmu brengsek..!" seru marah Eyang Sokatantra.Ya, Eyang Sokatantra sangat keki dan merasa diremehkan oleh sikap Bardasena, yang berbicara dengannya sambil minum arak."Hmm. Sokatantra kita sudah sama sepuh, dan kita sudah sama tahu apa itu arti basa basi dan sikap munafik. Apa bedanya sikapku yang minum arak, dengan kata-kata makian kasarmu itu padaku! Hahahaa!" seru Eyang Bardasena tergelak, membalikkan teguran Eyang Sokatantra dengan sindirannya."Hmm. Baik Bardasena! Kita mulai saja pertarungan kita sekarang!" karuan Eyang Sokatantra bertambah keki, mendengar ucapan Eyang Bardasena yang dengan telak membalikkan teguran dengan sindiran tajamnya.Glk, glk, glk!"Baik Sokatantra! Sebaiknya kita juga bertarung agak ke tengah laut sana! Kasihan jika ada prajurit yang tewas karena pukulan kita yang meleset," ucap tegas Eyang Bardasena, menyambut tantangan Eyang Sokatantra.Slaph..!! Slaphh..!!Dua tokoh se
"MEREKA DI BELAKANG KITA..! BERSIAPLAH..!" seru lantang sang Mahapatih Suryalaga.Dia memimpin pasukkan penjaga di pantai Parican untuk mundur, agar pasukkan musuh terpancing untuk maju mengejar mereka, yang disangka gentar oleh pasukkan musuh.Cepat sekali ke 9 ribu pasukkan yang dipimpin sang patih Suryalaga tersebut membentuk barisan di sisi kiri dan kanan depan pasukkan sang Maharaja, yang telah berbaris di depan perbatasan kotaraja. Hingga Pasukkan Tlatah Klikamuka dan sekutunya kini membentuk formasi huruf 'U'.Srraakh.! Spyaarrsshk..!Sang Maharaja lolos keris pusaka 'Ki Nogo Suryo' dan acungkan keris pusaka itu ke arah langit. Seketika selarik kilatan terang melesat dari keris pusaka itu menembus awan, langit pun nampak semakin terang, walaupun matahari belum lagi menyorotkan sinar terangnya di pagi hari itu."ESA HILANG DUA TERBILANG..! PARA KSATRIA KLIKAMUKA..!! SERAANNGG..!!" seru lantang sang Maharaja, seraya acungkan 'Ki Nogo Suryo' ke arah depan dan membedal maju kudanya
HUUOOONNKKHH...!!!Suara gaung terompet/sangkha bergema membahana dari tepian batas laut di pantai Parican. Suara gaungnya mengoyak kesunyian pagi, dan menembus hingga ke dinding perbatasan kotaraja Klikamuka.Ya, itulah gaung terompet/sangkha dari pihak armada perang Tlatah Bhineka, hal yang menandakan armada pasukkan Bhineka akan bergerak menyerang ke wilayah Klikamuka!"PASUKKAN BHINEKA..! MAJUU..!!" seru lantang panglima besar mereka Arya. Sebuah seruan yang dilambari power tenaga dalamnya, hingga menembus gendang telinga segenap pasukkan kapal armada tlatah Bhineka itu."MAJUU..!!""SERANNGG..!!"Seruan Arya segera di ikuti oleh seruan komando para pimpinan kapal pasukkan armadanya. Serentak seluruh armada kapal perang tlatah Bhineka meluruk maju dengan cepat, melesat menuju tepi pantai Parican untuk mendaratkan 25 ribu lebih pasukkannya.Sementara jauh di belakang armada perang Bhineka itu."ARMADA RAMAYANA..!! KEJAR DAN SERANGG MEREKA..!!" seru lantang sang Patih Karna Ekatama
"Heeii..! Utusan Arya keparat..! Lekas ambil surat dari Tuanmu itu, dan berikan kembali pada junjunganmu si Arya itu!" seru keras sang Maharaja Klikamuka."Ba-baik paduka..!" seru gugup sang utusan yang merasa gentar, karena dia merasa sedang berada di sarang harimau. Segera di ambil dan dilipatnya kembali surat maklumat dari junjungannya, yang kini penuh dengan ludah itu."Katakan pada junjunganmu si Arya itu! Surat maklumatnya hanyalah sampah di mata rakyat Tlatah Klikamuka ini! Cepat keluar..!" seru sang Maharaja Klikamuka murka."Ba-baik Paduka!" dengan menyahut gugup, sang utusan itu segera keluar dari istana Klikamuka. Nampak wajahnya pucat pasi, dia sadar perang tak bisa terhindarkan lagi kini.Sepanjang jalan menuju kembali ke pantai, dia mengamati kekuatan pasukkan dan perlengkapan perang Tlatah Klikamuka itu. Dan hatinya menjadi bergetar ngeri, karena ternyata jumlah pasukkan Tlatah Klikamuka setara dengan jumlah pasukkan kerajaan Bhineka!Hal yang meleset dari perkiraan jun