Hari masih pagi, tapi Lidia nampak begitu muram. Dalam lima menit terakhir, entah sudah berapa kali perempuan itu menghela napas berat. Tidak perlu untuk diragukan lagi, bahkan dalam sekali lihat saja semuanya sudah jelas bahwa ada hal berat yang tengah dia pikirkan. "Ada apa, Nak?" Lidia sedikit kaget ketika mendengar suara yang bertanya itu. Sesaat dia hanya bisa terdiam, sewaktu Kharisma Mihru, Ibunya, ternyata sudah berada di sampingnya. "Sejak kapan Ibu ada di sini?" tanyanya, sedikit bergeser untuk memberi tempat bagi Kharisma yang memilih untuk duduk di sebelahnya. "Kenapa Ibu datang tiba-tiba begini? Membuatku kaget saja." "Siapa yang membuatmu kaget, Lid? Ibu tidak bermaksud seperti itu kok." "Tapi tadi—" "Mungkin kamu saja yang terlalu asyik melamun, sehingga tidak menyadari kedatangan Ibu." Tidak ada sanggahan yang diberikan oleh Lidia. Perempuan itu lebih memilih untuk diam, sembari mengamati ikan-ikan yang hilir mudik dalam kolam yang terdapat di halaman belakang.
Rupanya, tekad baja merupakan nama tengah bagi Angel. Tidak ada kata menyerah sebelum perang dalam kamusnya. Jadi, inilah dia sekarang. Pukul sepuluh kurang lima belas menit. Angel sudah berhasil menyelesaikan laporan legal, memeriksa dan menyusun ulang semua laporannya kemarin ke dalam beberapa jilid yang rapi, lalu dia juga selesai mempersiapkan tabel-tabel, portofolio dan materi slide yang atasannya perlukan. Dia sedang memastikan bahwa segala hal yang diperlukan sudah siap tertata di ruang konferensi di lantai sembilan belas. Itu adalah ruang yang rencananya akan Adam gunakan untuk presentasi pagi ini. Sebagai tambahan, Angel bahkan sudah menyiapkan kopi dan camilan ringan untuk semua orang. Perempuan itu memang belum pernah mengikuti rapat yang Adam pimpin. Namun Angel memiliki firasat bahwa selain akan berlangsung lama, rapat itu sangat membosankan dan yang pastinya terasa kaku. Tidak perlu diragukan kalau seluruh peserta rapat akan merasa stres. Oleh karena itulah, Angel se
"Anda terlambat, Miss Angel, dan seingat saya, ini sudah yang kedua kalinya dalam dua hari ini."Angel baru saja memasuki ruang konferensi di lantai enam, ketika mendapatkan sambutan yang menyenangkan seperti itu. Satu tangannya mengepit setumpuk map, sementara tangan yang lain bersusah payah mendorong kereta yang berisi minuman dan makanan bagi peserta rapat."Rasa-rasanya, saya sudah memberi tahu kepada Anda kalau presentasi akan dimulai pukul sepuluh lebih tiga puluh menit kan? Padahal pukul sepuluh kurang lima tadi saya sudah sengaja menemui Anda untuk mengingatkan soal tersebut, tapi lihat. Anda malah terlambat selama—" Adam melirik ke arah jam tangannya. "—tujuh menit."Ya, Tuhan. Ada apa sebenarnya dengan lelaki itu?Lihat saja lagaknya sekarang. Duduk di kursinya seperti orang tanpa dosa, memasang senyuman yang menyebalkan, dan dengan sepasang mata dengan warna yang berlainan itu dia memandang Angel. Bukannya gentar, dengan berani Angel malah menatapnya balik. Ada segulung b
"Kenapa dengan wajahmu, Angel?" Yasmin bertanya dengan nada berlebihan. Tidak cukup sampai di situ, dia lalu melihat jam tangan dan kembali berseru, "Ini bahkan masih pagi lho!"Angel melemparkan pandangan membunuh khas miliknya. Ucapan Yasmin tadi seolah benar-benar menggenapkan semua kekesalan dalam dirinya.Masih pagi, katanya? Omong kosong! Sekarang saja mereka sedang berada di kantin untuk makan siang bersama. Ya, Tuhan. Andai saja bisa, mungkin kepala Angel sudah mengepulkan asap karena saking emosinya. Terutama bila dia teringat dengan hasil rapat kemarin siang, yang membuatnya ingin membanting kursi demi bisa meluapkan sedikit amarahnya."Sabar, Angel. Sabar," bisiknya sembari menarik napas dalam-dalam. "Sabar. Orang cantik tidak boleh marah. Nanti bisa muncul keriput di wajah lho.""Wajahmu itu lho, seperti cucian di kos-kosanku yang sudah menumpuk seminggu saja," imbuh Yasmin tanpa dosa. Entah apakah dia sengaja atau memang tidak menyadari, betapa teman di sebelahnya itu su
"Apa Anda bisa melepaskan saya, Pak?"Angel bersungut-sungut karena Adam terus saja mencekal tangannya, sementara mereka berjalan menyusuri koridor menuju lift. Melirik sekilas ke sekeliling, bibirnya pun semakin cemberut karena menyadari bahwa ada begitu banyak pegawai yang memperhatikan mereka berdua. Ya, Tuhan. Tidak lama lagi pasti akan tersebar berita miring soal ini. "Pasti aku akan dianggap sebagai pegawai rendahan yang menggoda atasannya sendiri," gerutunya. "Sekarang saja sudah ada begitu banyak gosip, gara-gara aku mendadak naik jabatan menjadi sekretaris pribadi orang ini. Lalu sekarang, ditambah lagi dengan ini."Oh, ya ampun. Benar-benar kombinasi yang sempurna, pikirnya getir."Bagaimana kalau Anda lepaskan tangan saya, Pak? Sekedar informasi, saya bisa berjalan sendiri tanpa perlu Anda gandeng ter— Aduh!"Angel mengernyit, mengelus-elus ujung hidungnya yang kesakitan dan sedikit memerah. Semula tadi Adam berjalan cepat di depannya, tapi kemudian tiba-tiba berhenti dan
Adam berjalan keluar dari ruang ganti sambil memasang kancing lengan kemejanya. Berada di belakangnya adalah beberapa orang staf butik, yang berusaha mengikuti langkah-langkahnya yang lebar. Entah mengapa, selain terlihat begitu bersemangat, lelaki itu juga seperti terburu-buru. "Sekarang beri tahu aku, bagaimana pendapatmu dengan setelan yang in—" Lelaki itu terdiam. Kedua alisnya mencuram, sementara sepasang mata yang memiliki dua warna itu pun menyorot tajam. "Ke mana—" gumamnya, seraya menelusuri ruang tunggu yang kini kosong. Adam lalu menoleh ke arah staf butik dan bertanya, "Ke mana perempuan yang tadi duduk di sini?" "Eh?" Para staf butik itu terlihat bingung dan saling melemparkan pandangan. Jelas sekali kalau mereka pun sama tidak tahunya. "Maaf, Pak, tapi kami juga tidak terlalu memperhatikannya. Jadi—" Salah satu staf yang tadi menjawab pun kini terdiam dan meneguk ludah. Sepasang mata yang tengah menatapnya itu terlihat begitu mengancam, seperti pandangan seekor b
Raka mungkin saja merasa tidak suka dengan hal yang kini terjadi, tapi bukan berarti dia bodoh.Lelaki yang ada di depannya ini memang baru pertama kali dia temui. Namun melihat dari penampilannya, Raka tahu bahwa lawannya ini jelas bukan orang sembarangan.Apalagi kalau melihat bagaimana reaksi Angel saat ini, yang seolah berusaha memberinya peringatan. Meski masih belum sepenuhnya yakin, setidaknya Raka sedikit bisa menebak siapa lelaki yang memiliki warna mata yang berlainan itu. "Maafkan apabila saya sudah bersikap tidak sopan," ujarnya kemudian, menyuguhkan seulas senyuman bisnis. "Tapi saya mengenal Miss Angel dan mengira kalau dia sedang dalam masalah."Sementara Raka berusaha bersikap sebiasa mungkin, di sisi lain diam-diam Angel menghela napas panjang. Sekarang dia sudah bisa merasa lebih lega. Ya, Tuhan. Syukurlah.Rasanya benar-benar seperti sebuah keajaiban karena Raka tidak langsung mengamuk saat melihatnya bersama Adam. Padahal tadi dia sudah sangat khawatir. Meski, y
Jelas ada sesuatu yang salah, tapi apa?Angel merenung sembari berbaring di atas tempat tidurnya. Ingatan saat Adam yang membawanya ke rumah sakit tadi siang, kembali menghambur memenuhi pikiran."Ada apa sebenarnya dengan lelaki itu, sih?" gumamnya, teringat dengan begitu perhatian atasannya atas kondisi kaki Angel yang terkilir. "Padahal biasanya dia selalu bersikap menyebalkan, kenapa tadi tiba-tiba jadi berubah? Membuatku bingung saja."Dalam benaknya, semula Angel memikirkan kalau Adam tidak akan peduli sama sekali dan bahkan mungkin akan tega menyeretnya kembali untuk bekerja. Namun nyatanya, tidak."Apakah tadi aku terlihat begitu menyedihkan, sampai-sampai lelaki yang biasanya gila itu akhirnya kasihan?"Pergelangan kakinya sekilas berdenyut sakit, membuat Angel mengernyit.Oh, ya ampun. Padahal tadi dia sempat berdebat sewaktu Adam memberinya libur. Angel sangat yakin bahwa terkilir yang dialaminya ini tidak terlalu parah, tapi rupanya tidak begitu.Sekarang, kakinya itu just