"Heii bocah! Mau kemana kau?!" teriak kasar seorang lelaki, seraya bertolak pinggang menghadang di depan jalan setapak yang hendak dilalui Jalu. "Ini paman, saya mau ke desa Karanglesem," sahut Jalu tenang. Dia tak menyangka bahwa yang sedang berdiri di depannya adalah seorang begal. "Berani sekali kau bocah! Tahukah kau kalau menuju ke desa Karanglesem kamu harus bayar uang perjalanan dulu di sini!" bentak sang begal, seraya memasang wajah 'tergarang' yang diyakininya. "Wahh! Saya tidak tahu kalau lewat jalan ini harus bayar paman. Memangnya saya harus bayar berapa paman?" seru Jalu kaget, seraya bertanya pada sang begal yang menurutnya berwajah 'lucu' itu. "Yakin kau punya uang sebesar 100 kepeng bocah?!" seru sang Begal tak percaya, jika seorang bocah seperti Jalu memiliki uang sebesar itu. "Sudahlah Koplok! Biarkan saja bocah itu lewat! Paling-paling dia akan jadi santapan serigala lapar di dalam sana! Hahaaa!" seru seorang kawannya yang duduk di bawah pohon, pada begal yang
"Bedebah kau bocah dekil! Hiahh! Seth! Wukkh!" maki salah satu di antara dua pemuda itu, seraya berseru meloncat keluarkan tendangan terbangnya ke arah dada Jalu. "Awas Dek!" teriak cemas ibu warung. Jalu tak mau ambil resiko menangkis tendangan itu, cepat melompat Jalu gulingkan tubuhnya keluar dari warung makan itu.Jurus pertama 'Rajawali Sambar Mangsa' pada kitab Rajawali Langit pun langsung di terapkan Jalu. Braagh!Sebuah kursi kayu di warung makan itupun hancur berkeping, terlanda tendangan pemuda brangasan yang meleset dari targetnya itu. "Bedebah..!" pemuda itu pun memaki marah pada Jalu yang berhasil menghindari serangannya. "Sudahlah Mas! Tak apa kalian tidak membayar pesanannya! Pergilah saja! Asal jangan ganggu Anak itu!" seru ibu warung yang tak tega, jika harus melihat si Jalu kembali teraniaya gara-gara membela dirinya. "Diam kau! Ini sudah penghinaan atas sekte kami! Bocah dekil itu tak terampuni lagi!" sentak marah pemuda itu. Pemuda itu ambil piring tanah liat
"Ohh! Jadi kau mau melawan ya! Hiahhh! Wesh!" seru si remaja itu, seraya ayunkan kakinya menyepak ke arah wajah anak perempuan itu. "Ahh! Mbak Ranti!" seru sang adik, yang melihat hal itu. Sementara sang kakak hanya bisa menutupi wajahnya dengan dua tangannya saja. Draph, draph, ... draph. Daghk!Sebuah tumit kaki lain terayun dan berbenturan dengan tulang kering kaki si remaja itu. Hingga membuat kaki si remaja itu membalik ke samping dengan tubuh ikut berputar. "Adawhsk!" teriak kesakitan menggeletar dari mulut si remaja liar itu. Dia jatuh terduduk seraya memegangi tulang kering kakinya, yang terasa nyeri dan berdenyut panas.Sementara rekan gerombolannya kini langsung mengepung seorang anak laki sepantaran mereka, yang tampak tengah berjongkok menyapa dua anak yatim piatu itu. "Kamu tak apa-apa?" tanya anak laki yang datang belakangan itu, yang ternyata adalah Jalu adanya.Ya, Jalu tengah berjalan-jalan melihat keramaian kota kadipaten, saat dari kejauhan dia melihat segerombo
Senja menjelang malam, saat Jalu, Ranti dan Jaya bergerak perlahan ke arah kapal besar itu.Mereka mengamati kesibukkan di kapal besar itu. Jalu telah memberitahukan bahwa mereka bisa bersembunyi di gentong kayu kosong, yang banyak terdapat di atas geladak bagian belakang kapal tersebut. Dan saat yang ditunggu-tunggu mereka pun tiba, di saat mereka melihat beberapa ekor kuda yang membawa gerobak berisi peti dan barang-barang yang hendak dinaikkan ke atas kapal itu. Nampak berbondong-bondong para awak kapal turun dari tangga kapal, mereka semua hendak mengambil dan mengangkat muatan dari gerobak itu ke atas kapal. "Ayo cepat!" Seth! desis Jalu, mengajak Ranti dan Jaya bergerak cepat mengikutinya. Akhirnya mereka berhasil naik ke atas kapal besar itu dan langsung menuju ke geladak bagian belakang kapal.Jalu segera menunjuk ke arah deretan tong-tong kayu yang kosong dan tertutup di sana. Tong-tong setinggi pinggang orang dewasa dengan diameter sekitar 2,5 jengkal itu sangat cukup,
Blukh!Akhirnya Jalu jatuh tak sadarkan diri di dalam tong kayu, yang terus timbul tenggelam terhempas ombak membawa serta sosoknya. Fajarpun menyingsing dengan cahaya semburat merah diufuk timur. PRAGKH!Tong kayu yang membawa sosok Jalu pecah menghantam sebuah karang di tepi pantai sebuah pulau. Beruntung tubuh Jalu hanya tergores sedikit saja dari bebatuan karang, dan akhirnya ombak menghempaskannya ke tepi pantai berpasir putih di pulau itu. Kini tubuh Jalu tertelungkup miring dalam kondisi tetap tak sadarkan diri, di atas hamparan pasir putih di tepi pantai itu.Tergeletak pasrah di tengah suara debur ombak dan desiran angin laut, yang mulai berhembus ke darat menyapu sosoknya yang sedang berada dalam alam kegelapan. Ya, pulau kecil yang nampak kosong tak berpenghuni itu adalah sebuah pulau, yang terletak tepat di tengah-tengah tiga tlatah Ramayana, Pallawa dan Klikamuka.Bagaikan sebuah titik pusat di dalam segitiga. Melihat ke sekitar pulau, nampak hamparan padang ilalang,
"Hehehee! Dia calon muridku Cakradewa!" sahut Eyang Pandunatha terkekeh. "Hmm. Baru calon kan Pandunatha, berarti masih ada kesempatan bagiku untuk menjadi gurunya. Hahaha! Rajawali kau bermainlah dulu!" sahut Eyang Cakradewa tergelak, seraya memerintahkan burung Rajawali Putih besar yang mengantarnya, untuk menjauh dari pulau Garuda itu. Kyaakkhh!! Weershh!Pekik lantang sang Rajawali tunggangan Eyang Cakradewa itu, seraya melesat mengangkasa. Ya, sekali lirik saja mata batin Eyang Cakradewa yang baru tiba langsung bisa melihat, bahwa ada suatu aura energi 'luar biasa' yang memancar dari dalam diri Jalu.Disamping itu bentuk tulang dan bakat Jalu juga nampak jelas dimatanya, seketika timbul keinginannya menjadikan Jalu sebagai muridnya. "Hehee. Memang baru calon Cakradewa, tapi calon kuat!" seru Eyang Pandunatha terkekeh. Taph!"Hmm. Lalu darimana bocah itu berasal Pandunatha?" tiba-tiba saja muncul seorang sepuh lagi, yang mendarat di bagian karang menonjol lainnya di tepian pa
Tokk, tokk, tokk!"Mohon maaf ketua! Di markas telah datang Ki Braja Denta bersama putranya Arya menunggu ketua," terdengar ketukan pintu, di sertai pemberitahuan dari seorang anggota sektenya. "Baik! Aku segera kesana. Kirana, mari ikut ayah menemui mereka," ucap Ki Taksaka pada putrinya. "Baik ayah," ucap Kirana, walau dalam hatinya dia sungguh enggan menemui putra ketua sekte Harimau Besi bernama Arya itu.Karena Kirana sungguh tak suka dengan sikap dan prilaku Arya yang sombong serta semena-mena itu. Akhirnya mereka pun menemui Ki Braja Denta dan Arya, yang telah menunggu di ruang depan markas sekte Elang Merah. "Ahh, maafkan kedatanganku jika mengganggu kesibukkanmu Ki Taksaka," ucap Ki Braja Denta seraya berdiri dari duduknya bersama Arya, saat melihat Ki Taksaka datang menemuinya bersama putrinya. "Hahaa! Tak apa Ki Braja Denta, inikah putramu Arya yang gagah itu?" sambut Ki Taksaka tergelak senang. "Benar Ki Taksaka. Hehee! Arya, ayo beri salam pada paman Taksaka," ucap
DEESSHH! Slaphh!Eyang Pandunatha menendang biduknya melesat deras tingggi ke arah tengah laut, lalu sosoknya pun melesat mengikuti arah biduknya melayang. "Ahhk!" Jalu berseru kaget sesaat, lalu pejamkan kedua matanya. Dirinya sangat terkejut dengan kecepatan daya lesat biduk yang dinaikinya itu.Biduk itu melesat cepat melebihi kecepatan anak panah yang di lepaskan dari busurnya. Slaagkh! Eyang Pandunatha melesat di atas biduk itu, lalu ia pun segera jejakkan salah satu kakinya ke badan biduk itu. Pada jarak yang dirasa cukup jauh dan aman dari pulau Garuda, maka ..Byuursh!Biduk itu pun seketika jatuh ke permukaan laut. Namun anehnya biduk itu bagai diam tak bergerak diatas titik jatuhnya itu. Ya, seberapa tinggi dan derasnya gelombang laut saat itu, tetap saja tak mampu membuat biduk itu tenggelam atau pun bergeser dari tempatnya di titik itu. Aneh! "Jalu, kau tenanglah di atas biduk itu. Jangan sekalipun kau keluar dari biduk itu, jika kau tak mau tergulung dan tenggelam ol