Hari Minggu berlalu bagai sekejap mata dan tiba-tiba saja Senin sudah datang lagi. Senin pagi dan Adam merasa sedikit gugup. Lelaki itu setidaknya perlu untuk berganti pakaian beberapa kali, sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk memakai setelan jasnya yang berwarna abu-abu gelap. Lepas dari masalah baju, urusan untuk memilih dasi yang akan dia kenakan pun tidak lantas menjadi lebih sederhana dan mudah.Lebih dari sekali Adam berniat untuk tidak masuk kerja untuk hari ini. Namun dia tidak sanggup membayangkan bagaimana reaksi Dimas, apabila dia benar-benar melakukannya. Lagi pula, dia akan beralasan apa? "Si bodoh itu pasti akan berpikiran yang tidak-tidak," gerutunya, sudah merasa begitu kesal meski saat hari masih begitu pagi. "Dasar bawahan sok tahu, sok pintar. Bahkan sampai gaya bicaranya pun seolah-olah dia sok benar."Selama nyaris lima belas menit berkutat dengan dasinya sendiri, akhirnya Adam menyerah. Entah ada apa dengan dasi yang pagi ini begitu sulit untuk dipakai
"Pak Adam." Suara Angel yang memanggilnya terasa begitu membius. Paling tidak setengah dari pikiran Adam kosong seketika, sementara sisanya sedang kebingungan sendiri. "Pak? Apakah Anda mendengarkan saya? Pak Adam?" Adam mengerjap. Dia berhasil menahan dirinya agar tidak terlihat terlalu terkejut. "Ya? Eh, apa? Kenapa kamu mrmanggilku terus?" "Anda lebih tinggi dari saya. Jadi, tolong menunduk sedikit," lanjut sekretarisnya itu. "Lihat. Meski saya berjinjit sekalipun, saya masih belum bisa menyamai tinggi Anda, Pak. Jadinya nanti pasti akan sulit." Angel memang sedang berjinjit. Perempuan itu terlihat seperti sedikit kesulitan menyeimbangkan diri di atas heels-nya, sehingga secara reflek Adam memegangi pinggangnya agar dia tidak terjatuh. Hal yang tidak masuk akalnya adalah Adam yang kemudian tiba-tiba menariknya mendekat. Lelaki itu memeluk Angel begitu erat, sehingga tubuh mereka saling menempel. Angel bahkan sampai terpaksa menahan dada Adam dengan kedua tangannya, agar dad
Sejak turun dari mobilnya, garis senyuman tidak juga lepas dari bibir Dimas. Wajahnya terlihat segar, bahkan berbinar. Lelaki itu menyapa petugas keamanan yang berjaga di depan gerbang, tukang kebun yang sedang merawat halaman depan kantor CC, petugas lobi, bahkan semua staf yang berpapasan dengannya. Pokoknya, satu per satu orang yang dia temui, pasti disapa dengan begitu riang. Entah apa yang membuat dia begitu bersemangat. Sejak sepulangnya dari pusat gym kemarin, perasaan Dimas memang sedang bagus. Lelaki itu merasa seolah ada hal menyenangkan yang akan terjadi tidak lama lagi.Ya, Tuhan. Rasanya dia benar-benar sudah tidak sabar. "Selamat pagi, Pak Dimas.""Selamat pagi, Al. Bagaimana kabarmu? Bukankah ini adalah hari yang cerah?"Aldi yang kebetulan saja datang lebih awal, hanya mengangguk menanggapinya. Jarang-jarang dia bisa datang sepagi ini, itu pun hanya karena tidak sengaja terbangun dan tidak bisa tidur lagi. "Kabar saya baik, Pak," jawabnya sambil berusaha keras mena
Angel mengira kalau dia akan segera tamat begitu menginjakkan kaki di ruang kantor. Namun ternyata, tidak. Tadi dia sempat berkomat-kamit selama beberapa detik terlebih dulu, sebelum akhirnya membuka pintu dan melangkah masuk. Pintu ke ruang kantor Adam tertutup dan tidak ada suara-suara yang terdengar dari dalam. Mungkinkah atasannya itu sedang tidak berada di tempat? Lalu kalau begitu, kemana Adam pergi?Hei, bukankah ini artinya dia beruntung? "Oh, ya ampun. Tadi saja dia yang berteriak-teriak soal terlambat masuk kerja, tapi lihat! Nyatanya dia malah belum ada di ruangannya."Angel duduk di atas kursinya dengan menggerutu. Dia setengah kesal terhadap dirinya yang tadi sudah sempat ketakutan sendiri."Dasar bodoh kamu, Angel," gumamnya, mengomel sendiri sambil membuka lacinya dan mengeluarkan bungkusan plastik berisi permen cokelat. "Kenapa masih saja bisa terkecoh dengan ulah lelaki gila itu? Lagi pula, apa yang perlu kamu takutkan darinya? Dasar lelaki egois, keras kepala, suk
Semburan suara tawa Yasmin berhasil menggenapkan rasa kesal Angel. "Bisa diam tidak sih, Yas?" tanyanya dengan nada sewot, menyeruput es Cappucino-nya dengan kekuatan berlebih. Bukannya berhenti, Yasmin justru tertawa semakin keras. Dia seolah tidak peduli meski kelakuannya itu berhasil menarik perhatian beberapa rekan kerja yang juga sedang menikmati waktu makan siang di kantin. Perempuan itu baru berhenti ketika dia tersedak hingga terbatuk-batuk. Dengan terburu-buru Yasmin menyambar gelas berisi es teh milik Aldi yang duduk di depannya, lalu menghabiskannya begitu saja."Rasain!" Angel mendesis penuh dendam, membuat Yasmin melotot ke arahnya sebagai balasan. "Ada temannya kesusahan kok malah ditertawakan. Itu namanya azab menertawakan penderitaan teman, Yas!""Semprull!""Kamu tuh!""Aku mau pesan seblak, nih. Siapa yang mau nitip?"Terima kasih kepada Aldi. Lelaki itu bisa mencium pertanda terjadinya Perang dunia ke lima antara Angel dan Yasmin, sehingga memutuskan untuk mengal
Angel sampai di lobi dengan napas terengah. Demi memenuhi perintah Adam, tadi dia terpaksa berlari-lari dari kantin menuju lift, kemudian kembali berlari dari lift menuju lobi. Ya, Tuhan. Perutnya bahkan belum terisi makan siang, tapi dia sudah harus mengeluarkan banyak tenaga seperti ini.Kalau istilahnya sekarang: lemas, Bestie."Tiga menit, Miss Angel.""Ha? Ya, Pak?""Bukankah tadi aku menyuruhmu untuk datang dalam lima menit? Sekarang sudah pukul satu siang lebih dua puluh delapan menit. Jadi, kamu terlambat tiga menit."Angel belum sanggup untuk menjawab. Dia masih berusaha mengais udara, demi mengurangi rasa sesak akibat berlarian tadi. Namun, ayolah. Bukankah ini sudah berlebihan?Memang ada beberapa kantin karyawan yang tersedia di kantor CC. Hal yang wajar, sebab gedung itu sendiri terdiri dari dua puluh dua lantai. Kantin pertama terdapat di lantai basemen, kantin berikutnya masing-masing berada di lantai lima dan sepuluh, sementara kantin para eksekutif terletak di lant
"Beri tahu aku.""Ya?""Aku membutuhkan rekomendasi darimu, Miss Angel.""Iya, tapi soal apa, Pak? Rekomendasi tentang apa dulu? Jangan bertanya yang aneh-aneh lho, Pak."Bahkan sambil tetap fokus menyetir, Adam masih sempat menjentikkan jarinya ke dahi Angel. "Aduh, Pak. Apa-apaan, sih?" Angel menggerutu. Dia juga segera menutupi dahinya seolah khawatir kalau Adam akan melakukannya lagi. "Kalau isi kepala saya jadi kopyor gara-gara terlalu sering Anda jentik seperti tadi, bagaimana?""Salahmu sendiri.""Bagaimana ceritanya, kok malah saya yang salah? Kan, Pak Adam yang mulai dul—""Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiranmu selama ini? Memangnya, kamu kira aku lelaki yang seperti apa, ha?"Atasan gila, suka semaunya, keras kepala, tapi yang pasti memang ganteng, sih, cetus Angel seketika dalam hati. Namun tentu saja, dia tidak segila itu untuk mengatakannya. "Pak Adam juga, sih, tidak jelas sama sekali bicaranya," sahut Angel, tidak mau kalah dan langsung balas mengomel. "Bukannya
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan?" Adam berhasil mengejar Angel dan mencekal lengan perempuan itu. "Kenapa kamu pergi begitu saja? Apa kamu marah denganku?"Angel tidak langsung menjawab. Dia memandang ke arah lengannya yang dipegang Adam, baru kemudian menatap wajah atasannya itu. "Tidak, Pak," jawabnya. "Saya memang kerap kali merasa kesal kepada Anda, tapi tidak sampai marah.""Lalu, kenapa kamu pergi? Apakah ada masalah?""Tidak ada.""Oke." Adam mengangguk. "Kalau begitu, ayo kita kembali saja ke restoran."Adam sudah setengah menarik lengan Angel, tapi sekretarisnya itu menolak. "Pak, kalau Anda ingin makan siang di sana, silakan. Tapi jangan mengajak saya, ya, Pak.""Kenapa?""Kalau sedang ada kolega yang sedang kita jamu, tidak apa-apa. Saya tidak keberatan menemani Anda, tapi kalau hanya kita berdua saja saya mohon maaf."Adam memejam sesaat. Saat ini ada suatu emosi yang seketika bergolak di dalam dirinya. Entah mengapa, penolakan Angel tersebut membuatnya merasa kecewa.
Halo, Para pembaca. Kisah Adam dan Angel berakhir sampai di sini. Terima kasih atas kesediannya untuk mengikuti kisah ini dan mohon maaf karena sempat vakum cukup lama. Ada satu dan lain hal yang menjadi penyebab, termasuk masalah kesehatan. Semoga kita semua selalu sehat & bahagia, ya. Saya menyadari bahwa karya ini sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu, komentar, masukan, dan saran dari Kakak sekalian sangat saya nanti dan hargai. Sampai bertemu di kisah yang lain. Apabila berkenan, silakan mampir di igeh saya: Rae_1243. Apabila ingin berhubungan melalui wa dengan saya, silakan dm saja. Sekali lagi, terima kasih. Salam sayang, ~Rae~
"Tahanan 2673, silakan ke sini."Lidia berjalan dengan kepala tertunduk. Setelah berada di penjara selama nyaris tiga tahun, kini dia sudah terbiasa dengan panggilan tersebut. Namun langkahnya tiba-tiba saja terhenti, saat dia melihat siapa orang yang datang mengunjunginya."Kamu lagi. Bukankah sudah aku katakan, agar tidak mengunjungiku lagi? Tapi kenapa kamu masih juga datang terus?""Kak Lidia, ish! Jangan bersikap sekasar itu dong. Lihat, Raline jadi kaget.""Kamu juga sih, Lin. Kenapa membawa anak kecil ke penjara?""Memangnya, kenapa? Raline ini juga kan, keponakan Kakak. Lagi pula, nanti juga Kakak akan tinggal bersamanya kan?"Sejenak Lidia terdiam, lalu membuang muka. "Tidak perlu. Lupakan saja omonganmu tadi. Lagi pula, dia pasti malu karena mempunyai bibi mantan napi seperti aku ini.""Siapa bilang? Memangnya, Kakak berpikir aku akan membesarkan putriku seperti apa?""Tapi—""Tujuh tahun lagi Kakak akan bebas. Pada saat itu, aku dan Raline akan datang menjemput Kakak. Titik
Lima menit pertama Angel mengedarkan pandangan. Dia masih berusaha untuk menangkap, apa sebenarnya yang sedang terjadi.Ada Ayahnya, yang berdiri di sebelah Erin. Angel juga bisa melihat teman-teman Ayahnya, yang sebagian besar dulunya merupakan orang-orang yang salah jalan. Lalu juga ada beberapa rekan kerjanya yang dulu seperti Yasmin, Aldi, dan bahkan Pak Dimas. Kemudian Keynan serta Keke.Tidak ada terlalu banyak orang di sana, kemungkinan tidak lebih dari seratus orang. Namun, suasanya begitu meriah.Dekorasi yang ada memang mewah, tapi tidak berlebihan. Ribuan bunga yang menghiasi seluruh penjuru ruangan luas ini dan bahkan sampai menjuntai dari langit-langit, membuat Angel seolah tiba-tiba saja masuk ke sebuah negeri dongeng.Kemudian, kerlip-kerlip apa itu? Terlihat seolah ada jutaan permata yang bersembunyi di balik hiasan bunga.Bahkan sampai ada banyak kupu-kupu yang berterbangan kian kemari. Seekor kupu-kupu berwarna hijau toska kemudian terbang mendekat dan hinggap di at
Terdengar suara desahan dari sepasang bibir Angel.Perempuan itu lebih dalam menyandarkan punggung ke kursi tempatnya duduk, sembari melemparkan pandangan ke arah jendela yang ada di sampingnya. Angel mengamati hamparan awan putih mendominasi. Seketika pikirannya pun kembali melayang ke segala hal yang telah terjadi. Tidak terasa, waktu tiga tahun pun sudah berlalu. "Padahal, rasanya seperti baru kemarin," gumamnya, mendesah. "Tapi syukurlah, setidaknya aku tidak perlu lagi bertemu dengan orang-orang itu."Raka sudah divonis penjara seumur hidup. Dari kabar terakhir yang Angel dengar, lelaki itu terlibat dalam kerusuhan yang terjadi di dalam penjara sampai mengalami luka parah.Namun, ada kabar lain lagi yang lebih mengerikan. Angel mendengar bahwa Raka sampai harus kehilangan kejantanannya. Kejantanan milik lelaki itu rupanya mengalami luka dan infeksi yang didapat dari insiden kerusuhan, sehingga akhirnya terpaksa dipotong. "Ya, Tuhan." Angel berbisik. "Aku tidak bisa membayang
Raka berteriak marah. Sejak tadi dia terus menendang-nendang jeruji besi tempatnya ditahan dan baru berhenti ketika dibentak balik oleh petugas jaga. "Brengsek!" Dia mengumpat, segera setelah petugas jaga pergi. "Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa?"Lelaki itu meremas-remas rambut dengan frustrasi. Dia teringat kembali dengan kejadian yang dialaminya tiga hari lalu.Waktu itu dia baru saja hendak pulang kerja, sewaktu dua orang lelaki yang tidak dikenal datang. Napasnya seketika tercekat, saat salah satu dari mereka menunjukkan surat penangkapan untuknya. Rasanya benar-benar memalukan ketika dia digelandang keluar dari gedung perusahaannya sendiri. Ditambah lagi dengan pandangan para karyawan yang ada, membuat Raka begitu ingin mengubur dirinya sendiri kala itu. "Sialan! Padahal tinggal sedikit lagi semua rencanaku bisa beres." Dia menggerutu. "Tapi kenapa malah jadi begini?"Sekarang Raka benar-benar tidak bisa berkutik. Dia tidak dapat mengelak sewaktu polisi menemukan boto
"Angel, tunggu!" Mobil yang Jalu kendarai masih belum sepenuhnya berhenti, tapi Angel sudah langsung membuka pintu dan meloncat keluar. Perempuan itu seolah tidak ingin membuang waktu dan segera menyeberangi pelataran parkir. "Angel! Tunggu, Nak!" Jalu berseru percuma. Putrinya itu sekarang berlari memasuki rumah sakit tanpa menoleh sedikit pun. Dengan menggerutu, Jalu berusaha mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya. Lelaki itu pun segera berlari, menyusul ke arah putrinya. "Pak Jalu! Terima kasih karena sudah datang secepatnya." Dokter Brian berseru, sambil berlari-lari menyongsong Jalu. "Ada keadaan mendesak yang—" "Saya paham, Dok," potong Jalu segera. "Sebenarnya, apa yang terjadi?" "Ah, itu—" "Ayah!" seru Angel. Dia menarik-narik tangan Ayahnya dengan panik. "Ayah! Ada apa dengan Kak Erin? Kenapa sekarang Kak Erin dipindahkan ke ruang ICU? Lalu, kenapa aku tidak boleh masuk dan melihatnya?" "Angel, tenang dulu. Tenang ya, Nak." "Tapi, Ayah—" "Maaf karena saya menye
Rupanya, Adam yang menelepon. Lelaki itu memberi kabar bahwa Lidia telah memasukkan tuntutan kepada Rama ke meja hijau. Ternyata Lidia memaksa pulang paksa dari rumah sakit adalah demi mencari barang bukti. Hasilnya, dia menemukan beberapa bungkus permen aneh yang seperti beberapa kali pernah dia konsumsi, serta sebotol kecil obat pil yang bisa larut dalam air dengan cepat. "Lalu?" tanya Angel dengan hati berdebar. Berita yang disampaikan Adam kepadanya ini cukup membuatnya tegang. "Dia menghubungiku dan meminta tolong agar semua temuannya itu diperiksa. Hasilnya—" Dari ujung telepon, tarikan napas Adam terdengar begitu jelas. "Apa?" desak Angel. "Hasilnya bagaimana, Adam?" Adam masih sempat menyergah napas, sebelum menjawab, "Permen itu mengandung sejenis zat adiktif, yang apabila dikonsumsi maka akan memberikan efek ketagihan. Namun, ada beberapa zat lain yang juga terdapat di dalamnya. Untuk singkatnya, permen itu bisa dikatakan sebagai obat perangsang." "Obat, apa?" Angel
"Ayah, sudah aku katakan kalau aku baik-baik saja!"Angel merajuk. Dia terlihat sebal dan merasa tidak suka dengan segala hal yang sekarang terpaksa dia jalani. "Lagi pula, apa-apaan sih, semua ini?""Ini untuk berjaga-jaga, Angel," ujar Jalu, dengan sabar mencoba membujuk putrinya. "Jadi, sabar dulu, ya?""Berjaga-jaga bagaimana? Lidia yang pingsan, kenapa aku juga ikut-ikutan diperiksa seperti ini?""Tetap saja, Ayah khawatir, Angel. Apalagi setelah hasil pemeriksaan Lidia akhirnya keluar. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"Angel memukul dahinya. Perempuan itu sekarang sedikit menyesali pertemuannya dengan Lidia tadi siang. Tidak berselang lama setelah Lidia melihat bukti yang disodorkan Adam kepadanya, perempuan itu tiba-tiba saja pingsan. Entah apa yang dia lihat, tapi apa pun itu yang pasti cukup membuat Lidia shok.Mereka tentu merasa panik. Jalu dengan segera membawa Lidia ke rumah sakit terdekat, diikuti oleh Angel dan juga Adam. Sampai kemudian hasil pemeriksaan Lidi
Angel sama sekali tidak percaya dengan hal yang baru saja didengarnya. "Jangan berbohong!" serunya. "Kakakku tidak mungkin melakukan hal yang semacam itu!""Apa kamu kira Kakakmu itu perempuan baik-baik, ha?" Lidia membalas disertai tawa. "Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja langsung kepada Raka. Yang terlebih dulu merebut Raka itu adalah Erin! Jadi, tidak salah kan, kalau aku mengambil kembali apa yang menjadi milikku?"Angel memegang kepalanya yang mendadak pusing. Hal yang diceritakan Lidia ini benar-benar di luar dugaannya. "Aku dan Raka sudah bertunangan dan sebentar lagi kami akan menikah," ujar Lidia lagi. "Lalu Kakakmu tiba-tiba datang dan merusak semuanya. Dia memaksa Raka memutuskan pertunangan kami dan otomatis pernikahan kami pun batal. Saat mendengar soal itu, penyakit jantung Ayahku kumat dan beliau meninggal seketika itu juga. Harta keluargaku habis, sampai aku pun terpaksa melakukan pekerjaan haram demi menghidupi Ibu dan adikku. Keluarga dan kebahagiaanku hancur