Pada malam pertengkaran Gea dengan Dion, Gea tidak menyangka jika malam itu adalah malam terakhirnya. Malam itu, Gea salah meminum obat dan membuatnya mati keracunan.
Keesokan harinya setelah kepergiannya, keluarganya pun mengadakan pemakaman. Selain keluarganya dari pihak suaminya dan putranya yang masih belia, dia tidak memiliki keluarga lagi.Gea adalah putri tunggal dari keluarga konglomerat. Karena kepergian keluarganya mendahuluinya, dia menjadi satu-satunya pewaris sah yang mewarisi harta kekayaan keluarganya. Takdir tak bisa ditebak. Siapa yang menyangka bahwa dia pada akhirnya menjemput keluarganya. Satu-satunya pewaris harta yang sah adalah putranya. Namun karena usianya masih terlalu muda, maka semua harta yang dimiliki Gea jatuh ke tangan Dion yang menyandang status sebagai suami sahnya.Baru 2 minggu kepergian Gea berlalu, Dion sudah mulai merencanakan acara pernikahannya dengan Elana. Kebetulan yang tak bisa diprediksi, hingga membuat semua orang curiga dan menyebarkan rumor bahwa Dion dengan Elana sudah lama menjalani hubungan gelap."Kembalikan ibuku!" Seorang anak lelaki berkisar usia 7 tahun tiba-tiba menghadang jalan Elana dan memukulinya."Dasar anak nakal! Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" protes Elana.Kemudian, seorang pengasuh yang mengejarnya pun bergegas menjauhkan anak lelaki itu dari Elana. Kemudian, pengasuh itu pun berkata, "Nyoya muda, maafkan anak ini. Saya yang sudah lalai menjaganya," ucap pengasuh itu sembari merendahkan tubuhnya di hadapan Elana."Sudahlah, sudahlah. Kali ini, aku tidak akan mempermasalahkannya," kata Elana seraya beranjak pergi."Jayden, ayo pergi," himbau pengasuh itu."Tunggu. Berhenti di sana!" perintah Elana. Mendengar nama anak itu disebut, Elana sontak teringat akan sesuatu. Kemudian, dia berbalik dan mencengkram erat kedua bahu anak lelaki itu. "Ternyata itu kau. Apa kau anak wanita tua itu?" tanya Elana dengan sorot mata tajam yang membuat Jayden ketakutan.Melihat Elana yang terlihat tidak senang dengan Jayden, pengasuh itu pun bergegas berlutut di hadapan Elana."Nyonya muda, mohon maafkan kami. Lain kali saya pasti tidak akan membuatnya menyinggung Anda." Pengasuh itu sangat memohon kepada Elana.Setelah menatapnya beberapa saat, akhirnya Elana melepaskan cengkramannya. Kemudian, dia kembali menegakkan tubuhnya."Aku hanya penasaran. Ternyata wajahnya lebih mirip ayahnya. Beruntung dia tidak mirip dengan ibunya yang jelek. Lain kali, jangan sampai aku melihat anak ini di hadapanku. Jaga dia baik-baik. Jangan sampai merusak persiapan acara." Setelah memperingati pengasuh itu, dia pun beranjak pergi dengan arogannya.Elana sudah seperti memiliki gaya sebagai nyonya rumah, meskipun dia belum resmi menikah dengan Dion. Namun, semua itu hanya masalah waktu. Setelah mereka selesai mempersiapkan acara pernikahan, maka dia akan resmi menjadi nyonya rumah keluarga itu."Bibi, kenapa kau menghentikanku? wanita itu yang membuat ibuku meninggal." Jayden merengek kepada pengasuh yang menjaganya."Jayden, jangan asal bicara. Ayo," himbaunya sembari menuntun Jayden untuk kembali ke kamarnya.Semua orag tengah sibuk mempersiapkan pernikahan antara Dion dan Elana. Tampaknya, pernikahan yang akan mereka adakan terkesan sangat megah. Mereka menghabiskan banyak uang untuk mengadakan pernikahan besar-besaran setelah Dion telah menjadi ahli waris seluruh harta kekayaan yang sebelumnya beratasnamakan Gea."Halo?" Elana mengangkat telephonnya yang berdering."Halo, Kak Ela. Ini aku," ucap seseorang dari seberang telephon."Aku tahu. Revista si adik yang paling bandel. Jadi, kapan kamu datang?" tanyanya."Hehe. Aku sudah di bandara, Kak," jawab Revista yang tak lain adalah adik perempuan Elana."Secepat itu? Kalau gitu, Kakak jemput ke bandara ya." Elana menawarkan."Nggak perlu, nggak perlu, Kak. Aku bisa ke sana sendiri. Kan sudah Kakak kirim alamatnya. Tenang saja. Aku bukan anak kecil lagi." Revista menolak tawaran dari Elana."Yasudah kalau gitu. Hati-hati di jalan. Sudah dulu, ya. Di sini lagi sibuk banget. Dadah." Elana segera menutup telephon dari adiknya sebelum adiknya sempat menjawabnya.Selain adiknya, Elana tak memiliki keluarga lain. Revista adalah satu-satunya keluarga bagi Elana. Mereka hidup saling bergantung. Namun karena kurangnya ekonkmi, Elana terpaksa harus merantau ke kota lain dan meninggalkan Revista yang baru saja melanjutkan study-nya.Setelah panggilan telephon terputus, Revista pun mulai beranjak memasuki taksi yang baru saja dipesan secara online. Dia sangat menikmati perjalanannya, terlebih tak sabar bertemu dengan Kakak yang sangat dirindukannya.TINN!TINN!CKITTBRUAKK!Di jalan yang sepi, sebuah mobil truck dari persimpangan jalan tiba-tiba muncul dan menabrak taksi yang ditumpangi Revista. Supir taksi mencoba semaksimal mungkin untuk menghindari mobil truck yang hampir saling bertabrakan.Supir taksi membanting setir, mengerem, hingga taksi berhasil berhenti ketika menabrak pagar tebing. Untung saja, taksi itu tersangkut. Namun, sedikit demi sedikit, mulai tak seimbang ketika batu reruntuhan di pinggir tebing tak bisa lagi menyangga taksi tersebut. Pertahan yang sia-sia, karena pada akhirnya taksi itu menggelinding ke bawah tebing sebelum bantuan datang. Setelah terus menggelinding di tebing yang curam, taksi itu akhirnya tenggelam ke dalam laut.Air permukaan laut sekilas berubah warna menjadi warna merah karena darah Revista yang terluka dan pak supir, hingga kemudian warna air kembali netral setelah diterjang kuatnya ombak."Di mana aku? Arrghh ... ." Revista mengerang kesakitan sembari memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing."Kau sudah sadar?" ucap suara seorang pria yang terdengar begitu asing.Samar-samar pandangannya mendapati sesosok yang datang menghampirinya. Dia ingin memastikan siapa pria itu. Namun, semakin dia memaksa untuk melihatnya dengan jelas, sekujur tubuhnya terasa semakin sakit tak tertahankan."Jangan bergerak," kata pria itu sembari mencegah Revista yang berusaha bangkit. Pria itu memegang kedua bahu Revista dan membantunya untuk berbaring kembali.'Apa yang terjadi? kenapa aku bisa ada di sini?' batin Revista bertanya-tanya.Segala sesuatu tentangnya terasa sangat asing. Dia brusaha untuk mengingat-ingat apa yang terjadi dan siapa dirinya. Dia tak ingin menyerah meskipun memory otaknya tak sanggup menggali semua ingatan itu.Sekilas ingatan yang tersamar mulai muncul dalam pikirannya, membuat emosinya tak stabil. Akhirnya dia mengingat siapa dirinya. Dendam, kebencian, pengkhianatan, senantiasa tertanam di dalam benaknya."Aku masih hidup? Tidak mungkin." Revista mulai bingung terhadap dirinya sendiri.Dia sangat kebingungan setelah menyadari siapa identitasnya yang sebenarnya. Dia adalah Gea, tetapi dia adalah Revista.Bagaimana mungkin?Dia sangat beruntung. Ketika taksi yang ditumpanginya terjatuh ke tebing, tubuhnya terbawa arus ombak dan terdampar di pantai. Kebetulan, seseorang melihat dirinya yang terdampar dan membawanya ke rumah sakit. Setelah menjalani pengobatan, akhirnya dia tersadar. Namun anehnya, ketika dia tersadar, dirinya bukan lagi dirinya, melainkan orang lain.Jiwa lain terbangun di tubuh Revista. Dan jiwa itu adalah Gea yang telah meninggal."Bukankah aku sudah mati? kenapa aku bisa hidup lagi?" Revista bergumam karena tidak percaya dengan keajaiban yang telah dia alami."Ada apa denganmu? apa kau merasa tidak nyaman?" tanya pria yang sejak tadi merasa tingkah laku Revista terlihat aneh.Revista reflek menatap pria yang berdiri di sampingnya. Pandangannya mulai tampak jelas tatkala menatapnya. Pria itu masih sangat muda, seumuran siswa SMA. Dia anak yang sangat tampan."Siapa kau?" tanya Revista penuh dengan kewaspadaan."Ah, maaf. Aku adalah orang yang menyelamatkanmu. Pertama kali menemukanmu, kau sudah terluka parah. Jadi, aku langsung membawamu ke rumah sakit," jelasnya."Kau ... kau yang menyelamatkanku?" tanya Revista ragu-ragu."Benar, itu aku," jawabnya sembari memancarkan keramahan di wajahnya. "Karena kau sudah siuman, bisakah aku meminta nomor telephon keluargamu?" pintanya.Di detik itu, Revista tertegun tanpa bisa berkata-kata ketika pemuda itu menyinggung tentang keluarga. Dia sadar bahwa dirinya adalah Gea,
"Berhenti di sana!" Suara seseorang yang menghentikan secara tiba-tiba.Revista yang kala itu tengah bersembunyi pun terpaksa harus menghentikan langkahnya ketika dia bermaksud untuk beranjak pergi dari sana. Sementara orang yang mencegahnya pergi ternyata adalah Elana yang tak sengaja melihatnya bersembunyi."Adik?" Elanabelum yakin karena dia hanya melihat bagian punggung Revista.'Adik? apa maksudnya?' Revista bertanya-tanya dalam batinnya.Kemudian, Revista mencekal lengan Revista dan memaksanya untuk berbalik menatapnya. "Sudah kuduga. Ini kamu, Rev!" ujarnya dengan semangat tatkala melihat wajah familiar di hadapannya.Revista semakin bingung ketika Elana tiba-tiba memeluknya dengan erat. Sementara hatinya merasa sangat jijik kala mendapati seorang wanita selingkuhan suaminya yang justru memeluknya saat ini.Gea sedikit pun tak menduga bahwa ia akan terlahir kembali di tubuh saudari kandung seorang wanita selingkuhan suaminya yang berkomplotan membunuhnya. Dia sangat yakin jika
"Ouch, sakit sekali kepalaku," rintih Dion sembari memegangi kepalanya yang terasa nyeri kala dia baru saja terbangun dari lelapnya.Pagi itu, di dalam ruangan yang sama, Elana tengah merias wajahnya di depan cermin. Dia bersiap-siap untuk datang ke kantor. Tatkala menyadari Dion telah terbangun, ia pun meliriknya sekilas dan menanyakan kondisinya."Kau sudah sadar? Kemarin kau terlalu banyak minum. Apa perut dan kepalamu baik-baik saja?" tanya Elana sembari memasang anting di telinganya."Emmh, ouh," gagap Dion. Ia masih terlihat celingukan karena baru saja terbangun dari tidurnya. "Apa kau sedang bersiap berangkat kerja?" tanya Dion."Tentu saja. Lalu apa lagi? Bagaimana denganmu? Apa kau ingin membolos?" timpal Elana seraya bangkit, lalu berjalan menghampiri Dion yang masih berbaring di atas ranjang. Elana melipat kedua lengannya seraya berkata, "Apa kau tidak bekerja?" tanyanya."Aduh, kepalaku sakit sekali. Sepertinya kemarin aku terlalu banyak minum alkohol. Perutku rasanya mual
Dalam lubuk hati Revista teramat gembira tatkala mendapati bahwa menaklukkan seorang pria murahan seperti Dion sangatlah mudah. Jika demikian, Revista merasa bahwa pembalasan dendam yang akan dia lakukan pasti akan berjalan sangat lancar. Namun, ia tetap tak boleh lengah agar semua yang dia lakukan tidaklah sia-sia."Kakak ipar, bukankah kau baru saja menikahi kakakku kemarin? aku rasa ... ini kurang pantas." Revista sengaja mengatakan perkataan untuk menarik ulur situasi."Elana maksudmu? Sepertinya aku yang terlalu bodoh. Jika aku bertemu denganmu duluan, sudah pasti aku tidak akan memilihnya. Pantas atau tidaknya, apa itu penting? sebelumnya kau sudah berjanji pandaku. Kau harus mengabulkan apa pun permintaanku," paksa Dion. Dengan sigap, Dion melingkarkan tangannya ke pinggang Revista, lalu menariknya dan mendekapnya hingga posisi mereka tak berjarak. Revista reflek menatap lekat wajah Dion. Wajah yang setiap hari dilihatnya, wajah yang tak bosan-bosannya dilihat setiap hari, waja
"Ah ... Kakak ipar, kau sangat berpengalaman," desah Revista di telinga Dion yang masih sangat bergairah menyetubuhi Revista dengan penuh kenikmatan."Kau sangat menggoda. Kau masih perawan, tapi ternyata tidak amatir. Kau lebih ahli dari yang kubayangkan," balas Dion.Kepuasan batin mereka akhirnya terpenuhi setelah mereka mencapai klimaks. Momen yang begitu menggairahkan di antara mereka akhirnya berakhir selama 20 menit lamanya mereka berhubungan.Masing-masing dari mereka pun memakai pakaiannya kembali, lalu beranjak pergi meskipun Dion sedikit enggan meninggalkan gadis secantik Revista yang baru saja dinikmati."Kakak ipar, ingat untuk merahasiakan hubungan kita," bisik Revista di telinga Dion sebelum dia beranjak keluar dari kamar mandi terlebih dahulu.Dion tak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi dengan jahilnya mengecup pipi Revista. Mereka berdua pun akhirnya berpisah setelahnya. 'Elana, tunggu saja. Akan kubuat kau merasakan yang telah kurasakan. Aku penasaran bagaimana re
"Sudahlah, aku sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun." Dion menyudahi permasalahan agar tidak semakin melebar. Kemudian, dia melirik Revista seraya berkata, "Kau tidak pergi? apa kau ingin dilempar tongkat lagi?" sindir Dion dengan perkataan pedasnya.Dion tak menunggu Revista beranjak terlebih dahulu, namun meninggalkannya begitu saja. Sementara Revista bukanlah seseorang yang tidak peka atau harus selalu diarahkan orang lain. Ia pun turut beranjak meninggalkan tempat dan Ida sendirian di sana."Mau ke mana kalian? Enak saja pergi begitu saja. Berhenti! Kubilang berhenti!" Ida mencoba menghentikan Dion dan Revista yang seakan tak menghargai keberadaan dirinya di sana. Namun percuma saja, keduanya tak menggubris perintah Ida dan terus berjalan pergi meninggalkannya. "Yang benar saja. Anak muda jaman sekarang memang tidak tahu etika!" marahnya meluapkan emosi yang sudah memuncak hingga ke ubun-ubun kepalanya.Pertengkaran yang tadinya hampir menjadi permasalahan serius akhirnya
Keluarga toxic yang penuh dengan orang-orang toxic sungguh membuat Revista geli. Setelah Dion menjadi ahli waris seluruh kekayaan Revista, dia semakin menjadi. Berhubung kedua Revista telah tiada, Dion menjadi semena-mena. Dia tak ingin mengurus anaknya lagi. Dion mengirim anaknya ke sekolah asrama, sesuai dengan permintaan dari Elana.Elana berkata bahwa dia muak melihat wajah yang mirip dengan Gea. Dia ingin menjadi ratu di rumahnya. Akan tetapi, jangan lupa. Jika di dalam rumah itu ada 2 ratu.Parang! Ida melempar wajan ke arah Elana yang sedang santai menggigit mentimun sambil bersandar di depan kulkas. Sontak, Elana pun terkejut dengan aksi yang dilakukan mertuanya."Bu, apa kau gila? Asal melempar wajan ke depan orang. Gimana coba kalau aku kena," protes Elana sembari menekuk wajahnya karena tidak terima."Dasar menantu durhaka. Kerjaannya tiap hari mantursing (mangan, turu, ngising). Kau kira Ibu ini pembantu, apa? Dulu masih mending Gea bantu-bantu ngurus rumah, walaupun kerja
"Rev, aku dengar kau sudah lama berhenti sekolah. Kenapa?" Pertanyaan Elana sontak membuat Revista kebingungan. 'Tamatlah riwayatku. Aku tidak tahu apa-apa tentang gadis ini. Aisshh,' batinnya."Kenapa diam saja?" Elana menunggu jawaban dari Revista.Revista memutar otaknya. Berpikir keras demi mencari alasan yang masuk akal. Namun, dia takut berbicara dan membuat Elana curiga tentangnya."Uang yang Kakak kirim setiap bulan, apa semua itu tidak cukup untuk membayar SPP perbulan? Sayang sekali. Kakak baru tahu kalau kalau sudah berhenti setahun lalu. Maafkan Kakak karena terlalu sibuk mencari uang di tempat ini, sampai lupa memperhatikan kehidupanmu. Kau pasti sangat menderita." Dari nada bicaranya, Elana tampak merasa sangat bersalah kepada Revista. Bagaimana pun, Revista masih memilki hati nurani. Andaikan Elana bukanlah wanita yang menghancurkan hidupnya, dia pasti akan terharu mendengarkan perjuangannya menafkahi adiknya yang tinggal di desa. Akan tetapi, nama Revista sesungguhnya
"Apa itu sakit?" tanya Randi sembari mengoleskan obat di wajah Revista."Tidak, goresan kecil bukan apa-apa," jawabnya berusaha terlihat tegar."Pembohong besar. Kau tidak harus berkelahi dengan mereka. Aissh ... bodohnya. Aku memang tidak berguna. Harusnya aku yang menolongmu, malah kau yang menolongku." Randi menyalahkan dirinya. "Oh, ya. Sejak kapan kau belajar beladiri? sepertinya kau sangat hebat," tanyanya penasaran.'Tentu saja aku belajar saat menjadi Gea,' batinnya, "entahlah. Sudah cukup lama. Jika kau bersalah, bagaimana jika kau membantuku?" pintanya."Kau ingin meminta bantuanku? tentu saja aku akan menyetujuinya. Apa yang kauinginkan, katakan saja. Aku akan berusaha mewujudka. semuanya." Randi tampak sangat berinisatif."Ah ... itu ... ."Revista tiba-tiba melucuti pakaiannya di hadapan Randi, hingga reflek membuatnya memalingkan wajahnya karena malu. Namun, rasa penasarannya berontak, dan akhirnya netranya menilik ke arah Revista."Apa yang terjadi? apa mereka yang suda
Ketua geng yang bernama Zena, menjambak rambut Revista sembari menyeretnya ke gudang sekolah. Di dalam gudang itu sudah ada 3 orang laki-laki yang tengah menunggu di dalam sana. Kedua mata mereka membola tatkala melihat Zena tengah membawakan mangsa baru untuk mereka.Ketiga siswa laki-laki itu juga termasuk geng anak nakal. Geng motor jalanan yang senang menindas anak-anak lemah tak berdaya. Mereka sering tawuran dengan anak geng motor sekolah lain. Tidak sedikit pula dari mereka yang kerap mengancam dengan kekerasan, juga telah menghamili para siswi. Para siswi yang hamil itu terpaksa bunuh diri karena menahan rasa malu dan tidak berani mengatakan yang sejujurnya terhadap guru, termasuk orangtua mereka sendiri. Ketiga siswa itu bernama Egi, Wandi, dan Vino."Yuhu ... dapat mangsa dari mana lagi kamu, Zen?" ucap Wandi yang bersorak girang kala melihat Revista yang diseret menghadap mereka.'Apaan lagi ini? Nasibku sungguh sial. Bisa-bisanya jadi bahan bullyan para anak nakal ini,' ba
POV RevistaRasanya sekujur tubuhku sakit usai malam tadi. Apa lagi saat aku mengguyur tubuhku dengan air ketika mandi. Yah, ini sangat menyebalkan. Lagi-lagi aku harus berpura-pura menjadi siswi SMA dan berangkat ke sekolah.Untunglah luka dan memar di tubuhku di bagian dalam yang tak terlihat. Awwh, aku mengerang kesakitan setiap kali berjalanan. Aku tidak leluasa berjalan saat bagian tengah selangkanganku terasa sakit dan linu. Dion sialan itu memang pria bejat. Perlakuan kasarnya membuatku tak leluasa berjalan. Meskipun tubuh ini bukanlah milikku, tetapi orang yang dapat merasakan rasa sakit tetaplah aku. Ah, rasanya ingin membolos sekolah saja. Akan tetapi, berdiam di rumah pun tak ada gunanya. Justru telingaku akan panas jika terus mendengar ocehan mantan mertuaku yang tak henti mencari-cari kesalahanku."Eh, dasar anak kurang ajar!" cerca Ida.Nah, baru saja selesai ngomong. Manusia itu sudah memergokiku kala aku menuruni tangga rumah. Aku sengaja menulikan telingaku, seakan ta
Larut malam, Revista baru sampai di rumah. Rasanya sangat lelah setelah menempuh perjalanan panjang. Ia ingin bergegas beristirahat dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Tatkala dia membuka pintu kamarnya, dia dikejutkan oleh Dion yang telah stand by menunggunya. Raut wajah Dion tampak buruk kala mamandang Revista. Dion tampak tidak senang dan menekuk wajahnya sembari melipat kedua lengannya."Kakak ipar, kau mengejutkanku. Kenapa kau bisa ada di ... .""Kau terlambat." Dion memotong ucapan Revista dengan nada bicara ketusnya. Tatapannya menggelap. Dion tampak menakutkan dengan ekspresinya saat ini. "Emm, Sayang. Apa kau marah?" Revista berusaha menggoda Dion agar kemarahannya mereda. Revista meliuk-liukkan tubuhnya seraya berjalan menghampiri Dion. Ia duduk di pangkuan Dion sembari menatapnya penuh dengan hasrat."Karena sudah terlambat, maka terima hukumanmu!" Dion menyeret lengan Revista dan melemparkan tubuhnya ke atas kasur dengan cara kasar. Beruntung, Revista dilemparkan ke kas
Setelah dokter memeriksaku dengan benar, akhirnya aku pun berpamitan kepadanya untuk pulang. Awalnya dojter itu menyuruhku untuk menginap semalam. Akan tetapi, aku menolaknya dengan alasan tidak ingin membuat ibuku mengkhawatirkanku.Dokter tidak punya alasan lain untuk menolak permintaanku. Dokter pun mengizinkanku untuk pulang. Setelah itu dokter pun pergi dari ruangan.Beberapa saat kemudian, pria yang menolongku itu masuk. Aku pun segera menanyakan dimana pakaianku kepadanya. Namun dia menjawab bahwa pakaian sudah dibuangnya karena sudah tak layak pakai.Apa?Tidak layak pakai?Apa maksudnya bajuku itu jelek?Dia menghina cara berpakaianku?Aku pun hanya bisa mengernyitkan kedua alisku ketika mendengar perkataan dari pria itu. Lagian bisa-bisanya dia membuang pakaianku begitu saja tanpa izin dariku terlebih dahulu. "Ini. Kau bisa pakai ini!" ucap pria itu sembari memberiku sebuah tas belanja.Aku mengintip sedikit ke dalam tas belang itu. Aku masih ragu-ragu untuk menerima pember
"Apa kau tahu penyakit lain yang kau derita?" tanya dokter itu kepadaku."Ada apa denganku, Dok? Apa aku mengidap penyakit parah?" Revista bertanya balik dengan tatapan nanarnya. "Bukan penyakit serius, tapi tidak parah. Kulitmu rentan dengan air hujan. Ketika kau menyentuh air hujan, maka kau bisa langsung menggigil kedinginan dan seluruh tubuhmh akan dipenuhi ruam merah. Dan kemungkinan terburuknya, kau bisa koma selama beberapa lama, hingga ruam di tubuhmu menghilang sepenuhnya," jelasnya panjang lebar kepada doktor itu."Aneh sekali. Aku baru mendengar ada penyakit seperti itu. Apa itu artinya ... aku alergi air hujan?" tanya Revista penasaran.Revista tetap merasa tidak mengerti dengan penjelasan dokter mengenai penyakitnya aat itu. Bisa-bisanya ada manusia yang alergi air hujan. Apa yang dikatakan dokter itu benar?"Benar. Kau tidak boleh terkena air hujan." Dokter itu menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam otak Revista."Woah. Yang benar saja." Revista tak habis pikir dengan ke
"Lalu, jika aku baik-baik saja, kenapa kau tidak membawaku ke rumah saja?" tanyaku dengan alis yang dikerutkan.Aku masih saja curiga dengan niat pria yang membawaku ke rumahnya. Benar kan? Seharusnya jika tahu aku pingsan, kenapa tidak langsung memmbawaku ke rumah sakit saja? Ini malah ke rumahnya, dan bahkan kamarnya. Aku tidak bisa percaya begitu saja dan harus curiga. Dia bukanlah orang yang kukenal, aku tidak bisa percaya begitu saja dengan orang asing tanpa syarat.Pria itu hanya terhening dan tidak menjawabku. Hal itu yang membuatku semakin mencurigainya. Dia hanya terus menatapku dengan tatapan aneh dan dingin. Aku yang ditatapnya seperti itu pastilah sangat ketakutan dibuatnya. Tatapannya itu sangat ganas seperti serigala yang ingin memangsa domba kecil.Ya tuhan, tolong aku! Bawa aku keluar dari sini secara teleportasi. Tatapan dinginnya itu semakin lama akan membunuhku cepat atau lambat. Tuhan, maafkan aku yang bermental domba ini.Aku merasa sangat aneh dan ketakutan ketika
Pertanyaan yang tersimpan dalam benakku, sengaja kuurungkan. Sebab, aku rasa tak pantas menanyakan pertanyaan sensitif di awal pertemuan. Takut dia berpikir macam-macam."Jadi, apa yang ingin kau tanyakan kepadaku?" tanya pria itu kepadaku.Aku masih terbungkam membisu ketika pria itu bahkan sampai menajamkan netranya, menatap ke arahku. Gea ... Oh Gea ... Ayo katakan dengan tegas!"Begini... Bagaimana bisa aku berada di kamar anda?" tanyaku sembari memejamkan mata karena merasa malu."Oh... Aku kira apaan. Kau sepertinya tidak ingat apapun ya?" tanya pria itu kepadaku dengan heran.Ingat apapun?Apa maksud dari pertanyaannya itu padaku?Memangnya apa yang harus kuingat? Aku benar-benar tidak mengerti dengan pertanyaannya itu. Otakku traveling berfikir ke mana-kemana tentang pertanyaan yang diajukan oleh pria itu kepadaku."Permisi?"Pria itu melambai-lambaikan tangannya ke depan wajahku. Akan tetapi, aku masih sedang berada dalam fantasi lamunanku. Aku tidak sadar jika sedap tadi pr
Aku yang sudah lama tidak sadarkan diri akhirnya bangun setelah beberapa jam. Mataku masih kabur, tidak jelas ketika pertama kali aku membuka mataku. Aku melihat seseorang tengah berdiri di depan jendela dengan samar-samar. Dia adalah seorang pria. Dia tengah melihat ke arah jendela dengan piyama yang dikenakannya.Setelah ia tengah lama berdiri di depan jendela, ia pun akhirnya duduk di salah satu sofa kamar itu. Ia mengambil handphone miliknya dan memeriksa notifikasi yang berbunyi.Aku pun hanya bisa memperhatikan pria itu sambil berbaring di tempat tidurku. Sedangkan pria itu masih sibuk memainkan phonsell miliknya. Sepertinya ia belum sadar jika aku sudah terbangun.Aku juga tidak berani untuk membuka mulutku dan bertanya kepadanya. Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa aku bisa berakhir di tempat asing seperti ini? Bahkan di kamari ada seorang pria muda. Apa yang telah terjadi kepadaku.Oh tidak, tidak mungkin kan.... Tidak! Tentu saja tidak mungkin. Apa dia seorang gigolo?