Lina nyaris saja menjerit karena kaget, tapi orang itu sudah langsung membekap mulutnya. "Ini aku," bisik orang itu. Napas panasnya menerpa tengkuk Lina, membi perempuan itu merinding.Lina akhirnya menyadari siapa lelaki yang kini tengah memeluknya ini. Namun, bukan berarti dia akan diam saja. "Lepaskan aku!""Aku hanya ingin memberimu ucapan selamat, sebab sepertinya Tuan Togar sangat puas dengan pelayanan darimu."Rasanya benar-benar muak. Bagaimana mungkin Lina merasa senang karena mendapatkan ucapan selamat untuk hal yang menjijikkan semacam itu. "Lepaskan aku!""Setelah ini, kamu bisa beristirahat untuk beberapa saat. Jangan khawatir, aku juga akan memberimu tambahan bonus atas kerja kerasmu kali ini.""Lepaskan aku! Sudah kukatakan, lepaskan aku!""Diamlah. Jangan memberontak dan sok jual mahal. Ah, aku tahu. Bagaimana kalau kita pergi berdua selama beberapa hari? Nanti selama waktu tersebut, aku bisa memuaskan dan memanjakanmu. Ide yang bagus kan? Bagaimana menurutmu?"Lina
Sementara Lina sedang mandi, Raka belum beranjak keluar meninggalkan kamarnya. Ucapan yang Lina lontarkan tadi ternyata masih mengganggu pikirannya. Benarkah kalau adik iparnya sekarang berani melawan? "Tidak mungkin," gumamnya, menggeleng sendiri. "Dia pasti hanya menggertakku. Toh, tidak mungkin juga dia bisa berbuat senekat itu. Bagaimana pun, aku masih memiliki Lidia yang bisa aku gunakan untuk memberinya ancaman. Tidak mungkin kalau dia akan bersikap masa bodoh."Setelah yakin kalau Lina tidak akan bisa berbuat macam-macam terhadap dirinya, kini Raka beralih memikirkan sesuatu yang lain.Pemberitaan mengenai Lidia itu jelas harus segera dibereskan, tapi bagaimana caranya? "Aku membutuhkan sebuah pengecohan." Dia bergumam sendiri. "Harus ada sesuatu yang bisa aku gunakan sebagai pengalih perhatian."Masalahnya, apa? Selama beberapa saat, Raka masih terlihat sibuk berpikir. Namun, segaris senyuman tiba-tiba saja menghiasi wajah tampan lelaki itu. "Ah, dasar bodoh," ujarnya. "K
Prosesi pemakaman berjalan dengan lancar. Ada begitu banyak orang yang mengucapkan bela sungkawa. Rasanya Raka tidak ada henti-hentinya mengangguk, sambil tersenyum ramah kepada setiap pelayat yang menemuinya. Rasanya melelahkan untuk terus berpura-pura seperti ini. Namun, Raka juga menyadari bahwa dia tidak memiliki banyak pilihan. Dia tidak lupa bahwa saat ini ada beberapa wartawan yang juga turut hadir ke area pemakaman."Tadi saja aku sudah nyaris apes," gumamnya, teringat dengan saat Lidia memergokinya tengah berada di dalam kamar tidur Lina. "Untung saja Lidia percaya, sewaktu aku katakan kalau aku datang sekedar untuk mengecek karena khawatir dengan keadaan Lina."Raka sudah berkali-kali membohongi istrinya. Dia bahkan sudah tidak bisa menghitung seberapa sering Lidia termakan kebohongannya. Namun herannya, Lidia selalu saja percaya. "Sebenarnya dia itu apakah memang bodoh atau apa sih?" Raka melirik ke arah istrinya yang kini menangis dalam pelukan seorang perempuan baya. Ke
Jadi, inikah balasan atas kesetiaan mereka yang begitu panjang? Apakah selama ini bagi lelaki itu dia dan Ibunya tidak lebih dari sekedar lelucon? "Malam itu kondisi Ibu langsung saja memburuk dan keesokan harinya beliau menghembuskan napas terakhirnya." Detik setelah pemakaman Ibunya usai, maka pada saat yang sama pula Raka mengubur semua perasaannya. Tidak ada gunanya untuk terus berusaha bertahan dalam kesetiaan kepada orang lain. Tidak ada gunanya untuk terlalu dalam mencintai orang lain. Tidak ada gunanya untuk menaruh kepercayaan terhadap orang lain. Hal yang paling penting adalah dirinya, dirinya, dan dirinya. Itu saja. Kalau saja selama bertahun-tahun lalu Ibunya berpikiran seperti itu, maka fisik beliau tidak akan selemah itu. Paling tidak Ibunya itu tidak akan jatuh sakit dan meninggal dalam kondisi patah hati. Namun pada mulanya, Raka tidak benar-benar memiliki niat buruk. Saat berhubungan dengan Lidia, dia benar-benar serius. Mereka bahkan sudah sampai bertunangan
"Selamat siang, Pak Sandira. Saya harap Anda baik-baik saja." Tidak ada reaksi. Raka hanya berdiri dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi. Dalam hati sebenarnya dia sudah begitu ingin menonjok lelaki yang ada sekarang sedang tersenyum di hadapannya ini. Entah mengapa, Raka merasa seolah senyuman itu tengah mengejeknya. Lagi pula, kenapa lelaki ini datang bersama Angel? Kalau hanya sekedar datang bersama sih, masih tidak masalah bagi Raka. Namun lelaki itu dengan terang-terangan memeluk Angel, membuatnya nyaris tidak dapat menahan amarah. "Pak Sandira," panggil Adam dengan sorot mata jenaka. "Saya sedang menyapa Anda, lho. Apakah Anda tidak berkeinginan membalas sapaan saya?" "Oh!" Raka mengerjap. "Maafkan saya. Pikiran saya tadi sempat teralihkan." "Saya harap pikiran Anda tidak teralih kepada kekasih saya ini." "Kekasih Anda? Siapa?" "Pak Sandira, kenapa Anda masih bertanya? Apakah Anda tidak bisa melihat, siapa yang sekarang sedang saya peluk ini?" Sontak saja ada kema
Adam sama sekali tidak memberinya waktu untuk berlama-lama di sana. Setelah Angel meletakkan buket bunga tulip putih di atas pusara Kharisma dan berdoa sejenak, lelaki itu segera memeluk pinggangnya dan membawanya pergi. Di luar pemakaman, mobil sedan Adam sudah menunggu. "Apakah ada sesuatu yang membuat Anda sampai harus terburu-buru, Pak?" tanya Angel dengan bingung, sementara mobil mereka mulai bergerak. "Tidak ada. Aku hanya tidak ingin terlalu lama berada di sana." "Apa itu maksudnya Anda tidak suka berada di pemakaman? Jangan katakan kalau Anda takut, Pak." Angel tertawa kecil. Pemikiran kalau seseorang seperti Adam ternyata takut dengan area pemakaman, terasa cukup lucu baginya. "Iya, memang aku takut." "Serius? Anda hanya bercanda kan, Pak?" "Aku takut kalau kamu akan berubah pikiran, Angel. Aku takut kalau akan memilih lelaki itu." Hening seketika. Sementara Angel bingung hendak menjawab apa, Adam malah terlihat begitu sibuk menyetir sekarang. Lehernya begitu tegak
Adam keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggang. Tubuhnya setengah basah, bahkan air pun masih menetes dari rambut. Dia berjalan sambil mengusap-usapkan selembar handuk lain ke rambut agar kering, lalu tanpa sengaja menoleh ke arah tempat tidur. Di sana, pandangannya terbentur ke seseorang yang masih tertidur pulas dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai sebatas dada. Secara reflek Adam tersenyum. Dia tidak memungkiri perasaan hangat yang kini membanjir dan memenuhi dirinya. Rasa-rasanya dia bisa saja meledak karena saking bahagianya. Lelaki itu urung menuju lemari pakaiannya dan malah berjalan ke arah tempat tidur. Adam lantas duduk di tepi tempat tidur dengan perlahan dan berhati-hati. Dia seakan tidak ingin membangunkan perempuan yang masih terbuai dalam mimpi itu."Eve," gumamnya, mengecup sekilas bibir yang sedikit terbuka. Sesaat Adam terdiam. Dia lalu menjilat dan menggigit bibirnya sendiri.Ah, sial. Satu kecupan singkat tadi ras
Suasana di dalam mobil terasa lengang. Sejak meninggalkan apartemen tadi, tidak ada sedikit pun pembicaraan di antara kedua orang itu. "Berhenti di sini saja," ujar Angel tiba-tiba, saat mobil Adam berada di belokan terakhir menuju gedung kantor mereka."Kenapa? Apakah ada sesuatu yang tertinggal?" tanya Adam sembari memelankan laju mobilnya. "Bukan." Angel menggeleng. "Aku akan turun di sini."Kali ini, sepasang alis Adam pun menyatu. "Apakah kamu ingin membeli sesuatu? Atau apakah kamu ingin mampir ke suatu tempat? Kalau iya, biar aku antar dan temani saj—""Aku akan turun dan berjalan ke kantor dari sini, Adam.""Kenapa? Eve, kita sudah berangkat kerja bersama seperti ini. Lalu, kenapa kamu malah tiba-tiba saja ingin turun dan—""Sebab aku tidak ingin ada gosip yang nantinya bisa tersebar gara-gara ini.""Gosip?" ulang Adam. Dia jelas tidak mengerti. "Maksudnya? Gosip apa yang kamu maksud?"Angel menghela napas panjang. Dia lalu memandang Adam dengan wajah cemberut nya yang mengg
Halo, Para pembaca. Kisah Adam dan Angel berakhir sampai di sini. Terima kasih atas kesediannya untuk mengikuti kisah ini dan mohon maaf karena sempat vakum cukup lama. Ada satu dan lain hal yang menjadi penyebab, termasuk masalah kesehatan. Semoga kita semua selalu sehat & bahagia, ya. Saya menyadari bahwa karya ini sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu, komentar, masukan, dan saran dari Kakak sekalian sangat saya nanti dan hargai. Sampai bertemu di kisah yang lain. Apabila berkenan, silakan mampir di igeh saya: Rae_1243. Apabila ingin berhubungan melalui wa dengan saya, silakan dm saja. Sekali lagi, terima kasih. Salam sayang, ~Rae~
"Tahanan 2673, silakan ke sini."Lidia berjalan dengan kepala tertunduk. Setelah berada di penjara selama nyaris tiga tahun, kini dia sudah terbiasa dengan panggilan tersebut. Namun langkahnya tiba-tiba saja terhenti, saat dia melihat siapa orang yang datang mengunjunginya."Kamu lagi. Bukankah sudah aku katakan, agar tidak mengunjungiku lagi? Tapi kenapa kamu masih juga datang terus?""Kak Lidia, ish! Jangan bersikap sekasar itu dong. Lihat, Raline jadi kaget.""Kamu juga sih, Lin. Kenapa membawa anak kecil ke penjara?""Memangnya, kenapa? Raline ini juga kan, keponakan Kakak. Lagi pula, nanti juga Kakak akan tinggal bersamanya kan?"Sejenak Lidia terdiam, lalu membuang muka. "Tidak perlu. Lupakan saja omonganmu tadi. Lagi pula, dia pasti malu karena mempunyai bibi mantan napi seperti aku ini.""Siapa bilang? Memangnya, Kakak berpikir aku akan membesarkan putriku seperti apa?""Tapi—""Tujuh tahun lagi Kakak akan bebas. Pada saat itu, aku dan Raline akan datang menjemput Kakak. Titik
Lima menit pertama Angel mengedarkan pandangan. Dia masih berusaha untuk menangkap, apa sebenarnya yang sedang terjadi.Ada Ayahnya, yang berdiri di sebelah Erin. Angel juga bisa melihat teman-teman Ayahnya, yang sebagian besar dulunya merupakan orang-orang yang salah jalan. Lalu juga ada beberapa rekan kerjanya yang dulu seperti Yasmin, Aldi, dan bahkan Pak Dimas. Kemudian Keynan serta Keke.Tidak ada terlalu banyak orang di sana, kemungkinan tidak lebih dari seratus orang. Namun, suasanya begitu meriah.Dekorasi yang ada memang mewah, tapi tidak berlebihan. Ribuan bunga yang menghiasi seluruh penjuru ruangan luas ini dan bahkan sampai menjuntai dari langit-langit, membuat Angel seolah tiba-tiba saja masuk ke sebuah negeri dongeng.Kemudian, kerlip-kerlip apa itu? Terlihat seolah ada jutaan permata yang bersembunyi di balik hiasan bunga.Bahkan sampai ada banyak kupu-kupu yang berterbangan kian kemari. Seekor kupu-kupu berwarna hijau toska kemudian terbang mendekat dan hinggap di at
Terdengar suara desahan dari sepasang bibir Angel.Perempuan itu lebih dalam menyandarkan punggung ke kursi tempatnya duduk, sembari melemparkan pandangan ke arah jendela yang ada di sampingnya. Angel mengamati hamparan awan putih mendominasi. Seketika pikirannya pun kembali melayang ke segala hal yang telah terjadi. Tidak terasa, waktu tiga tahun pun sudah berlalu. "Padahal, rasanya seperti baru kemarin," gumamnya, mendesah. "Tapi syukurlah, setidaknya aku tidak perlu lagi bertemu dengan orang-orang itu."Raka sudah divonis penjara seumur hidup. Dari kabar terakhir yang Angel dengar, lelaki itu terlibat dalam kerusuhan yang terjadi di dalam penjara sampai mengalami luka parah.Namun, ada kabar lain lagi yang lebih mengerikan. Angel mendengar bahwa Raka sampai harus kehilangan kejantanannya. Kejantanan milik lelaki itu rupanya mengalami luka dan infeksi yang didapat dari insiden kerusuhan, sehingga akhirnya terpaksa dipotong. "Ya, Tuhan." Angel berbisik. "Aku tidak bisa membayang
Raka berteriak marah. Sejak tadi dia terus menendang-nendang jeruji besi tempatnya ditahan dan baru berhenti ketika dibentak balik oleh petugas jaga. "Brengsek!" Dia mengumpat, segera setelah petugas jaga pergi. "Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa?"Lelaki itu meremas-remas rambut dengan frustrasi. Dia teringat kembali dengan kejadian yang dialaminya tiga hari lalu.Waktu itu dia baru saja hendak pulang kerja, sewaktu dua orang lelaki yang tidak dikenal datang. Napasnya seketika tercekat, saat salah satu dari mereka menunjukkan surat penangkapan untuknya. Rasanya benar-benar memalukan ketika dia digelandang keluar dari gedung perusahaannya sendiri. Ditambah lagi dengan pandangan para karyawan yang ada, membuat Raka begitu ingin mengubur dirinya sendiri kala itu. "Sialan! Padahal tinggal sedikit lagi semua rencanaku bisa beres." Dia menggerutu. "Tapi kenapa malah jadi begini?"Sekarang Raka benar-benar tidak bisa berkutik. Dia tidak dapat mengelak sewaktu polisi menemukan boto
"Angel, tunggu!" Mobil yang Jalu kendarai masih belum sepenuhnya berhenti, tapi Angel sudah langsung membuka pintu dan meloncat keluar. Perempuan itu seolah tidak ingin membuang waktu dan segera menyeberangi pelataran parkir. "Angel! Tunggu, Nak!" Jalu berseru percuma. Putrinya itu sekarang berlari memasuki rumah sakit tanpa menoleh sedikit pun. Dengan menggerutu, Jalu berusaha mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya. Lelaki itu pun segera berlari, menyusul ke arah putrinya. "Pak Jalu! Terima kasih karena sudah datang secepatnya." Dokter Brian berseru, sambil berlari-lari menyongsong Jalu. "Ada keadaan mendesak yang—" "Saya paham, Dok," potong Jalu segera. "Sebenarnya, apa yang terjadi?" "Ah, itu—" "Ayah!" seru Angel. Dia menarik-narik tangan Ayahnya dengan panik. "Ayah! Ada apa dengan Kak Erin? Kenapa sekarang Kak Erin dipindahkan ke ruang ICU? Lalu, kenapa aku tidak boleh masuk dan melihatnya?" "Angel, tenang dulu. Tenang ya, Nak." "Tapi, Ayah—" "Maaf karena saya menye
Rupanya, Adam yang menelepon. Lelaki itu memberi kabar bahwa Lidia telah memasukkan tuntutan kepada Rama ke meja hijau. Ternyata Lidia memaksa pulang paksa dari rumah sakit adalah demi mencari barang bukti. Hasilnya, dia menemukan beberapa bungkus permen aneh yang seperti beberapa kali pernah dia konsumsi, serta sebotol kecil obat pil yang bisa larut dalam air dengan cepat. "Lalu?" tanya Angel dengan hati berdebar. Berita yang disampaikan Adam kepadanya ini cukup membuatnya tegang. "Dia menghubungiku dan meminta tolong agar semua temuannya itu diperiksa. Hasilnya—" Dari ujung telepon, tarikan napas Adam terdengar begitu jelas. "Apa?" desak Angel. "Hasilnya bagaimana, Adam?" Adam masih sempat menyergah napas, sebelum menjawab, "Permen itu mengandung sejenis zat adiktif, yang apabila dikonsumsi maka akan memberikan efek ketagihan. Namun, ada beberapa zat lain yang juga terdapat di dalamnya. Untuk singkatnya, permen itu bisa dikatakan sebagai obat perangsang." "Obat, apa?" Angel
"Ayah, sudah aku katakan kalau aku baik-baik saja!"Angel merajuk. Dia terlihat sebal dan merasa tidak suka dengan segala hal yang sekarang terpaksa dia jalani. "Lagi pula, apa-apaan sih, semua ini?""Ini untuk berjaga-jaga, Angel," ujar Jalu, dengan sabar mencoba membujuk putrinya. "Jadi, sabar dulu, ya?""Berjaga-jaga bagaimana? Lidia yang pingsan, kenapa aku juga ikut-ikutan diperiksa seperti ini?""Tetap saja, Ayah khawatir, Angel. Apalagi setelah hasil pemeriksaan Lidia akhirnya keluar. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"Angel memukul dahinya. Perempuan itu sekarang sedikit menyesali pertemuannya dengan Lidia tadi siang. Tidak berselang lama setelah Lidia melihat bukti yang disodorkan Adam kepadanya, perempuan itu tiba-tiba saja pingsan. Entah apa yang dia lihat, tapi apa pun itu yang pasti cukup membuat Lidia shok.Mereka tentu merasa panik. Jalu dengan segera membawa Lidia ke rumah sakit terdekat, diikuti oleh Angel dan juga Adam. Sampai kemudian hasil pemeriksaan Lidi
Angel sama sekali tidak percaya dengan hal yang baru saja didengarnya. "Jangan berbohong!" serunya. "Kakakku tidak mungkin melakukan hal yang semacam itu!""Apa kamu kira Kakakmu itu perempuan baik-baik, ha?" Lidia membalas disertai tawa. "Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja langsung kepada Raka. Yang terlebih dulu merebut Raka itu adalah Erin! Jadi, tidak salah kan, kalau aku mengambil kembali apa yang menjadi milikku?"Angel memegang kepalanya yang mendadak pusing. Hal yang diceritakan Lidia ini benar-benar di luar dugaannya. "Aku dan Raka sudah bertunangan dan sebentar lagi kami akan menikah," ujar Lidia lagi. "Lalu Kakakmu tiba-tiba datang dan merusak semuanya. Dia memaksa Raka memutuskan pertunangan kami dan otomatis pernikahan kami pun batal. Saat mendengar soal itu, penyakit jantung Ayahku kumat dan beliau meninggal seketika itu juga. Harta keluargaku habis, sampai aku pun terpaksa melakukan pekerjaan haram demi menghidupi Ibu dan adikku. Keluarga dan kebahagiaanku hancur