"Kalau Anda terus seperti itu, Anda bisa ambruk, Pak?""Apa?"Adam melepaskan earbud-nya, lalu menoleh ke sumber gangguan itu. "Apa maksudmu?" tanyanya lagi sambil menatap Dimas dengan tajam. Hari ini adalah hari Minggu dan Adam sedang menikmati Minggu paginya dengan berolah raga di pusat gym langganannya. Sudah dua puluh menit berselang sejak lelaki itu berlari di atas treadmill.Bukannya merasa lelah, yang ada Adam malah terus menambah tanjakan dan kecepatan treadmill yang dia gunakan. Tentu saja, hal tersebut mau tidak mau akhirnya menarik perhatian Dimas, yang juga kebetulan berada di gym yang sama. "Apakah sedang ada masalah, Pak?""Bukan urusanmu.""Apakah ada yang Anda pikirkan?""Sekali lagi, itu bukan urusanmu.""Apakah ada yang sedang mengganggu Anda, Pak?""Untuk yang terakhir kalinya, Dim! Itu. Bukan. Urusanmu!""Apakah ini ada kaitannya dengan Miss Angel, Pak?"Adam terdiam, meski sebenarnya dia merasakan perutnya mengencang ketika mendengar nama itu. Dia pun kembali be
Suasana di rumah sakit pada hari Minggu pagi bisa dikata lebih ramai dari hari biasanya. Namun tetap saja, selalu ada suasana hening tersendiri yang menguasai tempat ini. Pagi-pagi sekali tadi Angel sudah datang ke rumah sakit yang berada di daerah pinggiran kota ini. Seperti biasa, dia membawakan sarapan untuk beberapa petugas medis yang masih berjaga sejak semalam. Beberapa perawat yang mengenalnya memberi sapaan, sementara sisa yang lain berterima kasih atas sarapan yang Angel bawa lalu berbisik bertanya ke salah satu atau dua rekannya soal siapa dia. Itu semua hal yang wajar. Para petugas di sini bahkan sudah terasa bagai kerabat bagi Angel, mengingat bahwa selama dua tahun belakangan ini dia kerap kali berkunjung."Halo, Kak. Aku datang lagi," sapanya, ketika memasuki sebuah kamar rawat bagi pasien ICU. "Bagaimana kabar Kakak hari ini? Apakah sudah lebih baik atau sangat, sangat baik?"Tidak ada suara yang menjawab sapaannya, selain bunyi mesin pernapasan dan pendeteksi denyut
Hari Minggu berlalu bagai sekejap mata dan tiba-tiba saja Senin sudah datang lagi. Senin pagi dan Adam merasa sedikit gugup. Lelaki itu setidaknya perlu untuk berganti pakaian beberapa kali, sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk memakai setelan jasnya yang berwarna abu-abu gelap. Lepas dari masalah baju, urusan untuk memilih dasi yang akan dia kenakan pun tidak lantas menjadi lebih sederhana dan mudah.Lebih dari sekali Adam berniat untuk tidak masuk kerja untuk hari ini. Namun dia tidak sanggup membayangkan bagaimana reaksi Dimas, apabila dia benar-benar melakukannya. Lagi pula, dia akan beralasan apa? "Si bodoh itu pasti akan berpikiran yang tidak-tidak," gerutunya, sudah merasa begitu kesal meski saat hari masih begitu pagi. "Dasar bawahan sok tahu, sok pintar. Bahkan sampai gaya bicaranya pun seolah-olah dia sok benar."Selama nyaris lima belas menit berkutat dengan dasinya sendiri, akhirnya Adam menyerah. Entah ada apa dengan dasi yang pagi ini begitu sulit untuk dipakai
"Pak Adam." Suara Angel yang memanggilnya terasa begitu membius. Paling tidak setengah dari pikiran Adam kosong seketika, sementara sisanya sedang kebingungan sendiri. "Pak? Apakah Anda mendengarkan saya? Pak Adam?" Adam mengerjap. Dia berhasil menahan dirinya agar tidak terlihat terlalu terkejut. "Ya? Eh, apa? Kenapa kamu mrmanggilku terus?" "Anda lebih tinggi dari saya. Jadi, tolong menunduk sedikit," lanjut sekretarisnya itu. "Lihat. Meski saya berjinjit sekalipun, saya masih belum bisa menyamai tinggi Anda, Pak. Jadinya nanti pasti akan sulit." Angel memang sedang berjinjit. Perempuan itu terlihat seperti sedikit kesulitan menyeimbangkan diri di atas heels-nya, sehingga secara reflek Adam memegangi pinggangnya agar dia tidak terjatuh. Hal yang tidak masuk akalnya adalah Adam yang kemudian tiba-tiba menariknya mendekat. Lelaki itu memeluk Angel begitu erat, sehingga tubuh mereka saling menempel. Angel bahkan sampai terpaksa menahan dada Adam dengan kedua tangannya, agar dad
Sejak turun dari mobilnya, garis senyuman tidak juga lepas dari bibir Dimas. Wajahnya terlihat segar, bahkan berbinar. Lelaki itu menyapa petugas keamanan yang berjaga di depan gerbang, tukang kebun yang sedang merawat halaman depan kantor CC, petugas lobi, bahkan semua staf yang berpapasan dengannya. Pokoknya, satu per satu orang yang dia temui, pasti disapa dengan begitu riang. Entah apa yang membuat dia begitu bersemangat. Sejak sepulangnya dari pusat gym kemarin, perasaan Dimas memang sedang bagus. Lelaki itu merasa seolah ada hal menyenangkan yang akan terjadi tidak lama lagi.Ya, Tuhan. Rasanya dia benar-benar sudah tidak sabar. "Selamat pagi, Pak Dimas.""Selamat pagi, Al. Bagaimana kabarmu? Bukankah ini adalah hari yang cerah?"Aldi yang kebetulan saja datang lebih awal, hanya mengangguk menanggapinya. Jarang-jarang dia bisa datang sepagi ini, itu pun hanya karena tidak sengaja terbangun dan tidak bisa tidur lagi. "Kabar saya baik, Pak," jawabnya sambil berusaha keras mena
Angel mengira kalau dia akan segera tamat begitu menginjakkan kaki di ruang kantor. Namun ternyata, tidak. Tadi dia sempat berkomat-kamit selama beberapa detik terlebih dulu, sebelum akhirnya membuka pintu dan melangkah masuk. Pintu ke ruang kantor Adam tertutup dan tidak ada suara-suara yang terdengar dari dalam. Mungkinkah atasannya itu sedang tidak berada di tempat? Lalu kalau begitu, kemana Adam pergi?Hei, bukankah ini artinya dia beruntung? "Oh, ya ampun. Tadi saja dia yang berteriak-teriak soal terlambat masuk kerja, tapi lihat! Nyatanya dia malah belum ada di ruangannya."Angel duduk di atas kursinya dengan menggerutu. Dia setengah kesal terhadap dirinya yang tadi sudah sempat ketakutan sendiri."Dasar bodoh kamu, Angel," gumamnya, mengomel sendiri sambil membuka lacinya dan mengeluarkan bungkusan plastik berisi permen cokelat. "Kenapa masih saja bisa terkecoh dengan ulah lelaki gila itu? Lagi pula, apa yang perlu kamu takutkan darinya? Dasar lelaki egois, keras kepala, suk
Semburan suara tawa Yasmin berhasil menggenapkan rasa kesal Angel. "Bisa diam tidak sih, Yas?" tanyanya dengan nada sewot, menyeruput es Cappucino-nya dengan kekuatan berlebih. Bukannya berhenti, Yasmin justru tertawa semakin keras. Dia seolah tidak peduli meski kelakuannya itu berhasil menarik perhatian beberapa rekan kerja yang juga sedang menikmati waktu makan siang di kantin. Perempuan itu baru berhenti ketika dia tersedak hingga terbatuk-batuk. Dengan terburu-buru Yasmin menyambar gelas berisi es teh milik Aldi yang duduk di depannya, lalu menghabiskannya begitu saja."Rasain!" Angel mendesis penuh dendam, membuat Yasmin melotot ke arahnya sebagai balasan. "Ada temannya kesusahan kok malah ditertawakan. Itu namanya azab menertawakan penderitaan teman, Yas!""Semprull!""Kamu tuh!""Aku mau pesan seblak, nih. Siapa yang mau nitip?"Terima kasih kepada Aldi. Lelaki itu bisa mencium pertanda terjadinya Perang dunia ke lima antara Angel dan Yasmin, sehingga memutuskan untuk mengal
Angel sampai di lobi dengan napas terengah. Demi memenuhi perintah Adam, tadi dia terpaksa berlari-lari dari kantin menuju lift, kemudian kembali berlari dari lift menuju lobi. Ya, Tuhan. Perutnya bahkan belum terisi makan siang, tapi dia sudah harus mengeluarkan banyak tenaga seperti ini.Kalau istilahnya sekarang: lemas, Bestie."Tiga menit, Miss Angel.""Ha? Ya, Pak?""Bukankah tadi aku menyuruhmu untuk datang dalam lima menit? Sekarang sudah pukul satu siang lebih dua puluh delapan menit. Jadi, kamu terlambat tiga menit."Angel belum sanggup untuk menjawab. Dia masih berusaha mengais udara, demi mengurangi rasa sesak akibat berlarian tadi. Namun, ayolah. Bukankah ini sudah berlebihan?Memang ada beberapa kantin karyawan yang tersedia di kantor CC. Hal yang wajar, sebab gedung itu sendiri terdiri dari dua puluh dua lantai. Kantin pertama terdapat di lantai basemen, kantin berikutnya masing-masing berada di lantai lima dan sepuluh, sementara kantin para eksekutif terletak di lant