Tidur Angel tidak nyenyak. Semalam setelah berhasil mengusir Raka dari apartemennya, dia lalu berendam air hangat selama lima belas menit, sebelum akhirnya memutuskan untuk langsung tidur tanpa makan malam. Namun ternyata, tidurnya terus diganggu oleh bayangan peristiwa saat dia berdua di dalam kantor bersama Adam. Termasuk soal bagaimana lelaki itu menyentuhnya, menatapnya, dan betapa dekat posisi mereka semalam, meski kemudian diakhiri oleh kenyataan bahwa semua itu hanya sebuah keisengan belaka. Sebagai penutup, Angel mendapatkan bonus wajah Raka yang berseliweran dengan wajah Lidia, rumah sakit, dan seseorang yang terbaring di atas tempat tidur dengan begitu banyak alat medis yang terpasang. Pukul lima pagi. Angel terbangun dengan kaget, terengah-engah dan gemetaran, tubuh yang basah oleh keringat dan terbelit dalam sprei berbulu favoritnya. "Ya, Tuhan," erangnya, terdiam beberapa saat di atas tempat tidur, sebelum memutuskan untuk mandi dengan air dingin. Di bawah pancuran An
Sesudahnya dari rumah sakit, Angel langsung berangkat kerja. Dengan langkah yakin, dia berjalan memasuki area lobi dan lagi-lagi berhasil menarik sebagian besar perhatian orang-orang yang ada di sana. Meski tetap terlihat mempesona seperti biasa, tapi sebenarnya di dalam hati perempuan itu merasa begitu gugup. Entah mengapa, fakta bahwa hari ini pun dia akan kembali bertemu dengan Adam, memberi sensasi rasa tidak nyaman yang bergolak di dasar perutnya. Mau tidak mau, Angel harus mengakui adanya kegelisahan yang dia rasakan. "Tidak apa-apa," gumamnya. "Ayolah, Angel. Kamu bisa. Kamu pasti bisa melakukannya. Dia hanya seorang lelaki arogan yang suka bertindak seenaknya, yang kebetulan saja menjadi atasanmu. Tidak ada yang perlu kamu takutkan, Angel. Tunjukkan kemampuanmu. Oke?" Setidaknya ada waktu lima menit penuh yang dihabiskan Angel untuk berkomat-kamit sendiri. Namun kenyataannya ketika dia menunggu di depan lift bersama dengan beberapa pegawai yang lain, perempuan itu mendapat
Hari masih pagi, tapi Lidia nampak begitu muram. Dalam lima menit terakhir, entah sudah berapa kali perempuan itu menghela napas berat. Tidak perlu untuk diragukan lagi, bahkan dalam sekali lihat saja semuanya sudah jelas bahwa ada hal berat yang tengah dia pikirkan. "Ada apa, Nak?" Lidia sedikit kaget ketika mendengar suara yang bertanya itu. Sesaat dia hanya bisa terdiam, sewaktu Kharisma Mihru, Ibunya, ternyata sudah berada di sampingnya. "Sejak kapan Ibu ada di sini?" tanyanya, sedikit bergeser untuk memberi tempat bagi Kharisma yang memilih untuk duduk di sebelahnya. "Kenapa Ibu datang tiba-tiba begini? Membuatku kaget saja." "Siapa yang membuatmu kaget, Lid? Ibu tidak bermaksud seperti itu kok." "Tapi tadi—" "Mungkin kamu saja yang terlalu asyik melamun, sehingga tidak menyadari kedatangan Ibu." Tidak ada sanggahan yang diberikan oleh Lidia. Perempuan itu lebih memilih untuk diam, sembari mengamati ikan-ikan yang hilir mudik dalam kolam yang terdapat di halaman belakang.
Rupanya, tekad baja merupakan nama tengah bagi Angel. Tidak ada kata menyerah sebelum perang dalam kamusnya. Jadi, inilah dia sekarang. Pukul sepuluh kurang lima belas menit. Angel sudah berhasil menyelesaikan laporan legal, memeriksa dan menyusun ulang semua laporannya kemarin ke dalam beberapa jilid yang rapi, lalu dia juga selesai mempersiapkan tabel-tabel, portofolio dan materi slide yang atasannya perlukan. Dia sedang memastikan bahwa segala hal yang diperlukan sudah siap tertata di ruang konferensi di lantai sembilan belas. Itu adalah ruang yang rencananya akan Adam gunakan untuk presentasi pagi ini. Sebagai tambahan, Angel bahkan sudah menyiapkan kopi dan camilan ringan untuk semua orang. Perempuan itu memang belum pernah mengikuti rapat yang Adam pimpin. Namun Angel memiliki firasat bahwa selain akan berlangsung lama, rapat itu sangat membosankan dan yang pastinya terasa kaku. Tidak perlu diragukan kalau seluruh peserta rapat akan merasa stres. Oleh karena itulah, Angel se
"Anda terlambat, Miss Angel, dan seingat saya, ini sudah yang kedua kalinya dalam dua hari ini."Angel baru saja memasuki ruang konferensi di lantai enam, ketika mendapatkan sambutan yang menyenangkan seperti itu. Satu tangannya mengepit setumpuk map, sementara tangan yang lain bersusah payah mendorong kereta yang berisi minuman dan makanan bagi peserta rapat."Rasa-rasanya, saya sudah memberi tahu kepada Anda kalau presentasi akan dimulai pukul sepuluh lebih tiga puluh menit kan? Padahal pukul sepuluh kurang lima tadi saya sudah sengaja menemui Anda untuk mengingatkan soal tersebut, tapi lihat. Anda malah terlambat selama—" Adam melirik ke arah jam tangannya. "—tujuh menit."Ya, Tuhan. Ada apa sebenarnya dengan lelaki itu?Lihat saja lagaknya sekarang. Duduk di kursinya seperti orang tanpa dosa, memasang senyuman yang menyebalkan, dan dengan sepasang mata dengan warna yang berlainan itu dia memandang Angel. Bukannya gentar, dengan berani Angel malah menatapnya balik. Ada segulung b
"Kenapa dengan wajahmu, Angel?" Yasmin bertanya dengan nada berlebihan. Tidak cukup sampai di situ, dia lalu melihat jam tangan dan kembali berseru, "Ini bahkan masih pagi lho!"Angel melemparkan pandangan membunuh khas miliknya. Ucapan Yasmin tadi seolah benar-benar menggenapkan semua kekesalan dalam dirinya.Masih pagi, katanya? Omong kosong! Sekarang saja mereka sedang berada di kantin untuk makan siang bersama. Ya, Tuhan. Andai saja bisa, mungkin kepala Angel sudah mengepulkan asap karena saking emosinya. Terutama bila dia teringat dengan hasil rapat kemarin siang, yang membuatnya ingin membanting kursi demi bisa meluapkan sedikit amarahnya."Sabar, Angel. Sabar," bisiknya sembari menarik napas dalam-dalam. "Sabar. Orang cantik tidak boleh marah. Nanti bisa muncul keriput di wajah lho.""Wajahmu itu lho, seperti cucian di kos-kosanku yang sudah menumpuk seminggu saja," imbuh Yasmin tanpa dosa. Entah apakah dia sengaja atau memang tidak menyadari, betapa teman di sebelahnya itu su
"Apa Anda bisa melepaskan saya, Pak?"Angel bersungut-sungut karena Adam terus saja mencekal tangannya, sementara mereka berjalan menyusuri koridor menuju lift. Melirik sekilas ke sekeliling, bibirnya pun semakin cemberut karena menyadari bahwa ada begitu banyak pegawai yang memperhatikan mereka berdua. Ya, Tuhan. Tidak lama lagi pasti akan tersebar berita miring soal ini. "Pasti aku akan dianggap sebagai pegawai rendahan yang menggoda atasannya sendiri," gerutunya. "Sekarang saja sudah ada begitu banyak gosip, gara-gara aku mendadak naik jabatan menjadi sekretaris pribadi orang ini. Lalu sekarang, ditambah lagi dengan ini."Oh, ya ampun. Benar-benar kombinasi yang sempurna, pikirnya getir."Bagaimana kalau Anda lepaskan tangan saya, Pak? Sekedar informasi, saya bisa berjalan sendiri tanpa perlu Anda gandeng ter— Aduh!"Angel mengernyit, mengelus-elus ujung hidungnya yang kesakitan dan sedikit memerah. Semula tadi Adam berjalan cepat di depannya, tapi kemudian tiba-tiba berhenti dan
Adam berjalan keluar dari ruang ganti sambil memasang kancing lengan kemejanya. Berada di belakangnya adalah beberapa orang staf butik, yang berusaha mengikuti langkah-langkahnya yang lebar. Entah mengapa, selain terlihat begitu bersemangat, lelaki itu juga seperti terburu-buru. "Sekarang beri tahu aku, bagaimana pendapatmu dengan setelan yang in—" Lelaki itu terdiam. Kedua alisnya mencuram, sementara sepasang mata yang memiliki dua warna itu pun menyorot tajam. "Ke mana—" gumamnya, seraya menelusuri ruang tunggu yang kini kosong. Adam lalu menoleh ke arah staf butik dan bertanya, "Ke mana perempuan yang tadi duduk di sini?" "Eh?" Para staf butik itu terlihat bingung dan saling melemparkan pandangan. Jelas sekali kalau mereka pun sama tidak tahunya. "Maaf, Pak, tapi kami juga tidak terlalu memperhatikannya. Jadi—" Salah satu staf yang tadi menjawab pun kini terdiam dan meneguk ludah. Sepasang mata yang tengah menatapnya itu terlihat begitu mengancam, seperti pandangan seekor b