Adam baru saja menghabiskan gelas wiski keduanya, sewaktu menyadari bahwa sejak tadi tidak ada kontak sama sekali dari Angel. "Apa dia marah?" gerutunya, mengetuk-ketukkan jari di pinggiran gelas. "Tapi, dia marah soal apa?" Apakah gara-gara ucapan Adam tadi, yang mengatakan bahwa dia masih belum memutuskan soal posisi Angel saat ini? "Masalahnya, aku nyaris tidak tahu apa pun soal dia. Jadi, aku masih belum bisa sepenuhnya menilai." Adam menyergah napas, tiba-tiba saja merasa kesal. "Lagi pula, kenapa sih, dia begitu pemarah kalau denganku? Kenapa dia tidak bisa bersikap lembut dan murah senyum, seperti kalau sedang bersama dengan Dimas? Dengan orang lain saja dia bisa begitu ramah, lalu kenapa tidak denganku? Malah yang ada, dia terlalu banyak membantah dan bertanya." Mendongak, dia memandang langit-langit ballroom yang terlihat begitu megah dan mewah. "Apa yang sedang aku pikirkan?" bisiknya. "Bukankah dia hanya seorang sekretaris? Lalu, kenapa aku sampai harus pusing seperti
"Raka, hentikan.""Apa kamu tahu betapa sakit hatiku, Baby? Melihatmu sedang bersama lelaki lain selain aku, datang bersama ke pesta sambil berpelukan. Menurutmu, bagaimana perasaanku tadi?""Tidak. Aku tidak tahu."Raka menggeram. Emosi yang dia tahan sejak tadi, kini membuat dadanya terasa panas. Matanya menatap tajam ke arah kekasihnya, yang malah terlihat begitu tenang memandangnya balik.Sial! Sial! Sial!Meski sudah berusaha mati-matian pun, bayangan ketika ada lelaki lain yang berjalan bersama Angel sambil memeluk pinggang kekasihnya itu tadi, tidak juga mau menyingkir dari dalam benak Raka."Siapa?" tanya Raka pelan. "Siapa lelaki itu, Baby?""Oh, ayolah. Menurutku, kamu juga sudah tahu siapa dia kan, Raka?" Bukannya menjawab, Angel justru balas bertanya. "Dia atasanku dan aku diberi tugas untuk menemaninya ke pesta ini. Itu saja kok.""Tapi kenapa harus kamu, Baby?""Aku hanya pegawai biasa, Raka. Kalau atasanku memberi perintah, memangnya apa yang bisa aku lakukan selain men
Entah berapa kali sudah Adam memaki. Tujuan awalnya menghadiri pesta ini adalah untuk lebih memperkenalkan diri sebagai pemilik CC, sekaligus untuk menambah lagi kolega bisnis. Namun yang ada, dalam setengah jam terakhir dia malah sibuk berkeliling ke sana kemari hanya demi menemukan keberadaan sekretarisnya. "Sialan kamu, Angel," bisiknya dengan nada gusar. "Pergi ke mana kamu sebenarnya." Area ballroom yang luas tempat pesta diselenggarakan sudah Adam jelajahi di setiap sudutnya, tapi sosok sekretarisnya itu tidak juga terlihat. Adam memang menahan diri untuk tidak bertanya ke orang lain atau meminta untuk memeriksa rekaman CCTV, agar tidak menarik perhatian. "Bisa gawat kalau sampai beredar kabar bahwa aku sedang mati-matian mencari sekretarisku," gerutunya. "Nanti yang ada, aku justru akan dicap sebagai atasan brengsek yang menggoda sekretarisnya sendiri. Sial!" Tadi Dimas juga meneleponnya. Teman sekaligus bawahannya dalam bekerja itu ingin mengetahui, bagaimana perkembang
Rupanya hati Lidia sedang berbunga-bunga. Sejak pergi dari ruangan dengan dinding kaca tadi, segaris senyuman tidak juga lepas dari wajahnya. Entah ruangan apa itu. Pencahayaan di sana bisa dikata nyaris tidak ada karena hanya terbantu oleh lampu malam. Itu pun tidak terlalu terang, sehingga suasana di sana remang-remang.Namun, itu tidak masalah. Setidaknya, Lidia tetap bisa melihat soal siapa yang ada di dalam ruangan, serta apa yang sedang dilakukan. "Mereka pasti terlibat dalam hubungan asmara," bisiknya, tersenyum semakin lebar tatkala teringat saat dia melihat Angel sedang berada dalam pelukan lelaki lain. "Lelaki yang tadi itu, bukankah kalau tidak salah namanya adalah Adam. Adam dan Angel. Ah, benar-benar pasangan yang serasi."Tentu saja pemikiran Lidia tersebut bukan didasari oleh perasaan yang tulus. Dia hanya berpikiran bahwa apabila Angel sudah memiliki kekasih, maka perempuan itu tidak akan lagi menggoda suaminya."Dan Mas Raka juga hanya perlu untuk fokus denganku saj
"Kalau Anda terus seperti itu, Anda bisa ambruk, Pak?""Apa?"Adam melepaskan earbud-nya, lalu menoleh ke sumber gangguan itu. "Apa maksudmu?" tanyanya lagi sambil menatap Dimas dengan tajam. Hari ini adalah hari Minggu dan Adam sedang menikmati Minggu paginya dengan berolah raga di pusat gym langganannya. Sudah dua puluh menit berselang sejak lelaki itu berlari di atas treadmill.Bukannya merasa lelah, yang ada Adam malah terus menambah tanjakan dan kecepatan treadmill yang dia gunakan. Tentu saja, hal tersebut mau tidak mau akhirnya menarik perhatian Dimas, yang juga kebetulan berada di gym yang sama. "Apakah sedang ada masalah, Pak?""Bukan urusanmu.""Apakah ada yang Anda pikirkan?""Sekali lagi, itu bukan urusanmu.""Apakah ada yang sedang mengganggu Anda, Pak?""Untuk yang terakhir kalinya, Dim! Itu. Bukan. Urusanmu!""Apakah ini ada kaitannya dengan Miss Angel, Pak?"Adam terdiam, meski sebenarnya dia merasakan perutnya mengencang ketika mendengar nama itu. Dia pun kembali be
Suasana di rumah sakit pada hari Minggu pagi bisa dikata lebih ramai dari hari biasanya. Namun tetap saja, selalu ada suasana hening tersendiri yang menguasai tempat ini. Pagi-pagi sekali tadi Angel sudah datang ke rumah sakit yang berada di daerah pinggiran kota ini. Seperti biasa, dia membawakan sarapan untuk beberapa petugas medis yang masih berjaga sejak semalam. Beberapa perawat yang mengenalnya memberi sapaan, sementara sisa yang lain berterima kasih atas sarapan yang Angel bawa lalu berbisik bertanya ke salah satu atau dua rekannya soal siapa dia. Itu semua hal yang wajar. Para petugas di sini bahkan sudah terasa bagai kerabat bagi Angel, mengingat bahwa selama dua tahun belakangan ini dia kerap kali berkunjung."Halo, Kak. Aku datang lagi," sapanya, ketika memasuki sebuah kamar rawat bagi pasien ICU. "Bagaimana kabar Kakak hari ini? Apakah sudah lebih baik atau sangat, sangat baik?"Tidak ada suara yang menjawab sapaannya, selain bunyi mesin pernapasan dan pendeteksi denyut
Hari Minggu berlalu bagai sekejap mata dan tiba-tiba saja Senin sudah datang lagi. Senin pagi dan Adam merasa sedikit gugup. Lelaki itu setidaknya perlu untuk berganti pakaian beberapa kali, sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk memakai setelan jasnya yang berwarna abu-abu gelap. Lepas dari masalah baju, urusan untuk memilih dasi yang akan dia kenakan pun tidak lantas menjadi lebih sederhana dan mudah.Lebih dari sekali Adam berniat untuk tidak masuk kerja untuk hari ini. Namun dia tidak sanggup membayangkan bagaimana reaksi Dimas, apabila dia benar-benar melakukannya. Lagi pula, dia akan beralasan apa? "Si bodoh itu pasti akan berpikiran yang tidak-tidak," gerutunya, sudah merasa begitu kesal meski saat hari masih begitu pagi. "Dasar bawahan sok tahu, sok pintar. Bahkan sampai gaya bicaranya pun seolah-olah dia sok benar."Selama nyaris lima belas menit berkutat dengan dasinya sendiri, akhirnya Adam menyerah. Entah ada apa dengan dasi yang pagi ini begitu sulit untuk dipakai
"Pak Adam." Suara Angel yang memanggilnya terasa begitu membius. Paling tidak setengah dari pikiran Adam kosong seketika, sementara sisanya sedang kebingungan sendiri. "Pak? Apakah Anda mendengarkan saya? Pak Adam?" Adam mengerjap. Dia berhasil menahan dirinya agar tidak terlihat terlalu terkejut. "Ya? Eh, apa? Kenapa kamu mrmanggilku terus?" "Anda lebih tinggi dari saya. Jadi, tolong menunduk sedikit," lanjut sekretarisnya itu. "Lihat. Meski saya berjinjit sekalipun, saya masih belum bisa menyamai tinggi Anda, Pak. Jadinya nanti pasti akan sulit." Angel memang sedang berjinjit. Perempuan itu terlihat seperti sedikit kesulitan menyeimbangkan diri di atas heels-nya, sehingga secara reflek Adam memegangi pinggangnya agar dia tidak terjatuh. Hal yang tidak masuk akalnya adalah Adam yang kemudian tiba-tiba menariknya mendekat. Lelaki itu memeluk Angel begitu erat, sehingga tubuh mereka saling menempel. Angel bahkan sampai terpaksa menahan dada Adam dengan kedua tangannya, agar dad