Akhirnya mereka berpamitan. Dan pak Harto hanya mengangguk. "Kebetulan mangsa baru," ucapnya Pak Harto setelah mereka tak terlihat lagi. *** "Devi, sini lihat!" Tante Rendi girang melihat baju anak yang begitu lucu terpampang di toko, dia begitu berantusias menyiapkan persiapan kelahiran Devi. Usia kandungan Devi yang sudah jalan delapan bulan pun hanya bila melangkah pelan sambil tangannya menyangga perutnya. "Ih lucu banget, Tante," balas Devi dengan mata yang berbinar melihat baju rajut yang menyerupai lebah. Tante Rendi pun langsung mengambil dan menaruhnya di keranjang belanja yang ia bawa tadi. Setelah semuanya terbeli mereka melanjutkan makan di rumah makan yang tersedia di swalayan yang tersedia. "Devi, kamu jangan lupa sering olahraga agar pembukaan nanti gampang," suruhnya sambil menyantap ayam goreng berbalur tepung. "Pembukaan?" Devi mengernyit, baru pertama kali mendengar istilah pembukaan. "Iya pembukaan, itu seperti jalannya janin keluar dari perut. Nantikan a
"Tante gila ih, bentar lagi aku menikah beneran," ujar Rasty masih belum percaya. "Iya, Endang sama anaknya itu bodoh, cari calon kok gak diselidiki dulu ... hahahaha," kelakar Bu Tantri. Rasty membalas dengan suara tergelak. Benar-benar tidak menyangka. Hidupnya bentar lagi akan berubah. Dia juga sudah mencicil pakaian tertutup beserta jilbabnya. Tiap ada orderan dia selalu menyisihkan uangnya untuk membeli sedikit demi sedikit. "Tante, gimana pelangganku nanti, kasian kan. Masak aku langsung pergi begitu saja. Apa lagi para pelangganku saat ini royal sekali," "Kamu putar waktunya," "Maksud, Tante?" "Ya, cukup ubah aja waktunya yang biasanya malam ganti siang, gampang kan." "Tapi, Tante. Eh bener juga ya. Nanti aku bilang aja bekerja sebagai SPG atau apa nantinya," jawabnya membenarkan saran Tante Tantri. "Nah gitu dong, dipake!" jawabnya sambil menunjuk ke arah kepalanya. Rasty tertawa kecil. Sekali tepuk dua pulau terlampaui. Dia bukan cewek yang akan melepaskan seseoran
"Tante, aku ingin menghadiri pernikahan Hasan," lirih Devi saat mereka sedang asyik berkutat di dapur.Tante Rendi yang sedang mencuci piring di sebelahnya pun mendadak terhenti dan langsung menoleh ke arah Devi. Mengambil napas berat dan membuangnya perlahan."Kamu yakin?""Yakin, Tante. Aku penasaran seberapa cantiknya calon istri Hasan itu.""Baiklah ... besok kamu bersiap-siap nanti aku suruh Rendi untuk berangkat bareng kita!""Baik, Tante."Devi menatap nanar perutnya yang buncit. Berulang kali tangannya mengelus-elus. Pikirannya kritis untuk membalas dendam ke Bapak anaknya. Saat ini tujuannya cuma satu, membuat kehidupan Hasan sekarat meskipun sehat."Tante, kenapa Rendi jarang main ke sini ya?” tanya Devi memecah keheningan."Oh gak tau, coba nanti kamu tanya sendiri aja ya lewat telepon!" jawab Tante Rendi asal. Sebenarnya dia tahu alasan Rendi jarang main ke tempatnya, dia ingin menjaga Devi dari fitnah, setelah resmi bercerai dia akan datang. Saat ini dia hanya membantu da
Devi dan Rendi berjalan beriringan menuju ke tempat resepsi. "Eh, tunggu! Ada yang tertinggal," ucap Devi sambil meminta kunci mobil ke Rendi.Ia segera berlari kecil ke arah mobil dan langsung gegas membuka dan mengambil sesuatu yang dibawa tadi tanpa sepengetahuan Rendi.Setelah menyalin ke tempat cup gelas, dan mengunci mobilnya kembali. Devi kembali ke tempat di mana Rendi menunggu.Rendi yang melihat itu mengernyit dan penasaran. "Dev, nanti di dalam kan kita dapat minum, ngapain bawa minum sendiri?""Ya gak papa, siapa tahu di dalam tidak ada jus jeruk.""Kamu bawa apa sih? Kok baunya kayak bensin begini?" tanya Rendi sambil menutup hidungnya."Hahaha, jus jeruk ini," ujarnya sambil tersenyum licik.Rendi menatap Devi curiga. "Yakin! Kamu jangan aneh-aneh deh!""Udah ah, ayo masuk!" ajak Devi sambil berlenggang meninggalkan Rendi yang masih diam di tempat.Rendi langsung tak ambil pusing dan menyusulnya. Dekorasi pernikahannya terlihat simpel dan elegan.Ada berapa orang yang
"Dev, apa kamu yang membuat kejadian tadi?" tanya Rendi sambil mengemudikan mobilnya."Emang kamu lihat aku membakar lokasi tadi?""Ya, enggak cuma heran aja, tiba-tiba kamu ngerokok.""Ya, katanya merokok bisa menghilangkan kesedihan, nyatanya batuk yang datang.""Alasan klise! Sudah jujur saja, itu tadi, kamu kan?"Devi bergeming. "Ya," jawab Devi setelah sekian menit tak ada obrolan.Rendi menghela napas panjang. "Devi, kamu terlalu nekat dan membahayakan nyawa orang lain.""Setidaknya mereka juga merasakan kepahitan yang aku rasakan, buktinya tadi juga tidak ada korban," ungkap Devi sambil menatap ke depan.Tatapannya kosong, hatinya masih dipenuhi dengan dendam.Dulu sangat begitu memuja dan mau melakukan apapun demi cinta dan kini rasa cinta sudah berubah, Devi begitu kecewa dengan hasil yang ia perjuangkan.Rendi menoleh ke arah Devi, dia belum paham dengan perasaan sakit yang dialami Devi karena waktunya habis buat bekerja sampai lupa berpacaran atau mengenal lawan jenis, umu
Bab 26 Belah durenSesampainya di rumah, mereka saling mendiamkan satu dengan yang lainnya. Hasan merebahkan dirinya ke sofa, menatap nanar tembok yang di depannya. Begitu juga Bu Endang yang langsung masuk ke kamar tanpa sepatah kata pun keluar.Badannya terasa linu bahkan rasanya tulang sudah berpindah tempat dari asalnya. Hasan melirik ke arah Rasty. "Ras, duduk dekat sini! Mas pegal semua, boleh pijitin dong!" suruhnya ke Rasty yang sedang asik dengan ponselnya.Rasty mendekat dan memijit lengannya Hasan. "Mas, besok masih libur?" tanyanya membuka obrolan."Iya, kenapa?" tanya Hasan tak bersemangat."Enggak ada rencana bulan madu gitu?" tanya Rasty sembari tangannya langsung meraba-raba pelan ke area sensitif yang membuat Hasan panas dingin. Hasan pun langsung membalas dan mengajak masuk ke kamar, rasa capek yang dirasa sudah terlupakan apalagi mengingat wanita yang di depannya adalah sah juga perawan.Tanpa mengunci pintu, Hasan langsung membuka helai demi helai kain yang menu
Tante Rendi masuk ke ruangan dan membawa botol minum yang berisikan rendaman akar Fatimah."Devi, kamu minum ini, ya! Aku pas kapan dikasih teman Tante akar Fatimah untuk membantu mempercepat pembukaan," suruhnya sambil ingin membantu meminumkannya."Eh! Apa itu?" tanya Bu bidan saat membawakan nampan berisi makanan."Ini rendaman akar Fatimah, Bu bidan. Katanya bagus untuk ibu mau melahirkan," jelas Tante Rendi."Buang!""Buang?" tanya Tante Rendi memastikan pendengarannya."Iya, buang. Apa Ibu gak tahu, kalau pemberian semacam akar Fatimah itu sudah dilarang keras dari kedokteran," jelas Bu bidan.Mulut Tante Rendi membulat sembari mengangguk-angguk, dan mendesah pelan dan menuruti ucapan Bu bidan."Tante ingin pipis tapi mau bangun sakit sekali," ungkap Devi bergetar.Tante Rendi dengan sigap membantunya turun dari ranjang."Loh, Dev. Kok keluar darah."Devi pun menunduk dan melihat ada darah berceceran di bawahnya. "Perut Devi sakit banget, Tante," ucapnya dengan air matanya yang
Sesampainya mereka ke rumah, Rendi dengan sigap memapah Devi dan Tante Rendi menggendong bayinya."Nanti Tante temani tidur di kamarmu, bantuin kalau tengah malam dedek pipis atau pup.""Makasih, Tante.""Owh ya, Ren. Nanti kamu ke supermarket ya, Tante lupa belum beli Pampers. Jangan lupa pilih yang new born ya!" suruhnya ke Rendi.Rendi mengangguk dan lekas beranjak."Ya sudah kamu istirahat dulu, dedeknya biar Tante yang ngurus!""Baik, Tante," ucap Devi langsung menuju ke kamar..Di kamar niatnya mau tidur namun pikiran dan hatinya begitu bersemangat memikirkan cara untuk membalas dendam ke Hasan. Bagaimanapun luka yang ditoreh Hasan masih menganga cukup lebar. Semakin hari luka itu semakin bertambah."Aku harus diet, dan merawat wajahku agar senantiasa glowing, setelah itu baru memikirkan balas dendam."Devi merebahkan diri ke ranjang dan mencoba memejamkan matanya, rasa kantuk sudah menghampiri ditambah capek akhirnya dengan cepat membuatnya tidur.***Rasty masih meringis kesa