"Berhenti di sana!" Suara seseorang yang menghentikan secara tiba-tiba.
Revista yang kala itu tengah bersembunyi pun terpaksa harus menghentikan langkahnya ketika dia bermaksud untuk beranjak pergi dari sana. Sementara orang yang mencegahnya pergi ternyata adalah Elana yang tak sengaja melihatnya bersembunyi."Adik?" Elanabelum yakin karena dia hanya melihat bagian punggung Revista.'Adik? apa maksudnya?' Revista bertanya-tanya dalam batinnya.Kemudian, Revista mencekal lengan Revista dan memaksanya untuk berbalik menatapnya."Sudah kuduga. Ini kamu, Rev!" ujarnya dengan semangat tatkala melihat wajah familiar di hadapannya.Revista semakin bingung ketika Elana tiba-tiba memeluknya dengan erat. Sementara hatinya merasa sangat jijik kala mendapati seorang wanita selingkuhan suaminya yang justru memeluknya saat ini.Gea sedikit pun tak menduga bahwa ia akan terlahir kembali di tubuh saudari kandung seorang wanita selingkuhan suaminya yang berkomplotan membunuhnya. Dia sangat yakin jika kematiannya berhubungan erat dengan Dion, karena saat ini dialah yang paling diuntungkan.'Tapi kenapa? Kenapa sekarang aku hidup di tubuh seorang adik dari wanita yang paling kubenci? apa alasannya?' batinnya.Begitu banyak misteri yang tidak bisa diatasi lewat logika. Namun, di sisi lain Gea merasa peluangnya menjadi lebih besar."Elana," panggil seorang pria yang ternyata adalah Dion sembari menyentuh pundak Elana.Wajah Dion yang terlihat jelas dari dekat, membuat Revista semakin geram. Jelas-jelas kedua musuhnya saat ini tepat di hadapannya. Sayangnya, Revista tak bisa berbuat apa-apa.Tatkala Dion datang, Elana pun melepaskan pelukannya terhadap Revista."Aku mencarimu ke mana-mana. Ternyata kau ada di sini. Apa yang kau lakukan? Dan ... siapa dia?" cecar Dion dengan beberapa pertanyaan."Ah, aku tadi hanya mencari tempat yang lebih sepi dan tak sengaja bertemu dengannya. Kebetulan sekali. Oh ya, kenalin. Ini adikku, Revista." Elana memperkenalkan Revista kepada Dion.Dion menatap Revista dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan penuh dengan nafsu. Tatapannya tak bisa berbohong jika dia tertarik terhadap tubuh Revista yang baginya lebih cantik dan seksi.'Memang seorang adik kebanyakan lebih cantik dari kakaknya. Seharusnya aku bertemu adiknya lebih dulu,' batin Dion mulai meracau."Beb? Beby?" Elana membangunkan Dion dari lamunannya."Eh? Kenapa?" Dion tampak gugup ketika Elana menyadarkannya."Apa yang kau lamunkan?" tanya Elana, penuh dengan rasa penasaran."Bukan apa-apa. Karena adikmu sudah datang, bawa dia masuk. Dia pasti lelah," himbaunya.Setelah itu, Elana mengajak Revista untuk memasuki rumahnya dan menempatkannya di salah satu kamar tamu. Sementara Elana dan Dion pun kembali menyambut para tamu di acara pernikahan mereka yang hampir usai.Pada akhirnya, Gea kembali ke rumahnya sendiri, meskipun menyandang identitas lain. Perlahan dia merebahkan tubuhnya yang terasa letih di atas kasur, lalu tersenyum licik karena merasa puas.Gea tidak tahu jika alur hidupnya akan semenarik ini. Sangat berkesan. Dia bahkan bisa dengan mudah mendekati kedua musuhnya sebagai orang terdekatnya saat ini."Tidak kuduga. Ternyata sekarang aku adalah adik wanita itu. Revista ... gadis ini ternyata memiliki wajah dan tubuh yang begitu menggoda. Aku bisa langsung tahu ketika lelaki berengsek itu memandangi tubuhku. Dia pasti terpesona. Jika aku bisa menggodanya, pasti akan lebih menarik," gumamnya.Revista mulai merencanakan aksi seperti apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dia pun mulai bangkit untuk merias dirinya menjadi secantik mungkin.Dia sangat familiar dengan setiap sudut dan segala sesuatu yang ada di rumahnya. Dia mengendap-endap agar tak ada seorang pun yang dapat melihat aksinya."Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?!"Sudah sangat berhati-hati, masih saja ketahuan oleh orang lain. Revista sangat familiar dengan suara orang itu. Dia adalah ibu Dion, ibu mertuanya di kehidupan sebelumnya.Revista pun berbalik dan tersenyum ramah kepada Ida, "Aku ... Aku adik Elana yang baru saja tiba," jawabnya dengan jujur."Ternyata adik wanita itu. Dia pasti sudah merasa rumah ini adalah miliknya. Bisa-bisanya membawa keluarganya ke rumah ini. Hekh! Dia pikir dia nyonya, apa? Dia pasti telah menyihir anak durhaka itu. Dia bahkan tidak ragu mengusir ibunya keluar demi penyihir itu!" Ida tampak tidak senang ketika mendengar nama Elana, karena dia pun tak puas terhadap menantunya saat ini. Dia terus mengomel hingga membuat telinga Revista panas mendengar suaranya yang nyaring.Sebenarnya, Ida tidak setuju ketika Dion ingin menikahi Elana. Dia menentang keras pernikahan mereka. Namun karena Dion mengancam ingin mengusir Ida keluar rumah, Ida terpaksa menyetujui pernikahan mereka.Revista yang sudah tidak tahan menghadapi ocehan Ida pun perlahan undur diri setelah sebelumnya dia berhasil mendapatkan barang yang dia inginkan. Tanpa menunda waktu, dia mulai bergegas melancarkan rencananya.Kebetulan sekali, Revista tak sengaja bertemu dengan Dion ketika akan kembali ke kamarnya. Dengan niat liciknya, dia mendekati Dion dan mulai menyentuh tubuh Dion yang saat itu tengah mabuk dan berbau alkohol."Bukankah kau adik Elana? Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dion sembari mengelus-elus wajah Revista dengan nafsu yang membara. Dia tidak tahan kala melihat wajah Revista yang begitu mempesona."Kakak, menurutmu ... bagaimana denganku jika dibandingkan dengan Elana?" tanya Revista dengan suara menggoda."Jika aku bertemu denganmu lebih dulu, aku pasti akan memilihmu," cetus Dion seraya mengangkat tubuh Revista memasuki kamar Revista dan menguncinya.Kemudian, Dion melemparkan tubuh Revista ke atas ranjang dan mulai menaikinya. Dion tampaknya mabuk berat sebelum Revista berniat melancarkan rencananya."Adik, apa kau siap bermain denganku?" Dion berbisik di telinga Revista.Revista tersenyum kecut ketika mendengar perkataan Dion yang begitu mesra. "Jadi seperti ini ketika kau bermain dengan para wanita," gumamnya.Hasratnya semakin bangkit. Dion mulai melancarkan aksi nakalnya. Dia mengangkat rok mini yang dikenakan Revista secara kasar, lalu mencekal kedua pergelangan tangan Revista. Ketika Dion mengecup bibirnya, Revista dengan sengaja memasukkan obat bius ke mulut Dion hingga membuatnya tumbang tak sadarkan diri."Tenang saja. Kali ini aku tidak ingin membunuhmu. Permainan tidak akan menarik jika dilakukan dengan mudah," ucap Revista sembari mengulas senyum licik di ujung bibirnya.Dion gagal menyentuh Revista karena berhasil ditumbangkan. Revista mendorong tubuh Dion hingga jatuh dari atas ranjang. Melihat wajahnya yang memar, dia merasa sangat girang. Kemudian, dia menyeret tubuh Dion keluar dari kamarnya, lalu meninggalkannya begitu saja di luar kamarnya.Seorang beberapa saat kemudian, Elana yang sejak tadi mencari Dion akhirnya menemukannya tergeletak di luar kamar Revista."Beby, apa yang kau lakukan di sini? Sudah kuduga kau pasti bakal mabuk. Tadi kau terlalu banyak bersulang dengan para tamu," ucap Elana. Karena Dion tak meresponnya, Elana pun memapahnya menuju kamarnya. Sedangkan Revista tertawa terbahak-bahak karena merasa dirinya telah menang selangkah."Ouch, sakit sekali kepalaku," rintih Dion sembari memegangi kepalanya yang terasa nyeri kala dia baru saja terbangun dari lelapnya.Pagi itu, di dalam ruangan yang sama, Elana tengah merias wajahnya di depan cermin. Dia bersiap-siap untuk datang ke kantor. Tatkala menyadari Dion telah terbangun, ia pun meliriknya sekilas dan menanyakan kondisinya."Kau sudah sadar? Kemarin kau terlalu banyak minum. Apa perut dan kepalamu baik-baik saja?" tanya Elana sembari memasang anting di telinganya."Emmh, ouh," gagap Dion. Ia masih terlihat celingukan karena baru saja terbangun dari tidurnya. "Apa kau sedang bersiap berangkat kerja?" tanya Dion."Tentu saja. Lalu apa lagi? Bagaimana denganmu? Apa kau ingin membolos?" timpal Elana seraya bangkit, lalu berjalan menghampiri Dion yang masih berbaring di atas ranjang. Elana melipat kedua lengannya seraya berkata, "Apa kau tidak bekerja?" tanyanya."Aduh, kepalaku sakit sekali. Sepertinya kemarin aku terlalu banyak minum alkohol. Perutku rasanya mual
Dalam lubuk hati Revista teramat gembira tatkala mendapati bahwa menaklukkan seorang pria murahan seperti Dion sangatlah mudah. Jika demikian, Revista merasa bahwa pembalasan dendam yang akan dia lakukan pasti akan berjalan sangat lancar. Namun, ia tetap tak boleh lengah agar semua yang dia lakukan tidaklah sia-sia."Kakak ipar, bukankah kau baru saja menikahi kakakku kemarin? aku rasa ... ini kurang pantas." Revista sengaja mengatakan perkataan untuk menarik ulur situasi."Elana maksudmu? Sepertinya aku yang terlalu bodoh. Jika aku bertemu denganmu duluan, sudah pasti aku tidak akan memilihnya. Pantas atau tidaknya, apa itu penting? sebelumnya kau sudah berjanji pandaku. Kau harus mengabulkan apa pun permintaanku," paksa Dion. Dengan sigap, Dion melingkarkan tangannya ke pinggang Revista, lalu menariknya dan mendekapnya hingga posisi mereka tak berjarak. Revista reflek menatap lekat wajah Dion. Wajah yang setiap hari dilihatnya, wajah yang tak bosan-bosannya dilihat setiap hari, waja
"Ah ... Kakak ipar, kau sangat berpengalaman," desah Revista di telinga Dion yang masih sangat bergairah menyetubuhi Revista dengan penuh kenikmatan."Kau sangat menggoda. Kau masih perawan, tapi ternyata tidak amatir. Kau lebih ahli dari yang kubayangkan," balas Dion.Kepuasan batin mereka akhirnya terpenuhi setelah mereka mencapai klimaks. Momen yang begitu menggairahkan di antara mereka akhirnya berakhir selama 20 menit lamanya mereka berhubungan.Masing-masing dari mereka pun memakai pakaiannya kembali, lalu beranjak pergi meskipun Dion sedikit enggan meninggalkan gadis secantik Revista yang baru saja dinikmati."Kakak ipar, ingat untuk merahasiakan hubungan kita," bisik Revista di telinga Dion sebelum dia beranjak keluar dari kamar mandi terlebih dahulu.Dion tak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi dengan jahilnya mengecup pipi Revista. Mereka berdua pun akhirnya berpisah setelahnya. 'Elana, tunggu saja. Akan kubuat kau merasakan yang telah kurasakan. Aku penasaran bagaimana re
"Sudahlah, aku sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun." Dion menyudahi permasalahan agar tidak semakin melebar. Kemudian, dia melirik Revista seraya berkata, "Kau tidak pergi? apa kau ingin dilempar tongkat lagi?" sindir Dion dengan perkataan pedasnya.Dion tak menunggu Revista beranjak terlebih dahulu, namun meninggalkannya begitu saja. Sementara Revista bukanlah seseorang yang tidak peka atau harus selalu diarahkan orang lain. Ia pun turut beranjak meninggalkan tempat dan Ida sendirian di sana."Mau ke mana kalian? Enak saja pergi begitu saja. Berhenti! Kubilang berhenti!" Ida mencoba menghentikan Dion dan Revista yang seakan tak menghargai keberadaan dirinya di sana. Namun percuma saja, keduanya tak menggubris perintah Ida dan terus berjalan pergi meninggalkannya. "Yang benar saja. Anak muda jaman sekarang memang tidak tahu etika!" marahnya meluapkan emosi yang sudah memuncak hingga ke ubun-ubun kepalanya.Pertengkaran yang tadinya hampir menjadi permasalahan serius akhirnya
Keluarga toxic yang penuh dengan orang-orang toxic sungguh membuat Revista geli. Setelah Dion menjadi ahli waris seluruh kekayaan Revista, dia semakin menjadi. Berhubung kedua Revista telah tiada, Dion menjadi semena-mena. Dia tak ingin mengurus anaknya lagi. Dion mengirim anaknya ke sekolah asrama, sesuai dengan permintaan dari Elana.Elana berkata bahwa dia muak melihat wajah yang mirip dengan Gea. Dia ingin menjadi ratu di rumahnya. Akan tetapi, jangan lupa. Jika di dalam rumah itu ada 2 ratu.Parang! Ida melempar wajan ke arah Elana yang sedang santai menggigit mentimun sambil bersandar di depan kulkas. Sontak, Elana pun terkejut dengan aksi yang dilakukan mertuanya."Bu, apa kau gila? Asal melempar wajan ke depan orang. Gimana coba kalau aku kena," protes Elana sembari menekuk wajahnya karena tidak terima."Dasar menantu durhaka. Kerjaannya tiap hari mantursing (mangan, turu, ngising). Kau kira Ibu ini pembantu, apa? Dulu masih mending Gea bantu-bantu ngurus rumah, walaupun kerja
"Rev, aku dengar kau sudah lama berhenti sekolah. Kenapa?" Pertanyaan Elana sontak membuat Revista kebingungan. 'Tamatlah riwayatku. Aku tidak tahu apa-apa tentang gadis ini. Aisshh,' batinnya."Kenapa diam saja?" Elana menunggu jawaban dari Revista.Revista memutar otaknya. Berpikir keras demi mencari alasan yang masuk akal. Namun, dia takut berbicara dan membuat Elana curiga tentangnya."Uang yang Kakak kirim setiap bulan, apa semua itu tidak cukup untuk membayar SPP perbulan? Sayang sekali. Kakak baru tahu kalau kalau sudah berhenti setahun lalu. Maafkan Kakak karena terlalu sibuk mencari uang di tempat ini, sampai lupa memperhatikan kehidupanmu. Kau pasti sangat menderita." Dari nada bicaranya, Elana tampak merasa sangat bersalah kepada Revista. Bagaimana pun, Revista masih memilki hati nurani. Andaikan Elana bukanlah wanita yang menghancurkan hidupnya, dia pasti akan terharu mendengarkan perjuangannya menafkahi adiknya yang tinggal di desa. Akan tetapi, nama Revista sesungguhnya
Siapa sangka, ternyata dia bernama Randi Erlangga. Kenalan masa kecil Revista. Mereka sudah lama berpisah dan bertemu di Kota ini secara tidak sengaja. Sungguh takdir yang tak terduga. Randi adalah teman masa kecil Revista yang senang mengganggunya. Ia memiliki banyak ide dan cara untuk membuat Revista menangis dibuatnya. Oleh karena itu, Revista sangat membencinya dan selalu membencinya. Semua itu adalah kenangan masa lalu Revista. Tak disangka, mereka akan bertemu lagi dengan seragam sekolah yang sama. Pertama kali bertemu, bukan kabar yang pertama kali ditanyakan, tetapi Randi langsung menjahilinya untuk mengingatkannya tentang kenangan masa kecil. Sedangkan Revista tetap memasang sikap ketus karena terus diganggu oleh seorang pria yang dia anggap sebagai anak kecil."Apa kau tidak mengenalku?" tanya Randi."Apa aku harus mengenalmu?" sahutnya dengan sifat ketus."Cielah. Galak amat. Kamu masih sama seperti dulu," kata Randi.'Seperti dulu? Apa itu artinya ... Revista mengenal an
POV RevistaBus akhirnya telah sampai dan berhenti di halte dekat sekolah tempat aku harus bersekolah di hari pertama. Aku dan Randi pun turun dari bus dan berjalan menuju gerbang sekolah yang masih terbuka sangat lebar. Kami tidak telat dan justru kami berangkat sangat awal.Aku dan Randi berjalan terpisah karena aku tidak mau berjalan bersamanya. Aku berjalan lebih cepat mendahuluinya. Kemudian, aku menoleh ke arah belakang dan melihat Randi yang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia pasti sedang mengejekku.Ya, namaku sekarang adalah Revista. Aku harus mengingat-ingatnya dan jangan sampi salah menyebut namaku yang baru. Aku yang saat ini menginjak umur 18 tahun, yang artinya saat ini aku duduk di bangku kelas XI SMA. Aku hanyalah seorang gadis biasa saja dari yatim piatu dan hanya memilili seorang Kakak bernama Elana. Elana si pelakor yang menghancurkan kehidupanku, tetapi bisa-bisanya menjadi kakakku saat ini. Memang terdengar seperti lelucon, tetapi itulah kenyataan yang haru
"Apa itu sakit?" tanya Randi sembari mengoleskan obat di wajah Revista."Tidak, goresan kecil bukan apa-apa," jawabnya berusaha terlihat tegar."Pembohong besar. Kau tidak harus berkelahi dengan mereka. Aissh ... bodohnya. Aku memang tidak berguna. Harusnya aku yang menolongmu, malah kau yang menolongku." Randi menyalahkan dirinya. "Oh, ya. Sejak kapan kau belajar beladiri? sepertinya kau sangat hebat," tanyanya penasaran.'Tentu saja aku belajar saat menjadi Gea,' batinnya, "entahlah. Sudah cukup lama. Jika kau bersalah, bagaimana jika kau membantuku?" pintanya."Kau ingin meminta bantuanku? tentu saja aku akan menyetujuinya. Apa yang kauinginkan, katakan saja. Aku akan berusaha mewujudka. semuanya." Randi tampak sangat berinisatif."Ah ... itu ... ."Revista tiba-tiba melucuti pakaiannya di hadapan Randi, hingga reflek membuatnya memalingkan wajahnya karena malu. Namun, rasa penasarannya berontak, dan akhirnya netranya menilik ke arah Revista."Apa yang terjadi? apa mereka yang suda
Ketua geng yang bernama Zena, menjambak rambut Revista sembari menyeretnya ke gudang sekolah. Di dalam gudang itu sudah ada 3 orang laki-laki yang tengah menunggu di dalam sana. Kedua mata mereka membola tatkala melihat Zena tengah membawakan mangsa baru untuk mereka.Ketiga siswa laki-laki itu juga termasuk geng anak nakal. Geng motor jalanan yang senang menindas anak-anak lemah tak berdaya. Mereka sering tawuran dengan anak geng motor sekolah lain. Tidak sedikit pula dari mereka yang kerap mengancam dengan kekerasan, juga telah menghamili para siswi. Para siswi yang hamil itu terpaksa bunuh diri karena menahan rasa malu dan tidak berani mengatakan yang sejujurnya terhadap guru, termasuk orangtua mereka sendiri. Ketiga siswa itu bernama Egi, Wandi, dan Vino."Yuhu ... dapat mangsa dari mana lagi kamu, Zen?" ucap Wandi yang bersorak girang kala melihat Revista yang diseret menghadap mereka.'Apaan lagi ini? Nasibku sungguh sial. Bisa-bisanya jadi bahan bullyan para anak nakal ini,' ba
POV RevistaRasanya sekujur tubuhku sakit usai malam tadi. Apa lagi saat aku mengguyur tubuhku dengan air ketika mandi. Yah, ini sangat menyebalkan. Lagi-lagi aku harus berpura-pura menjadi siswi SMA dan berangkat ke sekolah.Untunglah luka dan memar di tubuhku di bagian dalam yang tak terlihat. Awwh, aku mengerang kesakitan setiap kali berjalanan. Aku tidak leluasa berjalan saat bagian tengah selangkanganku terasa sakit dan linu. Dion sialan itu memang pria bejat. Perlakuan kasarnya membuatku tak leluasa berjalan. Meskipun tubuh ini bukanlah milikku, tetapi orang yang dapat merasakan rasa sakit tetaplah aku. Ah, rasanya ingin membolos sekolah saja. Akan tetapi, berdiam di rumah pun tak ada gunanya. Justru telingaku akan panas jika terus mendengar ocehan mantan mertuaku yang tak henti mencari-cari kesalahanku."Eh, dasar anak kurang ajar!" cerca Ida.Nah, baru saja selesai ngomong. Manusia itu sudah memergokiku kala aku menuruni tangga rumah. Aku sengaja menulikan telingaku, seakan ta
Larut malam, Revista baru sampai di rumah. Rasanya sangat lelah setelah menempuh perjalanan panjang. Ia ingin bergegas beristirahat dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Tatkala dia membuka pintu kamarnya, dia dikejutkan oleh Dion yang telah stand by menunggunya. Raut wajah Dion tampak buruk kala mamandang Revista. Dion tampak tidak senang dan menekuk wajahnya sembari melipat kedua lengannya."Kakak ipar, kau mengejutkanku. Kenapa kau bisa ada di ... .""Kau terlambat." Dion memotong ucapan Revista dengan nada bicara ketusnya. Tatapannya menggelap. Dion tampak menakutkan dengan ekspresinya saat ini. "Emm, Sayang. Apa kau marah?" Revista berusaha menggoda Dion agar kemarahannya mereda. Revista meliuk-liukkan tubuhnya seraya berjalan menghampiri Dion. Ia duduk di pangkuan Dion sembari menatapnya penuh dengan hasrat."Karena sudah terlambat, maka terima hukumanmu!" Dion menyeret lengan Revista dan melemparkan tubuhnya ke atas kasur dengan cara kasar. Beruntung, Revista dilemparkan ke kas
Setelah dokter memeriksaku dengan benar, akhirnya aku pun berpamitan kepadanya untuk pulang. Awalnya dojter itu menyuruhku untuk menginap semalam. Akan tetapi, aku menolaknya dengan alasan tidak ingin membuat ibuku mengkhawatirkanku.Dokter tidak punya alasan lain untuk menolak permintaanku. Dokter pun mengizinkanku untuk pulang. Setelah itu dokter pun pergi dari ruangan.Beberapa saat kemudian, pria yang menolongku itu masuk. Aku pun segera menanyakan dimana pakaianku kepadanya. Namun dia menjawab bahwa pakaian sudah dibuangnya karena sudah tak layak pakai.Apa?Tidak layak pakai?Apa maksudnya bajuku itu jelek?Dia menghina cara berpakaianku?Aku pun hanya bisa mengernyitkan kedua alisku ketika mendengar perkataan dari pria itu. Lagian bisa-bisanya dia membuang pakaianku begitu saja tanpa izin dariku terlebih dahulu. "Ini. Kau bisa pakai ini!" ucap pria itu sembari memberiku sebuah tas belanja.Aku mengintip sedikit ke dalam tas belang itu. Aku masih ragu-ragu untuk menerima pember
"Apa kau tahu penyakit lain yang kau derita?" tanya dokter itu kepadaku."Ada apa denganku, Dok? Apa aku mengidap penyakit parah?" Revista bertanya balik dengan tatapan nanarnya. "Bukan penyakit serius, tapi tidak parah. Kulitmu rentan dengan air hujan. Ketika kau menyentuh air hujan, maka kau bisa langsung menggigil kedinginan dan seluruh tubuhmh akan dipenuhi ruam merah. Dan kemungkinan terburuknya, kau bisa koma selama beberapa lama, hingga ruam di tubuhmu menghilang sepenuhnya," jelasnya panjang lebar kepada doktor itu."Aneh sekali. Aku baru mendengar ada penyakit seperti itu. Apa itu artinya ... aku alergi air hujan?" tanya Revista penasaran.Revista tetap merasa tidak mengerti dengan penjelasan dokter mengenai penyakitnya aat itu. Bisa-bisanya ada manusia yang alergi air hujan. Apa yang dikatakan dokter itu benar?"Benar. Kau tidak boleh terkena air hujan." Dokter itu menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam otak Revista."Woah. Yang benar saja." Revista tak habis pikir dengan ke
"Lalu, jika aku baik-baik saja, kenapa kau tidak membawaku ke rumah saja?" tanyaku dengan alis yang dikerutkan.Aku masih saja curiga dengan niat pria yang membawaku ke rumahnya. Benar kan? Seharusnya jika tahu aku pingsan, kenapa tidak langsung memmbawaku ke rumah sakit saja? Ini malah ke rumahnya, dan bahkan kamarnya. Aku tidak bisa percaya begitu saja dan harus curiga. Dia bukanlah orang yang kukenal, aku tidak bisa percaya begitu saja dengan orang asing tanpa syarat.Pria itu hanya terhening dan tidak menjawabku. Hal itu yang membuatku semakin mencurigainya. Dia hanya terus menatapku dengan tatapan aneh dan dingin. Aku yang ditatapnya seperti itu pastilah sangat ketakutan dibuatnya. Tatapannya itu sangat ganas seperti serigala yang ingin memangsa domba kecil.Ya tuhan, tolong aku! Bawa aku keluar dari sini secara teleportasi. Tatapan dinginnya itu semakin lama akan membunuhku cepat atau lambat. Tuhan, maafkan aku yang bermental domba ini.Aku merasa sangat aneh dan ketakutan ketika
Pertanyaan yang tersimpan dalam benakku, sengaja kuurungkan. Sebab, aku rasa tak pantas menanyakan pertanyaan sensitif di awal pertemuan. Takut dia berpikir macam-macam."Jadi, apa yang ingin kau tanyakan kepadaku?" tanya pria itu kepadaku.Aku masih terbungkam membisu ketika pria itu bahkan sampai menajamkan netranya, menatap ke arahku. Gea ... Oh Gea ... Ayo katakan dengan tegas!"Begini... Bagaimana bisa aku berada di kamar anda?" tanyaku sembari memejamkan mata karena merasa malu."Oh... Aku kira apaan. Kau sepertinya tidak ingat apapun ya?" tanya pria itu kepadaku dengan heran.Ingat apapun?Apa maksud dari pertanyaannya itu padaku?Memangnya apa yang harus kuingat? Aku benar-benar tidak mengerti dengan pertanyaannya itu. Otakku traveling berfikir ke mana-kemana tentang pertanyaan yang diajukan oleh pria itu kepadaku."Permisi?"Pria itu melambai-lambaikan tangannya ke depan wajahku. Akan tetapi, aku masih sedang berada dalam fantasi lamunanku. Aku tidak sadar jika sedap tadi pr
Aku yang sudah lama tidak sadarkan diri akhirnya bangun setelah beberapa jam. Mataku masih kabur, tidak jelas ketika pertama kali aku membuka mataku. Aku melihat seseorang tengah berdiri di depan jendela dengan samar-samar. Dia adalah seorang pria. Dia tengah melihat ke arah jendela dengan piyama yang dikenakannya.Setelah ia tengah lama berdiri di depan jendela, ia pun akhirnya duduk di salah satu sofa kamar itu. Ia mengambil handphone miliknya dan memeriksa notifikasi yang berbunyi.Aku pun hanya bisa memperhatikan pria itu sambil berbaring di tempat tidurku. Sedangkan pria itu masih sibuk memainkan phonsell miliknya. Sepertinya ia belum sadar jika aku sudah terbangun.Aku juga tidak berani untuk membuka mulutku dan bertanya kepadanya. Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa aku bisa berakhir di tempat asing seperti ini? Bahkan di kamari ada seorang pria muda. Apa yang telah terjadi kepadaku.Oh tidak, tidak mungkin kan.... Tidak! Tentu saja tidak mungkin. Apa dia seorang gigolo?