Bab 36Devi bersiap diri setelah selesai memasak dan mencuci perabotan dapur yang kotor, bersiap untuk berangkat kerja kembali, memakai kemeja bermotif bunga dengan lengan panjang, rok putih selutut, dan memakai sepatu pantofel.Nanti dia akan Ijin tidak mengikuti jam lembur. Ia berencana mengajak Tante Rendi untuk makan di luar.Ada banyak hal yang ingin dibicarakan dengan hati-hati.Sesampainya di parkiran pabrik, dia dicegat Hasan saat turun dari mobil dengan memakai pakaian lusuh dan rambut yang berantakan. Devi mencoba menghiraukan dan berlalu meninggalkan Hasan, akan tetapi Hasan langsung menarik lengan Devi dengan kuat yang hampir saja membuat badan Devi goyah.Devi meronta meminta Hasan untuk melepaskan pegangannya. Ternyata itu hanya membuang tenaganya sia-sia karena Hasan semakin mencengkram lengannya."Mau apa, Kamu!" teriak Devi."Tentu saja mau menyiksamu," jawab Hasan dengan menyeringai. Apalagi melihat parkiran masih sepi membuat terlintas ide gila."Silahkan kalau ber
Bab 37.Sepulangnya dari rumah Bu Endang, Devi lebih banyak berdiam diri, bahkan saat Reyhan meminta nenen, Devi tak menghiraukannya hingga si Rehyan kecil menangis membuat Tante Rendi tergopoh-gopoh menyusul ke kamar.Melihat Devi hanya melamun, membuat Tante Rendi penasaran dan menggoyangkan tubuhnya."Dev!""Eh, Tante," jawab Devi tergagap."Kamu ngelamun apa, anaknya nangis gitu sampai tidak dengar?""Enggak apa-apa kok, Tante.""Gak apa-apa kok, wajahnya pucet gitu.""Em, Tante. Devi mau ngobrol sama Tante," ucapnya sambil meraih Reyhan untuk disusuinya."Kenapa?""Tante, maaf sebelumnya, cuman Devi ingin mengutarakan keinginan Devi."Tante bergeming, menatap Sungguh-sungguh ke arah Devi."Tante, Devi mau mandiri. Mau beli rumah baru hasil jual rumah yang kemarin.""Ya ampun, apa kamu di sini tidak kerasan, Dev?""Bukan begitu, assisten yang Devi pesan bulan lalu belum ada sampai sekarang, Devi gak mau terus-menerus ngerepotin, Tante," ungkap Devi lirih."Sudah kubilang berkali-k
Bu Endang dan Hasan berdiam tanpa bertindak, mereka sama-sama egois saling mempertahankan barang kesayangannya.Hingga waktu terus berjalan dan hampir habis masa jatuh tenornya.Akhirnya mereka sepakat menggunakan uang sisa mereka untuk pergi keluar kota dan kembali setelah para penagih sudah berlalu dari rumahnya."Rasty, kamu jaga rumah ya, Ibu sama Hasan mau silahturahmi ke luar kota!" suruh Endang yang melihat Rasty sudah membaik dari demamnya."Baik, Bu." Rasty mengangguk cepat, bagaimana tidak. Ini adalah kesempatan emas untuk Rasty untuk benar-benar bisa istirahat dari ocehan mertua dan suami, dan ia bisa suka-suka keluar rumah tanpa harus curi kesempatan.Tidak lama setelah sepeninggalnya mereka, ada suara ketukan pintu berulangkali. Rasty dengan enggan melangkah gontai ke arah pintu untuk membukakan pintu dan betapa terkejutnya ketika ia mendapatkan dua pria dengan tato penuh di tangannya dan dengan muka garang menatap Rasty"Endang mana?" "Baru saja keluar, katanya mau men
***Sesampainya kantor, Devi langsung meraih ponselnya kembali dan melihat pesan yang sudah dibuka namun belum ada balasan dari Rendi.Devi penasaran lalu menelepon apalagi masih tersisa waktu sebelum jam kerja dimulai.“Hallo, Dev. Maaf aku lagi di rumah Tante,” sapa Rendi setelah telepon tersambung.Devi bergeming, teringat terakhir kali dia diusir. Rasa khawatir mulai menguasainya.Bagaimana kalau Tante Rendi mengatakan yang tidak-tidak ke Rendi? Bagaimana kalau Rendi sampai ilfil dengannya dan sudah tidak mau menolongnya lagi?“Dev, kok diam saja. Ya sudah nanti kita ngobrol di kantor. Ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Rendi membuyarkan pikiran Devi.“Baiklah, aku tutup teleponnya.“Devi termangu setelah menutup teleponnya.Ada perasaan aneh yang menguasai pikirannya. Ada rasa takut ditinggalkan. Ah mungkinkah?Devi menyibukkan diri dengan menghalau beberapa pikiran yang mengganggu dengan pekerjaannya.Terkadang ke bagian produksi untuk menyapa dan mengobrol dengan karyawan di s
Seminggu sudah berlalu, Devi masih menumpang di tempatnya Nurul. Bukan niatnya ingin berlama-lama, dia sudah memesan ke Rendi untuk mencarikan rumah untuk dibeli. Namun tak kunjung ia dapat.Devi berangkat kerja seperti biasanya, diantar jemput oleh Rendi.Hingga di suatu siang. Ponsel Devi bergetar, dengan sigap langsung menerima panggilan.“Hallo.““Dev! Ini Bu Nurul, pinjam ponsel tetangga, kamu pulang bisa tidak siang ini? Reyhan hi-la-ng,” ucapnya terbata-bata.“Apa, Bu? Bagaimana bisa terjadi? Kenapa bisa hilang?“ cecar Devi.“Tadi pas ke supermarket depan, aku kebelet pipis, Reyhan aku taruh di troly dan Ratih yang kusuruh jaga. Tapi pas kembali Reyhan sudah gak ada.“Mendengar itu, dunia serasa runtuh untuk Devi, lututnya lemas seketika. Pikiran buruk mulai menguasainya. Bagaimana kalau dijual dan diambil organnya? Bagaimana kalau dibuat tumbal? ataukah bisa jadi dijadikan pengemis?Devi menggeleng mengibaskan pikiran buruknya. Dia langsung bergegas menghampiri Bu Dina untuk m
“Hasan, kita punya uang sekarang. Ha ha ha.” Suara ketawa Endang memenuhi ruangan sempit yang mereka tinggali saat ini.“Bu, aku masih tidak tega dengan bayi ini, sepertinya ini memang bayiku. Lhatlah, Bu. Hidungnya mirip sepertiku,”“Itu bukan anakmu, bayangkan saja pas kamu kerja, dengan jahatnya Devi selingkuh Di belakangmu dan lihat. Ini hasilnya,” tunjuk Endang ke bayi yang digendongnya.Mereka berhasil mengambil Reyhan setelah hampir seminggu membuntuti Devi. Perjuangan mereka tidak sia-sia meskipun harus berubah penampilan. Sekarang mereka tinggal di kontrakan yang tidak jauh dari Devi bekerja.Mereka mengambil Reyhan untuk dibawa mengemis.Endang berinisiatif pura-pura buta dan Hasan menggendong bayinya. Itu sangat terlihat menyedihkan.Bahkan hari ini mereka sudah melakukan dan berhasil mendapatkan uang banyak.Hasan memandang bayinya, pikirannya tidak menentu, antara percaya ucapan ibunya atau tidak. Sedangkan hati nuraninya seperti ada rasa yang tidak bisa diucapkan. Begi
Devi yang hampir gila mencari Reyhan yang tidak kunjung ketemu, ingin melaporkan ke pihak berwajib. Namun baru satu hari terlewat sedangkan pengajuan harus udah 48 jam setelahnya.Rendi menatapnya Iba, seharian Devi tak mau diajak makan. Pemandangan yang begitu menyesakkan.Permasalahan yang dihadapi Devi begitu beruntun. Niatnya Rendi langsung menikahi dan memboyong Devi ke rumahnya kini tertunda lagi.Devi menatap kosong di pinggir jalan raya, duduk terpekur memeluk lututnya, berharap menemukan Reyhan.Lokasi demi lokasi sudah ia kunjungi. Belum juga menemukan.Bila sampai menemukan penculiknya, Devi benar-benar tidak akan memaafkan.Dia begitu tersiksa batinnya, rindunya, rasa kawatir yang ditujukan Reyhan. Frustasi dibuatnya.“Ren, coba kita ke rumah Bu Endang. Terakhir dia emosi karena aku tidak mau membayarkan utangnya, siapa tahu mereka pelakunya,” lirih Devi saat teringat kejadian lalu.“Ya sudah, ayo!“ Rendi langsung bergegas menuju parkiran mobil dan diikuti Devi.Mobil Ren
Sepergian Devi dan Reyhan. Tante merasakan ada yang hilang, Hidupnya terasa kosong dan tidak secerah sebelumnya.Apalagi suaminya sering kali pergi keluar bahkan terkadang tidak pulang sama sekali membuatnya sangat kesepian.Salahkah iya memperjuangkan miliknya? Ia hanya takut miliknya diambil apalagi dia dan Devi jauh berbeda bagai langit dan bumi. Apalagi suaminya pernah selingkuh di masa lalu, membuatnya sangat trauma. Menerima bukan berarti iklas bila suami kembali selingkuh.Boleh kan untuk waspada? Tapi kenapa dirinya selalu mengharapkan Devi kembali ke rumah? Ingin rasanya mencari dan memanggil Devi kembali. Tapi rasa gengsi begitu menguasai dirinya.Akhirnya dengan mengumpulkan keberanian, Tante Rendi mengambil ponselnya dan menekan tombol panggil ke nomor Rendi.“Hallo, Tante,” sapa Rendi ketika sudah tersambung.“Kamu lagi apa, Ren?“ tanya Tante Rendi basa-basi.Ingin rasanya langsung menanyakan kabar Devi, namun ada sesuatu yang menahan di tenggorokannya.“Lagi sama Devi