Seminggu sudah berlalu, Devi masih menumpang di tempatnya Nurul. Bukan niatnya ingin berlama-lama, dia sudah memesan ke Rendi untuk mencarikan rumah untuk dibeli. Namun tak kunjung ia dapat.Devi berangkat kerja seperti biasanya, diantar jemput oleh Rendi.Hingga di suatu siang. Ponsel Devi bergetar, dengan sigap langsung menerima panggilan.“Hallo.““Dev! Ini Bu Nurul, pinjam ponsel tetangga, kamu pulang bisa tidak siang ini? Reyhan hi-la-ng,” ucapnya terbata-bata.“Apa, Bu? Bagaimana bisa terjadi? Kenapa bisa hilang?“ cecar Devi.“Tadi pas ke supermarket depan, aku kebelet pipis, Reyhan aku taruh di troly dan Ratih yang kusuruh jaga. Tapi pas kembali Reyhan sudah gak ada.“Mendengar itu, dunia serasa runtuh untuk Devi, lututnya lemas seketika. Pikiran buruk mulai menguasainya. Bagaimana kalau dijual dan diambil organnya? Bagaimana kalau dibuat tumbal? ataukah bisa jadi dijadikan pengemis?Devi menggeleng mengibaskan pikiran buruknya. Dia langsung bergegas menghampiri Bu Dina untuk m
“Hasan, kita punya uang sekarang. Ha ha ha.” Suara ketawa Endang memenuhi ruangan sempit yang mereka tinggali saat ini.“Bu, aku masih tidak tega dengan bayi ini, sepertinya ini memang bayiku. Lhatlah, Bu. Hidungnya mirip sepertiku,”“Itu bukan anakmu, bayangkan saja pas kamu kerja, dengan jahatnya Devi selingkuh Di belakangmu dan lihat. Ini hasilnya,” tunjuk Endang ke bayi yang digendongnya.Mereka berhasil mengambil Reyhan setelah hampir seminggu membuntuti Devi. Perjuangan mereka tidak sia-sia meskipun harus berubah penampilan. Sekarang mereka tinggal di kontrakan yang tidak jauh dari Devi bekerja.Mereka mengambil Reyhan untuk dibawa mengemis.Endang berinisiatif pura-pura buta dan Hasan menggendong bayinya. Itu sangat terlihat menyedihkan.Bahkan hari ini mereka sudah melakukan dan berhasil mendapatkan uang banyak.Hasan memandang bayinya, pikirannya tidak menentu, antara percaya ucapan ibunya atau tidak. Sedangkan hati nuraninya seperti ada rasa yang tidak bisa diucapkan. Begi
Devi yang hampir gila mencari Reyhan yang tidak kunjung ketemu, ingin melaporkan ke pihak berwajib. Namun baru satu hari terlewat sedangkan pengajuan harus udah 48 jam setelahnya.Rendi menatapnya Iba, seharian Devi tak mau diajak makan. Pemandangan yang begitu menyesakkan.Permasalahan yang dihadapi Devi begitu beruntun. Niatnya Rendi langsung menikahi dan memboyong Devi ke rumahnya kini tertunda lagi.Devi menatap kosong di pinggir jalan raya, duduk terpekur memeluk lututnya, berharap menemukan Reyhan.Lokasi demi lokasi sudah ia kunjungi. Belum juga menemukan.Bila sampai menemukan penculiknya, Devi benar-benar tidak akan memaafkan.Dia begitu tersiksa batinnya, rindunya, rasa kawatir yang ditujukan Reyhan. Frustasi dibuatnya.“Ren, coba kita ke rumah Bu Endang. Terakhir dia emosi karena aku tidak mau membayarkan utangnya, siapa tahu mereka pelakunya,” lirih Devi saat teringat kejadian lalu.“Ya sudah, ayo!“ Rendi langsung bergegas menuju parkiran mobil dan diikuti Devi.Mobil Ren
Sepergian Devi dan Reyhan. Tante merasakan ada yang hilang, Hidupnya terasa kosong dan tidak secerah sebelumnya.Apalagi suaminya sering kali pergi keluar bahkan terkadang tidak pulang sama sekali membuatnya sangat kesepian.Salahkah iya memperjuangkan miliknya? Ia hanya takut miliknya diambil apalagi dia dan Devi jauh berbeda bagai langit dan bumi. Apalagi suaminya pernah selingkuh di masa lalu, membuatnya sangat trauma. Menerima bukan berarti iklas bila suami kembali selingkuh.Boleh kan untuk waspada? Tapi kenapa dirinya selalu mengharapkan Devi kembali ke rumah? Ingin rasanya mencari dan memanggil Devi kembali. Tapi rasa gengsi begitu menguasai dirinya.Akhirnya dengan mengumpulkan keberanian, Tante Rendi mengambil ponselnya dan menekan tombol panggil ke nomor Rendi.“Hallo, Tante,” sapa Rendi ketika sudah tersambung.“Kamu lagi apa, Ren?“ tanya Tante Rendi basa-basi.Ingin rasanya langsung menanyakan kabar Devi, namun ada sesuatu yang menahan di tenggorokannya.“Lagi sama Devi
Esoknya Endang sudah bersiap dengan kostum yang memelas. Reyhan pun sengaja tidak dimandikan agar terlihat kusut.Mereka akan kembali mengemis di lampu merah, Hasan menggendong Reyhan dan Endang memakai kacamata hitam sebagai pelengkap dengan tongkat.Hasan menatap lekat ke Reyhan yang dari tadi tidak mengeluarkan suara tangis, bahkan setiap diangkat tangan dan kakinya lunglai seperti tanpa tulang. Biasanya jemari kecil nan mungil itu pasti menggenggam erat baju yang dipakai Hasan. Tapi ini tidak sama sekali, membuat Hasan curiga, ia meraih lengan Reyhan memijit jari jemarinya. Kenapa lemas sekali?Bahkan tadi malam Hasan tidak mendengar suara tangisan sama sekali, bahkan seharusnya di umur Reyhan pasti akan terbangun untuk meminta susu seperti keluhan para karyawannya pas curhat di kantor dulu.Tapi kenapa berbeda dengan bayi ini, mungkinkah karena anak yang pintar? Hasan menatap kembali manik mata Reyhan. Seperti tatapan kosong, dengan pelan Hasan meraih pipi Reyhan dan mencubitnya
Ia percaya itu bukan cucunya, Devi pasti main belakang ketika melihat foto yang diperlihatkan Hasan waktu lalu.Tapi kenapa sekarang yang dibela malah menyalahkan Ibunya sendiri.Endang menarik napas panjang untuk mengatur dadanya yang sesak daritadi. Begitu menyakitkan.Endang masuk kembali, mengambil piring yang dibeli kemarin, lalu dengan cepat membantingnya ke arah tembok. Begitu frustasi!Sementara itu, Di saat menoleh ke arah Reyhan, Hasan tertegun melihat ekspresinya. Tanpa menangis. Manik 1matanya sayu antara tidur dengan melek, cuma setengahnya.Hasan dengan gemetar menempelkan jarinya di bawah hidung, menunggu hingga merasakan ada hembusan angin keluar dari hidung mungilnya, namun melihat hasilnya.Hasan menarik tangannya dan memegang setir lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.Sesampainya rumah sakit Hasan meraih Reyhan yang lemas dan membawanya setengah berlari ke arah ruang periksa. Yang langsung disambut suster yang jaga di sana. Membawanya ke ruangan IGD.D
Mobil Hasan dan Rendi melaju dengan kecepatan tinggi dan kebetulan rumah sakit yang dituju tidak terlalu jauh. Sehingga tidak memakan waktu lama.Hasan yang memandu perjalanan mereka.Hingga sesampainya parkiran. Devi sudah keluar dulu dan menghampiri Hasan.“Ruangan mana, Hasan?“ tanya Devi tidak sabar.“Ruang anggrek nomor 12,” jawabnya sambil menatap sendu ke arah Devi.“Ayo, Bu Nurul yang cepat, Devi rindu sekali dengan Reyhan,” ucapnya sambil mengapit lengan Nurul.Masih dengan senyum yang mengembang Devi berjalan ke arah ruangan.Setelah sampai Devi langsung membuka pintu ruangan.Langkahnya berhenti sejenak. Tatapannya mengintari ruangan. Ada dua ranjang di dalam ruangan dan cuma ada satu yang diisi itupun ada suster yang berdiri di depan Pasien.Mata Devi berkerut memandang dan langsung menghampirinya. Ia yakin yang dijaga suster pasti Reyhan-anaknya.“Kenapa wajahnya ditutup! Nanti anakku gak bisa bernapas!“ ujar Devi sambil menyibak kasar kain putih yang menutupi seluruh bad
Hingga Rendi yang melihat kejadian itu dengan sigap berlari mengejar dan mendorong Devi dan na'as.Kecelakaan tidak bisa dihindari. Teriakan demi teriakan dan bunyi klakson memenuhi udara saat ini.Bahkan yang mengendarai mobil begitu kaget dan tidak bisa mengerem mendadak hingga roda mobilnya melindas kaki Rendi yang terkapar di jalanan setelah terpelanting.Seketika pandangan Rendi mengabur dan tidak sadarkan diri setelah berteriak begitu kencang.Sedangkan Devi yang sudah berada di samping jalan akibat dorongan hanya melongo menatap kerumunan yang sedang terjadi saat itu.Ia tidak tahu siapa yang kecelakaan dan siapa yang mendorongnya.Dia bangkit kembali dan berjalan ke arah rumah Nurul.'Tunggu Mama, Nak! Kamu pasti kedinginan,” lirih Devi sambil berjalan dengan cepat.sesampainya rumah Nurul. Devi langsung mengambil dan keluar lagi menuju rumah sakit.Menciumi selimutnya sambil berjalan.“Bau keringatmu masih menempel, Nak.“ Devi sampai ke rumah sakit kembali dengan mengojek.