"Ibu! Ibu bangun, Ibu," serunya. Dia adalah Elika, anak perempuan Lira. Elika tidak berhenti menangis, kala melihat ibunya yang tiba-tiba pingsan. Dia tidak hentinya berusaha untuk membangunkan ibunya. Ia sangat khawatir dan cemas terhadap kondisi ibunya yang tanpak serius. Sedangkan di sisi lain, nenek Elika yang tak lain adalah ibu Lira berusaha untuk menenangkan cucunya. Ayah Lira dengan sigap menelephon 119 untuk meminta bantuan. Tidak, menunggu bantuan tidak akan sempat. Udara dalam rongga paru-parunya menyempit, dia berada dalam kondisi gawat darurat."Sayang, berapa lama lagi bantuan akan datang? Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku takut sesuatu akan terjadi kepada anak kita." Ibu Lira berbicara kepada suaminya.Ayah Lira menutup telephonnya. Ini bukan saatnya menunggu pertolongan yang datang entah kapan. Karena terlalu panik, ia sampai lupa bahwa ia bisa membawa Lira ke rumah sakit terdekat dengan mobilnya sendiri. Cara itu bahkan sampai tak terpikirkan olehnya, sak
Kebangkrutan keluarganya. Sulitnya mencari pekerjaan dan memperbaiki ekonomi, bahkan SPP sekolah Elika telah menunggak beberapa bulan. Hal itu memaksa Elika untuk berhenti bersekolah. Orangtua Elika belum tahu jika Elika tidak pernah pergi ke sekolah. Mereka pikir Elika masih terus bersekolah seperti biasanya. Mereka tidak pernah berfikir bahwa Elika berhenti berangkat ke sekolah. Elika selalu berangkat pagi dengan seragam sekolah dan berpamitan dengan kedua orang tuanya. Namun ternyata, ia tidak pergi ke sekolah. Seragam yang ia kenakan hanyalah sebuah topeng miliknya. Ketika ia sudah merasa berada jauh dari rumahnya, ia pun melepaskan seragam sekolahnya. Elika tidak lupa membawa baju ganti yang ia simpan di dalam tasnya. Elika selalu berganti di Toilet umum terdekat. Ia mengganti seragamnya dan memakai baju bebas yang ia bawa di dalam tasnya. Lalu, ia memasukkan seragamnya ke dalam tasnya. Elika melakukan hal itu agar orang lain tidak mencurigai bahwa ia adalah siswi SMP. Oleh k
"Siap, Tuan!" Nada bicaraku saja yang semangat. Padahal dalam hatiku terasa berat jika harus mengirimkan bukti berupa fotoku di rumah Elika. Misiku yang berperan sebagai seorang teman harus tetap dijalankan.Ah, lupakan sajalah masalah hatiku yang mengganjal ini. Lagian mengirim bukti berupa foto juga tidak susah. Tinggal foto cekrak, cekrek, lalu kirim sudah deh nggak pake proses penyucian foto segala.Kemudian, akupun mengeluarkan sepeda motorku dari dalam bagasi. Speda motor matic bermerk scooppy yang hampir tidak pernah kupakai. Sepeda motor pemberian ayahku beberapa bulan lalu terasa kaku bagiku.Aku sudah lama tidak pernah mengendarai kendaraan apapun karena terlalu sering berlari untuk pergi ke sekolah setiap harinya. Terakhir kali aku mengendarai sepeda motor, yaitu ketika aku kelas IX SMP.Dulu aku sering sekali berjalan-jalan di sore hari. Maklum sih, anak baru gede memang suka semacam itu. Tetapi, setelah aku sudah menduduki bangku SMA, aku sudah tidak pernah menyentuh merk
"Yaudah ya, saya cuma mau ngasih tau itu aja," ucap wanita paruh baya yang tak lain adalah tetangga Elika itu.Wanita paruh baya itu pun langsung berlalu pergi meninggalkanku setelah menceritakan semua masalah yang menimpa Elika kepadaku. Aku pun hanya bisa terpaku di tempat ketika mendengar semua yang diceritakan oleh tetangga Elika itu.Perusahaan ayahnya bangkrut?Akhirnya, aku pun berhenti melamun di depan gerbang rumah Elika. Setelah aku sadar, aku pun langsung berjalan menuju motor matic yang kuparkirkan di tempat parkir.Ketika aku hampir menyetater motorku, tiba-tiba aku merasakan sebuah rintikan hujan mengenai kulitku. Untuk memastikannya, aku pun mengadahkan tanganku menghadap langit. Ternyata benar, sebentar lagi pasti akan turun hujan.Aku pun segera memasang helm ke kepalaku. Selanjutnya, aku langsung menyetater motorku dan berencana untuk kembali ke rumah.Ketika aku tengah mengendarai motoku, pikiranku masih tidak bisa tenang ketika memikirkan apa yang telah terjadi kep
Aku yang sudah lama tidak sadarkan diri akhirnya bangun setelah beberapa jam. Mataku masih kabur, tidak jelas ketika pertama kali aku membuka mataku. Aku melihat seseorang tengah berdiri di depan jendela dengan samar-samar. Dia adalah seorang pria. Dia tengah melihat ke arah jendela dengan piyama yang dikenakannya.Setelah ia tengah lama berdiri di depan jendela, ia pun akhirnya duduk di salah satu sofa kamar itu. Ia mengambil handphone miliknya dan memeriksa notifikasi yang berbunyi.Aku pun hanya bisa memperhatikan pria itu sambil berbaring di tempat tidurku. Sedangkan pria itu masih sibuk memainkan phonsell miliknya. Sepertinya ia belum sadar jika aku sudah terbangun.Aku juga tidak berani untuk membuka mulutku dan bertanya kepadanya. Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa aku bisa berakhir di tempat asing seperti ini? Bahkan di kamari ada seorang pria muda. Apa yang telah terjadi kepadaku.Oh tidak, tidak mungkin kan.... Tidak! Tentu saja tidak mungkin. Apa dia seorang gigolo?
Pertanyaan yang tersimpan dalam benakku, sengaja kuurungkan. Sebab, aku rasa tak pantas menanyakan pertanyaan sensitif di awal pertemuan. Takut dia berpikir macam-macam."Jadi, apa yang ingin kau tanyakan kepadaku?" tanya pria itu kepadaku.Aku masih terbungkam membisu ketika pria itu bahkan sampai menajamkan netranya, menatap ke arahku. Gea ... Oh Gea ... Ayo katakan dengan tegas!"Begini... Bagaimana bisa aku berada di kamar anda?" tanyaku sembari memejamkan mata karena merasa malu."Oh... Aku kira apaan. Kau sepertinya tidak ingat apapun ya?" tanya pria itu kepadaku dengan heran.Ingat apapun?Apa maksud dari pertanyaannya itu padaku?Memangnya apa yang harus kuingat? Aku benar-benar tidak mengerti dengan pertanyaannya itu. Otakku traveling berfikir ke mana-kemana tentang pertanyaan yang diajukan oleh pria itu kepadaku."Permisi?"Pria itu melambai-lambaikan tangannya ke depan wajahku. Akan tetapi, aku masih sedang berada dalam fantasi lamunanku. Aku tidak sadar jika sedap tadi pr
"Lalu, jika aku baik-baik saja, kenapa kau tidak membawaku ke rumah saja?" tanyaku dengan alis yang dikerutkan.Aku masih saja curiga dengan niat pria yang membawaku ke rumahnya. Benar kan? Seharusnya jika tahu aku pingsan, kenapa tidak langsung memmbawaku ke rumah sakit saja? Ini malah ke rumahnya, dan bahkan kamarnya. Aku tidak bisa percaya begitu saja dan harus curiga. Dia bukanlah orang yang kukenal, aku tidak bisa percaya begitu saja dengan orang asing tanpa syarat.Pria itu hanya terhening dan tidak menjawabku. Hal itu yang membuatku semakin mencurigainya. Dia hanya terus menatapku dengan tatapan aneh dan dingin. Aku yang ditatapnya seperti itu pastilah sangat ketakutan dibuatnya. Tatapannya itu sangat ganas seperti serigala yang ingin memangsa domba kecil.Ya tuhan, tolong aku! Bawa aku keluar dari sini secara teleportasi. Tatapan dinginnya itu semakin lama akan membunuhku cepat atau lambat. Tuhan, maafkan aku yang bermental domba ini.Aku merasa sangat aneh dan ketakutan ketika
"Apa kau tahu penyakit lain yang kau derita?" tanya dokter itu kepadaku."Ada apa denganku, Dok? Apa aku mengidap penyakit parah?" Revista bertanya balik dengan tatapan nanarnya. "Bukan penyakit serius, tapi tidak parah. Kulitmu rentan dengan air hujan. Ketika kau menyentuh air hujan, maka kau bisa langsung menggigil kedinginan dan seluruh tubuhmh akan dipenuhi ruam merah. Dan kemungkinan terburuknya, kau bisa koma selama beberapa lama, hingga ruam di tubuhmu menghilang sepenuhnya," jelasnya panjang lebar kepada doktor itu."Aneh sekali. Aku baru mendengar ada penyakit seperti itu. Apa itu artinya ... aku alergi air hujan?" tanya Revista penasaran.Revista tetap merasa tidak mengerti dengan penjelasan dokter mengenai penyakitnya aat itu. Bisa-bisanya ada manusia yang alergi air hujan. Apa yang dikatakan dokter itu benar?"Benar. Kau tidak boleh terkena air hujan." Dokter itu menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam otak Revista."Woah. Yang benar saja." Revista tak habis pikir dengan ke