"Rev, aku dengar kau sudah lama berhenti sekolah. Kenapa?" Pertanyaan Elana sontak membuat Revista kebingungan. 'Tamatlah riwayatku. Aku tidak tahu apa-apa tentang gadis ini. Aisshh,' batinnya."Kenapa diam saja?" Elana menunggu jawaban dari Revista.Revista memutar otaknya. Berpikir keras demi mencari alasan yang masuk akal. Namun, dia takut berbicara dan membuat Elana curiga tentangnya."Uang yang Kakak kirim setiap bulan, apa semua itu tidak cukup untuk membayar SPP perbulan? Sayang sekali. Kakak baru tahu kalau kalau sudah berhenti setahun lalu. Maafkan Kakak karena terlalu sibuk mencari uang di tempat ini, sampai lupa memperhatikan kehidupanmu. Kau pasti sangat menderita." Dari nada bicaranya, Elana tampak merasa sangat bersalah kepada Revista. Bagaimana pun, Revista masih memilki hati nurani. Andaikan Elana bukanlah wanita yang menghancurkan hidupnya, dia pasti akan terharu mendengarkan perjuangannya menafkahi adiknya yang tinggal di desa. Akan tetapi, nama Revista sesungguhnya
Siapa sangka, ternyata dia bernama Randi Erlangga. Kenalan masa kecil Revista. Mereka sudah lama berpisah dan bertemu di Kota ini secara tidak sengaja. Sungguh takdir yang tak terduga. Randi adalah teman masa kecil Revista yang senang mengganggunya. Ia memiliki banyak ide dan cara untuk membuat Revista menangis dibuatnya. Oleh karena itu, Revista sangat membencinya dan selalu membencinya. Semua itu adalah kenangan masa lalu Revista. Tak disangka, mereka akan bertemu lagi dengan seragam sekolah yang sama. Pertama kali bertemu, bukan kabar yang pertama kali ditanyakan, tetapi Randi langsung menjahilinya untuk mengingatkannya tentang kenangan masa kecil. Sedangkan Revista tetap memasang sikap ketus karena terus diganggu oleh seorang pria yang dia anggap sebagai anak kecil."Apa kau tidak mengenalku?" tanya Randi."Apa aku harus mengenalmu?" sahutnya dengan sifat ketus."Cielah. Galak amat. Kamu masih sama seperti dulu," kata Randi.'Seperti dulu? Apa itu artinya ... Revista mengenal an
POV RevistaBus akhirnya telah sampai dan berhenti di halte dekat sekolah tempat aku harus bersekolah di hari pertama. Aku dan Randi pun turun dari bus dan berjalan menuju gerbang sekolah yang masih terbuka sangat lebar. Kami tidak telat dan justru kami berangkat sangat awal.Aku dan Randi berjalan terpisah karena aku tidak mau berjalan bersamanya. Aku berjalan lebih cepat mendahuluinya. Kemudian, aku menoleh ke arah belakang dan melihat Randi yang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia pasti sedang mengejekku.Ya, namaku sekarang adalah Revista. Aku harus mengingat-ingatnya dan jangan sampi salah menyebut namaku yang baru. Aku yang saat ini menginjak umur 18 tahun, yang artinya saat ini aku duduk di bangku kelas XI SMA. Aku hanyalah seorang gadis biasa saja dari yatim piatu dan hanya memilili seorang Kakak bernama Elana. Elana si pelakor yang menghancurkan kehidupanku, tetapi bisa-bisanya menjadi kakakku saat ini. Memang terdengar seperti lelucon, tetapi itulah kenyataan yang haru
"Aku tidak mengenalnya," jawabku ketus.Terlalu malas menanggapi mereka semua, aku berpura-pura memejamkan mataku untuk menghindari nyinyiran dari teman sekelas ku. Akan tetapi, tetap saja suara mereka terdengar jelas di telingaku. Malah semakin jelas dan keras, karena aku dalam keadaan menutup mata. Karena ketika seseorang menutup mata mereka, suara-suara akan semakin terfokuskan ke telinga kita saja. Karena syaraf otak mata di istirahatkan. "Revista," ucap seseorang yang samar di telingaku. Ketika ia memanggilku, aku sudah hampir terlelap ke dalam dunia mimpi. Hanya saja, aku belum sepenuhnya membuka gerbang pintu. Dan ketika suara seseorang memanggilku, aku pun langsung sedikit sadar sedikit tidak. Tidak ada minat untuk mendengarkan materi yang diajarkan di depan. Ya, karena sejak awal aku tidak berniat sekolah. Hanya mengikuti alur saja. Panggilan yang bising di telingaku, hingga akhirnya membuat ruhku memilih untuk sadar dan menanggapi panggilan seseorang yang tengah meman
Seorang pria muda tampan dengan berbalutkan setelan jas di tubuhnya, tengah fokus membicarakan bisnis dengan rekannya. Namun, raut wajahnya tampak sangat frustasi. Dia berusaha sebisa mungkin untuk menenangkan rekan kerjasamanya. Dia adalah presdir perusahaan Donan Entertainment yang bernama Derio Andaru."Kami tidak akan terima dengan semua ini. Bagaimanapun juga, perusahaan kalian harus bertanggung jawab atas semua kerugian yang kami terima. Jika perusahaan ini tidak bisa menyelesaikannya, kami tidak akan tinggal diam. Jangan salahkan jika kami mengambil jalur hukum," ucap seorang pengusaha kaya.Pengusaha kaya itu adalah seorang ketua pimpinan, sekaligus investor dari perusahaan Zero Group. Sorot matanya tampak berapi-api dengan wajah yang sengaja ditekuk. Dia datang dengan amarah yang menyertainya, ketika mendengar berita bahwa perusahaan yang bekerjasama dengannya saat ini, tengah mengalami kerugian besar. Untuk menyelamatkan dirinya dan bisnisnya agar tidak gagal dan menerima d
"Ibu! Ibu bangun, Ibu," serunya. Dia adalah Elika, anak perempuan Lira. Elika tidak berhenti menangis, kala melihat ibunya yang tiba-tiba pingsan. Dia tidak hentinya berusaha untuk membangunkan ibunya. Ia sangat khawatir dan cemas terhadap kondisi ibunya yang tanpak serius. Sedangkan di sisi lain, nenek Elika yang tak lain adalah ibu Lira berusaha untuk menenangkan cucunya. Ayah Lira dengan sigap menelephon 119 untuk meminta bantuan. Tidak, menunggu bantuan tidak akan sempat. Udara dalam rongga paru-parunya menyempit, dia berada dalam kondisi gawat darurat."Sayang, berapa lama lagi bantuan akan datang? Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku takut sesuatu akan terjadi kepada anak kita." Ibu Lira berbicara kepada suaminya.Ayah Lira menutup telephonnya. Ini bukan saatnya menunggu pertolongan yang datang entah kapan. Karena terlalu panik, ia sampai lupa bahwa ia bisa membawa Lira ke rumah sakit terdekat dengan mobilnya sendiri. Cara itu bahkan sampai tak terpikirkan olehnya, sak
Kebangkrutan keluarganya. Sulitnya mencari pekerjaan dan memperbaiki ekonomi, bahkan SPP sekolah Elika telah menunggak beberapa bulan. Hal itu memaksa Elika untuk berhenti bersekolah. Orangtua Elika belum tahu jika Elika tidak pernah pergi ke sekolah. Mereka pikir Elika masih terus bersekolah seperti biasanya. Mereka tidak pernah berfikir bahwa Elika berhenti berangkat ke sekolah. Elika selalu berangkat pagi dengan seragam sekolah dan berpamitan dengan kedua orang tuanya. Namun ternyata, ia tidak pergi ke sekolah. Seragam yang ia kenakan hanyalah sebuah topeng miliknya. Ketika ia sudah merasa berada jauh dari rumahnya, ia pun melepaskan seragam sekolahnya. Elika tidak lupa membawa baju ganti yang ia simpan di dalam tasnya. Elika selalu berganti di Toilet umum terdekat. Ia mengganti seragamnya dan memakai baju bebas yang ia bawa di dalam tasnya. Lalu, ia memasukkan seragamnya ke dalam tasnya. Elika melakukan hal itu agar orang lain tidak mencurigai bahwa ia adalah siswi SMP. Oleh k
"Siap, Tuan!" Nada bicaraku saja yang semangat. Padahal dalam hatiku terasa berat jika harus mengirimkan bukti berupa fotoku di rumah Elika. Misiku yang berperan sebagai seorang teman harus tetap dijalankan.Ah, lupakan sajalah masalah hatiku yang mengganjal ini. Lagian mengirim bukti berupa foto juga tidak susah. Tinggal foto cekrak, cekrek, lalu kirim sudah deh nggak pake proses penyucian foto segala.Kemudian, akupun mengeluarkan sepeda motorku dari dalam bagasi. Speda motor matic bermerk scooppy yang hampir tidak pernah kupakai. Sepeda motor pemberian ayahku beberapa bulan lalu terasa kaku bagiku.Aku sudah lama tidak pernah mengendarai kendaraan apapun karena terlalu sering berlari untuk pergi ke sekolah setiap harinya. Terakhir kali aku mengendarai sepeda motor, yaitu ketika aku kelas IX SMP.Dulu aku sering sekali berjalan-jalan di sore hari. Maklum sih, anak baru gede memang suka semacam itu. Tetapi, setelah aku sudah menduduki bangku SMA, aku sudah tidak pernah menyentuh merk