Sejak turun dari mobilnya, garis senyuman tidak juga lepas dari bibir Dimas. Wajahnya terlihat segar, bahkan berbinar. Lelaki itu menyapa petugas keamanan yang berjaga di depan gerbang, tukang kebun yang sedang merawat halaman depan kantor CC, petugas lobi, bahkan semua staf yang berpapasan dengannya. Pokoknya, satu per satu orang yang dia temui, pasti disapa dengan begitu riang. Entah apa yang membuat dia begitu bersemangat. Sejak sepulangnya dari pusat gym kemarin, perasaan Dimas memang sedang bagus. Lelaki itu merasa seolah ada hal menyenangkan yang akan terjadi tidak lama lagi.Ya, Tuhan. Rasanya dia benar-benar sudah tidak sabar. "Selamat pagi, Pak Dimas.""Selamat pagi, Al. Bagaimana kabarmu? Bukankah ini adalah hari yang cerah?"Aldi yang kebetulan saja datang lebih awal, hanya mengangguk menanggapinya. Jarang-jarang dia bisa datang sepagi ini, itu pun hanya karena tidak sengaja terbangun dan tidak bisa tidur lagi. "Kabar saya baik, Pak," jawabnya sambil berusaha keras mena
Angel mengira kalau dia akan segera tamat begitu menginjakkan kaki di ruang kantor. Namun ternyata, tidak. Tadi dia sempat berkomat-kamit selama beberapa detik terlebih dulu, sebelum akhirnya membuka pintu dan melangkah masuk. Pintu ke ruang kantor Adam tertutup dan tidak ada suara-suara yang terdengar dari dalam. Mungkinkah atasannya itu sedang tidak berada di tempat? Lalu kalau begitu, kemana Adam pergi?Hei, bukankah ini artinya dia beruntung? "Oh, ya ampun. Tadi saja dia yang berteriak-teriak soal terlambat masuk kerja, tapi lihat! Nyatanya dia malah belum ada di ruangannya."Angel duduk di atas kursinya dengan menggerutu. Dia setengah kesal terhadap dirinya yang tadi sudah sempat ketakutan sendiri."Dasar bodoh kamu, Angel," gumamnya, mengomel sendiri sambil membuka lacinya dan mengeluarkan bungkusan plastik berisi permen cokelat. "Kenapa masih saja bisa terkecoh dengan ulah lelaki gila itu? Lagi pula, apa yang perlu kamu takutkan darinya? Dasar lelaki egois, keras kepala, suk
Semburan suara tawa Yasmin berhasil menggenapkan rasa kesal Angel. "Bisa diam tidak sih, Yas?" tanyanya dengan nada sewot, menyeruput es Cappucino-nya dengan kekuatan berlebih. Bukannya berhenti, Yasmin justru tertawa semakin keras. Dia seolah tidak peduli meski kelakuannya itu berhasil menarik perhatian beberapa rekan kerja yang juga sedang menikmati waktu makan siang di kantin. Perempuan itu baru berhenti ketika dia tersedak hingga terbatuk-batuk. Dengan terburu-buru Yasmin menyambar gelas berisi es teh milik Aldi yang duduk di depannya, lalu menghabiskannya begitu saja."Rasain!" Angel mendesis penuh dendam, membuat Yasmin melotot ke arahnya sebagai balasan. "Ada temannya kesusahan kok malah ditertawakan. Itu namanya azab menertawakan penderitaan teman, Yas!""Semprull!""Kamu tuh!""Aku mau pesan seblak, nih. Siapa yang mau nitip?"Terima kasih kepada Aldi. Lelaki itu bisa mencium pertanda terjadinya Perang dunia ke lima antara Angel dan Yasmin, sehingga memutuskan untuk mengal
Angel sampai di lobi dengan napas terengah. Demi memenuhi perintah Adam, tadi dia terpaksa berlari-lari dari kantin menuju lift, kemudian kembali berlari dari lift menuju lobi. Ya, Tuhan. Perutnya bahkan belum terisi makan siang, tapi dia sudah harus mengeluarkan banyak tenaga seperti ini.Kalau istilahnya sekarang: lemas, Bestie."Tiga menit, Miss Angel.""Ha? Ya, Pak?""Bukankah tadi aku menyuruhmu untuk datang dalam lima menit? Sekarang sudah pukul satu siang lebih dua puluh delapan menit. Jadi, kamu terlambat tiga menit."Angel belum sanggup untuk menjawab. Dia masih berusaha mengais udara, demi mengurangi rasa sesak akibat berlarian tadi. Namun, ayolah. Bukankah ini sudah berlebihan?Memang ada beberapa kantin karyawan yang tersedia di kantor CC. Hal yang wajar, sebab gedung itu sendiri terdiri dari dua puluh dua lantai. Kantin pertama terdapat di lantai basemen, kantin berikutnya masing-masing berada di lantai lima dan sepuluh, sementara kantin para eksekutif terletak di lant
"Beri tahu aku.""Ya?""Aku membutuhkan rekomendasi darimu, Miss Angel.""Iya, tapi soal apa, Pak? Rekomendasi tentang apa dulu? Jangan bertanya yang aneh-aneh lho, Pak."Bahkan sambil tetap fokus menyetir, Adam masih sempat menjentikkan jarinya ke dahi Angel. "Aduh, Pak. Apa-apaan, sih?" Angel menggerutu. Dia juga segera menutupi dahinya seolah khawatir kalau Adam akan melakukannya lagi. "Kalau isi kepala saya jadi kopyor gara-gara terlalu sering Anda jentik seperti tadi, bagaimana?""Salahmu sendiri.""Bagaimana ceritanya, kok malah saya yang salah? Kan, Pak Adam yang mulai dul—""Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiranmu selama ini? Memangnya, kamu kira aku lelaki yang seperti apa, ha?"Atasan gila, suka semaunya, keras kepala, tapi yang pasti memang ganteng, sih, cetus Angel seketika dalam hati. Namun tentu saja, dia tidak segila itu untuk mengatakannya. "Pak Adam juga, sih, tidak jelas sama sekali bicaranya," sahut Angel, tidak mau kalah dan langsung balas mengomel. "Bukannya
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan?" Adam berhasil mengejar Angel dan mencekal lengan perempuan itu. "Kenapa kamu pergi begitu saja? Apa kamu marah denganku?"Angel tidak langsung menjawab. Dia memandang ke arah lengannya yang dipegang Adam, baru kemudian menatap wajah atasannya itu. "Tidak, Pak," jawabnya. "Saya memang kerap kali merasa kesal kepada Anda, tapi tidak sampai marah.""Lalu, kenapa kamu pergi? Apakah ada masalah?""Tidak ada.""Oke." Adam mengangguk. "Kalau begitu, ayo kita kembali saja ke restoran."Adam sudah setengah menarik lengan Angel, tapi sekretarisnya itu menolak. "Pak, kalau Anda ingin makan siang di sana, silakan. Tapi jangan mengajak saya, ya, Pak.""Kenapa?""Kalau sedang ada kolega yang sedang kita jamu, tidak apa-apa. Saya tidak keberatan menemani Anda, tapi kalau hanya kita berdua saja saya mohon maaf."Adam memejam sesaat. Saat ini ada suatu emosi yang seketika bergolak di dalam dirinya. Entah mengapa, penolakan Angel tersebut membuatnya merasa kecewa.
Selama ini, Adam selalu yakin kalau dia bisa memegang kendali penuh atas dirinya. Segala jenis keputusan yang diambil, selalu dia laksanakan tanpa ada rasa keraguan sedikit pun. Bahkan saat dia menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, Adam tidak pernah menyangsikan kemampuan dirinya. Dia adalah orang yang tidak pernah mengambil keputusan yang tidak rasional. Dia adalah seseorang yang teguh dan juga mandiri. Adam juga bukan pribadi yang mudah terpengaruh oleh hal apa pun. Bisa dikata, Adam Alexei Agentine adalah sosok lelaki yang setegar batu karang. Namun kalau begitu, sekarang ini apa yang sedang dia lakukan? "Apakah Anda suka dengan yang pedas atau tidak, Pak?" Angel bertanya dengan wajah ceria. Perempuan itu berseru kepadanya dari tempat pedagang pinggir jalan yang menjual hotdog dan aneka jajanan lain berbahan sosis. "Antara cheese dog atau chili dog, mana yang lebih ingin Anda makan?" Bagaimana dengan salmon yang disajikan di atas daun arugula, pasta dengan saus toma
Bagaimana kalau dia membantu Angel membersihkan lelehan saus yang bercampur mayonaise itu? Adam mendapati dirinya meneguk ludah. Entah mengapa, saat ini tenggorokannya tiba-tiba saja terasa begitu kering. Apakah secara mendadak cuaca menjadi lebih panas, ya? Sebab rasa-rasanya Adam merasa lebih gerah. Lelaki itu lantas melonggarkan simpulan dasinya dan membuka kerah kemeja paling atas, tapi sepertinya hal tersebut tidak cukup membantu. Apalagi bila melihat Angel saat ini. Menyadari sausnya yang tumpah, perempuan itu memutuskan untuk segera menghabiskan sisa hotdog-nya. Namun, ternyata itu bukanlah hal yang mudah. Masih ada sisa hotdog separuh lebih dan sepertinya mulut Angel termasuk mungil, sehingga tidak muat untuk memasukkan semuanya. Masalahnya, gara-gara melihat itu mengakibatkan sesuatu yang ada di antara kedua kaki Adam mulai bereaksi. "Sialan," dengusnya, semakin merasakan siksaan saat melihat ujung sosis yang keluar masuk beberapa kali di mulut Angel. Adam tahu ba