"Terimakasih ya. Nama kamu siapa?" Jalu ucapkan rasa terima kasihnya seraya bertanya.
"Ahh, itu bukan apa-apa. Namaku Kirana, aku tinggal di Desa Karanglesem. Nama kau siapa dan dari desa mana?" sahut Kirana ramah, seraya balik bertanya.
"Wah! Desa Karanglesem lumayan jauh dari Trowulan Kirana. Namaku Jalu," sentak Jalu kaget, seraya menyebut namanya.
"Iya Mas Jalu. Kebetulan Ayahanda mengajakku ke sini, karena ada beberapa ketua sekte yang juga ikut datang bersama Ayahku ke desa ini,” sahut ramah Kirana.
Kirana langsung memberikan panggilan 'Mas' pada Jalu, karena dia memperkirakan usia Jalu lebih tua darinya.
Dan Kirana juga seperti melihat pancaran kharisma yang membuatnya merasa segan dan respek pada diri Jalu.
"Wah! Rupanya Ayahmu adalah seorang ketua sekte juga ya Kirana. Pantas saja jurusmu tadi sangat hebat!" seru Jalu kagum dan memuji Kirana.
"Mas Jalu kenapa sampai dikeroyok oleh Arya dan teman-temannya tadi?" tanya Kirana penasaran, tanpa pedulikan pujian dari Jalu
Lalu Jalu pun akhirnya menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Kirana, tanpa ada yang disembunyikannya.
***
Sementara tak jauh dari pasar itu.
Nampak 6 ketua sekte tengah berbincang serius di sebuah rumah kosong milik Ki Braja Denta, sang ketua sekte Harimau Besi.
"Pokoknya nanti malam kita akan geledah markas bobrok sekte Rajawali Emas itu!
Jika memang benar pusaka 'Baju Harimau Besi' milik sekteku yang hilang berada di sana, seperti kata Ki Taksaka!
Maka akan kubantai habis seluruh keluarga sekte Rajawali Emas itu!" seru keras Ki Braja Denta, seraya menatap ke arah Ki Taksaka.
“Aku berani menjamin kebenaran kabar itu Ki Braja Denta!” seru mantap Ki Taksaka. Dia adalah ketua sekte Elang Merah, yang juga adalah ayah dari Kirana!
"Benar! Kita habisi saja sekte pencuri pusaka yang hina dan tak berguna itu!" seru keempat ketua sekte lainnya.
"Tenanglah kalian semuanya! Karena aku mendapat keterangan itu dari orang yang sangat terpercaya!" seru Ki Taksaka yakin, pada kelima rekannya itu.
Namun diam-diam Ki Taksaka menyembunyikan senyum culas di wajahnya, seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.
'Hahahaa! Habislah kau kini hingga ke akar-akarnya, sekte sampah!' seru batin Ki Taksaka tertawa puas.
"Baiklah! Sebaiknya nanti malam jangan sampai ada yang lolos satu pun, dari anggota keluarga Ki Respati pecundang itu!" seru Ki Mukti Roso, ketua sekte Kera Putih.
"Benar Ki Mukti Roso! Pastikan jangan ada yang sampai tahu, bahwa kitalah yang telah menghabisi keluarga sekte Rajawali Emas!" sahut Ki Argabayu, ketua sekte Naga Terbang.
Akhirnya pembicaraan para ketua sekte itu pun beralih pada topik lain yang tak kalah seru, mengenai sebuah pertarungan akbar dari tiga tokoh sepuh dunia persilatan saat itu.
"Hmm! Entah sepuh tlatah mana yang akan memenangkan pertarungan ‘Pendekar Tiga Tlatah’ nantinya.
Menurut kalian sepuh Tlatah mana yang akan menang, dalam pertarungan yang digelar setiap 10 tahun sekali itu?" tanya Ki Mukti Roso, meminta pendapat ketua sekte lainnya.
"Ya, wakil pendekar Tlatah Pallawa kita sudah dua kali mengalami kekalahan dalam pertarungan 'Pendekar Tiga Tlatah' itu.
Kalau tak salah pertarungan ketiga tokoh sepuh itu akan berlangsung bulan depan," ucap Ki Taksaka dengan raut wajah kecewa.
"Hmm. Kemampuan Eyang sepuh Cakradewa dari Tlatah Klikamuka memang masih terlalu dahsyat.
Sehingga Eyang sepuh Shindupalla wakil Tlatah kita Pallawa, maupun Eyang sepuh Pandunatha wakil dari Tlatah Ramayana bisa di kalahkan oleh eyang sepuh Cakradewa pada 10 tahun yang lalu.
Tapi selalu akan ada perkembangan dan ilmu dahsyat baru, yang di ciptakan oleh ketiga tokoh sepuh itu dalam 10 tahun kemudian," timpal Ki Antapani, sang ketua sekte Tapak Emas.
"Ketiga tokoh sepuh itu memang tak memiliki sekte, namun kemampuan ketiganya bagai dewa yang turun ke bumi.
Andai mereka bertiga mendirikan sekte, sepertinya sekte kita bukanlah apa-apa bagi sekte yang mereka dirikan," ucap Ki Taksaka jujur.
***
Sementara kembali di pasar Trowulan.
"Kirana tak akan mau berteman dengan Mas Jalu, kalau Mas Jalu juga menolak pemberian beras ini!" seru Kirana dengan wajah cemberut.
Ya, Kirana sengaja membelikan beras untuk dibawa pulang oleh Jalu, sesuai dengan harga lima ekor ayam yang akan di jual Jalu.
Karena memang sebelumnya pemberian Kirana berupa uang ditolak oleh Jalu.
"Ahh!" Jalu tersentak kaget, saat melihat Kirana datang lagi padanya dengan membawa beras.
Ya, jujur saja Jalu memang tengah kebingungan memikirkan beras untuk keluarganya, yang harus dibawanya pulang saat itu juga.
Tadinya Jalu mengira Kirana akan pergi, setelah dia menolak pemberian uang dari anak perempuan itu.
"Ba-baiklah Kirana. Terimakasih, aku terima pemberianmu ini. Dan aku menganggapnya sebagai suatu pinjaman darimu Kirana," ucap Jalu serak menahan keharuan hatinya.
Benak dan hati Jalu pun langsung merekam baik-baik wajah Kirana dalam ingatannya. Sebuah wajah yang tak akan terlupakan dan mendapatkan janji dari hati terdalamnya.
'Kau begitu baik Kirana, padahal kita juga baru kenal hari ini. Aku berjanji suatu saat akan membalas dan mengembalikan budi baikmu ini Kirana', batin Jalu berjanji dan bertekad.
"Nah, begitu dong Mas Jalu," ucap Kirana riang.
Entah mengapa hati Kirana menjadi begitu sedih dan bersimpati pada nasib yang menimpa Jalu, padahal dia juga baru saja mengenal Jalu.
Ya, ketabahan dan keberanian Jalu dalam memperjuangkan haknya, walau untuk itu dia harus menerima penganiayaan dari Arya cs tadi.
Rupanya hal itulah yang telah menggugah perasaan iba dan kagum sekaligus simpati di hati Kirana terhadap Jalu.
Akhirnya Jalu pun pulang dengan membawa bungkusan beras yang cukup besar itu ke rumahnya.
Sesampainya dia di rumah, orang pertama yang berkomentar tentang keadaan Jalu adalah sang ibu, Nyi Seruni.
"Ya ampun Jalu! Kenapa wajahmu memar dan bengkak seperti itu?! Kamu kenapa Nak?!" seru Seruni cemas, melihat putra kesayangannya pulang dalam keadaan babak belur begitu.
"Tidak apa-apa kok Bu. Tadi ayamnya terlepas, dan Jalu sampai menabrak batang pohon kelapa untuk menangkapnya kembali,” sahut Jalu berbohong, untuk menenangkan hati ibunya.
"Aduh! Kalau begitu biar ibu akan masakkan air panas untukmu, lalu kau seka wajahmu dengan air hangat ya Jalu," ucap Nyi Seruni dengan nada sayang dan prihatin.
"Baik Bu," ucap Jalu lega karena merasa telah berhasil mengelabui ibunya, agar tak merasa cemas lagi padanya.
Namun sayangnya saat Jalu masuk ke ruang tengah, dirinya langsung terlihat oleh ayah dan kakaknya.
Maka Jalu pun maklum, bahwa mereka berdua tak mungkin bisa di kelabui seperti halnya sang ibu tadi.
"Jalu! Kau ikutlah ayah ke belakang sebentar!" seru cepat Ki Respati, seraya mendahului Jalu berjalan ke halaman belakang rumah mereka.
Jalu langsung saja mengikuti langkah sang ayah dengan hati berdebar tegang.
"Jalu! Katakan saja terus terang pada ayah. Siapa yang telah menganiayamu hingga babak belur seperti itu?!" tanya Ki Respati tegas.
"Ahh! Ehh! Anak-anak anggota sekte Harimau Besi dan sekte Kera Putih, Ayah," sahut Jalu agak gugup dan terbata.
"Apakah kamu diam saja atau melawan? Berapa orang mereka?!" tanya tegas sang ayah lagi.
"Jalu melawan Ayah, dan jumlah mereka ada empat orang," sahut jujur Jalu apa adanya.
"Bagus Jalu! Tak peduli kalah ataupun menang, kehormatan haruslah tetap kau jaga!Selama kau yakin berada dalam kebenaran, pantang kakimu surut ke belakang! Itu baru anak ayah!" seru Ki Respati memuji putranya.Ya, bagi Ki Respati, sikap ksatria dan martabat seorang pendekar jauh lebih penting tertanam lebih dulu, di dalam dada murid yang juga putranya itu.Karena dengan dasar sikap ksatria yang telah tertanam dengan kuat, maka ilmu setinggi apa pun tak akan membuat mental putranya itu goyah dan tersesat dari jalan kebenaran di kemudian hari.Hal itulah dasar karakter yang selalu dipegang teguh oleh seluruh anggota sekte Rajawali Emas, sejak sekte itu berdiri ratusan tahun silam."Jalu, ada amanat yang harus kau pegang sebagai penerus dari sekte Rajawali Emas ini.Mengingat usia ayah sudah 55 tahun lebih, maka sebaiknya sekarang saja kau pegang amanah itu," ujar Ki Respati dengan nada serius.Ki Respati mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, tampaklah sebuah kain hitam kecil berbent
Karena sesungguhnya sepuh Prana Wisesa, leluhur dari ketua sekte Elang Merah itu telah menggambar denah serta rahasia semua perangkap, yang ada di dalam ruang pusaka sekte Rajawali Emas itu pada secarik kain.Lalu Prana Wisesa mewariskan gambar itu dan menyimpannya di ruang pusaka sekte Elang Merah.Hingga akhirnya sampailah gambar denah rahasia ruang pusaka sekte Rajawali Emas itu pada tangan Ki Taksaka, ketua sekte Elang Merah saat itu.Dan entah telah berapa kali dengan diam-diam Ki Taksaka keluar masuk dalam ruang penyimpanan pusaka sekte Rajawali Emas.Sementara Ki Respati sendiri memang sangat jarang, bahkan hampir tak pernah masuk lagi ke ruang penyimpanan pusaka sektenya itu.Karena memang ruang penyimpanan pusaka itu sudah lama sengaja di kosongkan, dan seluruh pusaka sekte Rajawali Emas yang tersisa telah di pindahkan oleh Ki Respati ke salah satu kamar kosong.Kamar kosong yang berada di dalam markas dan merangkap sebagai kediaman keluarganya.Klaghk! Grrgk! Daambh!Ki Taks
Splaattzh!Belum cukup sampai disitu, dua larik cahaya hitam pekat nampak melesat menembus pusat benturan dan menghajar telak dada Ki Respati.Blaarghk! Krreegh!“Arrghks!” dada kiri dan kanan Ki Respati pun hangus dan melesak seketika, dan dengan diiringi teriakkan kematiannya maka ambruklah sosok Ki Respati ke bumi.Ya, Ki Respati suami Seruni serta ayah dari Jalu dan Larasati! Ketua sekte Rajawali Emas ke 30 telah tewas dengan mengenaskan malam itu!"Mampus kau ketua sekte sampah!" seru puas Ki Taksaka, seraya menghampiri mayat Ki Respati.Dengan seksama dia mendeteksi sekujur tubuh Ki Respati dengan telapak tangannya, yang dilambari ilmu Serap Raga miliknya.'Bedebah! Mustika Rajawali Emas tak ada ditubuhnya!' seru marah dan kecewa bathin Ki Taksaka."Ada apakah Ki Taksaka?!" Ki Mukti Roso berseru heran, saat melihat rekannya itu nampak kecewa, setelah mencari-cari sesuatu pada sosok mayat Ki Respati."Tidak apa-apa Ki Mukti Roso. Aku hanya ingin memastikan kalau dia benar-benar s
“Hei! Apa yang telah kalian lakukan pada putri bedebah itu..?!” seru kaget Ki Taksaka, saat dia melihat tubuh polos Larasati yang tak sadarkan diri di dalam saung.“Ahh! Ki Taksaka, apakah kita tak boleh bersenang-senang dulu sebelum menghabisi gadis itu.Jika kau berminat silahkan saja. Kami bertiga sudah puas menikmatinya, hehe!” seru terkekeh Ki Arga Bayu, dengan senyum penuh kepuasan.“Dasar kalian mata keranjang! Hahahaa!” seru tergelak Ki Mukti Roso memaklumi hasrat bawah ketiga rekannya."Lalu bagaimana baiknya sekarang Ki Taksaka? Kedua anak itu telah tak sadarkan diri kini," tanya Ki Mukti Roso menanti keputusan Ki Taksaka, yang dianggap tetua di antara mereka berlima. "Sebentar! Biar kuperiksa mereka lebih dulu!" seru Ki Taksaka, seraya mendatangi sosok Larasati yang masih tergolek di atas balai saung.Dan kembali Ki Taksaka menerapkan ilmu Serap Raganya, untuk mendeteksi keberadaan energi Mustika Rajawali Emas pada tubuh polos Larasati.'Bedebah! Dimana sebenarnya Ki Res
Braaghhk! Lesatan sosok Ki Tasaka pun terhenti, saat punggungnya menghantam keras batang pohon nangka yang berdiri kokoh di belakang sana. Srrtt! Brughk! Tubuh Ki Taksaka pun langsung merosot dan ambruk terkapar dibawah pohon itu. Blaarrrghks!! Ledakkan menggelegar terdengar, saat empat pukulan ketua sekte menghantam telak sosok Ki Lanangjati. Dan hancur leburlah sudah sosok Ki Lanangjati seketika itu juga, akibat dilabrak 4 pukulan dahsyat yang berlainan sifat dari para ketua sekte yang terarah padanya. Ya, sosok sepuh Ki Lanangjati pun tewas dengan tubuh hancur dan berpencaran cerai berai, hingga tak bisa dikenali lagi! Mengenaskan! Slaph! “Ki Taksaka! Kau tak apa-apa?!" seru Ki Mukti Roso yang melesat lebih dulu menghampiri sosok Ki Taksaka yang terkapar di tanah. Slaph..!! Ketiga rekan ketua sekte lainnyapun segera menyusul melesat ke arah Ki Taksaka. "Akkhsshh! Ahhss ..! A-aku tak apa-apa! Rompi Elang Sutra melindungi tubuhku. Kalian carilah anak
Tak memerlukan waktu lama, tibalah sang nenek di sebuah gubuk yang letaknya tersembunyi di tengah hutan Kambangan. Sebuah kawasan hutan lebat yang masih berada di wilayah Larantuka. Taph! Sang nenek menjejak ringan di depan pintu gubuk kediamannya, lalu masuk ke dalam dengan membawa sosok Larasati. Siapakah sang nenek itu sebenarnya? Sang nenek aslinya bernama Nyi Nariti, seorang pendekar wanita yang namanya dulu pernah menggetarkan rimba persilatan Tlatah Pallawa di masa mudanya. Julukan Nyi Nariti pada jamannya adalah Dewi Seribu Bayang. Sesungguhnya di masa sepuhnya itu Nyi Nariti sama sekali sudah tak berminat turun kembali ke dunia ramai. Apalagi berpikir untuk memiliki dan mendidik seorang murid! Tapi sepertinya, kejadian tak terduga malam itu akan merubah pendiriannya. Siapa yang tahu? *** Sementara sebelum menendang Jalu tadi, sesungguhnya Ki Lanangjati telah menekan sebuah titik di belakang kepala Jalu. Hal yang seketika membuat Jalu tersadar. Dan Ki Lanangjati jug
'Selesai! Wadah energi itu akan pecah dan menyatu selaras dengan energi miliknya, pada saat dia memang sudah benar-benar sanggup 'mengendalikan' power 29 leluhur dalam wadah energi itu!' seru sukma Eyang Wongso Segoro. 'Benar Eyang sepuh. Akan sangat berbahaya bagi tubuhnya, jika wadah energi itu 'pecah' sebelum waktunya', sahut sukma Eyang Sanggalangit. "Benar Sanggalangit. Baiklah aku duluan. BLAPH!' sahut sukma Eyang sepuh Wongso Segoro, seraya undur diri lebih dulu kembali ke alam leluhur. Blaph! Blaph! ... Blaph!Akhirnya semua sukma para leluhur pun kembali ke alamnya. Dan lorong di ruang khusus para leluhur sekte Rajawali Ema pun kembali gelap dan sunyi, seolah tak pernah ada sekumpulan cahaya leluhur yang gemerlapan di dalamnya. Tak lama kemudian. "Ahhhssh..! Lhoo?!" Jalu menggeliatkan tubuhnya perlahan, saat kedua matanya terbuka sadarkan diri. Dan seketika dia jadi terperanjat kaget, saat tak lagi merasakan sesak serta nyeri di dadanya.Tubuhnya terasa sangat bugar, ba
"Heii bocah! Mau kemana kau?!" teriak kasar seorang lelaki, seraya bertolak pinggang menghadang di depan jalan setapak yang hendak dilalui Jalu. "Ini paman, saya mau ke desa Karanglesem," sahut Jalu tenang. Dia tak menyangka bahwa yang sedang berdiri di depannya adalah seorang begal. "Berani sekali kau bocah! Tahukah kau kalau menuju ke desa Karanglesem kamu harus bayar uang perjalanan dulu di sini!" bentak sang begal, seraya memasang wajah 'tergarang' yang diyakininya. "Wahh! Saya tidak tahu kalau lewat jalan ini harus bayar paman. Memangnya saya harus bayar berapa paman?" seru Jalu kaget, seraya bertanya pada sang begal yang menurutnya berwajah 'lucu' itu. "Yakin kau punya uang sebesar 100 kepeng bocah?!" seru sang Begal tak percaya, jika seorang bocah seperti Jalu memiliki uang sebesar itu. "Sudahlah Koplok! Biarkan saja bocah itu lewat! Paling-paling dia akan jadi santapan serigala lapar di dalam sana! Hahaaa!" seru seorang kawannya yang duduk di bawah pohon, pada begal yang