"Masuk.""Ke mana, Pak?""Mau ke mana lagi? Ya masuk ke situ. Masa mau aku yang masukin kamu?"Angel nyaris memukul dahinya. Percakapan mereka saat ini kalau didengar oleh orang lain yang tidak tahu apa-apa, maka pasti akan bisa menimbulkan suatu kesalahpahaman."Paling tidak Anda bisa memberi tahu saya dulu, kita ini mau ke mana, Pak?" gerutu Angel, yang akhirnya menurut untuk masuk dan duduk di bangku penumpang depan. "Apa Anda ini memang mempunyai kebiasaan untuk menyeret-nyeret orang dengan seenaknya pada saat jam makan siang?""Bukan orang," jawab Adam, sembari duduk di bangku pengemudi. Lalu seperti sudah menjadi sebuah kebiasaan, dia lantas memastikan ulang sabuk pengaman yang sudah Angel pakai. "Tapi cuma kamu.""Saya ini kan, juga orang, Pak! Memangnya Bapak kira saya ini sejenis mahkluk halus?""Benarkah? Kalau begitu, kenapa kamu suka sekali menyusup, Miss Angel?"Angel seketika terdiam. Adam sendiri seperti sama sekali tidak menyadari reaksi sekretarisnya, yang kini menega
Angel masih sempat untuk mengedarkan pandangan. Matanya berbinar, memandang kagum setiap detail desain interior yang begitu mewah dan elegan. "Kenapa kita berada di butik, Pak?" tanyanya, terlihat bagai anak hilang dengan sikapnya yang terus menoleh kian kemari. Syukurlah Adam terus menggandengnya, sebab kalau tidak maka Angel bisa saja menabrak-nabrak. "Wah, butik ini rasanya bahkan lebih mewah daripada yang tempo hari." "Ini ... butik apa, Pak? Apa Anda akan memesan baju di sini? Ah, saya tahu. Bukankah acara pesta Beaumont akan diselenggarakan dua hari lagi? Jadi, apakah Anda akan memesan setelan untuk acara tersebut? Tapi bukankah seharusnya Anda sudah melakukannya jauh-jauh hari dan tidak mendadak seperti ini, Pak? Lalu, kenapa malah—" Mata Angel melebar, tubuhnya menegang dan perempuan itu pun sontak menahan napas. Reaksinya itu bukan tanpa alasan, sebab dengan tiba-tiba Adam sudah meraih tengkuknya dan menarik Angel mendekat. Wajah mereka kini hanya terpisah oleh sedikit j
Ada yang berbeda dengan Raka. Lidia menemukan bahwa belakangan ini suasana hati suaminya seperti sedang gembira. Paling tidak, dia kerap kali melihat lelaki itu senyum-senyum sendiri."Apalagi kalau Mas Raka sudah memegang ponselnya," gumam Lidia, mau tidak mau mulai bertanya-tanya atas perubahan sikap dari suaminya itu. "Ada apa, ya? Apakah terjadi sesuatu yang bagus atau jangan-jangan—"Menarik napas dalam-dalam, Lidia berusaha mengusir pikiran-pikiran buruknya yang tidak berdasar."Ah, tidak. Tidak boleh. Aku tidak boleh bersikap berlebihan lagi seperti dulu." Lidia mendesah dan menggeleng. "Mas Raka benar, aku seharusnya bisa lebih percaya padanya."Sepulang dia dari rumah Ibunya tempo hari, Lidia memberanikan diri untuk bicara berdua saja dengan suaminya. Setidaknya dengan begitu mereka bisa berbincang-bincang dari hati ke hati.Mulanya Raka terlihat begitu enggan. Lelaki itu bahkan bersikap cuek, seolah benar-benar tersinggung atas tindakan Lidia yang pergi ke rumah Ibunya tanp
Sementara itu, Raka mengendarai mobilnya dengan perasaan kesal."Padahal tadi aku sedang asyik membayangkan bersenang-senang bersama Baby," gerutunya. "Tapi Lidia malah tiba-tiba datang dan mengganggu. Menyebalkan sekali."Selama beberapa hari ini, suasana hati Raka sedang bagus. Itu karena pertemuannya dengan Angel beberapa hari lalu, tepat setelah kekasihnya itu baru selesai mandi.Waktu itu Raka memang sengaja datang ke apartemen kekasihnya, tanpa menelepon terlebih dulu. Selain karena rasa kangennya, ada hal lain yang sebenarnya ingin dia tanyakan. Namun ternyata, pemandangan yang menyambutnya benar-benar di luar dugaan. "Baby benar-benar terlihat seksi sekali. Dengan hanya dibalut handuk, apalagi tubuh dan rambutnya masih basah seperti itu. Ah, sial! Sekedar mengingatnya saja sudah membuatku bergairah."Raka menyeringai. Dia bisa merasakan miliknya di bawah sana sudah kembali menegang, sehingga terasa tidak nyaman. "Oh, Baby. Selain cantik, kamu juga begitu seksi. Apalagi kala
Ya, ampun. Dia benar-benar dalam masalah. Adam sudah terbangun sejak tiga puluh menit lalu, tapi yang lelaki itu lakukan hingga saat ini hanyalah memandangi langit-langit kamarnya. Meski tidak ingin benar-benar mengakuinya, tapi dia tahu bahwa ada sesuatu yang salah. Menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan secara perlahan, Adam berusaha untuk memilah pikiran dan mengerti dirinya. Namun, ternyata hasilnya tidak terlalu menggembirakan. "Pikiran, kacau. Perasaan, tidak karuan," gumamnya dengan nada menggerutu. "Oh, bagus sekali. Hebat. Selamat atas kebodohanmu, Adam!" Dia lalu cemberut menatap langit-langit kamarnya. Yah, tidak peduli berapa kali Adam mencoba melupakan, tapi ingatan saat kemarin siang dia berada di butik bersama Angel benar-benar tidak mau pergi juga. Adam ingat bahwa ada jeda sesaat sewaktu jantungnya seolah berhenti berdenyut. Saat itu dia bahkan menahan napas dan segala sesuatu di sekitarnya menjadi buram. Waktu pun seakan membeku. Segala hal yang tidak
Ini semua gara-gara gaun putih itu! Dengan garis leher yang menurun rendah, kulit halus leher dan tulang selangka Angel terlihat lebih menonjol. Belum lagi kain putih yang menempel dengan dengan sempurna, membentuk lekuk tubuh yang begitu menggoda itu. Potongan gaun itu sama sekali tidak provokatif, tapi melihat sekretarisnya mengenakan gaun tersebut membuat Adam merasa gerah sendiri. Lalu, sebagai pelengkap atas siksaannya adalah Angel yang membiarkan rambutnya tergerai. Ya, Tuhan. Pasti menyenangkan kalau dia merenggut segenggam rambut itu saat bercinta dengannya.Menghela napas berat, Adam berusaha mengenyahkan bayangan-bayangan yang menyiksa dari dalam pikirannya."Ini pasti akan sulit," gumamnya. "Belum apa-apa saja sudah seperti ini.""Tidak perlu khawatir, Pak," sahut Angel, yang bisa dipastikan salah paham dengan ucapan Adam tadi. "Sekarang saya akan menjelaskan ulang mengenai prosedur yang akan kita lakukan, saat berada di tempat pesta nanti, Pak. Kalau ada yang kurang jel
Rupanya Mr Beaumont tidak main-main untuk urusan pesta yang diselenggarakannya malam ini. Berbagai macam minuman, baik itu alkohol maupun non alkohol, semuanya dituang dan disediakan tanpa henti bagai aliran sungai. Begitu pun berbagai macam hidangan yang tersaji di beberapa meja memanjang, atau di konter-konter yang ditata dengan apik, atau beragam jenis canape yang dihidangkan hilir mudik tanpa henti. Namun tentu pesta ini tidak melulu soal makanan dan minumannya yang berlimpah, tapi juga termasuk para tamu penting yang terlibat. Entah ada berapa banyak tamu undangan yang hadir, tapi yang jelas ballroom hotel yang luas ini pun sampai nyaris terasa padat. "Yang sedang berada di dekat sampanye tower itu adalah Mr Papadakis, Pak. Beliau pemilik dari Papadakis Journal, salah satu akun surat kabar dan media sosial yang terkenal di Chicago. Apabila sedang mengobrol dengan beliau, tolong hindari pembicaraan soal hal-hal pribadi, sebab beliau memiliki ingatan yang cukup kuat. Obrolan ya
Adam baru saja menghabiskan gelas wiski keduanya, sewaktu menyadari bahwa sejak tadi tidak ada kontak sama sekali dari Angel. "Apa dia marah?" gerutunya, mengetuk-ketukkan jari di pinggiran gelas. "Tapi, dia marah soal apa?" Apakah gara-gara ucapan Adam tadi, yang mengatakan bahwa dia masih belum memutuskan soal posisi Angel saat ini? "Masalahnya, aku nyaris tidak tahu apa pun soal dia. Jadi, aku masih belum bisa sepenuhnya menilai." Adam menyergah napas, tiba-tiba saja merasa kesal. "Lagi pula, kenapa sih, dia begitu pemarah kalau denganku? Kenapa dia tidak bisa bersikap lembut dan murah senyum, seperti kalau sedang bersama dengan Dimas? Dengan orang lain saja dia bisa begitu ramah, lalu kenapa tidak denganku? Malah yang ada, dia terlalu banyak membantah dan bertanya." Mendongak, dia memandang langit-langit ballroom yang terlihat begitu megah dan mewah. "Apa yang sedang aku pikirkan?" bisiknya. "Bukankah dia hanya seorang sekretaris? Lalu, kenapa aku sampai harus pusing seperti