Dalam lubuk hati Revista teramat gembira tatkala mendapati bahwa menaklukkan seorang pria murahan seperti Dion sangatlah mudah. Jika demikian, Revista merasa bahwa pembalasan dendam yang akan dia lakukan pasti akan berjalan sangat lancar. Namun, ia tetap tak boleh lengah agar semua yang dia lakukan tidaklah sia-sia."Kakak ipar, bukankah kau baru saja menikahi kakakku kemarin? aku rasa ... ini kurang pantas." Revista sengaja mengatakan perkataan untuk menarik ulur situasi."Elana maksudmu? Sepertinya aku yang terlalu bodoh. Jika aku bertemu denganmu duluan, sudah pasti aku tidak akan memilihnya. Pantas atau tidaknya, apa itu penting? sebelumnya kau sudah berjanji pandaku. Kau harus mengabulkan apa pun permintaanku," paksa Dion. Dengan sigap, Dion melingkarkan tangannya ke pinggang Revista, lalu menariknya dan mendekapnya hingga posisi mereka tak berjarak. Revista reflek menatap lekat wajah Dion. Wajah yang setiap hari dilihatnya, wajah yang tak bosan-bosannya dilihat setiap hari, waja
"Ah ... Kakak ipar, kau sangat berpengalaman," desah Revista di telinga Dion yang masih sangat bergairah menyetubuhi Revista dengan penuh kenikmatan."Kau sangat menggoda. Kau masih perawan, tapi ternyata tidak amatir. Kau lebih ahli dari yang kubayangkan," balas Dion.Kepuasan batin mereka akhirnya terpenuhi setelah mereka mencapai klimaks. Momen yang begitu menggairahkan di antara mereka akhirnya berakhir selama 20 menit lamanya mereka berhubungan.Masing-masing dari mereka pun memakai pakaiannya kembali, lalu beranjak pergi meskipun Dion sedikit enggan meninggalkan gadis secantik Revista yang baru saja dinikmati."Kakak ipar, ingat untuk merahasiakan hubungan kita," bisik Revista di telinga Dion sebelum dia beranjak keluar dari kamar mandi terlebih dahulu.Dion tak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi dengan jahilnya mengecup pipi Revista. Mereka berdua pun akhirnya berpisah setelahnya. 'Elana, tunggu saja. Akan kubuat kau merasakan yang telah kurasakan. Aku penasaran bagaimana re
"Sudahlah, aku sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun." Dion menyudahi permasalahan agar tidak semakin melebar. Kemudian, dia melirik Revista seraya berkata, "Kau tidak pergi? apa kau ingin dilempar tongkat lagi?" sindir Dion dengan perkataan pedasnya.Dion tak menunggu Revista beranjak terlebih dahulu, namun meninggalkannya begitu saja. Sementara Revista bukanlah seseorang yang tidak peka atau harus selalu diarahkan orang lain. Ia pun turut beranjak meninggalkan tempat dan Ida sendirian di sana."Mau ke mana kalian? Enak saja pergi begitu saja. Berhenti! Kubilang berhenti!" Ida mencoba menghentikan Dion dan Revista yang seakan tak menghargai keberadaan dirinya di sana. Namun percuma saja, keduanya tak menggubris perintah Ida dan terus berjalan pergi meninggalkannya. "Yang benar saja. Anak muda jaman sekarang memang tidak tahu etika!" marahnya meluapkan emosi yang sudah memuncak hingga ke ubun-ubun kepalanya.Pertengkaran yang tadinya hampir menjadi permasalahan serius akhirnya
Keluarga toxic yang penuh dengan orang-orang toxic sungguh membuat Revista geli. Setelah Dion menjadi ahli waris seluruh kekayaan Revista, dia semakin menjadi. Berhubung kedua Revista telah tiada, Dion menjadi semena-mena. Dia tak ingin mengurus anaknya lagi. Dion mengirim anaknya ke sekolah asrama, sesuai dengan permintaan dari Elana.Elana berkata bahwa dia muak melihat wajah yang mirip dengan Gea. Dia ingin menjadi ratu di rumahnya. Akan tetapi, jangan lupa. Jika di dalam rumah itu ada 2 ratu.Parang! Ida melempar wajan ke arah Elana yang sedang santai menggigit mentimun sambil bersandar di depan kulkas. Sontak, Elana pun terkejut dengan aksi yang dilakukan mertuanya."Bu, apa kau gila? Asal melempar wajan ke depan orang. Gimana coba kalau aku kena," protes Elana sembari menekuk wajahnya karena tidak terima."Dasar menantu durhaka. Kerjaannya tiap hari mantursing (mangan, turu, ngising). Kau kira Ibu ini pembantu, apa? Dulu masih mending Gea bantu-bantu ngurus rumah, walaupun kerja
"Rev, aku dengar kau sudah lama berhenti sekolah. Kenapa?" Pertanyaan Elana sontak membuat Revista kebingungan. 'Tamatlah riwayatku. Aku tidak tahu apa-apa tentang gadis ini. Aisshh,' batinnya."Kenapa diam saja?" Elana menunggu jawaban dari Revista.Revista memutar otaknya. Berpikir keras demi mencari alasan yang masuk akal. Namun, dia takut berbicara dan membuat Elana curiga tentangnya."Uang yang Kakak kirim setiap bulan, apa semua itu tidak cukup untuk membayar SPP perbulan? Sayang sekali. Kakak baru tahu kalau kalau sudah berhenti setahun lalu. Maafkan Kakak karena terlalu sibuk mencari uang di tempat ini, sampai lupa memperhatikan kehidupanmu. Kau pasti sangat menderita." Dari nada bicaranya, Elana tampak merasa sangat bersalah kepada Revista. Bagaimana pun, Revista masih memilki hati nurani. Andaikan Elana bukanlah wanita yang menghancurkan hidupnya, dia pasti akan terharu mendengarkan perjuangannya menafkahi adiknya yang tinggal di desa. Akan tetapi, nama Revista sesungguhnya
Siapa sangka, ternyata dia bernama Randi Erlangga. Kenalan masa kecil Revista. Mereka sudah lama berpisah dan bertemu di Kota ini secara tidak sengaja. Sungguh takdir yang tak terduga. Randi adalah teman masa kecil Revista yang senang mengganggunya. Ia memiliki banyak ide dan cara untuk membuat Revista menangis dibuatnya. Oleh karena itu, Revista sangat membencinya dan selalu membencinya. Semua itu adalah kenangan masa lalu Revista. Tak disangka, mereka akan bertemu lagi dengan seragam sekolah yang sama. Pertama kali bertemu, bukan kabar yang pertama kali ditanyakan, tetapi Randi langsung menjahilinya untuk mengingatkannya tentang kenangan masa kecil. Sedangkan Revista tetap memasang sikap ketus karena terus diganggu oleh seorang pria yang dia anggap sebagai anak kecil."Apa kau tidak mengenalku?" tanya Randi."Apa aku harus mengenalmu?" sahutnya dengan sifat ketus."Cielah. Galak amat. Kamu masih sama seperti dulu," kata Randi.'Seperti dulu? Apa itu artinya ... Revista mengenal an
POV RevistaBus akhirnya telah sampai dan berhenti di halte dekat sekolah tempat aku harus bersekolah di hari pertama. Aku dan Randi pun turun dari bus dan berjalan menuju gerbang sekolah yang masih terbuka sangat lebar. Kami tidak telat dan justru kami berangkat sangat awal.Aku dan Randi berjalan terpisah karena aku tidak mau berjalan bersamanya. Aku berjalan lebih cepat mendahuluinya. Kemudian, aku menoleh ke arah belakang dan melihat Randi yang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia pasti sedang mengejekku.Ya, namaku sekarang adalah Revista. Aku harus mengingat-ingatnya dan jangan sampi salah menyebut namaku yang baru. Aku yang saat ini menginjak umur 18 tahun, yang artinya saat ini aku duduk di bangku kelas XI SMA. Aku hanyalah seorang gadis biasa saja dari yatim piatu dan hanya memilili seorang Kakak bernama Elana. Elana si pelakor yang menghancurkan kehidupanku, tetapi bisa-bisanya menjadi kakakku saat ini. Memang terdengar seperti lelucon, tetapi itulah kenyataan yang haru
"Aku tidak mengenalnya," jawabku ketus.Terlalu malas menanggapi mereka semua, aku berpura-pura memejamkan mataku untuk menghindari nyinyiran dari teman sekelas ku. Akan tetapi, tetap saja suara mereka terdengar jelas di telingaku. Malah semakin jelas dan keras, karena aku dalam keadaan menutup mata. Karena ketika seseorang menutup mata mereka, suara-suara akan semakin terfokuskan ke telinga kita saja. Karena syaraf otak mata di istirahatkan. "Revista," ucap seseorang yang samar di telingaku. Ketika ia memanggilku, aku sudah hampir terlelap ke dalam dunia mimpi. Hanya saja, aku belum sepenuhnya membuka gerbang pintu. Dan ketika suara seseorang memanggilku, aku pun langsung sedikit sadar sedikit tidak. Tidak ada minat untuk mendengarkan materi yang diajarkan di depan. Ya, karena sejak awal aku tidak berniat sekolah. Hanya mengikuti alur saja. Panggilan yang bising di telingaku, hingga akhirnya membuat ruhku memilih untuk sadar dan menanggapi panggilan seseorang yang tengah meman