Adam berjalan keluar dari ruang ganti sambil memasang kancing lengan kemejanya. Berada di belakangnya adalah beberapa orang staf butik, yang berusaha mengikuti langkah-langkahnya yang lebar. Entah mengapa, selain terlihat begitu bersemangat, lelaki itu juga seperti terburu-buru. "Sekarang beri tahu aku, bagaimana pendapatmu dengan setelan yang in—" Lelaki itu terdiam. Kedua alisnya mencuram, sementara sepasang mata yang memiliki dua warna itu pun menyorot tajam. "Ke mana—" gumamnya, seraya menelusuri ruang tunggu yang kini kosong. Adam lalu menoleh ke arah staf butik dan bertanya, "Ke mana perempuan yang tadi duduk di sini?" "Eh?" Para staf butik itu terlihat bingung dan saling melemparkan pandangan. Jelas sekali kalau mereka pun sama tidak tahunya. "Maaf, Pak, tapi kami juga tidak terlalu memperhatikannya. Jadi—" Salah satu staf yang tadi menjawab pun kini terdiam dan meneguk ludah. Sepasang mata yang tengah menatapnya itu terlihat begitu mengancam, seperti pandangan seekor b
Raka mungkin saja merasa tidak suka dengan hal yang kini terjadi, tapi bukan berarti dia bodoh.Lelaki yang ada di depannya ini memang baru pertama kali dia temui. Namun melihat dari penampilannya, Raka tahu bahwa lawannya ini jelas bukan orang sembarangan.Apalagi kalau melihat bagaimana reaksi Angel saat ini, yang seolah berusaha memberinya peringatan. Meski masih belum sepenuhnya yakin, setidaknya Raka sedikit bisa menebak siapa lelaki yang memiliki warna mata yang berlainan itu. "Maafkan apabila saya sudah bersikap tidak sopan," ujarnya kemudian, menyuguhkan seulas senyuman bisnis. "Tapi saya mengenal Miss Angel dan mengira kalau dia sedang dalam masalah."Sementara Raka berusaha bersikap sebiasa mungkin, di sisi lain diam-diam Angel menghela napas panjang. Sekarang dia sudah bisa merasa lebih lega. Ya, Tuhan. Syukurlah.Rasanya benar-benar seperti sebuah keajaiban karena Raka tidak langsung mengamuk saat melihatnya bersama Adam. Padahal tadi dia sudah sangat khawatir. Meski, y
Jelas ada sesuatu yang salah, tapi apa?Angel merenung sembari berbaring di atas tempat tidurnya. Ingatan saat Adam yang membawanya ke rumah sakit tadi siang, kembali menghambur memenuhi pikiran."Ada apa sebenarnya dengan lelaki itu, sih?" gumamnya, teringat dengan begitu perhatian atasannya atas kondisi kaki Angel yang terkilir. "Padahal biasanya dia selalu bersikap menyebalkan, kenapa tadi tiba-tiba jadi berubah? Membuatku bingung saja."Dalam benaknya, semula Angel memikirkan kalau Adam tidak akan peduli sama sekali dan bahkan mungkin akan tega menyeretnya kembali untuk bekerja. Namun nyatanya, tidak."Apakah tadi aku terlihat begitu menyedihkan, sampai-sampai lelaki yang biasanya gila itu akhirnya kasihan?"Pergelangan kakinya sekilas berdenyut sakit, membuat Angel mengernyit.Oh, ya ampun. Padahal tadi dia sempat berdebat sewaktu Adam memberinya libur. Angel sangat yakin bahwa terkilir yang dialaminya ini tidak terlalu parah, tapi rupanya tidak begitu.Sekarang, kakinya itu just
Selama tiga hari ini Adam mempelajari semua data dan laporan yang ada dengan sangat teliti, dan menemukan kejanggalan pada data Sandira Enterprise yang Dimas berikan kepadanya. Perusahaan yang bergerak di bidang hiburan tersebut memang mengalami perkembangan pesat dalam satu tahun terakhir. Secara persentase, peningkatan yang dicapai memang terbilang cukup tinggi. Namun apabila dihitung berdasarkan value uang yang masuk, maka hal tersebut tidak bisa dikatakan terlalu signifikan. Pada intinya, Sandira Enterprise memang merupakan perusahaan yang cukup bagus, tapi masih belum memenuhi standar kualifikasi untuk bisa bekerja sama dengan CC. "Lalu, kenapa Sandira Enterprise akhirnya berhasil menjalin kerja sama dengan CC? Bagaimana caranya?" Menghela napas, Adam tidak ingin mengambil asumsi apa pun. Dia menyadari bahwa masih ada banyak data lain yang diperlukan, untuk bisa lebih mengkonfirmasi soal temuannya tersebut. Sambil menyetir mobilnya menuju tempat kerja, Adam menyadari bahwa
"Jadi, bagaimana?"Angel baru saja akan memasukkan sepotong bakso ke mulutnya, ketika Yasmin tiba-tiba bertanya. Mereka sedang berada di kantin, pada jam istirahat makan siang. Sementara Aldi masih sibuk di konter untuk mengambil beberapa makanan pesanannya, maka kedua orang perempuan itu memilih untuk makan terlebih dulu. "Apanya yang bagaimana?""Oh, ayolah." Yasmin bertanya sambil memakan irisan semangkanya. "Kamu sudah tahu kan? Jadi, jangan berpura-pura.""Maksudmu apa sih, Yas? Bicara yang jelas dong. Soal apa yang kamu maksudkan?"Yasmin mendesah, sambil memutar mata. "Bukan 'apa', tapi 'siapa', Angel.""Maksudnya?""Siapa lagi kalau bukan si Bos Tampan itu.""Siapa?""Apa maksudmu dengan bertanya 'siapa'?" serunya, setengah tidak percaya, setengah kesal. "Memangnya, siapa lagi yang menjadi Bosmu, Angel?""Oh."Tidak ada lagi jawaban dari Angel selain satu kata itu, membuat Yasmin akhirnya merasa dongkol. "Bumi kepada Angel, bumi kepada Angel. Haloo! Kamu ini sadar atau tidak
"Masuk.""Ke mana, Pak?""Mau ke mana lagi? Ya masuk ke situ. Masa mau aku yang masukin kamu?"Angel nyaris memukul dahinya. Percakapan mereka saat ini kalau didengar oleh orang lain yang tidak tahu apa-apa, maka pasti akan bisa menimbulkan suatu kesalahpahaman."Paling tidak Anda bisa memberi tahu saya dulu, kita ini mau ke mana, Pak?" gerutu Angel, yang akhirnya menurut untuk masuk dan duduk di bangku penumpang depan. "Apa Anda ini memang mempunyai kebiasaan untuk menyeret-nyeret orang dengan seenaknya pada saat jam makan siang?""Bukan orang," jawab Adam, sembari duduk di bangku pengemudi. Lalu seperti sudah menjadi sebuah kebiasaan, dia lantas memastikan ulang sabuk pengaman yang sudah Angel pakai. "Tapi cuma kamu.""Saya ini kan, juga orang, Pak! Memangnya Bapak kira saya ini sejenis mahkluk halus?""Benarkah? Kalau begitu, kenapa kamu suka sekali menyusup, Miss Angel?"Angel seketika terdiam. Adam sendiri seperti sama sekali tidak menyadari reaksi sekretarisnya, yang kini menega
Angel masih sempat untuk mengedarkan pandangan. Matanya berbinar, memandang kagum setiap detail desain interior yang begitu mewah dan elegan. "Kenapa kita berada di butik, Pak?" tanyanya, terlihat bagai anak hilang dengan sikapnya yang terus menoleh kian kemari. Syukurlah Adam terus menggandengnya, sebab kalau tidak maka Angel bisa saja menabrak-nabrak. "Wah, butik ini rasanya bahkan lebih mewah daripada yang tempo hari." "Ini ... butik apa, Pak? Apa Anda akan memesan baju di sini? Ah, saya tahu. Bukankah acara pesta Beaumont akan diselenggarakan dua hari lagi? Jadi, apakah Anda akan memesan setelan untuk acara tersebut? Tapi bukankah seharusnya Anda sudah melakukannya jauh-jauh hari dan tidak mendadak seperti ini, Pak? Lalu, kenapa malah—" Mata Angel melebar, tubuhnya menegang dan perempuan itu pun sontak menahan napas. Reaksinya itu bukan tanpa alasan, sebab dengan tiba-tiba Adam sudah meraih tengkuknya dan menarik Angel mendekat. Wajah mereka kini hanya terpisah oleh sedikit j
Ada yang berbeda dengan Raka. Lidia menemukan bahwa belakangan ini suasana hati suaminya seperti sedang gembira. Paling tidak, dia kerap kali melihat lelaki itu senyum-senyum sendiri."Apalagi kalau Mas Raka sudah memegang ponselnya," gumam Lidia, mau tidak mau mulai bertanya-tanya atas perubahan sikap dari suaminya itu. "Ada apa, ya? Apakah terjadi sesuatu yang bagus atau jangan-jangan—"Menarik napas dalam-dalam, Lidia berusaha mengusir pikiran-pikiran buruknya yang tidak berdasar."Ah, tidak. Tidak boleh. Aku tidak boleh bersikap berlebihan lagi seperti dulu." Lidia mendesah dan menggeleng. "Mas Raka benar, aku seharusnya bisa lebih percaya padanya."Sepulang dia dari rumah Ibunya tempo hari, Lidia memberanikan diri untuk bicara berdua saja dengan suaminya. Setidaknya dengan begitu mereka bisa berbincang-bincang dari hati ke hati.Mulanya Raka terlihat begitu enggan. Lelaki itu bahkan bersikap cuek, seolah benar-benar tersinggung atas tindakan Lidia yang pergi ke rumah Ibunya tanp